"Aku nggak salah lihat? Ini beneran kamu, Ratu?" Ratu mendengkus kesal mendengar kalimat yang seakan mengejeknya. "Kenapa? Apa gara-gara ini kamu akan membatalkan pertunangan kita?" Ratu menatap tajam pada pria yang ternyata adalah Raihan. "Hei, santai, dong! Kamu ini kenapa, sih? Tiba-tiba galak begini?" Raihan tersenyum miring, sementara netranya tak berhenti memandang pakaian yang dikenakan Ratu. Hal ini membuat wanita itu semakin meradang. "Asal kamu tau ya, Raihan, aku udah nggak peduli sama pertunangan itu!" ketus Ratu sambil memutar badannya hendak meninggalkan tempat itu. Ia merasa Raihan sudah merendahkannya. "Hei, tunggu!" Raihan mencekal lengan Ratu hingga wanita itu berhenti melangkah. "Aku nggak salah dengar, nih? Kamu nggak lagi mabuk, kan Ratu?" Lagi-lagi Ratu kesal mendengar kalimat Raihan yang seakan sedang menyindirnya. "Kamu nggak bisa ya, kalau tidak mengejek aku terus?" Ratu melotot sambil menghempaskan tangan kokoh Raihan dari lengannya, tapi tidak berhas
Mata Ratu mengerjap, lalu terbuka perlahan. "Aduh ...!" Ratu memegang kepalanya yang terasa berat. "Syukurlah, akhirnya kamu sadar juga." Ratu menoleh ke kanan dan melihat Nanang di sebelahnya. "Kamu ... bukannya sudah pulang, Nang?" Suara Ratu lirih. Ia berusaha untuk bangun, lalu duduk bersandar pada sofa. Saat ia sadar barusan, dirinya sudah terbaring di sofa sebuah ruangan yang biasa digunakan untuk menerima tamu. "Tadi ... siapa yang menolong aku, Nang? Kamu?" Ratu masih ingat bahwa tadi tubuhnya sedikit lagi akan tersungkur ke lantai. Ia tidak bisa menahan sakit kepala yang tiba-tiba saja terasa berat dan berputar hingga pandangannya gelap.. Beruntung ada sepasang tangan kokoh yang meraih tubuhnya dengan sangat cepat, hingga ia berhasil terhindar dari benturan lantai. "Aku nggak tau. Tadi aku sudah hampir sampai di lobby hendak pulang. Tapi tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dari beberapa karyawan. Aku masuk lagi dan ternyata kamu yang pingsan," jelas Nanang yang meraih
"Haah? Kamu serius?" Netra Ratu membulat sempurna. Ia tidak menyangka sama sekali dengan apa yang dikatakan Nanang barusan. "Iya. Hampir seisi kantor ini tau. Kamu sekarang jadi terkenal. Tidak hanya di sini. Gosipnya sudah sampai ke pabrik dan gudang belakang." Ratu mendadak gemetar dan gugup membayangkan hal yang dikatakan Nanang. Bukan masalah gosip atau sindiran yang akan dia dengar dari semua orang yang ada di perusahaan itu. Tapi dia pasti akan gugup jika suatu hari bertemu dengan sang CEO itu "Aduh, mau ditaruh dimana mukaku nanti, Nang. Semoga saja aku nggak akan ketemu dengan Pak CEO itu lagi." Ratu bergidik seperti sedang membayangkan sesuatu. "Tapi dengar-dengar CEO kita ini akan sering datang ke kantor. Tidak lagi sebulan sekali seperti biasanya," jelas Nanang yang membuat Ratu semakin tak tenang. "Ya sudah, sebaiknya kita mulai kerja. Dari pada nanti kena marah Mbak Susi," ajak Nanang. Lalu pria itu bergegas ke gudang peralatan diikuti Ratu untuk mengambil alat-ala
"Aku tidak mau hidup miskin, aku harus hidup serba berkecukupan, bagaimanapun caranya!" Kalimat ini yang sejak awal ada di kepala Ratu. "Hmm, bagaimanapun caranya? Meski harus merendahkan diri di depan orang lain? Nggak! Aku nggak mau diremehkan. Mungkin dengan berjuang sendiri orang akan lebih menghargai aku," Ratu tak berhenti berpikir. Sejak membaca pesan dari Raihan tadi pagi, ada hal yang saling bertolak belakang di pikirannya. Antara tujuan awalnya menjadi orang kaya dengan menghalalkan segala cara, atau berjuang sendiri demi harga dirinya. "Tidak, aku nggak mau mengemis dan memohon lagi pada Raihan. Aku ingin menikah dengan pria yang benar-benar mencintaiku apa adanya." Ratu bertekad dalam hati. Namun demikian, ia akan tetap memenuhi permintaan Raihan untuk menemui kedua orang tuanya. Setidaknya ia tidak mau mengecewakan Salma dan Yuda. [ Jemput aku di depan warung kopi, waktu kamu antar aku sore itu] Akhirnya Ratu membalas pesan dari Raihan. Sesaat kemudian pria itu kembal
"Ehm ... Kaisar, seperti yang mama bicarakan kemarin, mulai hari ini Intan akan menjadi asisten pribadimu. Ia akan lebih fokus untuk urusan keperluan pribadimu. Baik di kantor maupun di rumah. Kamu setuju, kan?" Kaisar yang tadi sempat mematung melihat penampilan Intan yang sangat berbeda, seketika tersentak mendengar penjelasan Maira. "Iy-iyaaa, Ma. Setuju." Kaisar gelagapan. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Setelah berpamitan, ia melangkah keluar menuju mobilnya. "Saya juga permisi, Pak, Bu!" Intan mengangguk sopan, lalu buru-buru menyusul Kaisar ke mobil. Raka membunyikan klakson mobilnya dua kali dan melambaikan tangan pada Kaisar agar ikut bersamanya. "Aku sama supir saja, Pa!" teriak Kaisar. Raka mengacungkan jempolnya, lalu melajukan mobilnya lebih dulu. Kaisar sudah duduk lebih dulu di kursi belakang. Intan yang baru saja sampai di teras, memutuskan untuk duduk di depan bersama supir. Lagi-lagi Kaisar menyempatkan diri menoleh pada gadis itu. Hari ini Intan m
"Aku baru saja mau jemput kamu." Raihan tersenyum berdiri memandang Ratu, dengan kedua tangannya berada di dalam.saku. Ratu gelagapan melihat Raihan telah berada di dalam gang sempit. "Memangnya kamu tau aku tinggal dimana?" tanya Ratu dengan sedikit panik. Raihan terkekeh." Itu hal kecil buatku." "Dih, sombong!" Ratu melanjutkan langkahnya melewati Raihan. Ia sudah melihat mobil Raihan sudah terparkir di depan warung kopi. "Sudah ketemu orangnya, Maas?" teriak pemilik warung pada Raihan. "Sudaah, Paaak!" balas Raihan sambil melambaikan tangannya. Kini Ratu paham, dari mana Raihan tau dimana ia tinggal. "Permisi dulu, Paak!" teriak Raihan lagi sambil mengangkat tangan kanannya ketika mereka sudah akan masuk ke mobil. Pemilik warung itu mengangguk sambil tersenyum. "Sok akrab banget!" gumam Ratu yang terdengar jelas Raihan. "Jelas, dong. Kita itu harus baik dan ramah pada siapapun. Dengan begitu, orang lain pun akan baik pada kita. Paham, kan?" "Pahamlah
"Apa? Office Girl?" Salma tampak terkejut hingga suaranya terdengar agak keras. Lalu pandangannya beralih pada Raihan. Kini Salma justru melotot pada putranya itu. Raihan hanya tersenyum samar sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal menerima tatapan tajam dari Salma. Sedangkan Yuda hanya memasang wajah datar tanpa bicara apapun mendengar penjelasan Ratu. Dengan dada berdebar Ratu mengangguk sambil memperhatikan ekspresi wajah semua yang ada di ruangan itu satu per satu. Kemudian ia kembali bicara dengan menunduk. "Maaf, Tante. Saya memang bukan seorang wanita yang diharapkan. Jika ... Tante dan Om keberatan dengan pertunangan ini, saya ... terima." Ratu tak berani mengangkat wajahnya. Meski ada rasa sesak, tapi ia memang harus mengatakan hal yang sebenarnya. "Sudah-sudah! Nanti saja kita bicarakan tentang pertunangan kalian. Sebaiknya kita makan bersama. Ayo, Raihan. Kamu bawa Ratu ke ruang makan!" sanggah Yuda sambil memberi isyarat pada Salma untuk mendorong kursi ro
"Raihan? Ah, Syukurlah! Akhirnya dia menyusulku." Ratu tersenyum melihat mobil Kaisar tiba-tiba berhenti tak jauh di depannya. Raihan membuka kaca mobil dan mencondongkan kepalanya. "Ayo naik!" teriaknya. Setelah melihat kanan kiri, Ratu berlari kecil menghampiri Raihan, dan masuk ke dalam mobil. "Ternyata kamu tanggung jawab juga orangnya." ujar Ratu sambil menutup pintu. "Hmm ... bukannya ucapkan terima kasih. Aku cuma kasian sama kamu kalau sampai jalan kaki sampai Bogor." Raihan mulai melajukan mobilnya menuju jalan raya. "Kenapa tiba-tiba pergi, sih? Kalau Bunda dan Ayah tau, bisa kena omelan aku," lanjut Raihan mengerling pada Ratu yang sedang menikmati pemandangan rumah-rumah mewah yang ia lewati. Raihan ternyata melewati jalan yang berbeda dengan pagi tadi. "Oh, jadi kamu nyusul aku karena takut dimarahi Bunda? Jadi beneran nggak ikhlas ternyata." Ratu bicara tanpa memandang Raihan. Ia masih memandang keluar jendela. "Aku ikhlas atau nggak, apa kamu perlu tau?" balas Ra