"Kenapa Tante?" Seketika Analea menghentikan mobilnya di tepi trotoar. "Itu ... itu ada Bang Gondrong!" Mira menunjuk seorang pria yang berjalan ke arah rumah Maira. "Bapak tua yang rambutnya panjang itu?" tanya Analea sambil menoleh pada pria yang ditunjuk Mira. Netranya melebar karena merasa mengenali pria gondrong itu. "Mau ke mana dia? Apa mungkin mau ke rumah Mama?" tanya Analea yang mulai panik. "Tante, bagaimana kalau beli motornya kita tunda besok? Aku khawatir ada apa-apa di rumah." Analea melirik arlojinya. Kemungkinan showroom pun sebentar lagi akan tutup. Mira terdiam. Analea menatapnya dengan tatapan memohon. Setelah berpikir beberapa saat akhirnya Mira mengangguk. "Besok bener, ya Ana!" Kali ini Mira yang memohon. "Iyaaa, aku janji! Sekarang kita ikutin dulu laki-laki itu." Analea memutar balik mobilnya, lalu kembali melajukan ke arah rumahnya. Satu tangan Analea mencoba menghubungi. Seseorang lewat ponselnya. " Hallo, Ma! Barusan Tante Mira lihat pria yang dip
"Ayo, Lea!" Fabian menggenggam jemari Analea dan membawa wanita itu turun dari mobil. Analea melihat Alif dipaksa keluar dari mobil oleh orang-orang kepercayaan Fabian, dan membawanya menuju aula belakang rumah Maira. "Kenapa dibawa ke aula, Kak?" tanya Analea. "Ini semua atas perintah Pak Rein. Lea tidak perlu khawatir. Pak Rein sudah sangat paham dengan hal seperti ini. Semua sudah dia perhitungkan." "Daddy sudah sangat paham hal seperti ini?" ulang Analea dalam hati. Wanita bermata teduh itu mengangguk samar, meski timbul banyak pertanyaan baru di benaknya tentang siapa sang Daddy sebenarnya? Mungkin ia akan tanyakan langsung suatu saat nanti. "Ana, ana! Apa tante ikut ke sana juga?" Mira tergopoh-gopoh menghampiri Analea. Ia melirik sekilas pada Fabian yang menggandeng Analea cukup intim. Wajah Fabian begitu dingin dan sedikitpun tidak menoleh pada Mira. Analea melihat kebingungan pada wajah Mira. "Oh ya, Tante, ini Kak Bian, calon suami aku." "Oo ... iya." Mira mengangguk
"Daaad ...! Usir aja mereka, penjarakan sekalian! Aku nggak mau hidup dengan mereka. Aku tetap ingin jadi anak Daddy." Ratu terus bicara sambil terisak. Pelukannya pada Rein semakin erat. Tanpa sadar netra pria bule itu telah berkaca-kaca. Dadanya bergemuruh mendengar tangisan Ratu. Putri yang ia rawat dan ia besarkan dengan penuh kasih sayang. Putri yang ia manjakan dengan setengah mati. Apapun yang diminta oleh Ratu pasti ia berikan. Sekalipun nyawanya harus ia korbankan. Rein selalu menjaga agar Ratu tidak pernah menangis. Karena ia akan terluka jika Ratu sampai menangis. Sebesar itu cintanya pada Ratu. Kini, tiba-tiba saja ia menerima kenyataan bahwa Ratu bukanlah putrinya. Kebenaran yang terungkap bahwa Ratu justru anak dari orang yang paling ia hindari sejak dulu. Ratu bukanlah darah dagingnya. Ratu yang mati-matian ia jaga sepenuh hati sejak bayi, ternyata anak dari orang yang menyebabkan putri kandungnya menderita selama puluhan tahun. Rasa bersalah pun terus kian mendarah d
"Jangan tangkap mereka, Daad!" Semua orang yang ada di aula itu menoleh pada Ratu dan menatap wanita itu dengan tatapan tak percaya. Sementara tangisan Sumi terhenti, demi ingin memperjelas pendengarannya. Wanita paruh baya itu pun tersenyum samar. Ia menoleh pada Alif tanpa menghentikan senyumannya. "Kamu yakin dengan ucapanmu, Ratu? Kamu ingin mencoba membela kedua orang tuamu?" tanya Rein ragu-ragu. Seakan baru menyadari ucapannya sendiri, Ratu gelagapan dan gugup. "Mm-maksud aku ... mmm-maksud aku, kalau sampai mereka ditangkap, aku khawatir mereka akan menjadi dendam atau lebih jahat, Dad." "Hmmm ... apa kamu mau menjamin mereka?" Rein memandang Ratu dengan serius."A-apa, Dad? M-menjamin?" Wajah Ratu berubah bingung. Ia kembali melirik pada Sumi dan Alif. Ada kebimbangan pada wajahnya. "Ya. Tapi kalau tidak, para polisi ini akan membawa mereka," jelas Rein lagi. Ratu tak lagi bicara. Ia hanya memandangi Alif dan Sumi bergantian. Wajah wanita itu tampak bimbang dan ragu.
"Bagaimana rencana pertunangan kita?" Raihan bicara tanpa menoleh pada Ratu. Saat ini mereka sedang makan siang bersama di salah satu restoran yang berada tak jauh dari Anggada Jaya. "Kamu atur aja! Aku mau tinggal beres," sahut Ratu yang juga tetap fokus pada menu makan siangnya. "Kedua orang tua kita ingin kita bertunangan sebelum Analea menikah. Berarti minggu depan kita sudah harus bertunangan." Kali ini Raihan mengangkat wajahnya untuk menoleh pada Ratu. Belakangan ini menurutnya Ratu tidak terlalu ketus seperti biasanya. "Kita pakai WO saja. Nanti biar asistenku yang atur semuanya," lanjut Raihan. "Ya, itu lebih baik. Pokoknya, aku tinggal beres," ulang Ratu. "Apa kamu tidak ingin menentukan tema seperti apa yang kamu mau?" Ratu menggeleng. "Terserah aja. Bebas." Kening Raihan berkerut. Ia memandang Ratu yang masih saja tidak menoleh padanya. Wanita itu terus fokus menikmati makan siangnya. "Kamu yakin?" tanya Raihan lagi. "Yakin. Lagipula tujuan pertunangan ini berbed
"Jangan ngomong sembarangan! Enak aja nuduh aku main sama om-om!" sahut Ratu tak terima. Raihan menyeringai, lalu kembali bergumam. "Apes aku! Ternyata dapat barang bekas!" "Raihaaan!" jerit Ratu tertahan. Andai saja para tamu dan keluarganya sudah tidak ada di ruang gedung yang luas itu, mungkin ia sudah protes habis-habisan pada Raihan. "Untung saja pertunangan ini bukan yang sebenar-benarnya," lanjut Raihan lagi hingga Ratu kembali diam. Ia pun menyadari tujuan mereka bertunangan memang hanya untuk menjalankan misi masing-masing. Acara pertunangan Ratu dan Raihan selesai. Saat keduanya sedang di kamar rias masing-masing dan bertukar pakaian, para keluarga masih berkumpul dan berbincang di lokasi acara. "Rein, aku senang. Akhirnya kita bisa berbesan dan menjadi satu keluarga." Yuda menepuk pelan bahu Rein. "Sebaiknya kita percepat pernikahan mereka," tambah Salma. "Tidak, nanti saja setelah Analea dan Fabian menikah," sahut Rein tersenyum melirik pada Analea dan Fabian. Salm
"Apa maksudmu? Mereka tertukar?" Wajah Yuda menegang. Ia memandang Rein sahabatnya itu dengan intens. "M-maaf, Yuda. Tepatnya ..., ada yang menukar mereka. Hal ini baru kami sadari setelah mereka dewasa. Kami juga sudah melakukan test DNA." Rein mulai merasa bersalah dan gugup. "Mas Yuda, duduklah! Kita bicarakan hal ini dengan tenang!" Suara lembut Salma terdengar menenangkan. Wanita itu berhasil kembali mengajak Yuda untuk duduk di sampingnya. "Kenapa kamu begitu ceroboh, Rein? Tidak biasanya kamu seperti ini." Yuda mendengkus kasar. "Mas Yuda, Rein juga manusia biasa yang tentunya tidak sempurna. Tenanglah dulu!" Salma mengusap.lengan Yuda hingga pria itu kini lebih tenang dan duduk bersandar."Ya, aku manyesal. Padahal dulu Maira sudah ber usaha mengingatkan aku bahwa ia merasa anak yang ia rawat berbeda dengan yang ia lahirkan. Tapi, aku sudah terlajur jatuh cinta pada Ratu hingga menganggap Maira mengada-ada saat itu." Rein menjelaskan dengan pelan. "Siapa yang melakukan
"Ana, bagaimana persiapan pernikahanmu, Sayang? Acaranya dua hari lagi. Apa yang harus mama kerjakan?" Maira menghampiri Analea yang baru saja selesai menelepon. Sejak setelah sarapan tadi, Analea tidak keluar kamar dan sibuk menghubungi beberapa orang lewat ponselnya. "Acaranya sudah siap semua, Ma. Lusa kita akan datang lebih pagi karena akan dirias dulu." Maira mengangguk. Kemudian kembali bicara. "Tapi sejak tadi mama lihat kamu sibuk sekali. Apa ada masalah?" "Sedikit pekerjaan kantor yang belum selesai, Ma. Tapi sudah beres, kok," sahut Analea. Meski ia sudah cuti beberapa hari ini, namun ada saja orang kantor yang menghubunginya. "Syukurlah. Kamu harus banyak istirahat," ungkap Maira yang ternyata diikuti oleh Rein di belakangnya. "Ehmm ... Ana, kalau begitu mulai besok biar Daddy yang ke kantor. Daddy dengar perusahaan memang sedang sibuk-sibuknya karena beberapa proyek besar yang berhasil kamu dapatkan." Analea terkejut melihat Rein tiba-tiba muncul. "Daad?" "Ya, Say
"Mengundang Raka? Apa itu perlu?" tanya Rein datar. Maira menghela napas panjang." Sayang, kita harus minta maaf pada Raka dan Kayla karena pernikahan Kaisar kemarin. Aku dengar, dia kecewa." Rein mendengkus kesal. "Bisa-bisanya dia kecewa. Seharusnya dia bisa memilih mana yang harus diprioritaskan. Lagipula, cuma gara-gara dia tidak bisa hadir, semua acara yang sudah direncanakan harus diubah begitu saja?" "Tapi dia papa kandung Kaisar, Rein!" bantah Maira. "Oh, jadi menurutmu Raka lebih berhak memutuskan semuanya daripada aku? Mengapa kamu tidak pernah mengerti, Kaisar itu lebih dari sekedar anak sambung untukku. Kami sudah bersama sejak dia baru bisa berjalan. Kamu pikir kemana Raka selama ini? Bisa-bisanya dia merasa sebagai ayah kandung yang harus diprioritaskan." Bicara Rein mulai meninggi. Hal ini membuat Maira menjadi panik. Ia tidak ingin Rein tiba-tiba sakit di hari bahagia ini. "Ya, Sayang. Sudah, ya. Maafkan aku," ucap Maira lembut. Ia langsung memeluk suaminya
Analea dan Fabian baru saja kembali dari rumah sakit setelah kelahiran anak pertama mereka. Maira dan Rein menyambut mereka dengan penuh antusias, sementara Fabian terlihat sangat hati-hati saat menggendong bayi mereka yang masih mungil. "Selamat datang kembali di rumah, sayang," ucap Maira sambil tersenyum hangat. Ia memeluk Analea dengan lembut. "Kamu luar biasa, Analea. Sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu!" Maira membawa anak dan menantunya ke ruang tamu. Analea, meski terlihat lelah, tersenyum lebar. "Terima kasih, Ma. Rasanya aku masih nggak percaya akhirnya bayi kecil ini ada di sini," ujarnya sambil memandangi bayi perempuannya yang sedang tidur nyenyak di pelukan Fabian. Saat ini mereka sudah berada di ruang tamu rumah mewah itu. Rein yang berdiri di sebelah Maira tampak tersenyum bangga. "Ini cucu pertama kami. Rasanya seperti mimpi melihat kalian pulang dengan bayi mungil yang cantik," ucapnya sambil menepuk pelan bahu Fabian. Fabian tersenyum lega. "Kami juga merasa
Setelah tiga hari berada di hotel, pagi itu Kaisar dan Kanaya memutuskan untuk sarapan di restoran hotel sebelum melanjutkan rencana liburan singkat mereka. Meski tubuh sedikit lelah setelah melewati malam-malam yang panjang, kebahagiaan terus terpancar dari keduanya. "Maafin aku, Sayang. Aku belum sempat membawamu berlibur ke luar kota atau ke luar negeri. Rencananya setelah proyek terakhir ini selesai, aku akan mengajakmu ke suatu tempat yang indah dan tentunya cukup jauh." Kanaya tersenyum haru."Nggak apa-apa, Mas. Selama Mas ada di dekatku, bagiku di mana aja nggak masalah. Liburan di hotel ini pun sudah bikin aku bahagia. Pokoknya asal kita selalu bersama." Kanaya menatap Kaisar dengan lekat. Mendapatkan tatapan yang berbeda dari istrinya, Kaisar jadi berdebar dan salah tingkah." Aku suka kamu tidak lagi malu-malu, Sayang." Kaisar menjawil hidung mancung Kanaya. Keduanya tertawa kecil penuh kebahagiaan. Di saat sedang menikmati momen santai itu, tiba-tiba seorang pelayan men
“Ini dari Mama,” ucap Kaisar pelan sambil mengangkat telepon. “Halo, Ma?” Suara Maira terdengar penuh semangat di ujung telepon. “Kaisar! Kamu di mana? Analea sudah melahirkan!” Kaisar langsung terkejut. “Apa? Analea sudah melahirkan? Sekarang, Ma?” “Iya! Kami sudah di rumah sakit sekarang. Ayo cepat ke sini, Kaisar. Kalian harus segera datang,” jawab Maira dengan penuh kegembiraan. Kaisar menoleh ke arah Kanaya yang sudah berdiri di belakangnya. “Analea sudah melahirkan, Naya. Kita harus ke rumah sakit sekarang.” Mata Kanaya langsung berbinar. “Beneran, Mas? Ya ampun, aku harus segera siap-siap!” Kaisar tersenyum melihat antusiasme istrinya. “Iya, beneran. Ayo cepat kita berangkat.” Tanpa menunggu lama, setelah membersihkan diri dan berpakaian, Kanaya segera mengambil tas kecilnya, sementara Kaisar sudah siap di depan pintu. Mereka berdua keluar kamar dan menuju lobi hotel dengan cepat. Di perjalanan, Kanaya tampak begitu bersemangat. “Aku masih nggak nyangka, Mas. Kak Analea
“Naya, ini malam yang kita tunggu-tunggu,” bisik Kaisar sambil menatap istrinya dengan penuh cinta. Kaisar membuka pintu kamar dengan perlahan, lalu mengajak Kanaya masuk. Kamar itu dihiasi dengan bunga-bunga mawar yang wangi dan lilin-lilin kecil yang menambah suasana romantis. Kaisar menggenggam tangan Kanaya, lalu menuntunnya untuk duduk di tepi ranjang. Kanaya tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih terlihat sedikit gugup. “Iya, Mas. Aku masih nggak percaya ini benar-benar terjadi.” Kaisar mengusap pipi Kanaya dengan lembut, lalu mengecupnya pelan. “Kamu nggak perlu takut. Aku akan selalu ada untukmu, sekarang dan selamanya.” Kanaya merasakan debaran di dadanya semakin kencang. “Terima kasih sudah mau menjagaku, Mas. Aku juga merasa sangat bahagia malam ini.” Mereka berdua saling menatap, merasakan betapa dalam cinta yang kini mengikat mereka. "Naya ...," bisik Kaisar. Ia menggeser tubuhnya hingga nyaris tak berjarak lagi dengan Kanaya. Satu tangannya mengusap lembut bibir
Malam itu, hotel mewah tempat resepsi berlangsung dipenuhi oleh tamu-tamu dari berbagai kalangan. Lampu kristal yang bergemerlapan menambah kemewahan suasana, sementara karpet merah yang terbentang menyambut setiap tamu yang datang. Kaisar dan Kanaya sudah siap di belakang panggung, menanti giliran mereka untuk memasuki ballroom utama sebagai pasangan suami istri yang resmi. “Kamu siap, Naya?” tanya Kaisar dengan senyum lembut, sambil menggenggam tangan istrinya yang sedikit gemetar. Kanaya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar-debar. “Aku siap, Mas,” jawabnya. Di ballroom utama, para tamu sudah mulai berkumpul. Banyak wajah yang familiar hadir. Para karyawan yang mengenal Kanaya dan Kaisar datang mengenakan pakaian terbaik mereka. Beberapa dari mereka tampak saling berbicara pelan, masih terkejut dengan kabar bahwa asisten pribadi bos besar mereka ternyata adalah istrinya sendiri. “Aku nggak nyangka banget, ternyata Kanaya benar-benar istri Pak Kaisar,” bisik salah satu
Setelah beberapa saat mencari, Kaisar akhirnya melihatnya. Di sana, di depan makam ayahnya, Kanaya duduk sambil memeluk lututnya. Tubuhnya tampak gemetar, sementara isak tangisnya terdengar pelan di antara keheningan. Kaisar berjalan mendekat dengan hati-hati, tidak ingin mengejutkan istrinya yang sedang larut dalam kesedihan. “Naya ...,” panggilnya pelan, suaranya penuh rasa bersalah. Tapi rasa sayang itu terasa makin mendalam. Kanaya tersentak. Gadis itu terdiam sejenak, sebelum menoleh ke arah suara itu. Matanya yang bengkak menunjukkan betapa berat beban yang ia rasakan saat ini. "Mas ... kenapa menyusulku? Kenapa Mas tinggalin Intan di sana?" Suara Kanaya terdengar parau. Sisa air mata masih membasahi wajah manisnya. Kaisar perlahan lebih mendekat. Ia berlutut di samping Kanaya, menatap mata Kanaya dengan penuh penyesalan. “Naya, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu terluka. Intan muncul tiba-tiba, dan aku terlalu terkejut hingga tidak tau harus melakukan
Kaisar memutar tubuhnya hendak memanggil Kanaya. Di tengah kebingungannya, ia ingin segera memperkenalkan Kanaya pada Intan dan memastikan bahwa tidak ada salah paham yang terjadi. Namun, begitu ia melihat sekeliling, ia tidak menemukan Kanaya di sana. "Kanaya?" panggilnya, memandang ke berbagai arah. Tidak ada jawaban. Kaisar mulai merasa panik. Ia mencoba mencari ke ruangan lain, berharap menemukan Kanaya sedang sibuk dengan sesuatu. Tapi setelah mencari ke dapur, ruang tengah, bahkan ke ruang persiapan, Kanaya tetap tidak terlihat. Kaisar semakin gelisah. "Kemana dia pergi?" gumamnya pelan, sambil mencoba menelepon Kanaya. Namun, tidak ada jawaban dari panggilan itu. Perasaannya mulai tak karuan, seolah ada yang menindih dadanya. Di tengah kegelisahannya, Kaisar melihat Maira dan Rein mendekat. Wajah Maira tampak khawatir, sementara Rein berusaha tetap tenang. “Ada apa, Kaisar? Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Maira dengan nada cemas. Kaisar menghela napas, mencoba menaha
Bab 26: Kedatangan yang Tak Terduga Rumah besar dan mewah milik Maira dan Rein dipenuhi dengan aktivitas sejak pagi itu. Persiapan resepsi pernikahan Kanaya dan Kaisar yang akan digelar malam ini tengah berlangsung dengan penuh semangat. Maira berkeliling memastikan semua detail dipersiapkan dengan sempurna, sementara Kaisar dan Kanaya membantu semampu mereka. Analea dan Ratu pun ikut membantu Maira. “Kaisar, nanti jangan lupa ke ruang ganti untuk cek lagi setelan jasnya, ya,” ujar Maira sambil memeriksa daftar tamu undangan. Meski mereka memakai jasa WO, Maira tak ingin ada hal sekecil apapun yang terlewat. “Iya, Ma,” jawab Kaisar sambil tersenyum, lalu beralih ke Kanaya yang tampak sibuk dengan telepon genggamnya, memastikan tamu dari pihaknya juga sudah menerima undangan. Ia juga menyiapkan transportasi untuk para keluarganya dari Bogor.Setelah kembali dari ruang ganti, Kaisar kembali menemani Kanaya yang masih mendata para tamunya di ruang tamu. Mereka yang sedang duduk di sof