Aku menatap lekat ke arah Intan yang tampak sedang berpikir.
"Tunggu! Maksud kamu Vivi Anggraini kan?" Aku mengangguk. Karena itu memang nama lengkap Vivi."Bukankah Vivi itu pacarnya Rendi.""Rendi?""Iya. Rendi teman kita waktu SMA dulu, inget nggak? Rendi yang dulu pernah suka sama kamu tapi kamu tolak itu."Aku terdiam. Mencoba memutar ingatanku beberapa tahun lalu saat aku masih sekolah. Aku ingat sekarang, ya! Rendi yang dulu pernah mengutarakan cinta padaku, bahkan ia mengatakan itu di depan kelas, tentu membuatku malu sekaligus terharu atas aksinya.Namun aku menolak halus perasaannya. Meski sejujurnya waktu itu aku pun menyukainya. Tapi aku sadar diri, aku hanya seorang anak yatim-piatu, hidup menumpang di rumah Tante Ranti. Tante Ranti masih mau menyekolahkan aku sampai SMA saja aku sudah sangat bersyukur. Jadi aku tak ingin banyak tingkah dengan menjalin hubungan atau berpacaran semasa sekolah.Fokusku hanya untuk belajar. Aku tak ingin tanteku kecewa.Tanpa sadar aku tersenyum. Geli sendiri mengingat itu."Heh! Malah nostalgia! Sudah ingat?" tanya Intan menepuk lenganku."Iya aku ingat. Tapi aku tak tau menahu hubungan antara Vivi dengan Rendi.""Ah Payah. Kamu nggak pernah buka grup alumni sih! Aku liat foto profil Rendi itu berdua dengan Vivi, nempel banget juga di fotonya, berarti kan mereka pacaran," cerocos Intan."Aku nggak peduli itu Intan! Yang jelas sekarang Vivi menjadi duri dalam rumah tanggaku, aku nggak nyangka Dia tega sama aku."Intan menepuk pelan pundakku."Sabar Nisa. Kamu jangan lemah. Mana dong Anisa Andara Putri sahabatku yang sangat periang, bahkan pecicilan. Kok jadi lembek dan cengeng gini sih!" decihnya."Kamu belum menikah Intan, jadi kamu nggak ngerasain gimana sakitnya," ucapku sesegukan."Iya, iya, aku paham. Aku memang belum menikah, aku mungkin nggak ngerasain gimana sakitnya, tapi kamu juga harus ingat, mau kamu nangis darah sekalipun apa itu akan merubah keadaan? Enggak kan?"Sejenak kami sama-sama terdiam."Oke. Untuk sekarang kamu boleh menangis sepuasnya, sampai kamu merasa lega. Tapi ingat setelah itu kamu harus bangkit, kamu harus kuat, kamu harus tunjukkan pada mereka Adrian dan Vivi bahwa kamu tidak lemah. Kamu tetap akan jadi pemenangnya. Yah?!"Intan berkata dengan tegas. Aku menatapnya. Sebait senyum tulus terbit di wajah ayunya, kemudian aku memeluknya.Benar apa yang intan katakan aku harus kuat, aku nggak boleh lemah."Aku yakin kamu bisa melewati ini Nis!" ucap Intan lagi."Makasih Tan. Kamu bantu aku ya!""Pasti. Pasti itu, apapun itu kamu perlu bantuan aku, aku pasti siap. Apa sih yang nggak buat kamu, kamu itu udah seperti saudaraku Nis. Udah dong, hapus air matanya, mana sahabatku yang bawel dan selalu ceria." Intan mengusap lembut air mata yang seolah tak habisnya.Aku beruntung punya sahabat seperti Intan, kami memang sangat dekat seperti saudara.Aku mengangguk.Tak terasa adzan Maghrib berkumandang, aku dan Intan pun bergegas melakukan kewajiban tiga rakaat.Aku duduk di atas sajadah, menengadahkan tangan. Melangitkan doa meminta kekuatan atas ujian yang terasa begitu berat dan menyakitkan. Aku tak tahu seperti apa nasib rumah tanggaku kedepannya. Saat ini rasanya aku tak sanggup untuk pulang ke rumah, aku tak siap bertemu dengan laki-laki itu. Laki-laki yang namanya selalu kusebut dalam doa dan sujudku.Laki-laki yang di saat tidur dalam damainya selalu kupandangi wajah tampannya. Ia yang selalu membuatku merasa beruntung telah memilikinya.Aku salah terlalu berharap pada Mas Adrian. Ternyata benar. Berharap pada manusia hanya akan berakhir kecewa. Memang benar sebaik-baiknya berharap hanya pada Sang Khaliq pemilik semesta ini.Kian deras air mata mengalir membasahi pipi. Mungkin ini teguran dari Allah karena aku lebih mencintai makhluknya dari pada-Nya. Mungkin ini ujian untukku lebih kuat lagi melangkah menapaki kehidupan ini. Mungkin setelah ini akan ada hikmah yang indah untukku.Aku terus berusaha ber-muhasabah diri serta berhusnudzon pada sang Pemilik jiwa dan raga ini. Walau sebenarnya hati ini terus bertanya mengapa? Mengapa Dia begitu tega? Apa dosaku? Mengapa rasanya sesakit ini Tuhan ....Setelah puas menumpahkan segalanya. Aku bersujud. Bersimpuh. Memohon ampun atas segala dosa yang pernah aku lakukan hingga Allah mengujiku seperti ini.Aku pejamkan mata ini. Menarik napas dalam-dalam menghembuskannya perlahan. Beberapa kali kulakukan itu seraya mensugesti diri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dan aku pasti kuat melewati ini."Nis! Yuk makan dulu!" panggil Intan yang sudah berdiri diambang pintu ruang musalla rumah ini. Aku menoleh, dan berusaha menarik senyum kearahnya. Intan pun menghela napas lega sambil tersenyum."Ehm Tan, aku boleh nginep di sini kan untuk beberapa hari?" tanyaku saat kami sudah di meja makan."Ya elah Nis, pake nanya lagi. Kayak sama siapa, dari waktu sekolah juga kan kamu sering nginep di sini! Pake nanya lagi," cibir Intan sambil memasukkan makanan ke mulutnya."Ya, aku kan nggak enak sudah lama juga kan sejak kita lulus SMA aku udah jarang main kemari.""Nisa ... Dari waktu kita SMA sampai sekarang kita tetap sahabat. Aku selalu ada untuk kamu. Ingat itu." Aku tersenyum mendengarnya.Hatiku menghangat, terimakasih ya Allah telah menghadirkan sahabat sebaik Intan."Woi! Makan! Jangan bengong. Biar kamu tetap sehat, kuat. Kuat menghadapi kenyataan. Eh!"Aku merengut pura-pura merajuk. Intan memang ceplas-ceplos, tapi memang benar apa yang dikatakan. Aku memang harus kuat jangan sampai aku sakit karena terlalu memikirkan kedua manusia laknat itu."Eh. Eh! Canda Nis! Maaf, Jangan marah dong."Aku pun tersenyum melihat mimik wajah Intan yang merasa bersalah."Iya nggak apa-apa! Makasih banyak ya Tan, kamu emang sahabat terbaik." Aku acungkan dua jempol untuknya."Iya. Yuk makan nanti baru kita pikirkan langkah kita ke depan untuk menghadapi Vivi." Aku mengangguk.Kami pun melanjutkan makan nasi dengan sop iga yang tadi di pesan Intan melalui aplikasi hijau.*Aku terbaring sendiri di kamar Intan. Intan sengaja memberiku ruang untuk sendiri, ia memilih untuk tidur di kamar orangtuanya. Kupejamkan mata yang begitu terasa berat, karena sembab selama berjam-jam menangis. Di saat aku pejamkan mata, bayangan kejadian sore tadi berkelebat.Astaghfirullah! Aku hela napas panjang dan kembali tidur, namun tak bisa. Yang ada justru gemuruh rasa marah bercokol di dalam dada ini.Aku bangkit dan mulai berpikir langkah apa sebaiknya yang harus kuambil?"Untuk sekarang kamu boleh menangis sepuasnya, sampai kamu merasa lega. Tapi ingat setelah itu kamu harus bangkit, kamu harus kuat, kamu harus tunjukkan pada mereka Adrian dan Vivi bahwa kamu tidak lemah. Kamu tetap akan jadi pemenangnya."Kata-kata Intan kembali terngiang-ngiang di telingaku. Aku memang harus kuat. Aku tak ingin mereka tertawa diatas penderitaanku. Tak kubiarkan mereka menang setelah mencabik-cabik hati ini.Aku harus tunjukkan pada mereka aku tidak lemah. Akan kubuat kau menyesal telah membuangku Mas!Tekadku kuat. Akan kubuat perhitungan dengan Mas Adrian. Untuk melanjutkan pernikahan ini rasanya aku tak sanggup. Tapi aku harus bagaimana? Aku terus berpikir keras.Jujur aku masih cinta dengan Mas Adrian, tapi apa mau di kata. Hati ini nyatanya tak bisa terima atas apa yang sudah ia lakukan terhadapku.Hampir menjelang subuh mata ini tak bisa terpejam sedikit pun.Aku harus bertindak, aku tak terima diperlakukan seperti ini oleh Mas Adrian. Entah setan dari mana yang merasuki pikiranku, yang ada sekarang aku tak rela melihat mereka bahagia di atas penderitaanku. Biarlah orang mau berkata aku ini jahat atau apa. Aku tak peduli.Aku akan buat perhitungan denganmu Mas?Tok! Tok! Tok!"Nisa! Apa Kau sudah bangun?" Suara Intan mengagetkanku. Kulihat jam yang tergantung di dinding ternyata sudah hampir jam tujuh pagi."Iya Tan!" sahutku kemudian membuka pintu kamar.Ternyata Intan sudah rapi dengan pakaian kerjanya."Kamu sudah mau berangkat?""Sebentar lagi. Ayo, sarapan dulu," ajaknya.Kami berjalan ke ruang makan. "Nis, selama aku kerja, kamu di rumah ini bersama Bik Mirna nggak apa-apa kan!" Intan berkata sambil menyuap nasi goreng ke mulutnya."Ehm, hari ini aku pulang aja ke rumah, Tan." "Apa? Kamu yakin?"Sejenak aku terdiam. Karena sebenarnya di dalam hati ini juga masih ragu, apakah aku sanggup bertemu dengan dia hari ini. Namun akal sehatku masih bekerja dengan baik, ini kenyataan, mau tak mau, siap tidak siap, aku harus menghadapi ini."Insya Allah aku yakin, Tan!" jawabku kemudian. Aku ingin buat perhitungan dengan Mas Adrian. Meski aku sendiri tak yakin dengan langkah yang akan kuambil ini."Nisa! Kalau kamu mau di sini dulu beberapa har
"Kamu yakin, apapun yang kumau akan kamu lakukan Mas?" tanyaku dan Mas Adrian mengangguk cepat. Bersamaan dengan senyum mengembang di bibirnya, namun ada gurat gelisah juga tergambar diwajahnya.Aku paham Mas Adrian sampai memohon untuk aku tetap bertahan pasti karena Ibu, ia tahu sedekat apa aku dengan ibunya. Aku tahu perpisahanku dengannya pasti akan membuat Ibu syok. Mas Adrian pasti khawatir akan kesehatan ibunya. Ibu punya riwayat jantung dan bisa kambuh sewaktu-waktu jika ada hal yang membuatnya syok."Aku mau kau meninggalkan Vivi," ucapku.Mas Adrian melebarkan pupil matanya. Bibirnya terbuka untuk beberapa detik.Aku menatap lekat kearahnya. Bisa kusimpulkan Ia teramat berat memenuhi permintaanku, hatiku seperti teriris. Nyeri melihat Mas Adrian nyatanya begitu berat melepas pelakor itu. Meski ia belum mengatakannya."Ehm, Nis! Begini, maafkan Mas. Nanti Mas akan bicara dengan Vivi," jawabnya gugup.Aku menggeleng tak percaya."Kenapa? Berat melepaskan Vivi?" Aku tersenyum k
Yes. Akhirnya berhasil terbuka. Dengan langkah cepat aku masuk ke kamar mandi membawa ponsel Mas Adrian.Jemariku langsung membuka aplikasi berwarna hijau bergambar gagang telepon. Chat paling atas terulis nama Vie dengan emoticon bentuk hati disampingnya. Sekali lagi aku menghirup napas dalam-dalam. Menyiapkan hati sebelum membuka apa saja isi chat mereka.Ada banyak sekali chat mereka. [Makasih ya Mas udah beliin yang aku mau.] Sebuah isi chat diiringi foto Vivi tegah memperlihatkan leher jenjangnya mengenakan kalung. Bagus banget. Ucapku dalam hati di iringi rasa nyeri di dada ini. Aku bahkan belum pernah dibelikan kalung sebagus itu oleh Mas Adrian. Satu-satunya kalung yang ia berikan adalah saat pernikahan kami, itupun sudah kujual untuk membayar sewa rumah ini. Waktu itu Mas Adrian lagi nganggur.[Sama-sama Sayang! Untuk kamu memang selalu bisa memuaskanku.] Balasan chat dari Mas Adrian seketika membuatku bergidik.[Aku pasti akan selalu menyenangkan hatimu Mas.][Untuk di at
"Mama selalu saja membela dia! Aku yang anak Mama bukan dia!" teriak Vivi.Dia? Dia siapa yang dia maksud. Aku menunda untuk masuk ke dalam rumah, tampak mereka tengah bersitegang di ruang tengah tapi suaranya jelas terdengar hingga ke teras rumah."Vi! Kamu ini memang sudah keterlaluan! Nisa itu Mbakmu! Mama bukan membela Dia! Tapi kamu memang salah!" seru Tante Ranti.Itu artinya Tante Ranti sudah tahu tentang hubungan mereka lalu mengapa Tante Ranti mengijinkan mereka Vivi menikah dengan Mas Adrian, sedangkan jelas Mas Adrian itu masih suamiku. "Sudahlah Ma! Ini sudah terjadi, dan memang Mas Adrian lebih milih aku kok daripada Mbak Nisa. Apalagi sekarang udah ada calon anaknya di dalam sini."Degh! Anak? Itu artinya Vivi sedang hamil anaknya Mas Adrian? Astaghfirullah!Sakit sekali rasanya, di saat pernikahan kami sudah berjalan hingga tiga tahun lamanya, Allah belum menitipkan anak di rahimku, tapi dengan Vivi Allah langsung memberinya keturunan. Aku merasa ini tidak adil Ya T
"Apa ini maksudnya Tan? Selimut siapa ini?" tanyaku."Itu selimut milikmu saat kau masih bayi."Sebuah selimut bayi bahanya bagus tebal, halus, lembut, berwarna pink, ada gambar beruang kecil di ujungnya, serta di balik selimutnya pun ada bordiran nama bertuliskan 'Anisa Andara Putri Hadiwijaya'Hadiwijaya adalah nama Bapakku.Kubuka kotak persegi panjang itu, mata ini membeliak ketika tahu isinya. Sebuah kalung silver dengan liontin berbentuk hati. Di tengah ada sebuah batu safir kecil kebiruan, yang diapit oleh tiga buah permata. Cantik sekali. Berkilau, melihatnya saja aku bisa menebak jika ini bukan barang murah."Ta–Tante, apa maksudnya ini Tan?" Aku tergagap, ini bagus sekali. Baru kali ini aku melihat kalung seindah ini."Itu milikmu Sayang, selama ini Tante menyimpannya, sekarang Tante pikir, sudah saatnya kamu sendiri yang menyimpannya. Dulu sewaktu ibumu sakit, dia menitipkan ini untuk diberikan padamu saat Kau dewasa. Dan sekarang saatnya.""Tan, ini bagus sekali." Aku mas
Deru suara motor terdengar di halaman rumah ini, semakin lama suaranya semakin kecil dan menjauh. Sepertinya Mas Adrian pergi entah mau kemana, mungkin ia menemui Vivi.Pelan kubuka pintu kamar ini. Benar saja ia telah pergi, aku menyingkap gorden jendela, motor yang tadi sore terparkir di halaman telah tiada.Hati ini gerimis mendapati kenyataan ini, tak kupungkiri hati ini sakit saat tahu suamiku kini punya tempat singgah selain aku, selain rumah ini.Kuhabiskan waktu malam ini dalam kesunyian, hanya televisi yang menemani, itu pun tidak sepenuhnya ku lihat, hanya sekedar untuk mengisi suara di rumah ini agar tak sepi.Aku membuka lemari baju dan menyimpan selimut bayi pemberian Tante Ranti tadi siang. Sekali lagi aku mengamati kalung ini, begitu cantik aku ingin sekali memakainya.Aku pun menyematkan di leherku, dan menatap diri di pantulan cermin. Cantik.Dering ponsel mengagetkanku yang masih mematut diri di depan cermin.Ibu mertua memanggil."Hallo Assalamualaikum Bu," ucapku
"Mas berangkat dulu, Nis. Assalamualaikum!" seru Mas Adrian dengan tergesa."Wa'alaikumusalam."Rambut yang biasanya klimis itu terlihat acak-acakan, seragam yang biasanya licin itu kini begitu kusut. Aku hanya menggeleng menatap kepergiannya dengan motor matic yang semakin lama semakin menjauh.Semua telah berubah Mas, karena kamu sendiri yang telah merubahnya. Aku tak akan jadi seperti ini kepadamu kalau kau tak mencurangi aku. Seperti biasa usai sarapan pagi aku bersiap untuk ke rumah Bu Salma. Tak enak juga sudah tak datang dua hari ini. Bagaimanapun juga beliau yang banyak membantuku saat aku sering kekurangan.Aku berjalan kaki sekitar sepuluh menit untuk sampai ke rumah Bu Salma."Assalamualaikum Bu Salma. Aku langsung masuk ke rumahnya melalui pintu belakang yang langsung area dapur rumah besar itu. "Wa'alaikumusalam Nis, akhirnya kamu datang hari ini Nis, yuk sini sarapan!" sahut Bu Salma dari ruang makan. Beliau sedang sarapan."Sudah Bu, saya tadi sudah sarapan sebelum
Hingga menjelang magrib Mas Adrian belum juga pulang. Akhirnya selepas magrib ibu meminta Dania untuk menjemputnya di rumahku."Nanti kalau Adrian sudah ada di rumah kabarin ibu ya, Nis. Sekarang Ibu mau siap-siap dulu sebentar lagi Dania datang jemput." "Iya Bu."Selang beberapa menit suara motor terdengar memasuki halaman rumah. Bukan Dania melainkan Mas Adrian."I–ibu, di sini?" Mas Adrian langsung menyambut punggung tangan ibunya"Ya. Nunggu kamu pulang!""Hah, oh. Ada apa Bu, tumben biasanya kalau ada apa-apa Ibu tinggal telpon aja bilang sama Adrian." Mas Adrian menjatuhkan bobotnya di sofa samping ibunya."Siapa itu tadi yang angkat telepon Ibu?" tanya ibu dengan raut wajah serius."Siapa, apa maksudnya Bu?" Mas Adrian balik bertanya.Sepertinya Mas Adrian tidak tahu jika tadi sore ibu sempat menelponnya tapi Vivi yang mengangkatnya.Aku hanya diam jadi pendengar yang baik, sepertinya akan ada perdebatan antara ibu dan anak ini."Jangan pura-pura nggak tahu kamu, Adrian! Jelas
Dua bulan sudah terhitung sejak Adrian mulai datang hampir setiap hari ke rumah Yulia untuk membantu segala sesuatu kebutuhan Anita.Merawat orang lumpuh ternyata tidak semudah yang ia bayangkan. Tanpa rasa sungkan Adrian membantu mengangkat tubuh Anita jika hendak ke kamar mandi. Barulah setelah di bawa ke kamar mandi urusan mandi atau buang air akan di bantu oleh Yulia atau Sumi.Adrian duduk termenung di ruang tamu menunggu Anita yang sedang dimandikan oleh Yulia di dalam.Sebenarnya ia tak masalah membantu sampai sejauh ini, Adrian ikhlas. Hanya saja kalau Anita tetap tak merestui hubungan mereka, apa semua yang sudah ia lakukan ini akan sia-sia belaka?"Kenapa? Kok ngelamun? Kamu capek? Bantu Aku dan Mama?" Adrian terkejut tiba-tiba Yulia ada di sebelahnya."Oh, nggak aku lagi menikmati pemandangan bunga-bunga di halaman aja." Adrian berkilah."Oh. Kalau di rasa sudah tak sanggup membantu, katakan saja, aku nggak apa-apa."Adrian terdiam. Baginya cinta yang sudah terlanjur tumbuh
"Selamat pagi Tante," sapa Adrian hari Minggu pagi ini ia datang ke rumah Yulia. Kini Yulia sedang membawa ibunya yang duduk di kursi roda, bermaksud untuk menjemurnya di bawah sinar matahari pagi. Sebuah rutinitas yang tak pernah terlewatkan setiap pagi, agar tubuhnya Anita lebih segar.Adrian datang dengan membawa buah dan kue red Velvet kesukaan Anita.Anita diam, dari raut wajahnya masih memperlihatkan ketidaksukaannya pada Adrian, meski ia tahu Adrian adalah orang yang menolong nyawanya ketika waktu ia butuh transfusi darah. Anita tetap keras kepala, sekali tak suka maka sampai kapanpun ia tetap tak suka.Adrian tersenyum, ia paham dirinya masih belum diterima oleh Anita."Mulai sekarang Saya akan sering datang untuk menemui Tante. Jadi kalau ada apa-apa yang dibutuhkan, jangan sungkan untuk menghubungi saya, Tante."Anita mendelik mendengar ucapan Adrian."Memangnya kamu siapa?! Nggak! Nggak perlu kamu datang kemari sering-sering! Bikin mata sepet aja!" sentak Anita.Sedangkan Y
Semenjak hari itu Yulia benar-benar sulit ditemui, bahkan di kantornya, Adrian tak dapat menemuinya. Gadis itu benar-benar serius dengan ucapannya, yaitu ingin instrospeksi diri juga berpikir lebih jernih mengenai hubungan mereka ke depan.Jangan tanya bagaimana suasana hati Adrian. Tidak bisa mendengar suara Yulia, tak bisa melihat senyumannya, tentu rasanya sangat menyiksa.Ternyata sesakit diabaikan. Apa kabar dengan hati Yulia yang menunggu selama berbulan-bulan, menyembunyikan perasaannya sampai pada akhirnya Adrian menyambut cinta itu.Adrian tak pernah menyerah, ia kembali mencoba menghubungi Yulia melalui sambungan telepon.Namun tetap sama, tidak diangkat.Hingga lebih dari dua minggu kondisi ini berlalu. Adrian menyerah tak lagi mengubungi gadisnya. Ia sudah pasrah. Jika memang mereka ditakdirkan bersama maka insya Allah nanti mereka akan bersama-sama. Tapi jika memang takdir tak menyatukan mereka maka Adrian akan berusaha ikhlas.Ikhlas adalah titik terdalam sebuah perasaa
Mendadak wajah Adrian pucat, ia terlihat gugup menatap Yulia yang menatapnya tajam."Ehm, Li, aku akan jelasin ke kamu semuanya, dan kamu jangan dulu salah paham, oke." Yulia masih terdiam menunggu penjelasan seperti apa yang akan Adrian katakan.Setelah keduanya sama-sama diam untuk beberapa saat, Adrian meneguk jus alpukat miliknya."Aku khilaf telah bermain api di belakang Anisa," ucap Adrian jujur. Sebenarnya ia tak tahu lagi dari mana ia harus memulai bercerita, kata-kata seperti apa yang harus ia rangkai dan ia katakan pada Yulia.Ia tak ingin Yulia jadi salah tangkap dan jadi membencinya, Adrian tak sanggup jika harus kehilangan Yulia. Baginya Anisa sudah menjadi masa lalu, dan sekarang ia ingin menggapai masa depan bersama gadis manis yang tengah merajuk ini."Khilaf sampai berselingkuh dengan sepupunya istrimu, Yan?!" Yulia menggeleng tak percaya.Adrian tercekat, ia tak mampu membantah karena memang itu faktanya."Aku nggak nyangka kamu ternyata setega itu Yan. Apa kehadiran
"Aku pamit pulang ya Kak, kasihan Mama, pasti sudah menungguku pulang." Jari sudah hampir gelap, Yulia pun pamit untuk pulang.Putri mengantar Yulia hingga ke depan pintu gerbang, saat sebuah taksi mobil yang dipesan Yulia tiba di depan rumah Putri, Yulia langsung naik dan berlalu pulang ke rumahnya.Sepanjang perjalanan, perasaan Yulia gampang, antara tetap melanjutkan atau memilih mundur pada hubungannya dengan Adrian. Sesungguhnya jauh di lubuk hatinya, Yulia sangat mencintai laki-laki itu, sejauh ini, walaupun mamanya menentang keras hubungan mereka, selama ini ia tetap berdiri tegak, teguh pada pendiriannya, yaitu memperjuangkan cinta.Tapi menilik akan kisah masa lalunya Adrian, apakah laki-laki itu benar-benar bisa tulus mencintainya sepanjang hidup mereka? Seperti cintanya pada Adrian.Bagaimana kalau tiba-tiba Adrian mengulangi kesalahan yang pernah ia lakukan pada Anisa? Tentu saja hati Yulia akan hancur.Orang bilang sekali saja laki-laki berselingkuh maka tak menutup kemu
Mendadak raut wajah Putri berubah. Ia merasa kurang nyaman membahas lagi tentang masa lalunya."Ehm maaf Kak, maaf banget. Aku bukan bermaksud untuk mengingatkan Kak Putri tentang masa lalu Kakak, tapi aku sangat butuh informasi tentang Adrian." Yulia berkata dengan sungguh-sungguh.Ia tak ada maksud apapun, ia hanya ingin tahu tentang Adrian. Ia tak ingin salah dalam melangkah.Putri menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Kemudian ia meraih cangkir teh-nya, menyesapnya pelan, berharap ia bisa merasa lebih rileks sebelum memulai bercerita tentang mantan suaminya."Ehm, memangnya Yulia kenal Adrian dimana?" tanyanya yang merasa heran bagaimana bisa sosok Yulia yang terlahir dari keluarga terhormat, tumbuh menjadi gadis cantik, berpendidikan tinggi, dan kini memiliki karir yang bagus di perusahaan tempatnya bekerja, tiba-tiba saja kenal dengan Adrian yang notabenenya hanya laki-laki biasa.Yulia tersenyum kecil."Mas Adrian ... Dia calon suami Yulia Kak," jawabnya.Seketi
"Yulia, boleh Tante ngobrol sebentar?" tanya Maya setelah Adrian pamit pulang."Ada apa Tante?" Yulia mendaratkan bobotnya di sebelah Maya.Maya mengulas senyum lembut pada gadis disebelahnya. Yulia memang cantik, dia juga sangat penurut."Gimana kerjaan kamu? Lancar?" tanya Maya sekedar basa-basi."Alhamdulillah lancar Tante." Yulia menatap lekat wajah Maya, ia seakan bisa membaca gurat ekspresi tantenya yang terlihat sepertinya ada yang ingin beliau sampaikan."Ada apa Tante? Ada yang ingin Tante katakan sama Yulia?" tanya Yulia langsung pada intinya. Maya pun kembali mengulas senyum."Iya ada sedikit yang ingin Tante tanyakan." Yulia menegakkan tubuhnya seakan ia telah siap untuk mendengarkan apa yang hendak Maya tanyakan."Kamu serius sama laki-laki itu? Siapa itu tadi namanya, ehm ....""Adrian Tante.""Ah ya, Adrian. Apa kamu benar-benar serius dengan hubungan kalian?" "Iya Tante. Yulia sama dia sih serius, tapi masalahnya ada sama Mama, Mama nggak merestui hubungan kami, padaha
Semenjak hari itu Anita lebih banyak diam, tak lagi membahas tentang perjodohan pada Yulia.Sampai pada hari ini rumah Anita kedatangan sepupunya, yang tak lain adalah Maya–ibunya Raffi.Beberapa kali Maya datang ke rumah, dan dua kali menjenguk di rumah sakit. Melihat kondisi sepupunya yang kini terbaring di tempat tidur membuat Maya sedih, karena biasanya saat ada acara kumpul keluarga, Anita selalu menyempatkan diri untuk hadir di tengah-tengah mereka. Tapi kini semenjak ia mengalami kecelakaan, Anita seakan tersisih dari keluarga besarnya."Gimana keadaan kamu sekarang Mbak?" tanya Maya. Ia datang sendiri dengan di temani supir."Ya beginilah May, tak ada perubahan apapun, aku cuma wanita tua yang lumpuh, dan merepotkan," ketus Anita.Maya yang memang sudah sangat mengerti karakter Anita pun biasa saja."Sabar Mbak, namanya juga ujian. Alhamdulillah Yulia gadis yang baik, aku lihat dia merawatmu dengan baik."Anita hanya menghela napas. Putrinya memang gadis yang baik, cantik, ta
"Makan dulu Ma." Yulia menyuapi bubur untuk Anita. Namun Anita masih diam tak bergeming."Ma, makanlah sedikit," pinta Yulia lagi, pasalnya semenjak sadar dari komanya mamanya lebih banyak diam, tak mau makan.Akibat kecelakaan yang menimpanya dan masalah pada saraf otaknya, menyebabkan kedua kaki Anita tak bisa digerakkan. Lumpuh.Segala sesuatunya harus di bantu. Yulia jadi sering ijin tak masuk kantor, untungnya pihak kantor berbaik hati memberikan dispensasi karena selama mengabdi pada perusahaan kinerja Yulia bagus."Kamu nggak masuk kerja lagi?" tanya Anita.Beruntung meski kakinya lumpuh, dalam berbicara Anita masih lancar, tak ada masalah."Nggak usah pikirkan tentang kerjaanku Ma, yang penting sekarang Mama harus makan biar cepat sembuh," sahut Yulia."Assalamualaikum, selamat pagi." Tiba-tiba pintu ruang rawat Anita terbuka, menampakkan sosok Adrian.Melihat kehadiran Adrian, Anita langsung membuang muka."Ini aku bawakan buah-buahan dan brownies untuk Tante Anita." Adrian m