Joshua membawa dua cangkir kopi langsung dengan tangan tanpa pakai nampan, menurutnya terlalu repot harus mengembalikannya ke dapur lagi, sedangkan kalau hanya cangkirnya saja bisa dibuang langsung karena berbahan kertas.“Mau apa kamu ke sini?” tanya Joshua dengan nada judes tak senang bertemu Randy di depan ruangannya David.Randy yang sudah bersiap mengetuk pintu menautkan alis bingung karena malah bertemu dengan Joshua, sekretaris sekaligus temannya Feyana.“Kenapa kamu juga di sini? Bukankah kamu itu sekretarisnya Feyana?” selidik Randy menukik alis tajam.Joshua diam tak menyahut. Ia berjalan santai melewati Randy yang berdiri di depan pintu. “Minggir!” sengatnya lalu mengetuk pintu.Seseorang dari dalam menyahut menyuruhnya langsung masuk saja. Saat itulah Joshua memberikan seringaian pada Randy sebelum masuk.Randy mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh. Ingin sekali rasanya ia tonjok muka menyebalkannya Joshua yang mengejeknya.Tetapi Randy berusaha tenang dan mengatur nap
Feyana menaikkan sebelah alisnya bingung lantaran Joshua tak menjawab lagi pesan darinya.“Apa dia ketahuan sama suamiku, ya? Kalau iya, bisa bahaya. Ntar aku dikira istri yang mau mata-matain suaminya sampek orang yang ada di deketnya aja aku suruh buat ngawasi dia,” terka Feyana lalu mencebik sebal.Feyana meletakkan ponselnya ke kasur lalu dirinya bersiap untuk menjemput Alysa serta Jerome ke sekolahan. Bukan modusnya untuk mendekatkan mereka berdua, sama sekali tidak.Feyana memang sudah berencana menjemput Jerome karena tidak kerja hari ini, sedangkan Alysa mengabarinya bahwa ia mau Feyana menjemput sebab orangtuanya sedang sibuk ada acara. Feyana tentu senang-senang saja menjemput dua bocah remaja itu. Sekalian saja ia ajak mereka jalan-jalan, ketimbang mengajak David atau Joshua yang banyak ngeluh padanya.Feyana tak butuh waktu lama untuk bersiap dan bergegas menyambar ponselnya untuk segera berangkat. Dia akan menjemput Alysa lebih dulu karena jaraknya dengan sekolahan lebih
Feyana yang awalnya tersenyum melihat Alysa salah tingkah, jadi tersedak ludahnya sendiri dengan pernyataan akhir Alysa.“Punya pacar? Bukannya si Jerome itu jomblo dari dulu?” tandas Feyana yang setahunya begitu.Alysa mengangguk namun tak lama kemudian menggeleng lemah. “Iya, kupikir juga begitu. Tapi waktu aku nyatakan cinta ke dia beberapa minggu yang lalu, dia menolakku dan bilang sudah punya pacar.”Makin dibuat terkejut lagi Feyana mendengar bahwa Alysa berani menyatakan cinta pada Jerome. “Hey, kamu serius? Gak malu nyatain cinta duluan ke cowok? Ditolak pula endingnya. Terus kenapa masih bersemangat mau ketemu dia, bukannya harusnya kamu malah enggan ketemu Jerome setelah ditolak?” cecar Feyana tak habis pikir.Alysa tersenyum menanggapi kebingungan iparnya itu. Ya, mau bagaimana lagi ketika dirinya sedang dimabuk cinta? Alysa tak peduli bagaimana tanggapan orang lain mengenai dirinya, ia hanyalah seorang gadis remaja yang suka mengekspresikan dirinya.“Tapi, masa iya Jerome
Alysa tercekat dengan omongan Jerome yang kelewatan. Feyana yang mendengarnya pun ikut dibuat geram.“Jer, omonganmu terlaluan!” bentak Feyana melirik sinis ke arah Jerome yang membuang muka.“Aku sudah berulang kali bilang bahwa Alysa tidak boleh menyukaiku, apalagi sampai memperlihatkan bahwa dia mengejar-ngejar cintaku. Tapi, Kak Feyana lihatlah apa yang dia lakukan! Dia masih saja bucin padaku,” keluh Jerome sedikit mendelik pada Alysa lalu kembali menatap melas pada Feyana.Feyana yang melihat tatapan pasrah Jerome dari kaca depan, dibuat bingung dan bimbang. Jika yang dibilang Jerome itu benar, pantas saja ia kesal. Siapa yang tak jengah dikejar-kejar orang yang tak dicintainya? Feyana juga pasti akan bereaksi seperti Jerome.“Tapi waktu pertama kita kenal, kamu terlihat menyukaiku. Kamu selalu membantuku dan berusaha untuk mendekatiku, kok. Kenapa kamu berubah setelah kita naik kelas 2?” sungut Alysa yang buka suara dengan nada judes.Alysa memang sudah merasakan keanehan perla
Bersamaan dengan selesainya kalimat Jerome yang menggetarkan perasaan Feyana, kedatangan Alysa membuat keduanya langsung memutus kontak mata dan pura-pura tak terjadi apapun.“Aku sudah menemukannya. Bioskop ada di lantai 3, Kak Fey.” Alysa berseru lantang sambil berlari mendekati keduanya.Alysa tersenyum kikuk ketika Jerome menatapnya beberapa saat, lalu memutus kontak mata dengan sendirinya.“Ayo, kita ke sana!” ajak Alysa menggandeng Feyana. Sedangkan Feyana menarik tangan Jerome agar mengikuti di sampingnya.Ketika sudah di depan loket, Feyana dan kedua remaja itu berembuk untuk memesan tiket apa.“Aku mau nonton horor.” Alysa bersemangat sambil mengangkat satu tangannya tinggi-tinggi.Feyana melirik Jerome yang terlihat berpikir menatap poster film yang sedang berlangsung. Dengan agak enggan dirinya menunjuk sebuah film bertajuk romansa.“Kamu yakin nonton itu?” tanya Feyana mempertanyakannya dengan sebelah alis terangkat kurang yakin.Jerome mengangguk. “Aku suka posternya.”Al
Feyana kembali ke rumah setelah selesai mengantar Jerome. Remaja pria itu langsung izin masuk rumah karena harus mengerjakan tugas sekolah, mau tak mau Feyana tidak jadi mampir dan pulang. Padahal dirinya berpikir untuk ngobrol berdua dengan Jerome, membahas hal yang penting.“Ternyata anak itu terlalu insecure, aku baru sadar. Kupikir Jerome remaja yang bodo amat untuk memikirkan hal seperti itu.” Feyana bercelatuk ringan sambil menginjak gas mobilnya.Feyana tak langsung pulang, ia berkunjung ke rumah ayahnya. Saat sudah di halaman rumah, ia melihat ada mobil asing yang terparkir di sana. Feyana turun sambil memperhatikan body mobil itu yang cukup keren menurutnya.“Milik siapa, nih? Apa ayah sedang kedatangan tamu, ya?” gumam Feyana kemudian melangkah masuk ke rumah.Saat ini Erik sedang mengobrol dengan kolega bisnisnya, Feyana kurang tahu siapa sebab orang itu duduk membelakanginya.Feyana hanya di memandangi mereka berdua tampak serius, bahkan Feyana bisa melihat kerutan kasar
Erik mengabari David bahwa istrinya ada di rumahnya malam ini. Tentu saja David seusai pulang dari kantor langsung meluncur ke rumah mertuanya.“Di mana Feyana, Yah?” tanya David di saat dirinya baru saja tiba.Erik yang membukakan pintu pun berwajah sendu. “Ada di kamarnya. Dia pasti sedang kepikiran soal masalah ini sampai mengunci diri di kamar tanpa makan malam,” jelasnya prihatin pada kondisi putrinya.David izin masuk dan mengajak mertuanya untuk mengobrol sebentar, menanyakan padanya tentang apa yang terjadi pada istrinya.Erik pun duduk dituntun oleh David yang menyempatkan waktu membelikannya kudapan. David meletakkan kresek makanan ke meja dan duduk mendekati mertuanya, siap mendengarkan dari A-Z.“Tadi waktu Feyana berniat mampir ke sini untuk main, bertepatan si Betrand dan putranya ke sini menemuiku. Mungkin kamu belum terlalu mengenal siapa mereka berdua. Betrand itu teman sekelasku sejak SMA tapi selalu membuatku kesulitan, bahkan sekarang pun tetap sama.” Erik menghela
Feyana bangun agak siangan karena David mengatakan supaya dirinya tak perlu ke kantor hari ini. Tetapi bukannya tenang di rumah, perasaan Feyana malah resah. Tak ada yang diperbuatnya di rumah selain hanya melamun, sedangkan jika pergi bekerja, paling tidak dirinya akan disibukkan dengan kerjaan yang tak memungkinkannya untuk overthingking.Akhirnya setelah mengumpulkan niatnya, ia melangkah ke kamar mandi, bersiap untuk pergi ke kantor. Ketika dia sudah selesai dan melewati ruang tamu, ia melihat ayahnya tengah melamun.“Memikirkan apa sampai mengerut kening sebegitunya?” kejut Feyana sambil berjalan mendekati ayahnya. Ia mau pamit pulang ke apartemen suaminya sekalian berangkat kerja.“Loh, kamu tidak jadi libur? Bukannya David bilang kamu istirahat aja di rumah?” tanya Erik menaikkan alisnya bingung.Feyana menggelengkan kepala 2 kali. “Aku bosan di rumah. Bukannya tenang malah bikin otak Feyana makin buntu, Ayah,” sanggahnya yang diangguki paham oleh ayahnya.“Ya sudah, hati-hati
“Sean, ayo cepat keluar! Nanti terlambat ke sekolah, loh,” panggil Feyana yang sudah rapi berdiri di samping mobilnya. Ia beberapa kali melihat jam tangannya sambil berdecak resah karena rapat di kantornya akan dimulai sebentar lagi.Sean tampak keluar dari rumah dengan tas ransel yang hanya disampirkan di satu lengannya seraya berlari tergesa-gesa mendekati ibunya yang tampak kesal.Feyana melipat kedua tangan di dada sambil memicingkan mata ketika putranya itu berdiri di hadapannya. Bukannya merasa bersalah, Sean malah meringis menunjukkan deretan gigi rapinya itu, bermaksud membuat ibunya terbuai. Namun Feyana hanya diam melihatinya yang kemudian tampak salah tingkah.“Iya, maafkan aku, Mah. Tadi Sean bangunnya telat jadi terlambat begini. Sekarang, ayo berangkat keburu mamah ikutan telat ke kantornya!” elak Sean terdengar jujur.Feyana menjitak pelan kepala Sean sambil mendengus, “Makanya jangan begadang cuman untuk main game terus! Kamu pikir mamah gak tau kalau tiap malam kamu it
“Maaf, tapi kami sepakat untuk tidak menjawab pertanyaan tersebut. Bisakah, Anda menghargai privasi keluarga kami?!” sahut David menatap lurus dengan rahang yang mengeras pada wartawan itu.Wartawan yang mengajukan pertanyaan tampak gugup. Ia menatap ke arah teman-temannya yang sesama wartawan untuk minta bantuan, tapi tak ada satupun yang menghiraukannya. Mereka semua tentu tak mau berurusan dengan keluarga David yang akan merusak karier mereka dalam bidang ini. Tamat sudah riwayat wartawan wanita ini.David menyuruh seorang sekuriti yang berdiri tak jauh darinya. Hanya dengan jari telunjuknya, sekuriti itu mendekatinya dan mendengar bisikan David dengan baik. Sesuai perintah yang baru saja ia dapat dari atasannya, sekuriti itu berjalan mengendap lewat pintu belakang untuk membawa wartawan wanita tadi pergi meninggalkan ruangan.David kemudian memandang Feyana lalu memberinya anggukan meyakinkan bahwa semuanya akan aman.“Aku harap ini jadi pembelajaran bagi kalian semua untuk berhat
Feyana memandang nanar pada timbunan tanah yang ber-nisankan nama Sabrina. Air matanya terus bergulir meski sudah berulang kali diusap oleh suaminya yang berada di sampingnya. Kedua tangan Feyana sibuk menggendong Sean yang sedari tadi menangis. Sepertinya, bocah kecil ini menyadari bahwa ibunya sudah takkan lagi ada di dunia ini untuk menemaninya.Sayangnya Norma dan Imelda tidak bisa ikut ke pemakaman karena situasi mereka yang masih menjadi tahanan. Tentu saja ketika mendengar kabar kematian Sabrina dan kenyataan soal penyakitnya itu dari Feyana, mereka berdua sangat terpukul. Keduanya tak menyangka Sabrina tega menutupi kebenaran yang amat menyakitkan itu hanya agar tak membuat mereka khawatir.“Fey, ayo pulang. Kasihan Sean jika terus di sini, apalagi langit mulai mendung.” David mengajak Feyana pulang karena mereka sudah sangat lama di sana. Dirinya kasihan melihat wajah sembab istrinya dan tangisan pilu Sean yang tak kunjung reda.Feyana inginnya masih tetap di sana, namun meli
“Aku tak tahu pada siapa harus menitipkan Sean. Aku hanya percaya padamu, Fey.”Ucapan Sabrina itu terus-menerus terlintas di kepala Feyana. Ia pun berjalan tanpa minat ketika keluar dari rumah sakit, bahkan dia tak mengacuhkan David yang sedari tadi menatapnya penasaran. David ingin bertanya apa yang Feyana bicarakan dengan Sabrina sampai membuatnya tak fokus seperti sekarang, tapi melihat ratapan suram di mata Feyana membuatnya mengurungkan niat bertanya.“Fey, biar aku antar ke kantor aja, gak usah bawa mobil. Biar nanti si Joshua aku suruh ambil mobilmu di sini,” sergah David tidak yakin dengan Feyana yang kurang fokus ketika nanti menyetir di jalan.Feyana menggeleng dan ingin tetap menyetir sendiri, namun David mencegahnya dengan mengambil kunci mobilnya lalu menggandengnya agar masuk ke mobil David.“Aku tidak mau ambil risiko kamu kenapa-napa kalau tetap memaksa menyetir sendiri. Kita langsung menuju kantormu saja, aku antar,” tegas David tanpa boleh dibantah.Ketika sudah dud
Sabrina menatap nanar pada Feyana yang diam kaku tak berkutik setelah mendengar permintaannya yang terdengar gila. Sabrina akui dia tak memiliki siapapun yang bisa dipercayainya, bahkan keluarga saja sudah tak punya. Dirinya hanya memiliki Sean yang terpaksa dititipkannya di panti asuhan selama ia menjalani proses hukuman penjara.“Hanya kamu yang terlintas di pikiranku, Fey. Aku tentu takkan rela berikan hak asuh Sean pada ayahnya, si Leon. Bahkan pria itu saja tak tahu bahwa dia memiliki putra.”“Apa kamu sudah memikirkan keputusanmu itu matang-matang? Aku bukan beralasan mau menolak, tapi tanggung-jawab ini terlalu besar. Apa kamu seyakin ini padaku? Dan mau sampai kapan kamu menutupi kebenaran bahwa Sean adalah darah dagingnya Leon? Tidak ada yang bisa menutupi rahasia selamanya, Na.”Feyana mengusap air mata yang merembes di pipi Sabrina dengan sebelah tangan yang tidak digenggam oleh Sabrina. Baru kali ini ia melihat kesedihan teramat dalam di wajah Sabrina yang tergambar jelas.
Feyana pagi-pagi sudah gaduh tak karuan, membuat suaminya yang masih nyenyak bergelung di selimut merasa terusik. Sambil memperhatikan Feyana bolak-balik di kamar, David menegurnya perlahan.“Ada apa panik banget, sih? Gak biasanya kamu begini.’”Feyana hanya menoleh sekilas pada suaminya yang masih bersantai di kasur. Ia menjelaskan dengan sekedarnya kalau mendapat kabar jika Sabrina, salah satu temannya yang ada di sel penjara waktu itu sekarang sedang menjalani perawatan di rumah sakit, bahkan sampai harus opname.“Kalau sampai opname begitu, berarti sakitnya serius. Aku mau ke sana untuk melihat kondisinya. Semoga saja Sabrina tidak apa-apa,” lontar Feyana lalu menyabet tasnya yang ada gantungan.“Aku berangkat dulu, ya. Bye!” ujarnya sambil menyempatkan diri memberikan ciuman selamat pagi untuk David.David menghela napas salut pada Feyana yang tampak sangat peduli pada temannya yang satu sel dengannya itu. Bahkan sejak keluar dari penjara dirinya membuat jadwal rutin untuk menje
Feyana dan David dalam perjalanan pulang, bersisian di dalam mobil tapi senyap sejak 15 menit yang lalu. David berulang kali menatap sebentar istrinya yang terlihat sedang memikirkan sesuatu. Karena tak kunjung mendapat perhatian, David mengelus punggung tangan Feyana dengan sebelah tangannya yang bebas dari menyetir.“Lagi mikirin apa?”Feyana barulah menoleh padanya lalu menyengir kecil membuat David mengangkat sebelah alisnya bingung. “Soal Joshua dan Mitha, ya? Kamu kenapa ngebet banget jodohin mereka, sih? Padahal kalau dipikir-pikir yang dikatakan Joshua memang benar, kita belum terlalu kenal soal Mitha. Iya kita memang lihatnya Mitha wanita yang baik dan tidak neko-neko, tapi siapa tahu itu hanya topengnya semata.”Seperti bisa membaca apa yang sedang Feyana pikirkan, David menuturkan hal demikian dengan raut wajah tenang tanpa menunjukkan emosi apapun, itu agar Feyana juga tak merasa tersinggung.Feyana mencebik sambil menyahuti, “Tapi aku merasa kasihan pada Joshua yang sudah
“Aku malah bermaksud ingin menyingkirkan Randy di saat kontrak kerja dengannya berakhir. Aku senang kamu melakukannya lebih cepat, Dav.”Tanggapan di luar dugaan dari Feyana membuat David menganga tak percaya. Semenit kemudian ia barulah bisa mengulum senyuman karena ternyata Feyana tidak marah dan malah sejalan dengannya.“Jadi kuharap kita tak lagi bersitegang hanya karena Randy dan keluarganya. Aku muak kita bertengkar perihal mereka,” kata Feyana yang diangguki semangat oleh suaminya.“Aku akan membereskan Randy dan keluarganya agar tidak akan pernah muncul di hadapan kita lagi. Tenang saja, aku tidak bermaksud membunuh mereka, hanya saja ingin mengusir mereka dari kota ini. Jika mereka berada di tempat yang jauh, tak mungkin bisa mengganggu kita lagi,” cetus David sembari mengambil ponselnya untuk menghubungi orang suruhannya.Kening David mengerut ketika mengobrol beberapa saat dengan seseorang di telepon. Setelahnya ia memutuskan sambungan dan memberi tatapan linglung pada Feya
Feyana melihat Joshua tak berkutik mendengar pertanyaannya yang cukup menohok itu. Karena melihat pria di depannya itu hanya diam tak menyahut, Feyana yang kembali bersuara. “Aku tak sengaja melihat Randy ada di rumah sakit ini. Dia dirawat karena mengalami patah tulang dan berakhir cacat usai dioperasi. Kamu tahu apa yang membuatku merasa tersinggung? Ketika aku menghadapi keluarga Randy seorang diri demi menjaga martabatnya suamiku. Tapi aku merasa kasihan pada diriku sendiri sebab membela orang yang malah membohongiku. Kamu mengerti bagaimana bencinya aku saat kutahu bahwa David membohongiku dari keluarganya Randy? Mereka semua saling menyerangku waktu itu, dan aku diam tak berkutik dalam hati, tapi pura-pura berani pada mereka dengan membual soal ancaman untuk menakutinya.”Feyana menenggak minuman di gelasnya secara brutal dan meletakkan kembali gelasnya dengan keras sampai terdengar bunyi berdentum. Tatapan tajam menusuk Feyana yang memerah menahan amarah membuat Joshua was-was