"Arrhgg, pelan-pelan, Sayang."
Sontak saja jantung Mutiara berdegup sangat cepat. Suara di dalam ruangan ini, terdengar sangat jelas. Suara desahan yang bersahut-sahutan itu, tanpa berpikir pun orang sudah bisa menebak apa yang terjadi di dalam ruangan ini.Mutiara termangu di depan pintu, ruangan itu memang tidak kedap suara. Dulu Pak Herry, Bapak mertuanya sengaja memasang beberapa ventilasi udara agar ruangannya tidak terlalu pengap karena Pak Herry alergi terhadap ruangan ber-AC sejak ginjalnya bermasalah. Tommy belum merenovasi ruangan kerja bekas ayahnya ini. Di lantai tiga ini, hanya dia dan sekretarisnya saja yang bekerja di sini. Dulu ada beberapa karyawan bagian manajemen dan keuangan, tetapi mereka sudah dipindah ke lantai dua dan lantai satu.Mutiara menatap arloji di lengannya, lima menit lagi pukul setengah empat sore. Tidak mungkin dia menunggu aktivitas orang di dalam ruangan itu. Kasak-kusuk yang mengatakan jika suaminya itu ada affair dengan sekretarisnya sudah santer menjadi buah bibir di kantor ini. Mutiara sangat kasihan terhadap dirinya sendiri, dia dinikahi lelaki itu hanya untuk dimanfaatkan tenaga dan pikirannya, sementara lelaki itu bebas suka hati melabuhkan hasratnya pada siapa saja.Dua bulan yang lalu, dengan terang-terangan Tommy membawa seorang artis ibu kota ke kantornya, bahkan mereka bermain api di ruangan kerjanya ini. Semua itu disaksikan oleh Mutiara, wanita itu sudah tidak tahu lagi bagaimana menyikapi sikap lelaki yang sudah berstatus menjadi suaminya ini.Tok ... Tok ... Tok ....Dengan sedikit kuat akhirnya Mutiara terpaksa mengetuk pintu ruangan kerja lelaki itu, tidak ada jawaban dari dalam ruangan, suara kasak kusuk malah terdengar samar dari dalam.Mutiara kembali mengetuk pintu dengan lebih keras, dia tidak peduli jika dimarahi atau digampar lelaki itu, sebagai seorang istri, walaupun hanya status di atas kertas, wanita itu juga sudah muak dan jijik melihat kelakuan suami sekaligus bosnya ini."Kurang ajar! Siapa yang berani menggangguku!" geram Tommy dengan marah."Ma, maaf. Ada dokumen yang harus ditanda tangani!" teriak Mutiara dari luar."Pergi kamu! Besok saja saya tanda tangani!""Tidak bisa, Mas. Proposal ini harus diajukan sekarang, Pak Rio Dewanto dari Adiguna grup sudah memintanya sekarang!""Apa? Rio Dewanto dari Adiguna?"Berapa saat kemudian pintu di buka, pemandangan di dalam sungguh membuat Mutiara jengah. Pakaian lelaki itu sudah acak-acakan, bahkan kancing bajunya tidak ada satupun yang terpasang. Sementara di ruangan itu juga ada sang sekretaris, yang tengah mengancingkan kemeja ketat dan membetulkan rok span yang panjangnya hanya sebatas paha itu.Mutiara tersenyum miris, Clarisa, wanita yang masih berstatus single itu baru dua bulan menjadi sekretaris Tommy sudah membuat skandal, tubuhnya yang seksi dan wajahnya yang terawat itu memang sangat menggoda bagi lelaki hidung belang manapun."Apa?!" bentak Tommy ketika melihat Mutiara yang membawa map di depan pintu. Sungguh lelaki biadab, tidak ada raut wajah bersalah ataupun malu di wajah lelaki yang sudah menikahinya ini, seolah-olah Mutiara hanya berstatus bawahannya yang tidak penting."Mas, ini tanda tangani, Pak Rio Dewanto sudah menunggu.""Kalian mau ketemuan di mana?""Pak Rio sekarang ada di hotel Novotel, kami di minta untuk menemuinya di sana.""Mana yang mau ditandatangani?"Mutiara menyodorkan dua buah map, dengan cepat Tommy membuka map tersebut dan menandatangani, ketika Tommy sedang sibuk dengan berkas itu, Mutiara mencuri kesempatan melihat ke arah Clarisa, kebetulan sekali gadis itu juga sedang memandang ke arahnya, Mutiara langsung menyunggingkan senyum sinis ke arah gadis itu manakala bibir Clarisa tersenyum bangga ke arahnya. Amit-amit, Kamu bangga dengan kelakuanmu itu? Ih, jijik banget, omel Mutiara dalam hati.Bagi Mutiara, tidak ada rasa sedih ataupun cemburu di dalam hatinya buat lelaki ini, yang ada justru perasaan jijik. Sedari awal memang tidak ada cinta di pernikahan ini, Mutiara memang pernah berusaha di awal-awal untuk berusaha membangun rumah tangga ini dan berusaha mencintai Tommy, tetapi buat apa jika hanya dia yang berusaha sementara Tommy sendiri malah semakin merajalela.Sakit hati diperlakukan seperti itu, diselingkuhi, dikasari dan tidak dianggap sudah tidak ada lagi, perasaannya sekarang justru hampa, dia menatap Tommy dengan perasaan biasa. Palingan dia hanya mengumpat dalam hati melihat maksiat seperti ini.'Biar saja dia bergelimang dosa, siapa juga yang peduli'“Ini, ambil. Kerja yang benar!”Mutiara tidak siap menerima lemparan map dari Tommy, sehingga map itu terjatuh ke lantai. Mutiara yang sedang dalam suasana kesal tentu menjadi bertambah kesal.“Kenapa dilempar?!” ujar wanita itu dengan nada tidak senang.“Kenapa memangnya? Tinggal ambil saja kok repot amat,” jawab Tommy dengan nada sewot.“Ambil, cepat sana keluar! Mengganggu saja bisanya!” hardik lelaki itu tanpa perasaan.“Ambil! Aku memberikan map itu baik-baik ya, Mas. Jangan seenaknya seperti itu!” ujar Mutiara sambil mengeratkan gerahamnya.“Alah, masalah begitu aja diribetin, sih?! Ya terserah kamu kalau masih mau di situ, yakin mau menonton aku yang lagi mau main sama Clarisa?”Dasar, lelaki biadab! Sorot mata Mutiara memancarkan kebencian membuat Tommy terkesima. Selama setahun ini, biar bagaimanapun dia menyakiti Mutiara, Wanita itu akan lempeng saja, sikapnya bahkan cenderung masa bodo dan acuh tak acuh? Dia bahkan mengira dirinya telah menikahi sebatang kayu, tetapi apakah kayu ini sudah punya hati sekarang?“Ambil map itu, atau aku tidak akan menemui Pak Rio! Kamu pikir aku mau menemui pak Rio demi apa? Demi perusahaan, demi menghidupi lelaki sepertimu! Kalau kamu gak bisa menghargai aku, aku akan resign dari perusahaan ini!”Tidak ada teriakan atau nada marah atau emosi, tetapi perkataan Mutiara bernada penuh tekanan dan ancaman. Lancang sekali, beraninya perempuan ini mulai mengancam ku? geram Tommy, tatapan mata lelaki itu sudah seperti membunuh lawan di hadapannya.“Kamu mau resign dari sini? Boleh saja! Tapi bayar dulu utangmu sebesar satu miliyar!”Ucapan Tommy yang mengancam itu malah ditanggapi senyum sinis oleh Mutiara, wanita itu bahkan kini menyilangkan tangannya di depan dada.“Sejak kapan aku hutang satu miliyar sama kamu?” tanya Mutiara dengan nada mengejek.Tommy semakin murka mendengar perkataan itu, selama satu tahun ini, setiap kali Tommy memaki, menghina mutiara, wanita itu hanya tertunduk tidak berani menampakkan wajahnya, sekarang kerasukan setan mana wanita itu berani menantang matanya itu.“Pamanmu yang berhutang! Dan kamu itu, jaminan hutangnya. Kamu harus sadar, kamu dinikahkan denganku untuk membayar hutang. Masih belum sadar, heh?”“Pamanku yang berhutang, kan? Hutangnya bahkan cuma satu miliyar.”“Cuma satu miliyar? Kau pikir uang segitu sedikit?”“Selama satu tahun aku bahkan sudah memberikan keuntungan di perusahaan ini lebih dari sepuluh miliyar. Bukankah itu sudah lebih dari bayaran? Sekarang kamu ambil map itu, berikan padaku baik-baik. Atau aku gugat perceraian dan kuviralkan apa yang kamu lakukan barusan!”Mendengar itu Tommy malah terkekeh, dia merasa lucu dengan perkataan Mutiara. Sambil menatap meremehkan lelaki itu mengambil map yang terjatuh di lantai. Dengan malas-malas lelaki itu memberikan map itu pada Mutiara, yang langsung diambil oleh Mutiara secara kasar.“Kamu mau membuatku viral? Apa kurang viral aku sekarang? Aku sudah terkenal di jagat Maya sebagai seorang konglomerat yang doyan gonta-ganti pasangan, walaupun sudah memiliki istri. Dalam waktu setahun, berapa orang yang sudah menghangatkan ranjangku? Yang jelas bukan kamu, perempuan yang sudah menjadi istriku. Aku tidak berselera denganmu, jadi terima saja nasibmu,” ujar Tommy sambil terkekeh.Mata mutiara melotot, dia benar-benar tidak habis pikir lelaki menjijikan ini ternyata adalah suaminya. Setidaknya kini dia bersyukur karena lelaki ini tidak berselera dengan dirinya, dia tidak rugi melayani nafsu bejatnya. Suasana semakin menyebalkan ketika dia menyadari situasi di sana, suara tawa genit sekretaris baru itu sungguh memuakkan. Ekspresi Clarisa semakin pongah, bibirnya tersenyum mengejek Mutiara, sementara tangannya bergelayut di leher lelaki itu.“Ayo, kita lanjutkan,” ujar Tommy dengan nada lembut merayu, bibir lelaki itu menelusuri leher jenjang Clarisa“Ah, sabar dong ….”Suara genit Clarisa membuat Mutiara semakin muak, dengan cepat wanita itu segera meninggalkan kedua pasangan mesum itu. Dasar tak tak tahu aturan! rutuknya.“Sepertinya istrimu marah, Sayang?” bisik Clarisa pandangnnya masih ke arah kepergian Mutiara.“Biarin aja! Ayo, kita selesaikan,” bisik Tommy.“Ah, pelan-pelan,” rengek Clarisa manja.Tetapi beberapa saat kemudian, Tommy mendorong Clarisa dengan kuat hingga wanita itu terjatuh.“Sayang, ada apa?!” tanya wanita itu dengan panik.“Keluar sana! Aku banyak pekerjaan!” ujar Tommy sambil menyugar rambutnya dengan frustasi.“Eh? Jadi, nggak jadi ini?” rengek Clarisa dengan susah payah bangun dan berdiri tegak.“Keluar! Aku banyak kerjaan, dengar tidak?”Clarisa terburu-buru keluar dari ruangan Tommy setelah mendapat bentakan dari lelaki itu. Aneh banget, bosnya itu. Biasanya dia akan bersemangat menindihnya dengan bermacam gaya, sekarang malah seperti tidak mood seperti itu.“Sialan kau, Mutiara!!!” geram Tommy sambil meninju meja.Part 3 "Bu, kenapa ibu masih bertahan dengan Pak Tommy?" tanya Renita Saat ini mereka sedang berada di perjalanan menemui Rio dewanto dari Adiguna Group."Maksud kamu apa, Ren?" "Gak usah pura-pura, Bu. Aku tahu ibu selama ini menderita. Apalagi Pak Tommy sekarang sedang asyik berselingkuh dengan Clarisa. Kenapa ibu tidak membebaskan diri dari lelaki seperti itu?" Renita benar-benar geram dengan sikap Mutiara. Bagaimana wanita ini bisa bertahan dengan pernikahan toxic seperti ini "Aku tidak bisa berbuat apa-apa, Ren. Siapa yang tidak ingin bahagia, siapa yang tidak ingin bebas dari suami yang seperti itu? Tetapi tidak segampang itu bicara. Jika aku sampai meminta cerai pada Tommy, aku harus membayar dendanya. Bukan main-main, jumlahnya satu miliar. Dari mana aku punya uang segitu?" "Ha? Kok bisa?" "Ah, sudahlah. Tidak perlu memikirkan masalah itu. Sebaiknya kita bicarakan masalah pekerjaan. Apakah kamu pernah bertemu pak Rio sebelumnya?" Renita menghela napas kesal, sungguh pen
Part 4 "Pak, Tuan Hadi dari tadi menelpon anda, apakah akan anda angkat?" "Huh, angkatlah!" Hembusan napas kesal terdengar dari lelaki yang duduk di bangku belakang. Mata lelaki itu menatap ke luar jendela mobil, kota ini masih sama seperti lima tahun yang lalu, belum ada perubahan yang signifikan. Jalanan masih saja macet, hanya saja moda transfortasi publik cukup mengurangi kemacetan, tidak selama lima tahun yang lalu. "Halo, iya, Pak ... Iya, beliau ada di sini," ujar lelaki yang duduk di sebelah kemudi. "Pak, ini ... Tuan Hadi ingin bicara." Lelaki itu mengangsurkan ponselnya ke arah atasannya yang duduk di belakang. "Iya, ada apa, Ayah?" jawab lelaki itu setelah menerima telepon. "Dari tadi ayah telepon, kenapa kau tidak mengangkatnya?" "Aku tidak dengar, ponselnya ku silent kalau rapat." "Diaz, setelah kau pulang dari luar negeri, kau belum pernah mengunjungi Ayah." "Aku baru tiga hari di sini, lima tahun aku di luar, ayah juga tidak pernah mengunjungi ku." "Dasar anak
Mutiara dan Renita turun dari mobil kijang Innova yang disupiri Mang Karman, supir perusahaannya. Mobil yang dikendarainya juga mobil dinas perusahaan. Selama bekerja sebagai general manager di PT Sanjaya Sejahtera ini, Mutiara tidak memiliki mobil pribadi, hanya mobil perusahaan yang menemaninya ke setiap acara perusahaan maupun acar pribadinya. "Kita akan mencari gaun pesta di sini saja, Ren." Renita menatap bangunan ruko sederhana di hadapannya ini. Jelas ini adalah toko baju kelas menengah ke bawah, sebagai seorang istri direktur, kenapa Mutiara memilih pakaian dari kalangan seperti ini? Renita bahkan beberapa kali melihat Tommy membawa wanita-wanita simpanannya ke butik mahal. "Di sini pakaiannya juga bagus-bagus. Tidak perlu mahal untuk mendapatkan barang bagus, uangnya bisa kita sisihkan untuk yang lain," ujar Mutiara seperti paham yang dipikirkan oleh bawahannya ini. "Oh, iya Bu. Saya juga terbiasa belanja di toko seperti ini." Ketika masuk ke toko, ternyata toko itu menye
"Ada apa ini?" Suara bariton yang cukup berwibawa menghentikan tangan Evita yang sempat akan melayang ke pipi Mutiara. Semua orang menoleh ke asal suara, tampak lelaki dengan wajah tegas dan sombong memandang ke arah Evita dengan sengit, beberapa orang tampak segan dan mundur pelan-pelan. Mutia sendiri hanya diam, dia sedikit heran kapan pula lelaki ini datang ke sini? biasanya juga tidak mau menghadiri acara apapun yang diadakan oleh keluarga Mutia."Kak Tommy? eh, anu ... Kapan datang?" tanya Evita dengan gugup."Aku sudah dari tadi, tampaknya kau akan melakukan sesuatu pada istriku, ya?" tanya Tommy dengan sorot mata mengintimidasi "Eh, nggak kok, kita hanya mengobrol biasa saja, iya kan, Mutia?" jawab Evita dengan takut-takut.Mutia yang dibawa-bawa namanya hanya melengos, dia bahkan pergi ke stand makanan seperti yang akan dia lakukan tadi."Aku akan mengambil makanan," ujar Mutia dengan nada tidak peduli."Kalau begitu, silahkan nikmati pestanya kak Tommy, aku akan menyapa tem
Akhirnya Diana hanya bisa menahan amarahnya pada putranya ini. Selama ini Diana berharap agar Tommy mau tinggal bersamanya agar hubungan suami istri ini bisa harmonis, tetapi ternyata putranya sudah membeli tempat tinggal, sehingga Diana tidak bisa sepenuhnya mengendalikan putra dan menantunya."Baiklah, Mama tunggu kehadiran kalian di rumah Mama besok. Jangan mengelak lagi!" Pesta anniversary Hilman masih berlangsung dengan meriah, dipanggung kedua pasangan paruh baya itu tengah memotong kue ulang tahun, disusul tepuk tangan yang meriah. Semua anggota keluarga diminta Hilman ke atas panggung tak terkecuali Mutiara dan Tommy. Semua anggota keluarga menerima suapan cake dari tangan lelaki paruh baya itu. "Mutia, aku minta maaf. Ini, kuberikan minuman soda ini sebagai tanda maaf dariku. Kita ini saudara, sudah seharusnya aku berterima kasih padamu, tetapi selama ini aku selalu memusuhimu."Mutiara cukup terkejut mendengar perkataan Evita. Gadis itu sengaja mendatanginya dan memberikan
Suara berisik dan lenguhan terdengar dari kamar mandi. Mutiara sudah tidak tahan, guyuran air dingin dari kran tidak dapat meredakan rasa panas yang menjalar di seluruh tubuhnya, justru semakin membuatnya tersiksa. Kamar ini hanya dilengkapi dengan shower, tidak ada bath tub-nya. Tubuh Mutia sudah kedinginan, tetapi rasa aneh itu malah semakin menjadi-jadi. "Ouh!" lenguh wanita itu sambil meraba seluruh tubuhnya. "Ouh, aku kenapa? Ah ...."Ada perasaan nyaman ketika tangannya meraba bagian sensitifnya, perasaan itu menimbulkan sensasi tersendiri yang tidak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata.BrakTiba-tiba pintu kamar mandi terbuka lebar, tentu saja Mutia terkejut luar biasa. Sesosok lelaki dengan tubuh tegap, rahang tegas dan di tumbuhi bulu-bulu halus, berdiri di pintu dengan mata menyipit menatapnya intens."Hei, siapa kamu? ke_ kenapa masuk ke ... ke sini?" tanya Mutia dengan gugup manakala lelaki itu melangkahkan kakinya dengan perlahan."Pergi ... pergi ...."Dengan tubuh gem
Diaz duduk termenung di kursi kebesarannya, jarinya tak lepas menjepit sebuah rokok, menghisapnya perlahan, asap mengepul di ruangan ini menggumpal, lalu menyebar. Rais terpaksa membuka jendela, sudah sering diingatkan agar atasannya jangan merokok dalam ruangan ber-AC, tetapi lelaki itu mana peduli, akhirnya membuka jendela dan mematikan AC yang bisa Rais lakukan.Sejak pagi Diaz tampak galau dan gelisah, sudah hampir dua bungkus rokok yang dibakar sia-sia. Ketika ditawari makan siang, lelaki itu juga menolak. "Kenapa masih di sini? bukankah kau mau makan siang?" tegur Diaz yang melihat Rais masih berdiri di ruangannya."Apa anda mau memesan sesuatu? Nanti saya bawakan.""Ya, bawakan saja aku makanan yang bisa dimakan!" perintah Diaz dengan asal Kembali asap rokok memenuhi ruangan ini, rasanya Diaz benar-benar bisa gila memikirkan kejadian tadi malam. Malam tadi sebenarnya adalah malam impiannya, bagaimana tidak? Sudah lima tahun dia memimpikan wanita itu dalam rengkuhannya, tetapi
Sampai ruangan Tommy, lelaki itu masih sibuk mengurusi dokumen di tangannya. Ketika melihat Mutiara, lelaki itu langsung meletakkan dokumen dan menatapnya dengan tajam."Kemarin kamu ke mana?" tanya lelaki itu dengan mata tajam.Mutiara sebenarnya gugup mendengar pertanyaan suaminya ini, namun sebisa mungkin dia menampilkan sikap wajar di hadapannya."Aku menginap di rumah Renita," ujarnya dengan nada biasa."Kenapa kau menginap di rumahnya?" buru Tommy dengan tidak puas."Aku bosan! di rumah juga tidak ada orang. Aku akan menginap di rumah mama, tetapi mama belum pulang juga. Aku hanya butuh teman ngobrol dan nonton drama bersama.""Setidaknya kau hubungi aku atau tinggalkan pesan.""Buat apa? selama ini kutelpon kamu juga tidak mengangkat, kukirim pesan juga tidak dibalas. Aku juga punya titik jenuh dan bosan. Bukankah kau melarangku ikut campur masalahmu? seharusnya kau juga seperti itu padaku.""Aku ini suamimu!""Hanya suami di atas kertas. Apa kau memanggilku demi ini?"Tommy te
Diaz menghela napas berat, mana bisa dia memberi ijin seperti itu, sudah jelas-jelas terlihat di mata lelaki bernama Setiaji itu sangat tertarik dengan istrinya. Itu namanya bunuh diri Tetapi melihat tatapan memohon Mutia membuatnya luluh, memang tidak seharusnya dia mematahkan hati seorang anak kecil, jika punya anak nanti, dia juga tidak ingin anaknya sedih. "Baiklah, nanti setelah dua Minggu aku akan menjemputmu. Aku juga akan menjenguk mu kapan saja aku mau, sekarang aku akan menginap di sini, ya? aku sudah sangat rindu denganmu." "Tentu saja." "Mulai sekarang, jika kamu punya masalah apapun cerita sama Mas. Jadi mas tidak salah paham, coba kalau kau cerita kalau nenek meninggal, tentu aku tidak akan salah paham begini. Di manapun aku berada, cerita! tidak ada yang lebih penting selain dirimu, soal kerjaan itu hanyalah Rizki saja, kalau memang masih rezeki tidak akan kemana." "Iya, Mas. aku juga minta maaf. Niat hati aku tidak ingin membebani pikiranmu, tetapi malah just
"Untuk apa mas mencari ku? bukankah mas Diaz sudah menceraikan aku? Buat apa, Mas?" tanya Mutia dengan napas yang mulai tersengal, ternyata dia tidak sekuat itu, cairan bening tetap jebol dari mata indahnya. "Tidak semudah itu bercerai, pernikahan kita sudah didaftarkan di KUA, mana bisa kita bercerai hanya dengan kata talak. harus menyelesaikan prosedur perceraian lewat pengadilan." "Apa? jadi mas Diaz datang ke sini mau menyelesaikan prosedur perceraian di pengadilan agama? apa mas datang untuk membawa surat panggilan sidang?" Mutia yang memang pernah bercerai tentu tahu betul bagaimana prosedur perceraian resmi di pengadilan, dia tidak perlu menanyakan hal ini dan itu, jika memang sudah mendaftarkan perceraian, tinggal menunggu panggilan sidang. "Apa kau begitu ingin kita bercerai agar kau terus dipanggil bunda oleh anak kecil itu? kita belum bercerai secara resmi tapi kau sudah bersama lelaki dengan seorang anak?" "Apa? Mas menuduhku kembali?" Diaz tercekat dengan uc
"Apa Rani sudah memilih pakaian yang akan dibeli?" tanya Setiaji ketika dua wanita beda usia menuju ke arahnya dengan membawa tentengan masing-masing. "Sudah, Ayah. Bunda Mutia memilih baju cantik-cantik sekali buat Rani, Rani suka. Ini juga ada sepatu dan juga sandal buat Rani," seru gadis itu dengan suara gembira. "Apakah Bu Mutia ingin memilih barang? biar saya yang membayar," tawar Setiaji. "Tidak usah, Pak. Saya belum membutuhkan barang apapun." Setiaji sudah menduga jawaban Mutia akan seperti itu, melihat dari gestur wanita itu jelas bukan wanita yang matre dan mau-mau saja dibelikan ini dan itu. "kalau begitu kita bayar, sudah itu kita pulang dan mengantar ibu guru Mutia ke rumahnya, ya?" ujar Setiaji pada putrinya. "Namanya bunda Mutia, kenapa ayah memanggilnya ibu guru? panggil bunda, Ayah." Setiaji hanya tersenyum canggung dan mengelus putrinya sambil mengangguk, sudit matanya melirik ke arah Mutiara dengan perasaan yang tidak enak. Setelah membayar semua barang
"Gaji dan bonus ibu sudah saya kirim ke rekening," ujar Setiaji ketika salam perjalanan menuju mall. "Loh, Pak? ini kan baru dua Minggu, kenapa sudah gajian?" "Saya baru saja menerima bonus dari proyek yang saya kerjakan." Mutia memang memberikan nomor rekeningnya seminggu yang lalu mana kala Setiaji menelponnya untuk mengirim biaya hidup Rani. Tidak disangka sekarang dia sudah menerima gaji, dengan cekatan Mutia memeriksa mobile banking nya dan melihat mutasi rekening terbarunya. "Ha? kok sepuluh juta? ini tidak kebanyakan, Pak?" protes Mutia tidak percaya dengan transaksi di M-banking nya "Itu gaji ibu lima juta, buat biaya Rani sehari-hari dua juta dan sisanya bonus menemani Rani hari ini." "Hanya menemani ke mall dapat bonus tiga juta? yang benar saja, Pak?" "Itu hanya uang bonus, siapa tahu nanti di mall ibu ingin membeli sesuatu." Mutia tidak lagi protes, karena sepanjang jalan Rani selalu mengajaknya berbicara dengan menanyakan setiap apa saja yang dia lihat, sement
"Ya, saya terserah ibu mana baiknya." "Kok, terserah saya? anda orang tuanya." "Anda kan gurunya?" Mutia tidak bisa berkata-kata lagi, dia menatap lelaki itu dengan canggung, sementara lelaki itu juga menatapnya bergeming. selama beberapa detik tidak ada yang bersuara diantara mereka, hingga lelaki itu bersuara, "Saya terlalu sibuk dengan pekerjaan, sehingga kurang perhatian terhadap putri saya. Saya selalu berangkat pagi dan pulang malam, ini sudah menjadi resiko pekerjaan." "Memangnya apa pekerjaan anda?" "Saya seorang teknik sipil yang sekarang tengah mengerjakan pengerjaan jalan di luar kota, memang tidak terlalu jauh dari kota Surabaya, tetapi memang jarak tempuhnya lumayan tiga jam. Bisakah saya menitipkan Rani pada ibu ketika saya pergi?" Mutia kembali terperangah mendengar perkataan lelaki itu, bagaimana dia bisa? "Saya akan membayar untuk jasa-jasa itu, saya tidak percaya pada pengasuh. Dulu saya memiliki pengasuh, tetapi setiap hari Rani dicekoki obat tidur
Mutia juga mencari data-data Rina siapa tahu ada nomor telepon orang tuanya, tetapi tidak ada. Bagaimana ini guru yang menerima pendaftaran murid, kenapa tidak dimintai data-data lengkap? Mutia hanya menghela napas berat. Setelah jam lima sore, terpaksa Mutia membawa Rina pulang, dia juga sempatkan mampir di toko baju untuk membelikan baju harian anak yang murah saja karena uangnya juga sedikit. Rina hanya mengikuti Mutia tanpa protes, tentu saja Mutia sangat mengkuatirkan keadaan anak ini, dia tentu saja jengkel. Dia juga mengadu pada rekan kerja dan kepala sekolah di telpon, mengirim pesan di wa grup kelas, meminta orang tua dari Rina untuk menjemput anaknya di rumahnya dan berpesan pada satpam yayasan untuk memberitahu orang tua Rina kalau mencarinya. Mutia sesekali mengintip grup kelas ada orang tua Rina yang merespon dan menanggapi keberadaan Rina, tetapi di grup hanya ada tanggapan orang tua murid lain yang juga terheran-heran kenapa ada anak yang belum dijemput se sore ini
Sudah seminggu lamanya Diaz menyewa jasa detektif swasta tetapi sama sekali belum membuahkan hasil. Kata Rais mereka adalah detektif swasta terbaik, tetapi mana hasilnya? Diaz benar-benar tidak sabaran. Akhirnya Diaz memutuskan untuk pergi ke Austria dan mencari keberadaan Fahri. Diaz tidak tahu di mana alamat tempat tinggal lelaki itu, tetapi tahu tempat kerjanya di kedutaan. Siang itu Diaz menemui Fahri di kantor konsulat tersebut dan membuat Fahri terkejut menerima kedatangannya. ."Pak Diaz? apa yang membuat pak Diaz jauh-jauh menemui saya?" Diaz hanya menghela napas berat, dia sesap kopi panas yang terhidang di hadapannya. "Pak Fahri, saya mencari istri saya Mutiara. Sejak tiga bulan yang lalu, dia pergi dan saya tidak menemukan dia dimanapun. Saya yakin pak Fahri tahu keberadaannya." Fahri memicing heran, sebenarnya Fahri ingin memaki Diaz yang benar-benar sudah menelantarkan Mutia yang kini sudah dia anggap seperti adiknya sendiri, tetapi Fahri hanya bisa menahan dir
Diaz tercengang mendengar kata-kata Fadil, benarkah situasinya seperti itu? tetapi mereka terlihat begitu akrab, tatapan Mutia ke arah Fahri bahkan seperti wanita yang sangat merindukan lelaki itu. "Harusnya kamu berterima kasih pada Fahri, lelaki itu datang tepat waktu. dia membantu Mutia mengurus jenazah nenek, dia bahkan rela disibukkan oleh Mutia yang seharusnya kamu yang melakukannya. Mereka berinteraksi di depan banyak orang, aku yang mengantar nenek sampai kuburan bahkan melihat lelaki itu sampai turun ke liang kubur membantu perkuburan. Kenapa kau tidak tanya dulu dibalik cerita foto itu?" "Melihatnya aku langsung terbakar cemburu." "Aish, cemburu memang bisa mengumpulkan otak orang secerdas apapun. Kamu tahu, bahkan Mutia cerita sama Tasya kalau Fahri sudah dianggap kakak oleh Mutia. bahkan lelaki itu sekarang sudah pergi ke Austria, pindah berkerja di sana. Emang dasar bego kamu ini, ya!" kesal Fadil sambil melempar sendok ke arah Diaz. Diaz yang terkena lemparan di
"Sejak kapan kamu pulang dari Dubai?" "Sudah semingguan lah." "Jadi, waktu nenek Mutia meninggal dunia kamu sempat hadir, dong ya?" "APA? KAMU BILANG APA?!" Fadil yang mengangkat cangkir kopi dan akan menyeruputnya sampai terkejut mendengar teriakan Diaz, bahkan air kopi itu sebagian tumpah ke meja dan sedikit ke celananya. "Apa sih? teriak-teriak, kaget tahu!" gerutu lelaki itu sambil meraih tissue dan menyeka celananya. "Kamu bilang apa tadi?" tanya Diaz dengan nada suara yang sudah diturunkan. "Bilang apa? aku cuma nanya kapan kamu balik ke Indonesia, itu aja." "Bukan yang itu, kamu bilang nenek Mutia meninggal dunia?" Fadil yang kembali akan menyeruput kopi, tangannya jadi bertahan di udara, dia menatap sahabatnya itu dengan tatapan heran. "Kamu sudah seminggu balik ke Indonesia jangan bilang kamu nggak datang ke makam nenek," ujar lelaki itu dengan tatapan menelisik. "Apalagi sampai kamu nggak tahu kalau nenek Rosida meninggal dunia," tambah Fadil sambil me