Akhirnya Diana hanya bisa menahan amarahnya pada putranya ini. Selama ini Diana berharap agar Tommy mau tinggal bersamanya agar hubungan suami istri ini bisa harmonis, tetapi ternyata putranya sudah membeli tempat tinggal, sehingga Diana tidak bisa sepenuhnya mengendalikan putra dan menantunya.
"Baiklah, Mama tunggu kehadiran kalian di rumah Mama besok. Jangan mengelak lagi!"Pesta anniversary Hilman masih berlangsung dengan meriah, dipanggung kedua pasangan paruh baya itu tengah memotong kue ulang tahun, disusul tepuk tangan yang meriah. Semua anggota keluarga diminta Hilman ke atas panggung tak terkecuali Mutiara dan Tommy. Semua anggota keluarga menerima suapan cake dari tangan lelaki paruh baya itu."Mutia, aku minta maaf. Ini, kuberikan minuman soda ini sebagai tanda maaf dariku. Kita ini saudara, sudah seharusnya aku berterima kasih padamu, tetapi selama ini aku selalu memusuhimu."Mutiara cukup terkejut mendengar perkataan Evita. Gadis itu sengaja mendatanginya dan memberikan segelas minuman soda dengan wajah ditekuk, Mutia mengira jika Evita mungkin sudah dimarahi oleh ayah atau ibunya sehingga bersikap seperti ini, tetapi sepengetahuan Mutia, Evita tidak pernah dimarah oleh Hilman ataupun Reni hanya bermasalah dengannya."Apa kamu tidak mau memaafkanku?" tanya Evita dengan wajah memohon.Mutia tidak ambil pusing, entah drama atau memang tulus apa yang dilakukan Evita ini, dia pun tidak ingin cari masalah."Evita, apa yang kau katakan. Sudah lupakan saja, aku sudah memaafkanmu.""Sungguh? kalau begitu minumlah ini, ini hanya minuman soda biasa," ujar gadis itu sambil mengulurkan tangannya."Tidak perlu, aku tidak haus," tolak Mutia"Aku percaya jika kau memaafkanku kalau kau meminum minuman pemberianku ini," ujar Evita dengan tatapan memelas.Mutia pun tidak ambil pusing, dia sangat risih Evita bersikap seperti ini. Beberapa orang bahkan sudah memperhatikan mereka. Anak ini pasti sedang mencari perhatian dan pencitraan agar terlihat seperti gadis baik hati dan rendah hati. Mutia merasa tidak masalah tentang itu, justru kalau dia menolak pemberian Evita, orang-orang akan menyangka dirinya lah yang sombong dan berlaku buruk.Tanpa pikir panjang Mutia meminum seteguk minuman soda itu, rasanya begitu keras masuk tenggorokan, busa soda itu menyengat tetapi dengan adanya batu es didalamnya membuat tenggorokannya juga terasa segar.Evita tersenyum gembira melihat Mutiara meneguk minuman yang diberikannya."Baiklah Kak Mutia, terima kasih sudah memaafkan aku. Kamu harus makan terlebih dahulu sebelum pulang, ya?" ujar gadis itu sambil berlalu, sudut bibirnya membentuk senyuman misterius.Renita yang mendampingi Mutia hanya melihat adegan itu sebagai adegan biasa layaknya saudara sepupu. Ketika Mutia mengajaknya mengambil makanan di meja prasmanan, Tommy mendekati mereka."Mutia, nanti pulang denganku!" perintah lelaki itu."Baiklah," Mutia juga tidak ingin melawan."Reni, nanti pulang dengan mobil kantor, ya?" perintah Mutiara.Setelah memerintah, Tommy kembali meninggalkan Mutiara dan bergabung dengan para undangan pria, mereka asyik membicarakan bisnis di tengah pesta ini.Mutia dan Renita menyantap makanan berdua, ketika makan beberapa suap, kepala Mutia rasanya sedikit pening. Mungkin itu efek dia mendengarkan musik yang kebetulan mereka duduk dekat sound sistem."Bu, kalau begitu saya permisi dulu, ya?" pamit Renita setalah mereka makan."Ibu lanjutkan saja makannya," ujar Renita yang melihat makanan Mutia baru berkurang sedikit di piringnya."Oh ya, hati-hati dijalan ya, Ren!"Setelah Renita pergi, perasaan Mutiara menjadi semakin tidak enak. Suhu udara di sekitar terasa sangat panas. Tubuhnya juga sangat tidak nyaman. Mutiara bangkit berdiri dan berusaha mencari toilet. Tetapi semakin kakinya melangkah, tubuhnya justru semakin lemas tidak karuan."Di mana ada toilet?" tanya Mutiara ketika bertemu dengan pelayan hotel."Oh, ada di kamar di luar ballroom, Bu. Ibu keluar ballroom, lurus ke depan, ada kamar no 143, di sana pintunya tidak terkunci."Mutiara bergegas keluar dari ballroom, dia mengikuti petunjuk pelayan hotel tersebut. lurus saja, dia menyelusuri sebuah lorong yang kanan kirinya adalah kamar. Kamar nomor 143, iya kalau 143. Ini, dia ... ketika Mutiara mencoba memutar handle pintu, benar saja tidak terkunci. Mutiara bergegas masuk ke dalam kamar dan menuju toilet. Isi perutnya harus dikeluarkan, sepertinya dia juga ingin muntah.Tetapi setelah sampai toilet, ternyata dia tidak ingin muntah, tetapi dia justru tengah kepanasan. Panasnya sangat beda, bagian bawah tubuhnya menggelitik akhirnya dia memijitnya, ternyata sedikit nyaman. Tetapi panas tubuhnya semakin panas, dia sangat sulit mengendalikan diri, sehingga dia harus menghidupkan kran dan menguyur tubuhnya sepenuhnya walaupun masih mengenakan gaun lengkap.*****Diaz sedikit terlambat ke pesta anniversary Hilman Widayanto. Sebagai pengusaha sukses yang memiliki strata tertinggi di kota ini, nama keluarga Adiguna sudah tidak diragukan lagi. Selain terkenal dan misterius, keluarga Adiguna juga tidak tersentuh. Tidak sembarangan orang bisa mengundang keluarga ini, tetapi Hilman yang baru bergabung dengan partai politik tidak sengaja bertemu Kusuma Hadi Adiguna. Partai itu memang Kusuma Hadi yang mendirikan, tetapi saat ini perusahaan Adiguna dikuasai oleh putranya, Kusuma hanya fokus pada jalannya partai politik.Hilman tentu sangat membutuhkan support dari perusahaan Adiguna guna pencalonannya sebagai anggota legislatif. Dia sudah mengundang Kusuma secara langsung, tetapi pria itu malah menyarankan mengundang Diaz saja.Diaz paling malas menghadiri undangan pesta seperti ini, apalagi hanya anniversary pernikahan, sungguh acara yang tidak penting sama sekali. Tetapi Rais sangat heran, karena Diaz justru tampil paripurna hari ini, Rais sendiri tahu siapa Hilman Widayanto itu, seseorang yang juga tidak terlalu penting. Ketika sampai di lorong menuju ballroom, tidak sengaja Diaz melihat seorang wanita muda yang bicara dengan pelayan hotel."Apa sudah kau suruh dia masuk di kamar hotel nomor 143?""Sudah, Nona.""Bagus! cepat kamu suruh gigolo untuk masuk ke kamar itu, aku akan membawa Tommy ke sana. Aku yakin akan hancur nasib Mutiara kali ini."Hati Diaz berdegup sangat keras, bukankah Mutiara yang dimaksud adalah dia?"Kau dengar itu, Rais?""Dengar apa, Pak?" Rais sedikit bingung, ketika Diaz berhenti dan menguping, dia juga penasaran ingin menguping, tetapi perkataan wanita itu tidak jelas."Segera pesan kamar nomor 144!""Oh, Baik, Pak."Rais segera melaksanakan apa yang diperintahkan bosnya, kebetulan kamar tersebut memang sedang kosong. Diaz langsung mencopot nomor kamar dan menukar dengan nomor 143. Lelaki itu langsung memutar handle pintu, ternyata memang tidak terkunci. Diaz langsung masuk dan mengunci kamar tersebut dari dalam.Suara berisik dan lenguhan terdengar dari kamar mandi. Mutiara sudah tidak tahan, guyuran air dingin dari kran tidak dapat meredakan rasa panas yang menjalar di seluruh tubuhnya, justru semakin membuatnya tersiksa. Kamar ini hanya dilengkapi dengan shower, tidak ada bath tub-nya. Tubuh Mutia sudah kedinginan, tetapi rasa aneh itu malah semakin menjadi-jadi. "Ouh!" lenguh wanita itu sambil meraba seluruh tubuhnya. "Ouh, aku kenapa? Ah ...."Ada perasaan nyaman ketika tangannya meraba bagian sensitifnya, perasaan itu menimbulkan sensasi tersendiri yang tidak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata.BrakTiba-tiba pintu kamar mandi terbuka lebar, tentu saja Mutia terkejut luar biasa. Sesosok lelaki dengan tubuh tegap, rahang tegas dan di tumbuhi bulu-bulu halus, berdiri di pintu dengan mata menyipit menatapnya intens."Hei, siapa kamu? ke_ kenapa masuk ke ... ke sini?" tanya Mutia dengan gugup manakala lelaki itu melangkahkan kakinya dengan perlahan."Pergi ... pergi ...."Dengan tubuh gem
Diaz duduk termenung di kursi kebesarannya, jarinya tak lepas menjepit sebuah rokok, menghisapnya perlahan, asap mengepul di ruangan ini menggumpal, lalu menyebar. Rais terpaksa membuka jendela, sudah sering diingatkan agar atasannya jangan merokok dalam ruangan ber-AC, tetapi lelaki itu mana peduli, akhirnya membuka jendela dan mematikan AC yang bisa Rais lakukan.Sejak pagi Diaz tampak galau dan gelisah, sudah hampir dua bungkus rokok yang dibakar sia-sia. Ketika ditawari makan siang, lelaki itu juga menolak. "Kenapa masih di sini? bukankah kau mau makan siang?" tegur Diaz yang melihat Rais masih berdiri di ruangannya."Apa anda mau memesan sesuatu? Nanti saya bawakan.""Ya, bawakan saja aku makanan yang bisa dimakan!" perintah Diaz dengan asal Kembali asap rokok memenuhi ruangan ini, rasanya Diaz benar-benar bisa gila memikirkan kejadian tadi malam. Malam tadi sebenarnya adalah malam impiannya, bagaimana tidak? Sudah lima tahun dia memimpikan wanita itu dalam rengkuhannya, tetapi
Sampai ruangan Tommy, lelaki itu masih sibuk mengurusi dokumen di tangannya. Ketika melihat Mutiara, lelaki itu langsung meletakkan dokumen dan menatapnya dengan tajam."Kemarin kamu ke mana?" tanya lelaki itu dengan mata tajam.Mutiara sebenarnya gugup mendengar pertanyaan suaminya ini, namun sebisa mungkin dia menampilkan sikap wajar di hadapannya."Aku menginap di rumah Renita," ujarnya dengan nada biasa."Kenapa kau menginap di rumahnya?" buru Tommy dengan tidak puas."Aku bosan! di rumah juga tidak ada orang. Aku akan menginap di rumah mama, tetapi mama belum pulang juga. Aku hanya butuh teman ngobrol dan nonton drama bersama.""Setidaknya kau hubungi aku atau tinggalkan pesan.""Buat apa? selama ini kutelpon kamu juga tidak mengangkat, kukirim pesan juga tidak dibalas. Aku juga punya titik jenuh dan bosan. Bukankah kau melarangku ikut campur masalahmu? seharusnya kau juga seperti itu padaku.""Aku ini suamimu!""Hanya suami di atas kertas. Apa kau memanggilku demi ini?"Tommy te
Siska Artamevia, hanya karena wanita itulah Tommy menjadi orang yang kehilangan kepribadian. Sekarang yang menanggung akibatnya adalah Mutiara. Kewarasan Tommy tergerus semua karena wanita ini. Mutiara memang belum pernah bertemu langsung dengan wanita ini, tetapi dia selalu melihat penampilan wanita ini yang wara-wiri di layar kaca. Sudah tiga tahun wanita ini menetap di luar negeri, bersama suaminya. Tetapi kenapa dia kembali? Mutiara tidak mengikuti berita tentang wanita ini, buat apa juga? Mereka hanya mantan. Tetapi detik ini, Mutiara merasa meremehkan wanita ini mana kala pegangan tangannya di lengan lelaki ini diurai perlahan, sorot mata lelaki ini begitu berbinar menatap ke arah panggung.Apa lagi yang diharapkan pada lelaki ini? Bukankah dia juga sering diselingkuhi dengan banyak wanita? Bertambah satu lagi mantannya, apa bedanya? Mutiara hanya berdecak, selanjutnya dia berjalan perlahan bergabung dengan istri Rio Dewanto, sambil sesekali mengamati pergerakan suaminya.Memang
Sesuai dugaan Mutiara, Tommy memang tidak pulang. Bahkan sampai dua hari. Dia juga tidak pergi ke kantor, pasti mengencani artis itu. Mutiara bersikap biasa saja, dia bekerja seperti biasa, pulang ke rumah seperti biasa. Tidak ada yang berubah di hidupnya. Tommy bahkan pernah pergi selama sebulan waktu berkencan dengan seorang foto model, mereka berlibur ke Pulau Hawai. Ini baru dua hari belum ada apa-apanya. Tetapi yang membuat gerah, pagi ini Clarisa sudah menunggu di ruangannya dengan wajah congkak, seolah-olah dia istri sahnya Tommy."Mau apa kamu ke sini?!" tanya Mutiara dengan nada tidak suka "Kenapa Pak Tommy tidak ke kantor dua hari ini?" tanya Clarisa dengan mengintimidasi."Loh, aku pikir dia pergi ke tempatmu?" "Apa?" Clarisa menyipitkan matanya heran melihat Mutiara yang biasa saja mendapat cercaan darinya."Anda kan istrinya, Bu! tapi anda kok tidak tahu ke mana Pak Tommy pergi, gimana sih?""Aku memang istrinya, tetapi kamu kan kekasihnya? kekasih ... itu artinya orang
"Siska rela menjadi yang kedua. Jadi aku akan menjadikan istri kedua. Kamu tetap menjadi istri pertamaku."Tubuh Mutiara menegang seketika. Brengsek, ternyata lelaki ini tidak akan melepasnya sama sekali. "Bukankah kau cinta mati dengan wanita itu? Kenapa masih tidak mau melepaskan aku?" ujar Mutiara dengan suara bergetar, menahan emosi yang sudah menumpuk di dada."Bagaimana aku bisa melepaskan mu? kau adalah tambang emasku. Aku akan menjadikan Siska istri yang kucintai bahkan kutiduri, sementara kamu bertugas menjaga perusahaan ku, bagaimana? kurang baik apa aku?"Prangspontan Mutiara melempar gelas yang dipegangnya, tepat sasaran! gelas itu mengenai kepala Tommy dan jatuh pecah beberapa bagian di lantai. Tommy yang tidak menduga akan hal itu, menatap Mutiara dengan mata melotot, darah segar mengalir dari pelipisnya.Mutiara juga tidak menduga dengan tindakan spontan nya itu, tangannya gemetar dan wajahnya pucat, darah di pelipis Tommy sudah mengalir hampir mengenai mata."Kau ber
Sudah seminggu Mutiara dikurung di rumah ini oleh Tommy. Setiap pagi dan sore hari akan datang ART paruh waktu yang akan membersihkan rumah, berbelanja dan memasak. Tommy tidak akan membiarkan Mutiara bekerja apapun di rumah ini. Ada dua satpam dan setiap hari berjaga di luar setiap hari bergantian untuk menjaga rumah, tujuannya agar Mutiara tidak kabur dari rumah. Sudah satu Minggu sejak peristiwa itu juga Tommy tidak kembali ke rumah itu, entah kemana perginya lelaki itu? tidak membuat Mutiara pusing memikirkannya, dia justru lega tidak melihat lelaki itu. Terserah dia mau bermalam di manapun dengan wanita manapun. Walaupun dikurung, Tommy masih tetap mengijinkan mutiara bekerja dari rumah. Tip hari Renata akan mondar-mandir dari kantor ke rumah atasannya itu untuk membawakan pekerjaan. Kadang kala dia menyuruh kurir kantor jika tidak sempat, kadang juga orang-orang kantor ataupun pabrik yang berkepentingan padanya akan datang ke rumah.Sore ini dia didatangi oleh tim pengembang pr
"Kebetulan sekali kalian sedang pesta, jadi kami bisa bergabung, ya?" ujar lelaki itu masih memasang senyum smirk yang menurut Mutia sangat menyebalkan. Kami? maksudnya kami itu_"Sayang? lekas kemari! kebetulan, kedatanganmu sepertinya sudah disambut dengan meriah di sini."Dari pintu menyembul sosok perempuan cantik, Tommy langsung meraih lengan wanita itu dan mengajaknya masuk ke dalam rumah. Semua orang terbengong melihat siapa yang datang, mereka jelas tahu siapa wanita ini, seorang publik figur yang cukup terkenal, seorang diva yang konon berkarir hingga ke luar negeri. Sosok Siska ternyata lebih cantik di dunia nyata dari pada di layar televisi ataupun foto di portal-portal media gosip. "Mutia, kamu sudah kenal kan, siapa dia? hari ini sengaja aku membawanya karena akan diperkenalkan padamu," ujar Tommy dengan senyum sumringah dan membawa wanita itu ke meja makan di hadapan Mutia. Semua orang tidak ada yang bersuara, meja Makan yang hanya ada enam kursi itu sudah diduduki li
Diaz menghela napas berat, mana bisa dia memberi ijin seperti itu, sudah jelas-jelas terlihat di mata lelaki bernama Setiaji itu sangat tertarik dengan istrinya. Itu namanya bunuh diri Tetapi melihat tatapan memohon Mutia membuatnya luluh, memang tidak seharusnya dia mematahkan hati seorang anak kecil, jika punya anak nanti, dia juga tidak ingin anaknya sedih. "Baiklah, nanti setelah dua Minggu aku akan menjemputmu. Aku juga akan menjenguk mu kapan saja aku mau, sekarang aku akan menginap di sini, ya? aku sudah sangat rindu denganmu." "Tentu saja." "Mulai sekarang, jika kamu punya masalah apapun cerita sama Mas. Jadi mas tidak salah paham, coba kalau kau cerita kalau nenek meninggal, tentu aku tidak akan salah paham begini. Di manapun aku berada, cerita! tidak ada yang lebih penting selain dirimu, soal kerjaan itu hanyalah Rizki saja, kalau memang masih rezeki tidak akan kemana." "Iya, Mas. aku juga minta maaf. Niat hati aku tidak ingin membebani pikiranmu, tetapi malah just
"Untuk apa mas mencari ku? bukankah mas Diaz sudah menceraikan aku? Buat apa, Mas?" tanya Mutia dengan napas yang mulai tersengal, ternyata dia tidak sekuat itu, cairan bening tetap jebol dari mata indahnya. "Tidak semudah itu bercerai, pernikahan kita sudah didaftarkan di KUA, mana bisa kita bercerai hanya dengan kata talak. harus menyelesaikan prosedur perceraian lewat pengadilan." "Apa? jadi mas Diaz datang ke sini mau menyelesaikan prosedur perceraian di pengadilan agama? apa mas datang untuk membawa surat panggilan sidang?" Mutia yang memang pernah bercerai tentu tahu betul bagaimana prosedur perceraian resmi di pengadilan, dia tidak perlu menanyakan hal ini dan itu, jika memang sudah mendaftarkan perceraian, tinggal menunggu panggilan sidang. "Apa kau begitu ingin kita bercerai agar kau terus dipanggil bunda oleh anak kecil itu? kita belum bercerai secara resmi tapi kau sudah bersama lelaki dengan seorang anak?" "Apa? Mas menuduhku kembali?" Diaz tercekat dengan uc
"Apa Rani sudah memilih pakaian yang akan dibeli?" tanya Setiaji ketika dua wanita beda usia menuju ke arahnya dengan membawa tentengan masing-masing. "Sudah, Ayah. Bunda Mutia memilih baju cantik-cantik sekali buat Rani, Rani suka. Ini juga ada sepatu dan juga sandal buat Rani," seru gadis itu dengan suara gembira. "Apakah Bu Mutia ingin memilih barang? biar saya yang membayar," tawar Setiaji. "Tidak usah, Pak. Saya belum membutuhkan barang apapun." Setiaji sudah menduga jawaban Mutia akan seperti itu, melihat dari gestur wanita itu jelas bukan wanita yang matre dan mau-mau saja dibelikan ini dan itu. "kalau begitu kita bayar, sudah itu kita pulang dan mengantar ibu guru Mutia ke rumahnya, ya?" ujar Setiaji pada putrinya. "Namanya bunda Mutia, kenapa ayah memanggilnya ibu guru? panggil bunda, Ayah." Setiaji hanya tersenyum canggung dan mengelus putrinya sambil mengangguk, sudit matanya melirik ke arah Mutiara dengan perasaan yang tidak enak. Setelah membayar semua barang
"Gaji dan bonus ibu sudah saya kirim ke rekening," ujar Setiaji ketika salam perjalanan menuju mall. "Loh, Pak? ini kan baru dua Minggu, kenapa sudah gajian?" "Saya baru saja menerima bonus dari proyek yang saya kerjakan." Mutia memang memberikan nomor rekeningnya seminggu yang lalu mana kala Setiaji menelponnya untuk mengirim biaya hidup Rani. Tidak disangka sekarang dia sudah menerima gaji, dengan cekatan Mutia memeriksa mobile banking nya dan melihat mutasi rekening terbarunya. "Ha? kok sepuluh juta? ini tidak kebanyakan, Pak?" protes Mutia tidak percaya dengan transaksi di M-banking nya "Itu gaji ibu lima juta, buat biaya Rani sehari-hari dua juta dan sisanya bonus menemani Rani hari ini." "Hanya menemani ke mall dapat bonus tiga juta? yang benar saja, Pak?" "Itu hanya uang bonus, siapa tahu nanti di mall ibu ingin membeli sesuatu." Mutia tidak lagi protes, karena sepanjang jalan Rani selalu mengajaknya berbicara dengan menanyakan setiap apa saja yang dia lihat, sement
"Ya, saya terserah ibu mana baiknya." "Kok, terserah saya? anda orang tuanya." "Anda kan gurunya?" Mutia tidak bisa berkata-kata lagi, dia menatap lelaki itu dengan canggung, sementara lelaki itu juga menatapnya bergeming. selama beberapa detik tidak ada yang bersuara diantara mereka, hingga lelaki itu bersuara, "Saya terlalu sibuk dengan pekerjaan, sehingga kurang perhatian terhadap putri saya. Saya selalu berangkat pagi dan pulang malam, ini sudah menjadi resiko pekerjaan." "Memangnya apa pekerjaan anda?" "Saya seorang teknik sipil yang sekarang tengah mengerjakan pengerjaan jalan di luar kota, memang tidak terlalu jauh dari kota Surabaya, tetapi memang jarak tempuhnya lumayan tiga jam. Bisakah saya menitipkan Rani pada ibu ketika saya pergi?" Mutia kembali terperangah mendengar perkataan lelaki itu, bagaimana dia bisa? "Saya akan membayar untuk jasa-jasa itu, saya tidak percaya pada pengasuh. Dulu saya memiliki pengasuh, tetapi setiap hari Rani dicekoki obat tidur
Mutia juga mencari data-data Rina siapa tahu ada nomor telepon orang tuanya, tetapi tidak ada. Bagaimana ini guru yang menerima pendaftaran murid, kenapa tidak dimintai data-data lengkap? Mutia hanya menghela napas berat. Setelah jam lima sore, terpaksa Mutia membawa Rina pulang, dia juga sempatkan mampir di toko baju untuk membelikan baju harian anak yang murah saja karena uangnya juga sedikit. Rina hanya mengikuti Mutia tanpa protes, tentu saja Mutia sangat mengkuatirkan keadaan anak ini, dia tentu saja jengkel. Dia juga mengadu pada rekan kerja dan kepala sekolah di telpon, mengirim pesan di wa grup kelas, meminta orang tua dari Rina untuk menjemput anaknya di rumahnya dan berpesan pada satpam yayasan untuk memberitahu orang tua Rina kalau mencarinya. Mutia sesekali mengintip grup kelas ada orang tua Rina yang merespon dan menanggapi keberadaan Rina, tetapi di grup hanya ada tanggapan orang tua murid lain yang juga terheran-heran kenapa ada anak yang belum dijemput se sore ini
Sudah seminggu lamanya Diaz menyewa jasa detektif swasta tetapi sama sekali belum membuahkan hasil. Kata Rais mereka adalah detektif swasta terbaik, tetapi mana hasilnya? Diaz benar-benar tidak sabaran. Akhirnya Diaz memutuskan untuk pergi ke Austria dan mencari keberadaan Fahri. Diaz tidak tahu di mana alamat tempat tinggal lelaki itu, tetapi tahu tempat kerjanya di kedutaan. Siang itu Diaz menemui Fahri di kantor konsulat tersebut dan membuat Fahri terkejut menerima kedatangannya. ."Pak Diaz? apa yang membuat pak Diaz jauh-jauh menemui saya?" Diaz hanya menghela napas berat, dia sesap kopi panas yang terhidang di hadapannya. "Pak Fahri, saya mencari istri saya Mutiara. Sejak tiga bulan yang lalu, dia pergi dan saya tidak menemukan dia dimanapun. Saya yakin pak Fahri tahu keberadaannya." Fahri memicing heran, sebenarnya Fahri ingin memaki Diaz yang benar-benar sudah menelantarkan Mutia yang kini sudah dia anggap seperti adiknya sendiri, tetapi Fahri hanya bisa menahan dir
Diaz tercengang mendengar kata-kata Fadil, benarkah situasinya seperti itu? tetapi mereka terlihat begitu akrab, tatapan Mutia ke arah Fahri bahkan seperti wanita yang sangat merindukan lelaki itu. "Harusnya kamu berterima kasih pada Fahri, lelaki itu datang tepat waktu. dia membantu Mutia mengurus jenazah nenek, dia bahkan rela disibukkan oleh Mutia yang seharusnya kamu yang melakukannya. Mereka berinteraksi di depan banyak orang, aku yang mengantar nenek sampai kuburan bahkan melihat lelaki itu sampai turun ke liang kubur membantu perkuburan. Kenapa kau tidak tanya dulu dibalik cerita foto itu?" "Melihatnya aku langsung terbakar cemburu." "Aish, cemburu memang bisa mengumpulkan otak orang secerdas apapun. Kamu tahu, bahkan Mutia cerita sama Tasya kalau Fahri sudah dianggap kakak oleh Mutia. bahkan lelaki itu sekarang sudah pergi ke Austria, pindah berkerja di sana. Emang dasar bego kamu ini, ya!" kesal Fadil sambil melempar sendok ke arah Diaz. Diaz yang terkena lemparan di
"Sejak kapan kamu pulang dari Dubai?" "Sudah semingguan lah." "Jadi, waktu nenek Mutia meninggal dunia kamu sempat hadir, dong ya?" "APA? KAMU BILANG APA?!" Fadil yang mengangkat cangkir kopi dan akan menyeruputnya sampai terkejut mendengar teriakan Diaz, bahkan air kopi itu sebagian tumpah ke meja dan sedikit ke celananya. "Apa sih? teriak-teriak, kaget tahu!" gerutu lelaki itu sambil meraih tissue dan menyeka celananya. "Kamu bilang apa tadi?" tanya Diaz dengan nada suara yang sudah diturunkan. "Bilang apa? aku cuma nanya kapan kamu balik ke Indonesia, itu aja." "Bukan yang itu, kamu bilang nenek Mutia meninggal dunia?" Fadil yang kembali akan menyeruput kopi, tangannya jadi bertahan di udara, dia menatap sahabatnya itu dengan tatapan heran. "Kamu sudah seminggu balik ke Indonesia jangan bilang kamu nggak datang ke makam nenek," ujar lelaki itu dengan tatapan menelisik. "Apalagi sampai kamu nggak tahu kalau nenek Rosida meninggal dunia," tambah Fadil sambil me