Aku langsung bangkit dari tempat duduk, dengan tujuan untuk menghampiri Almira, siapa laki-laki yang kini tengah bersamanya. Bukan cemburu ya, catat! Mana mungkin seorang Hans Al-Farabi cemburu. Cuma memastikan saja, sekaligus ingin menegurnya.
Bisa-bisanya dia berdua-duaan dengan laki-laki asing, sedangkan dia berstatus istri. Kalau sampai orang tahu aku suaminya bisa merusak martabatku sebagai seorang kepala rumah tangga."Hans, mau kemana kamu?" tanya Mama begitu melihat aku bangkit."Eum ... A-anu, i-itu ...." Aku sampai gugup, bingung mau bilang apa."Apaan sih a-i-u, a-i-u gak jelas gitu," potong Mama cepat."Toilet. Ah, iya aku mau ke toilet dulu," kilahku sembari memegangi perut, pura-pura kebelet. Aku tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya bisa-bisa Mama marah."Ya sudah sana! Jangan lama-lama," ucap Mama.Aku tidak menjawab dan segera melangkah ke arah Almira berada."Khem ...," ucapku begitu sampai.Almira dan laki-laki itu langsung menoleh, dan menatap dengan heran. Sementara aku langsung melipatkan tangan di dada sembari memasang wajah tak suka."Siapa? Kamu kenal?" tanya lelaki itu ke Almira."Eum ... Teman," jawab Almira, terlihat ragu.Laki-laki yang ketampanannya di atas rata-rata itu nampak manggut-manggut, sementara aku kesal setengah mati bisa-bisanya Almira bilang kalau aku ini temannya."Aku ___" Kalimatku terjeda mana kala tiba-tiba ponsel lelaki itu berdering."Maaf, sebentar," ucapnya. Lalu, laki-laki itu pun langsung melihat ponselnya."Eum, maaf ya Mir. Sepertinya aku harus segera pamit deh, soalnya barusan nyokap minta di jemput," jelas lelaki itu."Oh gitu, ya udah kalau gitu. Fi amanillah ya!" ucap Almira ke lelaki tersebut."Ma'assalamah," jawabnya tersenyum. Apa-apaan mereka? "Eum ... Maaf saya duluan," ucapnya sembari tersenyum dan mengangguk ke arahku.Aku hanya cuek saja, apa peduliku. Lagian Almira ngapain ngucapin kalimat itu juga ke lelaki itu, bukannya itu cuma buat aku? Ya walau pun kuakui memang gak ngerti apa artinya.Usai pamit, lelaki itu pun segera berlalu."Mas Hans, ngapain ke sini?" tanya Almira tanpa merasa bersalah."Harusnya aku yang nanya, ngapain kamu sama laki-laki itu? Ngapain juga kamu pake ngucapin kalimat itu ke dia? Bukannya itu khusus buat aku?" tanyaku tak suka, dengan tangan masih terlipat depan dada.Alis Almira langsung terangkat sebelah sembari menatapku dengan tatapan heran. Lalu, tanpa menjawab pertanyaanku ia segera melangkah. Memang istri gak ada akhlak, ditanya suami bukannya ngejawab malah ngeloyor pergi."Hei, mau kemana kamu, kamu belum jawab pertanyaanku?" ucapku kesal."Mas ngapain ngurusin aku, bukannya Mas tadi bilang kalau kita harus pura-pura gak saling kenal?" tanyanya."Siapa juga yang mau ngurusin kamu, kurusin aja sendiri," jawabku asal sekaligus kesal. Lalu, segera berlalu meninggalkannya. Lebih baik aku saja yang meninggalkannya, dari pada dia bisa rusak martabatku sebagai lelaki.Aku yakin saat ini Almira pasti sangat kesal denganku. Tapi, aku tidak peduli. Toh harusnya aku yang kesal dengannya.Aku pun kembali ke meja bersama Mama dan teman Mama, tentunya juga sama Dinda."Dari mana aja kamu, lama amat ke toiletnya?" tanya Mama begitu aku sampai ke meja."Iya, tadi di toiletnya ngantri," jawabku asal, lalu tersenyum manis."Kamu ini ada-ada aja," balas Mama. Sementara Bu Hani dan Dinda hanya tersenyum mendengar jawabanku yang mungkin terdengar tidak masuk akal.Acara pun akan segera di mulai, aku memilih untuk duduk di sini, begitu pun Dinda. Sementara Mama dan Bu Hani memilih untuk mendekat ke tempat acara inti.Tinggal kami berdua di sini, hanya kecanggungan yang tersisa. Sesekali kami mencuri pandang. Saat mata kami bertemu semangkin menciptakan kecanggungan."Eum ... Jadi sekarang kamu sibuk apa?" tanyaku basa-basi demi bisa mencairkan suasana."Selain sibuk sebagai guru yoga biasanya aku jualan online gitu," jawabnya."Wah hebatnya masih muda tapi udah sukses, pacar kamu pasti beruntung banget ya punya pacar kayak kamu udah cantik sukses lagi," pujiku sembari tersenyum.Dinda balas tersenyum, wajahnya nampak memerah mendengar pujianku."Ah, Mas Hans bisa aja. Tapi, saya gak punya pacar, Mas," jawabnya tersipu."Ha, masa sih? Cewek secantik kamu gak punya pacar?" tanyaku tak percaya.Dinda kembali tersenyum. "Saya baru putus."Mendengar jawabannya aku terdiam sesaat. Mau tanya-tanya takut salah, sebenarnya penasaran kenapa mereka bisa putus."Soalnya dianya posesif banget, gak boleh gitu, gak boleh gini. Keluar harus minta izin dia aku gak suka dikekang," ungkapnya."Eum ... Bukannya itu bagus ya? Berarti, 'kan dia sayang sama kamu," ucapku sok tahu. Padahal dalam hati tidak benar-benar tahu, apa mencintai harus seperti itu terhadap pasangan."No, no. Itu bukan sayang tapi egois," jelas Dinda kentara sekali wajah kesalnya.Aku diam mendengar jawabannya, bingung mau bilang apa. "Begitu ya?" Akhirnya hanya kalimat itu yang keluar dari bibirku.Dinda mengangguk. "Kalau kamu sendiri?" tanyanya balik."A-aku ...." Entah apa yang harus kukatakan, haruskah aku jujur kalau sebenarnya kalau aku sudah menikah?"Cewek kamu pasti beruntung banget ya punya pacar kayak kamu, udah mapan tampan lagi," puji Dinda yang seketika membuatku salah tingkah.Walaupun sebenarnya aku mengakui itu, tampan dan mapan. Almira pastinya beruntung memilikiku. Coba kalau dia bersyukur pastinya dia pasti bisa merawat diri untuk tetap cantik. Mengingat itu aku jadi kesal sendiri."Mas Hans gak apa-apa?" tanya Dinda membuyarkan lamunanku."Eh, gak kok aku gak apa-apa," jawabku.Entah sudah berapa lama kami duduk di sini, acaranya pun sudah hampir selesai. Saat ini terlihat orang-orang tengah menikmati hidangan"Ya udah, kesana yuk!" ajaknya menunjuk ke arah tempat prasmanan. "Laper nih," lanjutnya, lalu bibirnya terlihat mengukir senyum. Senyum yang membuat jantungku langsung berdebar."Eum bo-boleh," jawabku gugup. Ah, kenapa aku jadi gugup begini?Kami pun berjalan menuju ke tempat prasmanan, saat akan mengambil makanan. Kulihat Almira juga akan mengambil makanan. Mata kami bertemu, sekilas ia melirik Dinda yang saat ini tengah berdiri di sebelahku. Lalu, detik berikutnya ia langsung berpaling seolah tidak mengenaliku. Meski kenyataannya wajahnya tidak bisa berbohong dan tengah menampakkan kekecewaan.Salah siapa tidak bisa merawat diri, kalau saja kamu tetap Istiqomah dengan kecantikanmu tentu saja aku tidak akan berpaling."Ayo, Mas!" ajak Dinda."Ah iya," jawabku lalu mengambil makanan secukupnya.Usai makan aku dan Dinda pun memberi ucapan selamat untuk Al dan pasangannya."Selamat ya, Al," ucapku sembari menyambut tangannya dan memeluk tubuhnya layaknya seorang teman."Makasih ya, Hans Lo udah datang." Aku hanya tersenyum sembari menepuk pundaknya.Untunglah waktu menikah Al gak Dateng karena ada urusan jadi dia tidak mengenali Almira. Kalau, tidak sudah tentu ia akan curiga kalau saat ini perempuan yang kini bersamaku bukan istriku.Usai memberi ucapan selamat, kami pun berpamit untuk pulang.Sebenarnya aku ingin sekali mengantar Dinda pulang. Tapi, itu tidak mungkin karena ada Almira. Ah, andai saja aku tidak mengajaknya tentunya tidak akan semerepotkan ini."Maaf, ya aku gak bisa nganterin kamu pulang," sesalku."Gak apa-apa, aku bawa mobil kok," jawab Dinda."Oh begitu, baiklah kalau begitu. Hati-hati ya!" ucapku.Aku pun segera melangkah ke mobil, kemana Almira jangan sampai dia membuatku menunggu lagi.Bersambung ...Tiba di parkiran aku segera masuk ke mobil, dan menyalakan lampu. Begitu lampu menyala aku tersentak saat tiba-tiba melihat seseorang duduk di kursi belakang kemudi."S-siapa kamu?" Aku bertanya tergagap, sembari memundurkan badan."Apaan sih, Mas kamu?" jawabnya. Aku kenal suara itu. "Almira? Ngapain kamu disitu?" tanyaku langsung dengan nada kesal. Sementara jantungku rasanya mau copot, dan tengah memompa lebih cepat dari biasanya gara-gara kaget."Ya nungguin, Mas lah. Ayo pulang!" jawabnya santai."Maksudku kenapa kamu bisa masuk, bukannya kunci mobilnya ada diaku?" tanyaku."Sepertinya tadi Mas lupa ngunci mobilnya, makanya aku bisa masuk."Dahiku langsung berkerut mendengar jawabannya. Masa iya aku lupa ngunci mobilnya? Ah, sudahlah mungkin juga apa yang dikatakannya benar."Eum ... Terus ngapain kamu masih duduk di situ? Cepat pindah! Kamu pikir aku supirmu?" tanyaku dengan nada ketus.Almira tidak menjawab tidak juga membantah, biasanya mendengar bentakan ku ia akan segera men
Gara-gara ucapan Almira aku jadi teringat sama Dinda, sedang apa dia sekarang? Aku lupa untuk minta nomornya semalam, kurasa dia juga lupa. Astaga kenapa kami bisa melewatkan hal sepenting itu?Padahal semalam kami sudah menghabiskan waktu cukup lama. Tapi, tidak terpikir untuk bertukar nomor ponsel. Kalau begini bagaimana aku bisa menghubunginya? Ah, sudahlah mungkin kami memang ditakdirkan untuk bertemu, lalu berpisah.Aku terus melajukan kemudi dengan kecepatan sedang, pagi-pagi begini sudah biasa ditemani macet saat akan berangkat ke kantor. Setelah hampir 30 menit menempuh perjalanan akhirnya aku tiba di kantor, waktu menunjukkan pukul 7 kurang lima. Aku pun langsung masuk ke gedung dan menuju ruangan kerja.Begitu sampai aku langsung melepaskan jas yang kupakai. Lalu, menaruhnya di belakang kursi. Memeriksa beberapa berkas sebelum memulai pekerjaan adalah hal biasa yang sering kulakukan. Coba lihat sedetail ini aku memperhatikan pekerjaan, apalagi kamu kalau saja bisa menyenang
Setelah menikah dengan Mas Hans, aku pikir akan bahagia. Bagaimana tidak, kami menikah karena saling mencintai. Dia adalah tipe penyanyang dan perhatian. Tapi, nyatanya tidak. Awal menikah iya, bahkan hampir bisa dipastikan setiap pasangan merasa bahagia.Apalagi saat Mas Hans tahu aku hamil, aku merasa menjadi perempuan paling bahagia, dia begitu memanjakanku. Semua apa yang kuinginkan selalu dipenuhinya."Mas bangun," ucapku sembari menggoyang tubuhnya."Eum ... Ada apa Sayang," ucapnya dengan mata masih terpejam. Lalu, menarikku ke dalam pelukannya."Coba lihat ini," ucapku sembari menunjukkan tespack.Mas Hans langsung memicingkan matanya menatap ke arah benda yang kutunjukkan. Lalu, dengan cepat mengubah posisi berbaringnya dengan sembari mengucek mata. Lalu, mengambil tespacknya."Kamu hamil?" tanyanya masih tak percaya dengan binar bahagia.Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Mas Hans langsung memeluk tubuhku dengan erat dan menghujani dengan ciuman."Ya Allah terima kasih, mak
Malamnya aku pulang, lampu di teras terlihat mati. Tidak seperti biasanya, kemana Almira kenapa lampu di teras tidak dinyalakan? aku memberengut kesal sembari turun untuk membuka pintu gerbang. Bahkan ia tidak menyambut kepulanganku seperti biasanya. Kemana dia?Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul 22 lebih 30. Setelah membuka pintu pagar, aku kembali ke mobil dan memasukkan mobil ke garasi.Usai kembali menutup pagar,aku melangkah menuju pintu utama, dan membukanya dengan kunci cadangan yang kubawa. Begitu masuk aku langsung menekan saklar lampu yang terhubung ke teras, ternyata lampunya yang bermasalah, mungkin sudah waktunya untuk di ganti.Aku mendesah pelan, berjalan menyusuri rumah yang nampak tak berpenghuni. Kemana Almira? Sampai di kamar aku juga tak menemukannya, apa dia pergi karena kejadian tadi siang? Aku menggeleng pelan, tidak. Tidak mungkin Almira bukan tipe perempuan seperti itu, kalau pun pergi dia pasti pamit. Jujur, ada pe
"Astaga Almira ...," ucapku begitu melihat penampilannya begitu-begitu saja.Aku pun langsung mengusap wajah dengan kasar, pulang-pulang berharap bisa melepas segala lelah malah dapat pemandangan yang membuat malas. Bagaimana tidak, perempuan yang sudah kunikahi hampir dua tahun ini benar-benar telah menjelma menjadi Almira yang berbeda.Tubuhnya tidak terawat, lemak dimana-mana bahkan wajahnya terlihat lebih tua dari usianya."Suami pulang itu harusnya kamu sambut dengan tampil cantik, bersih, wangi," jelasku saat memandangi penampilannya dari kepala sampai ujung kaki. Setidaknya dia bisa pakai pakaian yang pantas dan tidak beraroma bumbu dapur kayak gini. Aku menggerutu kesal.Perempuan yang tengah mengenakan baju daster lusuh dan longgar itu hanya tertunduk, wajahnya terlihat lesu dan lelah. Padahal kerjaannya cuma di rumah, sedangkan aku seharian di luar kerja banting tulang."Maaf, Mas!" Hanya kalimat itu yang akhirnya keluar dari mulutnya, sembari mengambil tas kerja yang ada di
"Ya ampun aku gak nyangka bisa ketemu Mas Hans di sini," ucapnya senang.Aku tersenyum, antara senang juga kaget melihatnya kembali. "Mas Hans suka olahraga di sini juga?" tanyanya lagi dengan mata berbinar."Eum ... Iya kalau lagi sempet, Mas juga gak nyangka bisa ketemu kamu di sini," jawabku sambil tertawa kecil dengan ekspresi senang.Dinda tersenyum, senyumnya terlihat begitu manis. Semanis gula Jawa, membuat jantungku bertalu-talu lebih cepat dari biasanya.Kenapa aku merasa grogi kayak gini ya? Ada suatu perasaan yang tidak biasa."Aku pikir setelah acara kemarin kita gak bakalan ketemu lagi," ucapnya dengan ekspresi terlihat merajuk, menggemaskan.Aku tersenyum, ah ternyata Dinda berpikir sama sepertiku. "Mungkin kita jodoh," kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku."Ah, Mas Hans bisa aja." Kedua pipi putih Dinda langsung terlihat bersemu merah, mungkin malu atau karena cuaca yang panas."Oh iya kemarin aku lupa minta nomor HP kamu," ucapku langsung karena tak ingin men
Fokusku pun langsung teralihakan pada ponsel. "Eum ... Maaf, Bu," ucapku sembari meraih ponsel dari saku celana."Iya silahkan!"Aku pun langsung melihat ke layar ponsel ada sebuah pesan masuk, ternyata Dinda yang mengabarkan kalau dirinya sudah sampai 20 menit yang lalu, dan minta maaf baru bisa kasih kabar. Aku sengaja belum membalasnya, nanti saja kalau sudah sampai di rumah.Usai membaca pesan dari Dinda aku pun kembali melanjutkan obrolan dengan Bidan Desi."Jadi ada apa dengan istri saya, Bu? Kenapa bisa sampai pingsan?" tanyaku penasaran."Istri Bapak tidak apa-apa, hanya saja tadi istri Bapak pingsan karena kelaparan. Sepertinya istri Bapak sedang melakukan diet, apa Bapak tahu?" tanya Bidan Desi."Eum ... Saya kurang tahu, Bu," jawabku. Ah, Almira bikin malu saja pingsan gara-gara kelaparan, apa kata orang? Dikira aku tidak perhatian sama istri."Sebaiknya jika ingin diet, lakukan dengan benar, jangan sampai tidak makan sama sekali," ucap Bidan Desi."Ah, iya baiklah, Bu nan
Aku langsung berbalik, seraya berkata. "Bisa kamu ulang kalimat terakhir yang tadi kamu ucapkan?"Dahi Dimas langsung terlihat berkerut, dan menatapku dengan heran. "Eum ... Maksudku kenapa kamu mengucapkan itu padaku? Bukannya itu untuk orang tersayang?" tanyaku penasaran.Ekpresi wajah Dimas semakin terlihat bingung mendengar ucapanku. Tapi, bukankah yang kukatakan benar? Karena, hanya Almira yang selama ini sering mengucapkannya padaku."Karena yang sering mengucapkan kalimat itu hanya istriku, bukankah itu artinya cuma untuk pasangan?" tanyaku lagi melihat Dimas yang terlihat masih bingung.Dimas langsung tertawa kecil. "Kamu ini ada-ada aja Hans, Fii Amanillah itu bisa kita ucapkan pada saudara semuslim kita saat akan pergi, karena artinya semoga engkau dalam perlindungan Allah SWT," jawab Dimas.Di luar jam kantor biasanya kami saling panggil nama, karena bagi kami itu membuat pertemanan terasa lebih akrab."Atau berdasarkan yang pernah saya baca Fii Amanillah juga bisa kita u
Akhirnya urusan dengan Dirga selesai juga. Putusan sidang yang menyatakan, kalau ia harus tinggal di hotel prodeo dalam beberapa kurun waktu akibat perbuatannya membuat lega. Setidaknya aku tidak perlu terlalu mengkhawatirkan Almira lagi.Namun di sisi lain, hati gelisah. Sebab, hari yang ingin kuperlambat waktunya datang juga. Apalagi kalau bukan hari pernikahan dengan, Dinda. Terkadang dalam keputusan yang kita ambil dengan secara sadar menyisahkan penyesalan.Aku menyesal karena harus membagi cinta Almira dengan wanita lain. Meski ia bilang tidak keberatan dan melarang membatalkannya. Tapi, tetap saja aku merasa bersalah.Tanganku bergetar saat menjabat tangan seorang laki-laki yang menjadi walinya Dinda, seketika ingatanku berputar, pada waktu mengucapkan janji suci untuk Almira, dan bersedia mengambil alih tanggung jawab ayahnya. Perasaan sedih seketika menelusup ke relung hati, aku tidak bisa membohongi perasaan bersalah atas kebohongan untuk tidak menyakiti dan menduakannya.Na
Begitu sambungan telpon terputus, aku bergegas mengambil jas yg tadi kutaruh di kepala kursi. Lalu, melangkah tergesa arah luar."Hans mau kemana kamu?" tanya Pak Bambang tiba-tiba saat aku tengah menutup pintu."Eum ... Sa-saya mau izin keluar sebentar, Pak!"Pak Bambang langsung melihat jam yang melingkar di tangannya. Lalu, beralih ke wajahku dengan raut penuh tanda tanya."Sepertinya belum waktunya makan siang," ucap Pak Bambang."Eum ... Teman saya sedang ada masalah di kantor polisi, Pak." "Ada apa? Memangnya kamu pengecara?""Bu-bukan, Pak. Saya juga belum tahu ada masalah apa. Apa boleh saya izin keluar sebentar, Pak?"Pak Bambang sejenak terdiam, terlihat tengah memikirkan sesuatu. "Ya sudah kamu boleh pergi! Tapi, besok pagi berkas untuk meeting lusa harus sudah ada di meja saya!""Ba-baik, Pak. Terima kasih," ucapku, dan langsung menyambut tangan Pak Bambang. Lalu, bergegas pergi ke arah parkiran.Selama di perjalan pikiranku dipenuhi pertanyaan juga kecemasan. Apa kiranya
Dengan langkah cepat aku kembali ke kamar. Namun, begitu sampai di kamar aku langsung kembali dibuat terkejut. Karena, tak melihat keberadaan Almira, kemana dia? Cemas itulah yang kurasakan."Mira?" teriakku sembari melangkah masuk mencarinya di kamar mandi. Tapi, tidak ada, bahkan di balkon juga tidak ada. Pikiran negatif mulai merasuki, bagaiman kalau Almira diculik Dirga?Aku terduduk di sisi ranjang dengan perasaan lemas juga cemas. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh deringan ponsel di saku celana.Aku pun segera mengeluarkan benda pipih tersebut, berharap Almira. Namun, ternyata Dinda."Mas, kamu sebenarnya dimana sih? Dari tadi aku nungguin. Tapi, Mas malah gak dateng-dateng?" Dinda langsung bertanya begitu sambungan telpon terhubung."Eum ... M-mas lagi nyariin Almira.""Nyariin Mbak Almira? Nyariin gimana sih Mas Maksudnya?" tanya Dinda terdengar penasaran."Almira hilang.""Ha, Hilang? kok bisa? Ya udah sekarang Mas dimana, biar aku susul kesana!""Sebentar! Nanti Mas share lok!"
Akhirnya kamar dimana Dirga dan Almira berada ketemu. Hatiku bimbang, apa harus didobrak saja pintunya atau diketuk secara baik-baik? Ditengah kebimbangan, kemudian samar-samar telingaku mendengar suara yang membuat penasaran.Entah apa yang mereka bicarakan, suaranya terdengar tidak begitu jelas. Karena penasaran, aku langsung menempelkan telinga ke daun pintu, berharap bisa mendengar suara mereka dengan jelas, dan tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, sayang. Setelahnya aku tidak mendengar apa-apa lagi. Entah apa yang terjadi, keadaan seketika senyap membuat perasaan semakin cemas.Apa sebenarnya yang terjadi? Apa benar Almira sudah berbuat curang dengan orang yang sudah memusuhiku untuk membalas dendam atas rasa sakit hatinya padaku? Tapi, jika iya mengapa justru hatiku berkata lain. Ya Tuhan tunjukan kebenaran-Mu!Tanpa bukti aku hanya bisa menduga. Apapun caranya aku harus bisa mencari kebenarannya. "Apa yang sedang Bapak lakukan?" Tiba-tiba sapaan seorang laki-laki, yang tern
"Kenapa baru diangkat sekarang, kemana aja kamu, Mas? Dari kemarin ditelponin gak diangkat, WA gak dibales. Aku udah nungguin berjam-jam. Tapi, kamu tidak juga datang. Memberi kabar pun tidak. Aku kecewa sama kamu, Mas!" Letupan kemarahan diujung ponsel, seperti akan memecahkan gendang telinga. Aku tidak heran, mengerti jika Dinda akan semarah itu padaku."Maaf! Kemarin Mas ....""Apa? Mas mau bilang kalau, Mas sibuk? Terus gak ada waktu buat hubungi aku? Oh aku tahu, kalau aku memang gak penting buat kamu!" Dinda benar-benar terdengar sangat marah."Bu-bukan be-" ucapanku langsung terjeda saat sambungan telpon tiba-tiba langsung dimatikan Dinda. Aku memijit pelipis yang mulai terasa pening. Bagaimana aku harus menjelaskannya pada, Dinda? Sepertinya aku harus menemuinya dan menjelaskan semuanya. Semoga saja dia mau mengerti. Sementara Almira, sudah siap berangkat kerja. "Mir kamu sudah mau berangkat?" aku bertanya basa-basi. "Maaf hari ini Mas tidak bisa mengantarmu!" sesalku. "Mas
Akhirnya dengan pertimbangan, aku lebih memilih untuk menjemput Almira. Dinda biar nanti, aku akan menemaninya setelah menjemput Almira.Aku pun segera mengambil kunci mobil, dan melangkah lebar-lebar menuju parkiran. Entah apa yang ada dipikiran Almira, bisa-bisanya dia menerima tawaran untuk diajak makan berdua dengan Dirga. Apa dia tidak memikirkan bagaimana perasaanku?Perjalanan menuju tempat Almira bekerja terasa begitu sangat jauh. Kesal dan marah seketika bercampur menjadi satu, bagaimana tidak? Disaat terburu-buru dan khawatir seperti ini jalanan macet. Akhirnya setelah setengah jam lebih aku tiba, tak mau membuang waktu, dan segera turun. Namun, gerakanku terhenti mendengar ponsel berdering. Astaga Dinda, bagaimana ini? Aku harus bilang apa? Ah, lebih baik abaikan saja dulu. Bukan waktunya untuk menjelaskan. Bisa-bisa malah jadi salah paham.Dengan langkah tergesa aku menuju tempat Almira bekerja. Namun, aku tak mendapatinya. Kemana mereka? Ah bodohnya, kenapa tadi tidak
Almira tengah bercakap-cakap dengan, Dirga. Entah apa yang mereka bicarakan. Tapi, kelihatannya mereka sangat akrab. Tak ingin membuang waktu aku pun langsung turun."Nah itu dia orangnya," ucap Almira tersenyum begitu melihatku datang."Oh iya, mungkin lain kali," ucap Dirga. Entah apa yang mereka bicarakan sebelumnya sampai dia bisa berkata begitu."Kenapa, Yang?" tanyaku sengaja memanggil Almira dengan sebutan Sayang agar Dirga sadar dengan tujuannya yang sama sekali tidak seharusnya. Lalu, tanganku melingkar di pinggang Almira.Mendengar itu, Dirga malah terlihat tertawa kecil. "Kamu sudah tidak ada lagi yang perlu dikerjakan, 'kan?""Enggak kok.""Kalau begitu ayo kita, pulang!""Eum ... Kalau begitu kita duluan ya!" ucap Almira pada Dirga."Oh iya hati-hati!" balasnya. "Semoga lain kali kita bisa bertemu lagi, saya sangat tertarik bekerja sama dengan Mbak Almira di salah satu restoran saya!" ucap Dirga seolah memberi penawaran yang menarik. Namun, disisi lain aku jelas tahu apa
"Siapa Mas?" tanya Almira."Mira kamu gak tidur?" tanyaku panik, takut kalau dia hanya pura-pura tidur, dan tahu kalau sejak tadi aku memandanginya."Suara ponsel Mas Hans berisik, membuatku terbangun, memangnya siapa yang telpon, kenapa gak Mas angkat?" tanyanya panjang kali lebar."I-ini juga baru mau Mas angkat," jawabku sembari melihat ke layar ponsel. Ternyata Dinda.Perlahan aku menggeser tombol hijaunya, hingga sambungan telpon terhubung."Hallo Assalamualaikum, Mas. Tadi aku dengar Mas Hans berantem lagi ya sama, Dirga? Terus keadaan Mas Hans gimana, Dinda khawatir?""Waalaikumsalam, Mas gak apa-apa kamu jangan khawatir."Terdengar Dinda menghela napas. "Syukurlah kalau Mas Hans gak apa-apa.""BTW kamu tahu dari mana?" tanyaku penasaran."Tadi, Dirga sendiri yang nge-WA in aku, dia juga bilang tidak akan menghalangi kita lagi, aku senang dengarnya, Mas juga senang,' kan?" ucap Dinda terdengar begitu senang.Ucapan Dinda membuatku sejenak terdiam, mungkin Dinda senang. Tapi, ti
Farahpun langsung keluar. 45 menit kemudian Farah kembali dengan wajah panik."Farah, kenapa kamu tidak ketuk pintu dulu?" tanyaku kaget mendengar pintu yang tiba-tiba terbuka, dan melihat wajah paniknya."Eum ... Maaf, Pak!""kamu kenapa?""Anu ... Pak, Bapak dipanggil Pak Bambang ke ruangannya," ucap Farah terlihat takut-takut."Ada apa?""Saya kurang tahu, Pak. Tapi, tadi Pak Bambang marah-marah usai menerima laporannya.""Kamu tidak tanya kenapa?"Farah menggeleng. "Saya gak berani, Pak."Mendengar itu aku langsung, melangkah lebar-lebar menuju ruangan, Pak Bambang. Dalam hati bertanya-tanya ada masalah apa dengan laporan yang tadi kuberikan? Rasa penasaran ini tidak akan terjawab sebelum bertemu. Begitu sampai di depan ruangannya aku langsung mengetuk pintu dengan perasaan tak karu-karuan. Cemas dan takut, kesalahan apa kiranya sampai Pak Bambang memanggilku."Permisi, Pak ini saya Hans," ucapku setenang mungkin."Masuk!" Suara Pak Bambang terdengar keras tak seperti biasanya. M