"Non Ana?" Seorang security terkejut melihat kedatangan Analea yang hampir tengah malam. Security itu bergegas membuka pintu gerbang. "Mama dan Daddy ada?" tanya Analea setelah membuka kaca mobil. "Ada, Non. Tapi ... mungkin sudah tidur." "Ya sudah. Terima kasih, Pak." Analea kembali menutup kaca saat mobil mulai melaju ke halaman. "Rasanya tidak tega jika harus membangunkan Mama dan Daddy, kak. Bagaimana jika kita menginap saja di sini?" "Sepertinya menarik. Aku jadi penasaran, seperti apa kamar Lea istriku?" Fabian melirik nakal pada Analea, hingga wajah Analea merah merona. "Tentunya kamarku tidak sebesar kamar kita." "Justru aku malah jadi penasaran. Daaan ... ingin mencobanya." Lagi-lagi Fabian menggoda Analea hingga ia lupa ada supir di depan mereka. Analea mengangkat alisnya sambil memberi isyarat bahwa mereka tidak sedang berdua saja. Hal itu membuat Fabian tersadar dan mereka pun tertawa sesaat. "Lalu ..., bagaimana dengan ibu dan ayah? Mereka pasti mencari kita saa
"Ayo cepat jalannya! Lamban sekali!" Kaisar masih terus menggerutu hingga tiba di depan pintu utama yang sudah terbuka. Ia tidak memperhatikan wajah Maira dan Analea yang saling pandang karena heran melihat sikap Kaisar. "Iy-iyaaa, Pak." Intan tampak ragu untuk melangkah setelah tercengang melihat rumah mewah dan besar yang ada di hadapannya. "Kenapa? Jangan norak! Ayo masuk! Jangan bikin malu! Menyusahkan saja!" ketus Kaisar. Melihat wajah polos dan ketakutan Intan tiba-tiba saja membuat Maira iba. "Kaisar ...!" Maira spontan melotot pada putranya, lalu pandangannya beralih pada Intan yang menunduk. "Sini, Nak, masuklah!" Maira mengangguk dan tersenyum pada Intan. Melihat penampilan Intan yang sangat sederhana dengan atasan kaos polos dan rok panjang mengingatkan masa remajanya ketika di panti dulu. "Siapa namamu, Nak?" "Intan, Nyonya." jawab gadis itu tanpa mengangkat wajahnya. "Intan, jangan panggil saya nyonya. Panggil ibu saja. Ayo, sini duduk!" Maira meminta Intan duduk
"Kaisar kenapa? Bicara yang jelas!" Rein bicara tegas pada ART yang baru saja dari kamar Kaisar. "Maaf, Pak. Tuan Kaisar pingsan." "Apa? Pingsan?" Maira spontan histeris dan panik. "Mam, Dad, biar saya yang lihat ke atas." Fabian bergegas bergerak menaiki tangga. "Aku ikut!" teriak Analea, lalu bergegas menyusul Fabian. "Yang mana kamar Kaisar?" Fabian menoleh pada salah satu ART yang ada di lantai dua itu. "Itu, Tuan!" Kaisar buru-buru masuk ke salah satu kamar di lantai dua yang tak jauh dari tangga. "Kaisar!" teriak Fabian melihat Kaisar terbaring di lantai di depan kamar mandi. "Ya, Tuhan, Kak Kaisar!" Analea pun menjerit. Rein dan seorang security ternyata ikut naik juga ke lantai dua dan langsung masuk ke kamar Kaisar. "Ayo, Pak. Bantu Fabian!" perintah Rein pada security melihat Fabian sedang berusaha mengangkat tubuh besar Kaisar sendirian. "Kita baringkan dulu!" Fabian memberi aba-aba. Setelah tubuh Kaisar terbaring di tempat tidur, Analea dan Maira yang ternyata
"Leaaa ..., Lea kenapa? Lea marah?" Fabian langsung mengenggam jemari Analea ketika keduanya sudah berada di dalam mobil. Analea menghela napas panjang. Lalu menoleh pada suaminya. Fabian tampak sangat cemas. "Maaf, Kak. Mungkin aku sedikit kecewa saja. Sudahlah, Jangan terlalu dipikirkan." Setelah bicara Analea membuang pandangannya ke luar jendela. "Sayaaang. Maafkan aku. Ini memang proyek yang cukup besar. Mungkin memang ada hal yang hendak dibicarakan oleh Sonia mengenai ...." "Iyaa, aku paham. Tidak usah dibahas lagi. Aku ngantuk." Entah kenapa Analea merasa sedikit terganggu setiap mendengar nama Sonia. Mungkin ini sebuah firasat atau mungkin juga hanya masalah cemburu biasa. Iia memutuskan untuk tidak bicara lagi dan memejamkan mata. "Baiklah. Lea boleh tidur disini." Fabian meraih kepala Analea untuk disandarkan pada bahunya yang lebar. Namun ia tersentak ketika Analea memilih untuk bersandar pada kaca mobil. Ia bertambah yakin bahwa istrinya sedang marah. Fabian tak mau
"Ada apa, Intan? Apa Kaisar yang bikin kamu nangis?" Merasa namanya disebut, Kaisar pun membalik tubuhnya perlahan dan langsung protes. "Kok aku sih, Ma? Mungkin aja dia lagi kangen sama pacarnya." Posisi Kaisar kini terlentang dengan tangan kanannya terpasang selang infus. Intan menggeleng. "Saya nggak punya pacar," sanggahnya dengan polos, hingga Maira kesulitan menahan senyumnya. "Oke. Intan ikut Ibu ke depan, yuk!" Maira membawa gadis manis itu keluar dari ruang rawat Kaisar. Melihat Intan yang begitu polos dan sederhana, lagi-lagi mengingatkan dirinya saat tinggal di panti dulu. Apalagi ketika ia dilamar oleh Alif, dengan lugunya ia menerima begitu saja. Ternyata Alif justru menyiksa bathinya. Perjalanan hidupnya yang begitu banyak drama membuat dirinya banyak belajar hingga hari ini. Kaisar yang penasaran, terus memandang Maira dan Intan hingga menghilang di balik pintu. "Duduklah!" pinta Maira. Keduanya menjatuhkan tubuhnya di atas kursi ruang tunggu yang berada tak jauh
"Mbak Ratu?" lirih Emily sangat pelan namun berhasil membuat Fabian ikut menoleh ke pintu. Sementara Sonia sudah berdiri dan berjalan beberapa langkah menghampiri Ratu yang semakin dekat. "Selamat siang, ini berkasnya, Bu Sonia!" "Mana cepat sini! Siapa nama kamu? Khairatun? Lambat sekali kerjamu!" Tak sabar Sonia meraih paper bag berisi beberapa map dari tangan Ratu. Ratu sempat melirik pada Fabian dan Emily yang sedang menatapnya. Ia mengangguk sopan hingga Fabian dan sekretarisnya itu terpana tak percaya. "Hei, apa yang kamu liat? Kamu itu tidak selevel sama mereka. Sudah sana kembali ke kantor! Nggak usah sok kenal gitu!" Sonia tampak kesal melihat Ratu tersenyum samar pada Fabian dan Emily. "Baik, Bu. Saya pergi dulu!" Ratu pun bergegas keluar dari restoran itu. Sementara Sonia kembali ke mejanya menghampiri Fabian. Makan siang hari itu mereka lakukan sambil berdiskusi dan diakhiri dengan penandatanganan kerjasama. Fabian tak mau berlama-lama mengingat ketegangan kecil yang
"Pak Kaisar? Bapak mau apa?" Intan terkejut melihat Kaisar yang berdiri sangat dekat dengannya. Netranya mengerjap-ngerjap. Iabangkit dengan satu tangannya merapikan rambutnya yang berantakan. Sementara Kaisar pun tak kalah terkejut. Ia merasa Intan telah memergokinya. Ia tak dapat lagi menghindar. Hanya diam terpaku sambil berpikir cepat, jawaban apa yang akan dia berikan pada Intan. "Pak? Bapak mau kemana?" tanya Intan lagi saat sudah berdiri. "Saya ... saya mau ke toilet. Bantu saya bawakan tiang infus itu!" "Bukankah di toilet sudah ada, Pak? Sini saya bantu bawakan botol infus ini saja!" Intan meraih botol infus dari genggaman Kaisar.. "Astaga! Kenapa saya bisa lupa kalau di toilet juga ada tiang infus. Seharusnya saya tidak perlu membangunkan Intan," gerutu Kaisar dalam hati. Tapi ia sudah terlanjur malu, kini Kaisar hanya diam dengan wajah datar untuk menutupi rasa malunya. Intan meraih lengan Kaisar dan menuntunnya ke dalam toilet. Pria itu tak sempat mengelak. Jantungn
"Ibu Maira? Kira-kira ada apa Bu Maira telepon?"Sumi menjawab panggilan itu dengan ragu. "Hallo, Mbak Sumi. Bagaimana kabarmu?" "B-baik, Bu," sahut Sumi gugup. Mengingat terakhir kali Maira dan Rein mengusir dirinya dan Ratu, Sumi berpikir Maira tidak sudi lagi menghubunginya. Ia menduga ada kesalahan lain yang ia perbuat hingga Maira menelponnya. "Apa jangan-jangan para penagih hutang itu menemui Bu Maira? Mati aku," pikir Sumi dalam hati. Seketika ia sangat cemas dan ketakutan "Mbak Sumi, saya tau Ratu ada bersamamu sekarang. Bagaimana keadaannya?" Sumi bernapas lega mendengar suara Maira tetap tenang dan malah menanyakan Ratu. "Iy-iya, Bu. Ratu ada sama saya. Dia baik-baik saja." "Syukurlah. Saya tau, sebenarnya kamu adalah ibu yang baik. Kamu pasti menjaganya dengan baik pula. Saya lebih tenang jika tidak ada Alif di antara kalian." Maira bicara dengan helaan napas lega dari seberang sana. "Ratu pasti akan menjadi anak baik selama bersama kamu. Karena Mbak Sumi adalah ibu