“Ini Mami baru mau pulang, Sayang.”Feli menjepit gagang telepon dengan telinga dan bahu sembari merapikan barang-barangnya di atas meja.“Hm-hm. Oh? Ada Aunty Naya? Berdua di sana?” Ia mengerutkan kening karena heran kenapa Kanaya—adik ketiganya, bisa ada di apartemen baru Xavier.“Yup, aku di sini, Kak. Tadinya aku mau mengunjungi orang yang terus-terusan pamer punya apartemen baru. Eh! Malah ada keponakan aku yang lucu di sini,” timpal Kanaya sembari terkekeh.“Awas, Xavier! Dia ngasih tahu kamu punya apartemen baru, tapi ke Kakak nggak.” Feli berdecak lidah. Ia sempat melirik arloji yang sudah menunjuk pukul delapan malam. “Di mana dia sekarang?”“Kak Xavier sudah berangkat dari tadi. Katanya mau jemput Kakak.”“Padahal sudah aku bilang mau naik taksi aja,” gerutu Feli, “Nay, coba deh telepon dia, suruh nunggu di Angel Bread. Aku mau beli kue dulu buat Kimmy.”“Oke. Tapi jangan cuma Kimmy doang dong yang dibeliin, kalau aku ileran gimana?” protes Kanaya.Feli terkekeh-kekeh. Ia la
Dan aku… juga merindukanmu.Kalimat itu tertahan di kerongkongan Archer. Tentu saja. Ia tidak akan pernah mengutarakan kata-kata itu yang selama tiga hari ini memang ia rasakan.Selama ini Archer tidak merasa kehilangan Feli, sekalipun ia pergi berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu. Itu karena ia tahu, Feli akan selalu ada di rumah bersama anak mereka. Tidak ada yang perlu Archer pikirkan.Namun selama tiga hari terakhir, setelah apa yang sudah ia lakukan pada anak dan istrinya di hari pelaksanaan Family Gathering itu, tiba-tiba ada rasa asing yang Archer rasakan selain perasaan bersalah. Mungkin… merasa kehilangan? Entahlah. Archer benar-benar tidak paham dengan perasaannya sendiri.Saat itu ia tidak tahu di mana keberadaan Feli dan Kimberly, ditambah lagi dengan surat gugatan cerai yang ia terima pagi itu, membuat Archer marah, geram dan kalut dalam waktu bersamaan.“Minggir!” desis Feli dingin sembari mendorong dada Archer saat pria itu lengah. “Aku harus keluar dari—Akh!”Feli
“Aku bilang lepaskan dia, sialan!”Archer yang belum benar-benar menyiapkan diri seketika terhuyung dan jatuh ke aspal ketika sebuah bogem mentah mendarat di rahangnya dengan sangat keras.Archer menatap Xavier dengan tatapan tak kalah tajam. Ia lalu menumpukan satu telapak tangannya pada aspal sembari mengangkat tubuhnya hendak berdiri.Namun, belum sempat Archer menegakkan tubuhnya, tonjokan Xavier di perut lalu disusul dengan tendangan keras di kaki, membuat Archer kembali terjerembab ke aspal sembari mengerang menahan rasa sakit. Ia lalu terbatuk-batuk.Archer bukan lelaki lemah. Setidaknya ia sudah menguasai beberapa jurus bela diri. Akan tetapi karena saat ini Xavier tidak memberinya kesempatan untuk menyiapkan diri, membuat Archer mudah dibuat babak belur.Archer kembali berdiri lalu melayangkan tinju pada rahang Xavier hingga membuat Xavier terhuyung ke belakang.“Aku nggak mau melukaimu,” ucap Archer sembari mengusap sudut bibirnya yang berdarah. “Tapi aku melakukannya untuk
Pagi itu Feli terbangun dengan kepala yang terasa pening dan tubuh lemas. Ia menyingkap selimut, lalu duduk sambil memijat pelipis. Ia lantas terkejut begitu melihat jam di nakas yang sudah menunjukkan pukul delapan pagi.“Aku kesiangan,” gumamnya sambil berdecak lidah.Seakan teringat sesuatu, Feli lantas meraih gagang telepon kemudian menekan nomor telepon Cecilia. Sambungannya terangkat di dering kedua.“Mbak Cecil, ini aku, Feli. Apa Mbak sibuk sekarang?”“Yeah... ayahmu lagi membuatku sibuk untuk mengurus sengketa tanah yang akan jadi miliknya.” Cecilia terkekeh di seberang sana.Feli hanya meringis.“Tapi aku punya banyak waktu buat kamu. Ada apa? Archer memberikan surat yang sudah dia tanda tangani ke kamu?”“Itu dia masalahnya.” Feli menghela napas panjang. Ia sempat melihat Kimberly yang masih terlelap di sampingnya. “Archer nggak terima, dia nggak akan menceraikan aku.”“Itu artinya dia masih menginginkan kamu, Feli, terlepas dari apa yang selama ini dia lakukan padamu. Hati
“Mau sampai kapan kamu begini terus?”Archer memicingkan mata pada Tevin yang baru selesai melilitkan perban di dadanya. “Terus begini gimana maksudmu?”“Menyakiti dirimu sendiri.”“Aku begini karena dihajar adik iparku, bukan sengaja menjatuhkan diri dari atap,” sergah Archer sembari berdecak lidah.Mendengar jawaban Archer yang menurutnya tidak nyambung, Tevin pun mengembuskan napas kasar. Sambil merapikan peralatannya ia kembali berkata, “Aku rasa kamu tahu apa maksudku. Jangan pura-pura bodoh.”Seketika Archer terdiam. Tubuhnya kini dililit perban di beberapa bagian tubuh yang dapat ditutupi pakaian. Sementara wajahnya banyak luka memar yang sedikit membengkak.Beberapa jam yang lalu Archer akhirnya pulang dijemput oleh sopir pribadinya. Anak buahnya yang ia suruh untuk menguntit Feli diam-diam, sempat menghubungi sopir di rumah.Melihat Archer masih terdiam, Tevin berkata lagi, “Apa kamu sadar dengan apa yang kamu lakukan selama ini, Archer?”Archer hanya menatap Tevin dengan mal
Setelah Kimberly bicara yang mampu membuat Archer tertohok, akhirnya Feli bisa belanja dengan bebas hanya berdua saja dengan putrinya.Kini ia membawa barang belanjaannya keluar menggunakan troley. Namun, ia heran kenapa sopir yang disediakan Xavier—yang tadi mengantarnya kemari, kini tidak membantunya? Padahal Feli sudah menelepon agar menghampirinya untuk membawa barang belanjaan ini ke mobil.“Sopirnya sudah aku suruh pulang.”Mata Feli membeliak manakala melihat sosok jangkung dan tegas itu di hadapannya.“Oh. Oke.”Tanpa basa-basi Feli segera membuka aplikasi ojek online. Tapi ia berusaha menahan kejengkelannya ketika Archer merampas ponselnya dengan cepat.Archer tersenyum miring. “Ponsel baru rupanya. Pantas saja susah aku hubungi.”“Kembalikan,” desis Feli setengah berbisik, khawatir di dengar Kimberly yang tampaknya masih enggan bicara dengan ayahnya. Anak itu berdiri sambil memakan es krim.Archer tidak menghiraukan ucapan istrinya. Ia malah mengetik nomor teleponnya lalu me
Feli menggenggam handle pintu, lalu bertanya sembari menarik pintu itu lebar-lebar. “Naya, ada apa siang-siang ke si… ni?”“Menjemputmu pulang!”Mata Feli membeliak. Lalu detik itu juga ia menutup pintu lagi tapi gerakannya segera ditahan oleh pemilik tangan kokoh dengan urat-uratnya yang menonjol itu.“Kenapa kamu bisa masuk ke sini?” desis Feli dengan ekspresi dingin.Archer tak menjawab. Ia mendorong pintu tersebut hingga terbuka lebar kembali, lalu ia memanfaatkan kesempatan itu untuk masuk sambil mendorong Feli dan memenjarakannya ke dinding. Pintu otomatis tertutup dan mengunci sendiri.“Jangan berani macam-macam denganku, Archer!” desis Feli lagi sambil berusaha melepaskan kedua tangannya yang di kunci di atas kepala.“Jangan mengusirku! Atau kejadian seperti di mobil kemarin malam akan terulang kembali!” tegas Archer dengan nada penuh ancaman.Feli membuang napas kasar. Bukannya ia takut pada ancaman primitif itu, tapi ia tidak ingin disentuh Archer lagi.“Kimmy ada di kamar i
“Kalau aku memintamu memilih… antara mempertahankan pernikahan kita dan Belvina, mana yang akan kamu pilih, Archer?” Satu sudut bibir Feli terangkat. “Aku dan Kimmy, atau… kekasihmu yang sangat kamu cintai itu?”Archer sedikit terhenyak mendengarnya. Lidahnya bahkan mendadak terasa kelu. Ia hanya menatap Feli dengan tatapan yang sangat sulit diartikan.“Oke. Lupakan.” Feli langsung beranjak dari sofa dan menyeret langkahnya menuju kamar. Ia sudah bisa menebak siapa yang akan dipilih pria itu. Tentu saja Belvina. Toh, pernikahan ini terjadi pun hanya karena ingin membalas dendam atas apa yang terjadi kepada wanita itu, pikir Feli sembari tersenyum pahit.Archer masih bergeming di tempat duduknya ketika Feli kembali ke ruang televisi dengan satu bantal dan selimut.“Aku akan tidur di sini kalau kamu pengen tidur bareng Kimmy,” ucap Feli dingin. Sebenarnya masih ada dua kamar lain, tapi ruangan ini yang paling dekat dengan kamarnya, berjaga-jaga jika Kimberly mencarinya.Archer menoleh s
Setelah hampir empat jam mengasuh putra dan putrinya, Malik akhirnya bisa bernapas lega saat bertemu lagi dengan Kimberly. Raut muka istrinya itu tampak lebih cerah dan ceria. Sepertinya Kimberly sudah tidak badmood lagi gara-gara Malik berfoto dengan Yoana tadi.“Gimana anak-anak? Mereka rewel nggak?” Kimberly mengambil alih anak perempuan berpipi chubby dari pangkuan Malik.“Rewel sih nggak, tapi yah… cukup membuatku berkeringat.” Malik tersenyum dan mengedikkan bahu.Kimberly mengamati suaminya sesaat, lalu tertawa karena penampilan pria itu tampak acak-acakan. Ia mengecup pipi Malik dan berkata, “Terima kasih udah kasih aku waktu buat me time.”Malik mengerjap dan memegangi pipinya sambil bergumam, “Kita harus pulang sekarang, Sayang.”“Kenapa? Kan belum beli susu buat Timur di supermarket.”“Malam ini kita titipin anak-anak di Mami sama Papi aja, ya? Besok kita ambil lagi mereka pagi sebelum aku—Oke oke! Nggak jadi, aku cuma bercanda,” ralat Malik dengan cepat saat Kimberly mencub
Empat tahun kemudian.“Eh? Bukannya dia mantan pembalap itu, ‘kan?”“Iya, Jeng, yang kemarin ramai dibahas sama hampir semua orang tua murid itu, Jeng.”“Anaknya beneran sekolah di sini?”“Iya.”“Yang bener? OMG! Kita bakalan ketemu dia terus dong! Ganteng banget ya Tuhan.”“Itu kalau setiap hari dia antar jemput anaknya.”“Eh! Emang setiap hari tauk! Kalian berdua aja yang baru lihat. Pagi dan siang dia selalu antar jemput.”“Duh, suami idaman banget sih…. Beruntung banget yang jadi istri dia. Udah ganteng, kaya, perhatian sama anak, lagi. Ya Tuhan, mau yang begini satu aja, please.”Malik menghela napas berat. Ia tidak bermaksud menguping pembicaraan tiga atau empat wanita—entah yang pastinya berapa orang karena Malik tidak begitu memperhatikan—yang sedang membicarakan dirinya, tapi suara mereka terlalu jelas di telinga Malik, sehingga mau tidak mau ia harus mendengarkan dirinya menjadi bahan gosip ibu-ibu.Sudah satu minggu Timur masuk sekolah ke playgroup. Setiap hari Malik selalu
“Sayang! Gimana kondisi kamu? Apanya yang sakit?!” tanya Malik dengan raut muka menegang sambil berlari menghampiri ranjang yang ditempati Kimberly. “Perut aku sakit… pinggang aku juga panas.” Kimberly meringis kesakitan. Namun ada yang berubah dalam sorot matanya, ia seolah-olah merasa lega dan aman setelah melihat kedatangan suaminya. Malik merundukan badan, memeluk Kimberly dan mengecup keningnya berkali-kali. Ia berbisik, “Sabar, ya. Maaf aku terlambat.” “Bau!” Malik terkejut saat Kimberly mendorong dadanya. “Eh? Kenapa? Siapa yang bau?” “Kamu,” jawab Kimberly seraya menggigit bibir bawah, menahan rasa sakit yang kembali menyerang dan rasanya tak tertahankan. “Kamu bau debu.” “Ah, ini….” Malik menggaruk tengkuk dan menghidu tubuhnya sendiri. “Barusan aku naik motor, Sayang. Soalnya di jalan macet banget, nggak mungkin bisa sampai dengan cepat kalau aku tetap pakai mobil,” jelasnya sambil menggenggam tangan sang istri. “Apa perlu aku ganti baju dulu? Tapi aku nggak bawa baju c
7 bulan kemudian.“Kakak, jangan lupakan aku. Aku juga adik kamu, adik yang paling ganteng!”“Diam!” Kimberly menjauhkan wajah Ernest dari hadapannya. “Kamu ngehalangin pemandangan aku tahu nggak?”Ernest cemberut.Kemudian Kimberly tersenyum lebar pada bayi berusia 4 bulan yang baru saja membuka mata, di atas kasur yang ia dan Ernest duduki.“Selamat siang Cheryl! Adiknya Kakak yang paling cantik! Nyenyak banget tidurnya ya?” goda Kimberly dengan nada bicara khas anak-anak.Cheryl tersenyum. Dia berguling sendiri hingga tengkurap.“Ugh! Jangan percaya sama kelembutan kakak kita, Dek, aslinya dia itu cerewet dan galak. Kamu kalau sudah besar nanti pasti jadi bahan omelan dia—auwh!” Ernest tiba-tiba mengaduh saat Kimberly menjewer telinganya.“Diam,” bisik Kimberly dengan kesal. “Jangan meracuni otak bayi dengan omongan kamu yang negatif itu ya!”“Aku ‘kan bicara apa adanya,” gumam Ernest sembari mengusap-usap telinga.Kimberly mendelik pada Ernest, lalu kembali tersenyum lebar pada Ch
“Gimana perasaan kamu?” bisik Malik seraya mengelus pipi Kimberly dengan lembut.Kimberly terdiam. Harusnya ia yang bertanya seperti itu kepada Malik.Detik berikutnya, Kimberly tersenyum lebar, tangannya mengusap-usap perut dan berseru riang, “Anak kita sepertinya senang banget, Babe! Dia bikin perasaan aku jadi makin bahagia setelah lihat kamu ngendarain motor balap barusan!”“Benarkah?” Malik ikut tersenyum lebar.Kimberly mengangguk cepat. Ia langsung melompat ke pelukan Malik, melingkarkan tangan di leher pria yang masih memakai baju balapan yang dulu sering dia pakai. Malik terlihat tampan sekali dengan baju itu, mengingatkan Kimberly akan kebersamaan mereka sebelum menikah.“Terima kasih, ya! Aku jadi rindu nonton kamu balapan.” Kimberly terkekeh, suaranya terdengar teredam karena bibirnya terbenang di pundak Malik. “Kalau kamu? Gimana perasaan kamu sekarang?”“Perasaanku?” ulang Malik.“Hm-hm. Apa barusan bisa mengobati kerinduan kamu sama balapan?”“Iya.” Malik bergumam dan m
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.25 waktu Andorra. Kimberly merebahkan tubuhnya di kasur berseprai abu tua. Matanya menatap plafon putih dengan penerangan lampu warm white.Mereka baru saja tiba di Andorra pukul 18.30 waktu setempat. Perjalanan ini atas inisiatif Kimberly yang mengidam ingin tidur di kamar Malik, di rumahnya yang ada di Andorra. Setelah mendengar keinginan istrinya, Malik langsung memesan tiket pesawat.“Ternyata begini rasanya ada di kamar kamu.” Kimberly terkekeh dan melirik Malik yang baru saja selesai memindahkan semua pakaian mereka dari koper ke dalam lemari.Tadi Kimberly berniat membantu, tapi Malik melarangnya dan malah menyuruhnya untuk istirahat.“Gimana rasanya? Aneh?” Malik melepas kaos putihnya dan menghampiri ranjang.“Nyaman banget!” Kimberly meringis, ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk menyambut Malik yang baru saja menaiki ranjang dan memeluknya. Tangan Kimberly mengalung di leher Malik.Ia sempat menahan napas dengan jantung berdebar-deb
“Tunggu! tunggu! Mami nggak salah dengar, ‘kan? Kamu… hamil?”Kimberly mengangguk cepat berkali-kali sembari tersenyum lebar.Feli tercengang. Ia dan Archer saling tatap satu sama lain dengan tatapan terkejut. Lalu detik berikutnya keduanya sama-sama menghela napas lega dan tertawa.“Ya Tuhan, terima kasih… Mami senang sekali dengarnya, Sayang!” ucap Feli dengan mata berbinar-binar dan memeluk Kimberly. “Pantas saja akhir-akhir ini Mami ngerasa ada yang berbeda sama kamu.”“Oh ya? Mami bisa ngelihat perubahan aku? Kok aku nggak?”“Mami ini ibu kamu, Kim. Selama dua puluh satu tahun tinggal bareng-bareng, masa Mami nggak bisa menyadari sesuatu yang berbeda sama kamu?” Feli terkekeh kecil, tangannya menepuk-nepuk punggung Kimberly. Ekspresi wajahnya terlihat cerah, secerah langit siang ini di luar sana. Walau air matanya tampak menggenang, tapi itu adalah tangis kebahagiaan.“Mami kok nangis?” tanya Kimberly sesaat setelah pelukannya terlepas. Ia cemberut seraya menangkup pipi sang ibu.
Gimana kalau sekarang Malik sedang mencari kesenangan di luar karena keadaan di rumah tidak membuatnya nyaman?Satu pertanyaan itu tiba-tiba membuat Kimberly menegakkan punggung. Wajahnya menegang. Air matanya seakan tak ingin berhenti mengalir saat membayangkan Malik melampiaskan kekesalannya dengan menghabiskan waktu bersama wanita lain.“Kamu jahat!” Kimberly menangis sambil membenamkan wajah di atas lutut. “Kamu main pergi begitu aja tanpa memikirkan perasaanku!”Setelah cukup lama menangis sendirian hingga ruangan kamarnya berubah gelap karena sudah memasuki malam, Kimberly akhirnya mandi supaya pikirannya lebih jernih.Dua puluh menit kemudian, ia sudah berganti pakaian dan tubuhnya terasa segar, tapi pikirannya tetap saja kacau. Kimberly mencoba menghubungi Malik lagi, tapi berakhir sia-sia.“Non Kimmy, mau makan malam, Non? Makanannya sudah siap di meja,” ujar Bik Nining yang menghampiri kamar Kimberly.Kimberly menggeleng lesu. “Aku nggak lapar, Bik. Nanti saja makannya.”“No
“Sayang, aku pulang!”Mendengar seruan Malik, secara spontan Kimberly terbangun dan menaruh remote di meja. Lalu ia bergegas menyongsong Malik ke pintu utama dengan langkah-langkah cepat.“Kamu bawa nasi lemaknya?” tanya Kimberly dengan mata berbinar-binar.“Bawa dong. Nih!”Kimberly tersenyum lebar saat Malik menunjukkan bingkisan di tangannya. Ia langsung merebut bingkisan tersebut. “Terima kasih!” serunya, ceria.Tepat saat Malik akan mengecup bibir Kimberly—sesuatu yang selalu Malik lakukan setiap kali pulang ke rumah, Kimberly tiba-tiba melesat pergi, membuat bibir Malik tidak punya tempat untuk berlabuh.“Hey! Kenapa pergi begitu aja?” protes Malik, yang tak ditanggapi Kimberly. Malik hanya menghela napas pasrah, lalu melangkah masuk mengikuti sang istri.Kimberly terlihat sedang menghidu aroma nasi lemak yang masih terbungkus. Malik tersenyum, lalu mengambil piring bersih dan menaruhnya di meja.“Ini pasti kerjaan kamu nih, Mama kamu senang banget cuma dapat nasi lemak doang,”