Kurasakan darahku seperti mendidih hingga ke ubun-ubun. Netra ini menatap nanar pemandangan yang tak pernah terlintas sedikitpun dalam benakku.
Dress selutut berwarna biru muda, membalut tubuh rampingnya. Rambutnya di cepol memperlihatkan leher jenjangnya. Senyum mengembang di bibir mereka berdua. Bahkan Mas Adrian mencium kening wanita itu, dan mengusap pipinya.Hati ini bagai di tusuk belati tajam. Sakit tak terkira. Inikah alasan kamu lembur setiap hari Mas?Astaghfirullah! Netra ini memanas, berusaha keras agar bulir bening yang menyeruak hendak keluar dari pelupuk mata ini tak sampai tumpah di sini.Ya! Suamiku selingkuh. Yang lebih mengejutkan lagi wanita itu adalah seorang yang sangat dekat denganku. Aku ternganga. Mungkin rona wajahku kini sudah merah padam menahan emosi yang siap meledak.Aku tak bisa lebih lama lagi berdiam di dalam mobil."Tunggu di sini sebentar ya Pak! Saya ada urusan sebentar dengan dua orang itu!" ucapku dengan suara bergetar dan tetap memandang ke arah dua manusia durjana itu."Ya Bu!"Kuayun langkah dengan pasti menuju mereka berdua yang tengah bergandeng tangan hendak memasuki rumah.Prok! Prok! Prok!Aku sengaja bertepuk tangan dengan cukup keras, saat jarak kami hanya sekitar lima meter.Mas Adrian dan wanita itu pun menoleh.Mas Adrian tak bisa menyembunyikan keterkejutanku yang tiba-tiba ada dibelakangnya. Wajahnya pucat pasi, pun dengan wanita disampingnya tak kalah terkejutnya."Kenapa Mas! Kaget! Jadi ini alasan kamu lembur setiap hari! Hebat kamu Mas!""M–Mbak Nisa!""Ya! Ini aku! Kenapa Vi? Kaget? Harusnya aku yang kaget dong! Ternyata Suamiku diam-diam punya hubungan khusus sama sepupuku!" ucapku sambil tertawa. Lebih tepatnya mentertawakan kebodohanku sendiri.Bisa-bisanya aku tidak tahu jika ternyata Mas Adrian ada main serong dengan Vivi sepupuku sendiri anak dari Tante Ranti.Aku tegapkan langkah, lebih mendekat. Walau sesungguhnya setiap sendiku lemas bagai tak bertulang, tapi sekali lagi aku tak ingin terlihat lemah.Plak!Satu tamparan keras mendarat di pipi wanita yang kuanggap seperti adikku sendiri tapi nyatanya tega menusukku dari belakang."Nisa! Apa-apaan kamu!"Hohoho ternyata suamiku lebih membela wanita selingkuhannya."Kamu yang apa-apaan Mas! Tega kamu Mas! Kurang apa aku sama kamu! Sampai kamu setega ini Mas! Brengsek!" teriakku lantang seperti orang kesetanan."Mbak Nisa A–""Apa Vi? Apa! Aku nggak nyangka kamu tega! Kalian berdua Bang*at!" teriakku.Demi Tuhan sebelumnya aku tak pernah bicara sekasar ini. Sungguh ini begitu menyakitkan. Dua orang yang aku sayang ternyata tega menusukku dari belakang."Nis! Nisa–" lagi Mas Adrian berusaha meraih tanganku. Menenangkanku. No! Terlambat Mas! Kamu terlalu pengecut!Plak!Sekali lagi satu tamparan keras kulayangkan kali ini pada laki-laki yang aku cintai dengan tulus namun tega merusak tulusnya hati ini.Mas Adrian bergeming dengan pipi memerah. Itu tak sesakit yang aku rasakan Mas!"Ini tidak seperti yang kamu lihat, Nis! Kita pulang sekarang dan aku jelaskan semua di rumah," ucap Mas Adrian seraya melihat sekitar mungkin ia takut jika teriakkanku mengundang perhatian warga sekitar.Aku tidak peduli."Apa yang mau kamu jelasin lagi Mas! Apa?! Ini semua sudah cukup jelas! Kamu kira aku ini bodoh harus dijelaskan untuk hal seperti ini! Hah?!" Lagi aku berteriak dengan dada naik turun dan deru napas memburu.Sesak sungguh sesak yang aku rasakan di dalam sini."Nisa! Turunkan suaramu!" mohonnya."Ya! Aku memang bodoh Mas! Aku bodoh sampai suamiku selingkuh dengan sepupuku sendiri saja aku tidak tahu!" Aku kembali tertawa di iringi air mata yang mulai menganak sungai."Kamu jahat Mas!" Aku mencengkram kerah baju Mas Adrian dan kugoncangkan sekuat tenaga dan mendorongnya."Kalian memang brengsek!" umpatkuAku gila. Ya aku seperti orang gila mengetahui kenyataan ini."Nisa! Nisa!" Mas Adrian memanggilku yang memilih berlari pergi usai meluapkan semuanya. Tak kupedulikan tatapan beberapa orang yang mulai keluar dari rumah mereka dan menengok keributan kami.Aku masuk ke dalam mobil dan langsung meminta Pak supir untuk melajukan mobil. Sepanjang jalan bulir bening ini makin deras keluar.Allah! Astaghfirullah!Kuusap air mata yang terus keluar dengan derasnya hatiku terluka. Nyatanya luka pengkhianatan begitu dahsyat sakitnya.Aku memukul-mukul dada ini, berharap bisa mengurangi sesaknya rasa di dada.Sakit. Marah. Kecewa. Itu yang aku rasakan kini. Laki-laki yang kini jadi tumpuan hidupku ternyata dengan begitu tega menancapkan belati tajam di hati.Ya! Aku yatim piatu. Aku tak pernah melihat sosok ayahku. Ia telah berpulang saat aku masih tujuh bulan di kandungan Ibu. Saat aku kelas enam SD ibuku menyusul. Dan aku diasuh oleh Tante Ranti–adiknya ibu yang tak lain adalah ibunya Vivi, wanita yang kini merusak rumah tanggaku.Aku memutuskan untuk ke rumah Intan sahabatku. Rasanya aku tak sanggup pulang ke rumah dan bertemu dengan Mas Adrian. Aku perlu menenangkan diri.Pak supir membelokkan arah setelah aku memberikan alamat rumah Intan. Intan sahabatku sejak SMA.Getar ponsel mengagetkanku. Nama Mas Adrian terlihat di layar pipih itu. Tak sedikitpun aku berniat mengangkatnya. Aku langsung menekan tombol merah kemudian menekan power sedikit lebih lama hingga layar ponsel itu menggelap seluruhnya.Beberapa kali Pak supir tampak melirik ke arahku. Mungkin bingung dengan apa yang terjadi padaku. Malang. Sungguh malang nasibmu ini Nis! Lahir sebagai anak yatim, sudah bersuami masih pula merasakan sakit karena dikhianati."Ehm ... Maaf Mbak! Mbak tidak apa-apa?" tanya supir ragu."Saya tidak apa-apa Pak, jalan aja sesuai alamat yang saya berikan tadi," sahutku dengan suara parau.Setengah jam perjalanan aku sampai di depan sebuah rumah yang sering kudatangi dulu sewaktu masih SMA.Tampak Intan sudah duduk di teras rumah menunggu kedatanganku. Aku memang sempat memberitahunya sebelum ponsel kumatikan, jika aku akan datang kemari."Assalamualaikum Tan!""Wa'alaikumusalam Nisa! Ayo masuk!" Bergegas Intan membuka lebar gerbang rumahnya dan mempersilahkan aku masuk.Tak lupa aku membayar taksi, dua lembar uang pecahan seratus ribu, aku rasa itu lebih dari ongkos yang seharusnya. Sengaja aku lebihkan memang karena beliau sudah membantuku."Nisa kamu kenapa?" tanya Intan. Tatapannya penuh tanya mungkin juga ia kaget aku datang dengan kondisi mata sembab.Aku menghambur ke pelukannya, membiarkan pertanyaan Intan mengambang di udara. Lagi Aku tak mampu membendung air mataku dalam pelukan sahabatku ini."Sssttt! Udah yuk masuk dulu."Intan memang tinggal sendiri di rumah ini, orang tuanya tinggal di luar kota karena urusan pekerjaan. Sejak SMU dulu Intan sudah di latih mandiri sering di tinggal oleh orang tuanya, dan terbiasa ditinggal di rumah bersama Bik Mirna."Kamu tenangkan diri kamu dulu Nis! Sebentar aku ambilkan minum." Intan berlalu masuk ke dalam. Aku jatuhkan bobotku di sofa ruang tamu.Kupejamkan erat mata ini. Bayangan Mas Adrian bersama Vivi tadi berputar di kepalaku, kembali bulir bening ini menetes membasahi pipi. Rasanya begitu sakit, ya Allah."Nis! Hey, ini minum dulu." Tepukan pelan tangan Intan mengagetkanku. Segera aku menyeka air mataku. Dan menerima segelas teh hangat dari Intan dan meneguknya."Makasih Tan!" Intan mengangguk."Sebenarnya ada apa sih? Sampai kamu sedih banget kek gini?" tanya setelah aku meletakkan gelas di meja.Kuhela napas panjang, dan mengeluarkannya pelan. Setelah aku merasa tenang. Aku menatap wajah Intan yang sejak tadi menungguku bicara."Mas Adrian Tan. Mas Adrian selingkuh," ucapku sendu."Apa? Adrian selingkuh? Yang bener kamu Nis?" Aku mengangguk cepat."Aku nggak akan bisa bicara begini kalau aku nggak lihat sendiri semuanya Tan." tangisku kembali pecah.Aku merasa begitu rapuh saat ini. Aku seakan kehilangan tumpuan hidup.Intan menatapku dalam. Mungkin Intan masih tak percaya dengan yang katakan."Dan kamu tau, siapa perempuan itu?" lanjutku."Siapa?""Vivi, sepupuku sendiri.""Apa? Vivi? Bukankah Dia ...."Aku menatap lekat ke arah Intan yang tampak sedang berpikir."Tunggu! Maksud kamu Vivi Anggraini kan?" Aku mengangguk. Karena itu memang nama lengkap Vivi."Bukankah Vivi itu pacarnya Rendi.""Rendi?""Iya. Rendi teman kita waktu SMA dulu, inget nggak? Rendi yang dulu pernah suka sama kamu tapi kamu tolak itu." Aku terdiam. Mencoba memutar ingatanku beberapa tahun lalu saat aku masih sekolah. Aku ingat sekarang, ya! Rendi yang dulu pernah mengutarakan cinta padaku, bahkan ia mengatakan itu di depan kelas, tentu membuatku malu sekaligus terharu atas aksinya.Namun aku menolak halus perasaannya. Meski sejujurnya waktu itu aku pun menyukainya. Tapi aku sadar diri, aku hanya seorang anak yatim-piatu, hidup menumpang di rumah Tante Ranti. Tante Ranti masih mau menyekolahkan aku sampai SMA saja aku sudah sangat bersyukur. Jadi aku tak ingin banyak tingkah dengan menjalin hubungan atau berpacaran semasa sekolah.Fokusku hanya untuk belajar. Aku tak ingin tanteku kecewa.Tanpa sadar aku ters
Tok! Tok! Tok!"Nisa! Apa Kau sudah bangun?" Suara Intan mengagetkanku. Kulihat jam yang tergantung di dinding ternyata sudah hampir jam tujuh pagi."Iya Tan!" sahutku kemudian membuka pintu kamar.Ternyata Intan sudah rapi dengan pakaian kerjanya."Kamu sudah mau berangkat?""Sebentar lagi. Ayo, sarapan dulu," ajaknya.Kami berjalan ke ruang makan. "Nis, selama aku kerja, kamu di rumah ini bersama Bik Mirna nggak apa-apa kan!" Intan berkata sambil menyuap nasi goreng ke mulutnya."Ehm, hari ini aku pulang aja ke rumah, Tan." "Apa? Kamu yakin?"Sejenak aku terdiam. Karena sebenarnya di dalam hati ini juga masih ragu, apakah aku sanggup bertemu dengan dia hari ini. Namun akal sehatku masih bekerja dengan baik, ini kenyataan, mau tak mau, siap tidak siap, aku harus menghadapi ini."Insya Allah aku yakin, Tan!" jawabku kemudian. Aku ingin buat perhitungan dengan Mas Adrian. Meski aku sendiri tak yakin dengan langkah yang akan kuambil ini."Nisa! Kalau kamu mau di sini dulu beberapa har
"Kamu yakin, apapun yang kumau akan kamu lakukan Mas?" tanyaku dan Mas Adrian mengangguk cepat. Bersamaan dengan senyum mengembang di bibirnya, namun ada gurat gelisah juga tergambar diwajahnya.Aku paham Mas Adrian sampai memohon untuk aku tetap bertahan pasti karena Ibu, ia tahu sedekat apa aku dengan ibunya. Aku tahu perpisahanku dengannya pasti akan membuat Ibu syok. Mas Adrian pasti khawatir akan kesehatan ibunya. Ibu punya riwayat jantung dan bisa kambuh sewaktu-waktu jika ada hal yang membuatnya syok."Aku mau kau meninggalkan Vivi," ucapku.Mas Adrian melebarkan pupil matanya. Bibirnya terbuka untuk beberapa detik.Aku menatap lekat kearahnya. Bisa kusimpulkan Ia teramat berat memenuhi permintaanku, hatiku seperti teriris. Nyeri melihat Mas Adrian nyatanya begitu berat melepas pelakor itu. Meski ia belum mengatakannya."Ehm, Nis! Begini, maafkan Mas. Nanti Mas akan bicara dengan Vivi," jawabnya gugup.Aku menggeleng tak percaya."Kenapa? Berat melepaskan Vivi?" Aku tersenyum k
Yes. Akhirnya berhasil terbuka. Dengan langkah cepat aku masuk ke kamar mandi membawa ponsel Mas Adrian.Jemariku langsung membuka aplikasi berwarna hijau bergambar gagang telepon. Chat paling atas terulis nama Vie dengan emoticon bentuk hati disampingnya. Sekali lagi aku menghirup napas dalam-dalam. Menyiapkan hati sebelum membuka apa saja isi chat mereka.Ada banyak sekali chat mereka. [Makasih ya Mas udah beliin yang aku mau.] Sebuah isi chat diiringi foto Vivi tegah memperlihatkan leher jenjangnya mengenakan kalung. Bagus banget. Ucapku dalam hati di iringi rasa nyeri di dada ini. Aku bahkan belum pernah dibelikan kalung sebagus itu oleh Mas Adrian. Satu-satunya kalung yang ia berikan adalah saat pernikahan kami, itupun sudah kujual untuk membayar sewa rumah ini. Waktu itu Mas Adrian lagi nganggur.[Sama-sama Sayang! Untuk kamu memang selalu bisa memuaskanku.] Balasan chat dari Mas Adrian seketika membuatku bergidik.[Aku pasti akan selalu menyenangkan hatimu Mas.][Untuk di at
"Mama selalu saja membela dia! Aku yang anak Mama bukan dia!" teriak Vivi.Dia? Dia siapa yang dia maksud. Aku menunda untuk masuk ke dalam rumah, tampak mereka tengah bersitegang di ruang tengah tapi suaranya jelas terdengar hingga ke teras rumah."Vi! Kamu ini memang sudah keterlaluan! Nisa itu Mbakmu! Mama bukan membela Dia! Tapi kamu memang salah!" seru Tante Ranti.Itu artinya Tante Ranti sudah tahu tentang hubungan mereka lalu mengapa Tante Ranti mengijinkan mereka Vivi menikah dengan Mas Adrian, sedangkan jelas Mas Adrian itu masih suamiku. "Sudahlah Ma! Ini sudah terjadi, dan memang Mas Adrian lebih milih aku kok daripada Mbak Nisa. Apalagi sekarang udah ada calon anaknya di dalam sini."Degh! Anak? Itu artinya Vivi sedang hamil anaknya Mas Adrian? Astaghfirullah!Sakit sekali rasanya, di saat pernikahan kami sudah berjalan hingga tiga tahun lamanya, Allah belum menitipkan anak di rahimku, tapi dengan Vivi Allah langsung memberinya keturunan. Aku merasa ini tidak adil Ya T
"Apa ini maksudnya Tan? Selimut siapa ini?" tanyaku."Itu selimut milikmu saat kau masih bayi."Sebuah selimut bayi bahanya bagus tebal, halus, lembut, berwarna pink, ada gambar beruang kecil di ujungnya, serta di balik selimutnya pun ada bordiran nama bertuliskan 'Anisa Andara Putri Hadiwijaya'Hadiwijaya adalah nama Bapakku.Kubuka kotak persegi panjang itu, mata ini membeliak ketika tahu isinya. Sebuah kalung silver dengan liontin berbentuk hati. Di tengah ada sebuah batu safir kecil kebiruan, yang diapit oleh tiga buah permata. Cantik sekali. Berkilau, melihatnya saja aku bisa menebak jika ini bukan barang murah."Ta–Tante, apa maksudnya ini Tan?" Aku tergagap, ini bagus sekali. Baru kali ini aku melihat kalung seindah ini."Itu milikmu Sayang, selama ini Tante menyimpannya, sekarang Tante pikir, sudah saatnya kamu sendiri yang menyimpannya. Dulu sewaktu ibumu sakit, dia menitipkan ini untuk diberikan padamu saat Kau dewasa. Dan sekarang saatnya.""Tan, ini bagus sekali." Aku mas
Deru suara motor terdengar di halaman rumah ini, semakin lama suaranya semakin kecil dan menjauh. Sepertinya Mas Adrian pergi entah mau kemana, mungkin ia menemui Vivi.Pelan kubuka pintu kamar ini. Benar saja ia telah pergi, aku menyingkap gorden jendela, motor yang tadi sore terparkir di halaman telah tiada.Hati ini gerimis mendapati kenyataan ini, tak kupungkiri hati ini sakit saat tahu suamiku kini punya tempat singgah selain aku, selain rumah ini.Kuhabiskan waktu malam ini dalam kesunyian, hanya televisi yang menemani, itu pun tidak sepenuhnya ku lihat, hanya sekedar untuk mengisi suara di rumah ini agar tak sepi.Aku membuka lemari baju dan menyimpan selimut bayi pemberian Tante Ranti tadi siang. Sekali lagi aku mengamati kalung ini, begitu cantik aku ingin sekali memakainya.Aku pun menyematkan di leherku, dan menatap diri di pantulan cermin. Cantik.Dering ponsel mengagetkanku yang masih mematut diri di depan cermin.Ibu mertua memanggil."Hallo Assalamualaikum Bu," ucapku
"Mas berangkat dulu, Nis. Assalamualaikum!" seru Mas Adrian dengan tergesa."Wa'alaikumusalam."Rambut yang biasanya klimis itu terlihat acak-acakan, seragam yang biasanya licin itu kini begitu kusut. Aku hanya menggeleng menatap kepergiannya dengan motor matic yang semakin lama semakin menjauh.Semua telah berubah Mas, karena kamu sendiri yang telah merubahnya. Aku tak akan jadi seperti ini kepadamu kalau kau tak mencurangi aku. Seperti biasa usai sarapan pagi aku bersiap untuk ke rumah Bu Salma. Tak enak juga sudah tak datang dua hari ini. Bagaimanapun juga beliau yang banyak membantuku saat aku sering kekurangan.Aku berjalan kaki sekitar sepuluh menit untuk sampai ke rumah Bu Salma."Assalamualaikum Bu Salma. Aku langsung masuk ke rumahnya melalui pintu belakang yang langsung area dapur rumah besar itu. "Wa'alaikumusalam Nis, akhirnya kamu datang hari ini Nis, yuk sini sarapan!" sahut Bu Salma dari ruang makan. Beliau sedang sarapan."Sudah Bu, saya tadi sudah sarapan sebelum
Dua bulan sudah terhitung sejak Adrian mulai datang hampir setiap hari ke rumah Yulia untuk membantu segala sesuatu kebutuhan Anita.Merawat orang lumpuh ternyata tidak semudah yang ia bayangkan. Tanpa rasa sungkan Adrian membantu mengangkat tubuh Anita jika hendak ke kamar mandi. Barulah setelah di bawa ke kamar mandi urusan mandi atau buang air akan di bantu oleh Yulia atau Sumi.Adrian duduk termenung di ruang tamu menunggu Anita yang sedang dimandikan oleh Yulia di dalam.Sebenarnya ia tak masalah membantu sampai sejauh ini, Adrian ikhlas. Hanya saja kalau Anita tetap tak merestui hubungan mereka, apa semua yang sudah ia lakukan ini akan sia-sia belaka?"Kenapa? Kok ngelamun? Kamu capek? Bantu Aku dan Mama?" Adrian terkejut tiba-tiba Yulia ada di sebelahnya."Oh, nggak aku lagi menikmati pemandangan bunga-bunga di halaman aja." Adrian berkilah."Oh. Kalau di rasa sudah tak sanggup membantu, katakan saja, aku nggak apa-apa."Adrian terdiam. Baginya cinta yang sudah terlanjur tumbuh
"Selamat pagi Tante," sapa Adrian hari Minggu pagi ini ia datang ke rumah Yulia. Kini Yulia sedang membawa ibunya yang duduk di kursi roda, bermaksud untuk menjemurnya di bawah sinar matahari pagi. Sebuah rutinitas yang tak pernah terlewatkan setiap pagi, agar tubuhnya Anita lebih segar.Adrian datang dengan membawa buah dan kue red Velvet kesukaan Anita.Anita diam, dari raut wajahnya masih memperlihatkan ketidaksukaannya pada Adrian, meski ia tahu Adrian adalah orang yang menolong nyawanya ketika waktu ia butuh transfusi darah. Anita tetap keras kepala, sekali tak suka maka sampai kapanpun ia tetap tak suka.Adrian tersenyum, ia paham dirinya masih belum diterima oleh Anita."Mulai sekarang Saya akan sering datang untuk menemui Tante. Jadi kalau ada apa-apa yang dibutuhkan, jangan sungkan untuk menghubungi saya, Tante."Anita mendelik mendengar ucapan Adrian."Memangnya kamu siapa?! Nggak! Nggak perlu kamu datang kemari sering-sering! Bikin mata sepet aja!" sentak Anita.Sedangkan Y
Semenjak hari itu Yulia benar-benar sulit ditemui, bahkan di kantornya, Adrian tak dapat menemuinya. Gadis itu benar-benar serius dengan ucapannya, yaitu ingin instrospeksi diri juga berpikir lebih jernih mengenai hubungan mereka ke depan.Jangan tanya bagaimana suasana hati Adrian. Tidak bisa mendengar suara Yulia, tak bisa melihat senyumannya, tentu rasanya sangat menyiksa.Ternyata sesakit diabaikan. Apa kabar dengan hati Yulia yang menunggu selama berbulan-bulan, menyembunyikan perasaannya sampai pada akhirnya Adrian menyambut cinta itu.Adrian tak pernah menyerah, ia kembali mencoba menghubungi Yulia melalui sambungan telepon.Namun tetap sama, tidak diangkat.Hingga lebih dari dua minggu kondisi ini berlalu. Adrian menyerah tak lagi mengubungi gadisnya. Ia sudah pasrah. Jika memang mereka ditakdirkan bersama maka insya Allah nanti mereka akan bersama-sama. Tapi jika memang takdir tak menyatukan mereka maka Adrian akan berusaha ikhlas.Ikhlas adalah titik terdalam sebuah perasaa
Mendadak wajah Adrian pucat, ia terlihat gugup menatap Yulia yang menatapnya tajam."Ehm, Li, aku akan jelasin ke kamu semuanya, dan kamu jangan dulu salah paham, oke." Yulia masih terdiam menunggu penjelasan seperti apa yang akan Adrian katakan.Setelah keduanya sama-sama diam untuk beberapa saat, Adrian meneguk jus alpukat miliknya."Aku khilaf telah bermain api di belakang Anisa," ucap Adrian jujur. Sebenarnya ia tak tahu lagi dari mana ia harus memulai bercerita, kata-kata seperti apa yang harus ia rangkai dan ia katakan pada Yulia.Ia tak ingin Yulia jadi salah tangkap dan jadi membencinya, Adrian tak sanggup jika harus kehilangan Yulia. Baginya Anisa sudah menjadi masa lalu, dan sekarang ia ingin menggapai masa depan bersama gadis manis yang tengah merajuk ini."Khilaf sampai berselingkuh dengan sepupunya istrimu, Yan?!" Yulia menggeleng tak percaya.Adrian tercekat, ia tak mampu membantah karena memang itu faktanya."Aku nggak nyangka kamu ternyata setega itu Yan. Apa kehadiran
"Aku pamit pulang ya Kak, kasihan Mama, pasti sudah menungguku pulang." Jari sudah hampir gelap, Yulia pun pamit untuk pulang.Putri mengantar Yulia hingga ke depan pintu gerbang, saat sebuah taksi mobil yang dipesan Yulia tiba di depan rumah Putri, Yulia langsung naik dan berlalu pulang ke rumahnya.Sepanjang perjalanan, perasaan Yulia gampang, antara tetap melanjutkan atau memilih mundur pada hubungannya dengan Adrian. Sesungguhnya jauh di lubuk hatinya, Yulia sangat mencintai laki-laki itu, sejauh ini, walaupun mamanya menentang keras hubungan mereka, selama ini ia tetap berdiri tegak, teguh pada pendiriannya, yaitu memperjuangkan cinta.Tapi menilik akan kisah masa lalunya Adrian, apakah laki-laki itu benar-benar bisa tulus mencintainya sepanjang hidup mereka? Seperti cintanya pada Adrian.Bagaimana kalau tiba-tiba Adrian mengulangi kesalahan yang pernah ia lakukan pada Anisa? Tentu saja hati Yulia akan hancur.Orang bilang sekali saja laki-laki berselingkuh maka tak menutup kemu
Mendadak raut wajah Putri berubah. Ia merasa kurang nyaman membahas lagi tentang masa lalunya."Ehm maaf Kak, maaf banget. Aku bukan bermaksud untuk mengingatkan Kak Putri tentang masa lalu Kakak, tapi aku sangat butuh informasi tentang Adrian." Yulia berkata dengan sungguh-sungguh.Ia tak ada maksud apapun, ia hanya ingin tahu tentang Adrian. Ia tak ingin salah dalam melangkah.Putri menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Kemudian ia meraih cangkir teh-nya, menyesapnya pelan, berharap ia bisa merasa lebih rileks sebelum memulai bercerita tentang mantan suaminya."Ehm, memangnya Yulia kenal Adrian dimana?" tanyanya yang merasa heran bagaimana bisa sosok Yulia yang terlahir dari keluarga terhormat, tumbuh menjadi gadis cantik, berpendidikan tinggi, dan kini memiliki karir yang bagus di perusahaan tempatnya bekerja, tiba-tiba saja kenal dengan Adrian yang notabenenya hanya laki-laki biasa.Yulia tersenyum kecil."Mas Adrian ... Dia calon suami Yulia Kak," jawabnya.Seketi
"Yulia, boleh Tante ngobrol sebentar?" tanya Maya setelah Adrian pamit pulang."Ada apa Tante?" Yulia mendaratkan bobotnya di sebelah Maya.Maya mengulas senyum lembut pada gadis disebelahnya. Yulia memang cantik, dia juga sangat penurut."Gimana kerjaan kamu? Lancar?" tanya Maya sekedar basa-basi."Alhamdulillah lancar Tante." Yulia menatap lekat wajah Maya, ia seakan bisa membaca gurat ekspresi tantenya yang terlihat sepertinya ada yang ingin beliau sampaikan."Ada apa Tante? Ada yang ingin Tante katakan sama Yulia?" tanya Yulia langsung pada intinya. Maya pun kembali mengulas senyum."Iya ada sedikit yang ingin Tante tanyakan." Yulia menegakkan tubuhnya seakan ia telah siap untuk mendengarkan apa yang hendak Maya tanyakan."Kamu serius sama laki-laki itu? Siapa itu tadi namanya, ehm ....""Adrian Tante.""Ah ya, Adrian. Apa kamu benar-benar serius dengan hubungan kalian?" "Iya Tante. Yulia sama dia sih serius, tapi masalahnya ada sama Mama, Mama nggak merestui hubungan kami, padaha
Semenjak hari itu Anita lebih banyak diam, tak lagi membahas tentang perjodohan pada Yulia.Sampai pada hari ini rumah Anita kedatangan sepupunya, yang tak lain adalah Maya–ibunya Raffi.Beberapa kali Maya datang ke rumah, dan dua kali menjenguk di rumah sakit. Melihat kondisi sepupunya yang kini terbaring di tempat tidur membuat Maya sedih, karena biasanya saat ada acara kumpul keluarga, Anita selalu menyempatkan diri untuk hadir di tengah-tengah mereka. Tapi kini semenjak ia mengalami kecelakaan, Anita seakan tersisih dari keluarga besarnya."Gimana keadaan kamu sekarang Mbak?" tanya Maya. Ia datang sendiri dengan di temani supir."Ya beginilah May, tak ada perubahan apapun, aku cuma wanita tua yang lumpuh, dan merepotkan," ketus Anita.Maya yang memang sudah sangat mengerti karakter Anita pun biasa saja."Sabar Mbak, namanya juga ujian. Alhamdulillah Yulia gadis yang baik, aku lihat dia merawatmu dengan baik."Anita hanya menghela napas. Putrinya memang gadis yang baik, cantik, ta
"Makan dulu Ma." Yulia menyuapi bubur untuk Anita. Namun Anita masih diam tak bergeming."Ma, makanlah sedikit," pinta Yulia lagi, pasalnya semenjak sadar dari komanya mamanya lebih banyak diam, tak mau makan.Akibat kecelakaan yang menimpanya dan masalah pada saraf otaknya, menyebabkan kedua kaki Anita tak bisa digerakkan. Lumpuh.Segala sesuatunya harus di bantu. Yulia jadi sering ijin tak masuk kantor, untungnya pihak kantor berbaik hati memberikan dispensasi karena selama mengabdi pada perusahaan kinerja Yulia bagus."Kamu nggak masuk kerja lagi?" tanya Anita.Beruntung meski kakinya lumpuh, dalam berbicara Anita masih lancar, tak ada masalah."Nggak usah pikirkan tentang kerjaanku Ma, yang penting sekarang Mama harus makan biar cepat sembuh," sahut Yulia."Assalamualaikum, selamat pagi." Tiba-tiba pintu ruang rawat Anita terbuka, menampakkan sosok Adrian.Melihat kehadiran Adrian, Anita langsung membuang muka."Ini aku bawakan buah-buahan dan brownies untuk Tante Anita." Adrian m