"Raihan? Ah, Syukurlah! Akhirnya dia menyusulku." Ratu tersenyum melihat mobil Kaisar tiba-tiba berhenti tak jauh di depannya. Raihan membuka kaca mobil dan mencondongkan kepalanya. "Ayo naik!" teriaknya. Setelah melihat kanan kiri, Ratu berlari kecil menghampiri Raihan, dan masuk ke dalam mobil. "Ternyata kamu tanggung jawab juga orangnya." ujar Ratu sambil menutup pintu. "Hmm ... bukannya ucapkan terima kasih. Aku cuma kasian sama kamu kalau sampai jalan kaki sampai Bogor." Raihan mulai melajukan mobilnya menuju jalan raya. "Kenapa tiba-tiba pergi, sih? Kalau Bunda dan Ayah tau, bisa kena omelan aku," lanjut Raihan mengerling pada Ratu yang sedang menikmati pemandangan rumah-rumah mewah yang ia lewati. Raihan ternyata melewati jalan yang berbeda dengan pagi tadi. "Oh, jadi kamu nyusul aku karena takut dimarahi Bunda? Jadi beneran nggak ikhlas ternyata." Ratu bicara tanpa memandang Raihan. Ia masih memandang keluar jendela. "Aku ikhlas atau nggak, apa kamu perlu tau?" balas Ra
"Apa ini, Tuan?" Sumi membaca tulisan nama brand pakaian wanita terkenal pada paperbag yang diberikan Raihan. "Tolong sampaikan pada Ratu. Itu hadiah dari saya. Tadi tertinggal di mobil." "Oh gitu. Mmm ... Tuan mau bertemu Non Ratu?" Sumi bicara ragu-ragu, ia tidak yakin Raihan akan mau masuk ke kontrakannya yang sangat sempit. "Hmmm ... tidak usah. Sampaikan saja salam dari saya." Namun demikian mata Raihan sempat mengitari isi ruangan kontrakan itu seakan sedang mencari sesuatu. "Saya permisi!" Raihan pun pergi meninggalkan kontrakan Sumi. "Ya Ampuuun, gantengnyaaaaa .... Itu siapa, Sumi?" Beberapa tetangga yang berada di sekitar kamar kontrakannya ternyata memperhatikan kedatangan Raihan sejak tadi. "Pasti orang kaya. Penampilannya aja beda. Nggak kayak kita-kita," sahut tetangga yang lain. "Pacarnya Ratu, ya, Sum?" "Iyaaa, tunangannya Non Ratu," jawab Sumi tersenyum bangga. Namun ia terkejut karena tiba-tiba saja Ratu sudah berdiri di belakangnya. "Bukaaan, bukan tunangan
"Ngapain kamu di sini?" Mendengar seseorang menegurnya, Ratu menoleh ke belakang. Sonia sudah berdiri sambil berkacak pinggang menatapnya tajam. "Saya mau antar minuman ke Pak Bos, Bu," sahut Ratu dengan netranya yang sesekali masih melirik pada pria di dalam ruangan itu. Ternyata sang CEO sedang berbicara dengan seseorang lewat ponselnya. "Sudah mana minumannya? Sini, biar saya yang bawakan. Kamu sana ke belakang saja!" Sonia langsung meraih nampan dari tangan Ratu dan menerobos masuk. Ratu menghela napas panjang, lalu melangkah pergi meninggalkan ruang CEO itu. Di satu sisi Ratu merasa lega karena tidak jadi bertemu dengan sang CEO yang sejak kemarin ia hindari. Namun, sejak ia melihat pria itu di ruangannya tadi, meski hanya melihat dari belakang, Ratu merasa familiar dengan gestur tubuh sang CEO itu. "Mungkin hanya mirip saja. Nggak mungkin dia," gumam Ratu yang sudah kembali ke ruang meeting. "Sini, Nang, aku bantu dulu sebelum aku ke belakang!" Ratu meletakkan botol air m
"Ratu ... bukankah itu ...." Netra Nanang masih membulat dengan dengan mulut terbuka lebar.Karena sangat terkejut, ia sampai tak mampu mengungkapkan rasa tak percayanya saat ini. Ia memandang ke arah Raihan dan Ratu bergantian.Ingin menegaskan bahwa telinganya tidak salah bahwa ia baru saja mendengar Raihan berteriak memanggil nama Ratu. "Nang, aku duluan, ya!" Ratu bergegas menghampiri mobil Raihan, lalu langsung duduk di sebelah Raihan yang sedang mengemudi, lalu melambaikan tangannya pada Nanang yang masih mematung menatap bingung ke arahnya. "Cih! Dasar genit!" umpat Raihan sambi mulai menjalankan mobilnya. "Apa, sih! Kamu tuh yang sok kegantengan sama si Sonia!" "Hah? Aku sama Sonia?" Raihan terbahak-bahak. "Iyaa, aku lihat waktu itu kamu berduaan di ruangannya sampai sore. Ngapain lagi kalau bukaaaan ...." Mendengar kalimat yang diutarakan Ratu, tawa Raihan semakin keras "Mendingan Sonia, dong! Dari pada Nanang!" Selera kamu tuh, rendahan banget!" Raihan terus mengej
"Jangan di mall ini. Swalayan yang di sana saja!" Ratu menolak ketika Raihan hendak menghentikan mobilnya di sebuah mall mewah. Ia tahu bahwa harga barang di mall itu untuk kalangan elite. Ratu malah meminta Raihan untuk berhenti di swalayan yang tak jauh dari mall tersebut. Sebuah swalayan yang tidak terlalu besar namun menjual lengkap kebutuhan leluarga. "Kamu yakin mau shoping di sana?" Lagi-lagi Raihan menatap Ratu tak percaya. "Iya, aku yakin. Lagipula, sekelas office girl kayak aku mana mampu belanja di sini," sahut Ratu. "Sudah, shoping di sini saja. Kamu nggak perlu membayarnya!" "Kalau gitu nggak usah aja. Nggak jadi shoping," ketus Ratu yang langsung membuang pandangan karena kesal. "Ck! Dasar perempuan hobinya ngambek!" Raihan akhirnya memutuskan untuk memutar balik arah mobilnya dan menuju swalayan yang dimaksud oleh Ratu. Dalam waktu lima menit mereka telah tiba di tujuan. Swalayan itu tampak sangat ramai oleh pengunjung kelas menengah ke bawah. Tulisan b
Siang itu suasana kantor sedikit berbeda. Para wanita asik berbincang di sana sini dengan antusias. Awalnya Ratu tidak peduli. Namun tanpa sengaja ia mendengar obrolan beberapa karyawati di pantry. "Pokoknya acara besok malam aku harus tampil cantik. Siapa tau si Bos melirik dan tertarik." "Kayaknya hampir semua perempuan di kantor ini bakalan mencari perhatian sama si Bos. Ah, andaikan aku yang dia pilih." "Sepertinya si Bos baru kita itu memang belum punya calon istri. Dia nggak pernah bawa kekasihnya ke kantor ini." Ratu sengaja duduk di pojok pantry memperhatikan dan mendengarkan obrolan para wanita itu. Sampai hari ini ia pun belum pernah melihat jelas wajah sang CEO. Apakah benar-benar setampan itu, hingga para wanita saling ingin mencari perhatian darinya?Menjelang sore, Ratu dan Nanang dipanggil oleh Susi ke ruang perlengkapan. Mereka bergegas menuju ke sana. "Kira-kira ada apa, Nang? Tumben Mbak Susi panggil kita sore-sore begini." Ratu berjalan cepat bersisian dengan N
"Apa aku nggak salah dengar? Masa sih CEO yang banyak dibicarakan itu Raihan?" Ratu masih belum bisa menghilangkan rasa terkejutnya. Ia melangkah maju untuk meyakinkan dirinya. Namun ia tidak bisa mendekati panggung, karena kursi di deretan depan panggung hanya khusus untuk para direksi, petinggi perusahaan dan para undangan. Hati Ratu berdesir saat benar-benar melihat Raihan dengan jelas di atas panggung. Para wanita terdengar menjerit ketika Raihan tersenyum. "Ya Tuhan ternyata pria itu benar-benar Raihan. Jadi ... selama ini dia sudah bohongi aku? Jadi ... dia yang gendong aku waktu pingsan?" Ratu menatap geram pada Raihan dari tempat dia berdiri. Wajahnya cemberut karena merasa kesal mengingat sikap Raihan belakangan ini. "Ratu, kamu di sini? Aku nyariin kamu dari tadi." Nanang menepuk lengan Ratu yang sedang serius mendengar sambutan dari Raihan, hingga wanita itu menoleh. "Eh, iya, maaf kamu aku tinggal tadi." "Hehehe ... kamu pasti penasaran sama pak CEO kita itu kan? Eh
"Ayo aku antar pulang!" Ratu spontan menoleh saat merasakan bahunya ada yang menyentuh. Matanya membulat melihat Raihan kini sudah berada di sampingnya. "K-kamu ...? Bukannya kamu ada di dalam?" Jari telunjuk Ratu mengarah ke ballroom. "Ya, aku ngantuk, mau pulang. Raihan melepas tangannya dari bahu Ratu lalu bergerak menuju sebuah mobil yang sudah menunggu tak jauh dari tempat mereka berdiri. "Ayo cepat naik!" Suara Raihan menyentak Ratu dari lamunan. Seketika ia melihat ke kanan dan kiri. Ia bernapas lega karena di sekitar tempat itu sepi. Buru-buru ia mengikuti Raihan dan menaiki mobilnya. Kali ini Raihan pakai mobil yang berbeda dan seorang supir yang mengendarainya. Ratu duduk di sebelah Raihan di kursi penumpang. Kali ini mereka duduk cukup dekat. "Kamu cocok pakai gaun ini." Raihan menoleh pada Ratu sambil tersenyum. "Iyaaa deeeh, mentang-mentang kamu yang beliin," sahut Ratu membalas senyum Raihan. Beberapa saat kemudian senyumnya lenyap mengingat kejadian di ballroom t