Suasana di gala amal berubah menjadi kekacauan begitu listrik padam. Jeritan terdengar dari berbagai sudut ruangan, sementara para tamu berusaha mencari jalan keluar dalam kegelapan.Akira berdiri kaku di tempatnya, napasnya tercekat saat suara familiar itu berbisik di telinganya."Aku sudah memperingatkanmu, Nyonya Mahendra."Jantungnya berdegup kencang. Rayyan.Tangan Akira gemetar, tetapi sebelum dia bisa bereaksi, sebuah lengan melingkari pinggangnya, menariknya mundur ke dalam gelap."Noah!" Akira berusaha berteriak, tapi suara gaduh di sekitarnya membuat panggilannya tenggelam.Namun, Akira tidak perlu menunggu lama.Brakk!Suara dentuman keras terdengar, disusul erangan seseorang. Dalam hitungan detik, tangan yang tadi menahannya mengendur.Cahaya emergency dari sudut ruangan mulai menyala, dan Akira bisa melihat Noah berdiri di depannya dengan tatapan mematikan."Sentuh dia lagi, dan kau akan menyesal," Noah berbisik dingin.Di lantai, seorang pria berpakaian hitam terkapar, m
Angin malam berembus dingin saat Akira berdiri sendirian di balkon rumahnya. Pikirannya berkecamuk setelah menerima ancaman dari Rayyan beberapa jam lalu."Jika kamu tidak meninggalkan Noah, maka dia akan mati di tanganku."Ancaman itu bergema di kepalanya seperti suara hantu yang tidak bisa diusir. Tangannya mengepal di pagar balkon, matanya menerawang ke kejauhan. Haruskah ia benar-benar meninggalkan Noah? Jika tetap bersamanya berarti mempertaruhkan nyawa pria yang dicintainya, bukankah lebih baik jika dia pergi?Suara langkah kaki di belakangnya membuat Akira menoleh. Noah berdiri di ambang pintu balkon, ekspresinya tajam dan penuh kecemasan."Apa yang sedang kau pikirkan, Sayang?" suaranya lembut, tetapi ada nada waspada di dalamnya.Akira menggigit bibirnya. "Noah... aku..."Noah berjalan mendekat, menggenggam kedua bahunya. "Katakan padaku. Apa yang mengganggumu?"Air mata menggenang di mata Akira. "Rayyan menghubungiku. Dia bilang... dia akan membunuhmu jika aku tidak meningga
Malam itu, Akira merasa lebih tenang setelah kabar penahanan Rayyan tersebar. Namun, meskipun pria itu telah diamankan di rumah sakit jiwa, ada sesuatu yang masih mengganjal di hatinya. Seakan ada ancaman lain yang mengintai mereka dari kejauhan.Noah, yang menyadari kegelisahan istrinya, menariknya ke dalam pelukannya, mendekap dengan penuh kelembutan seakan bilang jika dia akan aman bersama dengan suaminya. "Apa yang kamu pikirkan, Sayang?" tanyanya lembut sambil mengusap lembut surai istrinya.Akira menghela napas pelan, "Aku hanya merasa… ini belum selesai. Seperti ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini."Noah mengusap punggungnya, mencoba menenangkan. "Rayyan sudah berakhir. Tidak ada yang perlu kamu takutkan lagi."Namun, jauh di tempat lain, seseorang sedang menyusun rencana baru.Pagi berikutnya, saat Akira sedang bersiap untuk menemani Noah ke sebuah pertemuan bisnis, seorang pelayan datang membawa sebuah amplop hitam yang tertutup rapat."Ini baru saja dikirimkan un
Ballroom yang semula penuh dengan gelak tawa dan percakapan mendadak berubah menjadi hening. Semua mata tertuju pada layar besar yang menampilkan rekaman mengejutkan. Akira menggenggam lengan Noah, merasakan tubuhnya menegang. Suaminya berdiri tegak, wajahnya tanpa ekspresi, tetapi matanya menyiratkan sesuatu, amarah yang terpendam. Di layar, suara Noah terdengar jelas, "Kita harus menyelesaikan ini dengan cepat. Aku tidak peduli bagaimana caranya, pastikan dia tidak bisa lagi menyentuh Akira." Kata-kata itu terasa begitu dingin dan penuh ancaman. Akira menoleh ke arah suaminya, matanya penuh pertanyaan. "Noah... itu apa?" Noah menatap layar dengan rahang mengeras. "Itu rekayasa," sahut suaminya dengan nada tegas. Suara tawa pelan terdengar dari arah belakang. Flora melangkah ke tengah ruangan dengan anggun, mengenakan gaun hitam yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Wajahnya penuh kepuasan. "Bagaimana, Tuan Mahendra? Aku yakin kamu menikmati kejutan kecil ini," ujarny
Suasana ballroom masih dipenuhi keheningan yang mencekam. Beberapa tamu saling berbisik, sementara yang lain masih berusaha memahami apa yang baru saja terjadi. Nisa telah dibawa pergi oleh polisi, tetapi ketegangan masih menggantung di udara. Noah menatap foto di tangannya dengan ekspresi dingin. Akira, yang berdiri di sisinya, merasa jantungnya berdebar keras. "Noah… siapa orang ini?" suaranya nyaris berbisik. Noah tidak langsung menjawab. Tatapannya tajam, penuh dengan sesuatu yang sulit diartikan. Gabriel melirik ke arah Akira sebelum kembali menatap Noah. "Kita harus bicara di tempat yang lebih aman," usul Gabriel. Noah mengangguk. "Baik. Pergi ke ruang VIP. Aku akan menyusul." Gabriel dan beberapa orang kepercayaannya segera bergerak, meninggalkan ballroom yang masih riuh. Akira memegang tangan Noah, mencoba membaca ekspresi suaminya. "Kamu bisa memberitahuku sekarang?" tanyanya hati-hati. Noah menatapnya sejenak, lalu menghela napas panjang. "Aku akan menjelaska
Malam itu, mereka kembali ke rumah dengan pengamanan yang diperketat. Beberapa pria berbadan tegap berjaga di sekitar vila mereka. Akira mencoba untuk tidur, tetapi pikirannya terus melayang pada ancaman Morgan.. Noah yang berbaring di sebelahnya tampak masih terjaga. Akira membalikkan tubuhnya dan menatap wajah suaminya dalam cahaya redup kamar. "Kamu tidak tidur?" tanya Akira dengan nada pelan. Noah menggeleng. "Aku sedang berpikir." Akira mendekat, menyandarkan kepalanya di dada Noah. "Tentang Morgan!" Noah menghela napas panjang. "Ya. Aku harus mencari cara untuk menghentikannya sebelum dia mengusik ketenangan kamu dan membuat kamu terluka, Sayang." Akira diam sejenak sebelum berkata, "Siapa sebenarnya Morgan, Noah? Aku ingin tahu semuanya." Noah menatap mata istrinya, seolah menimbang sesuatu dalam pikirannya. Lalu, dia mulai bercerita. "Dulu, aku dan Morgan bukan musuh. Kami pernah bekerja sama dalam sebuah proyek bisnis besar. Namun, aku tidak tahu bahwa dia memiliki re
Suasana di dalam gudang tua itu terasa begitu mencekam. Bau debu dan karat bercampur dengan udara dingin yang menusuk tulang. Akira duduk di sudut ruangan dengan tangan dan kakinya terikat, matanya menatap Noah dengan penuh ketakutan. Morgan berdiri di tengah ruangan, menodongkan senjata api itu ke kepala Akira dengan senyuman liciknya. "Katakan padaku, Noah… berapa harga yang harus kamu bayar untuk menyelamatkan istrimu?" Noah mengepalkan tangannya erat. Amarahnya sudah berada di puncak, tetapi dia tahu, satu langkah salah bisa membuat nyawa Akira melayang. "Aku tidak akan bermain dalam permainanmu, Morgan," sahut Noah dengan suara rendah, penuh ketegangan. Morgan tertawa kecil. "Oh, tapi ini bukan permainan, Noah. Ini balas dendam. Kamu menghancurkan hidupku, dan sekarang aku ingin melihat kamu merasakan penderitaan yang sama." Akira menelan ludah, mencoba menahan rasa takutnya. Dia tahu Noah tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padanya, tetapi situasi ini sangat berbahaya.
Akira masih memandangi dokumen di tangannya, merasa sulit mempercayai kenyataan yang baru saja terbuka. Nama Claire, sekretaris Noah yang selama ini terlihat begitu setia dan profesional, tertera jelas di dalam daftar orang yang bekerja sama dengan Morgan."Apa mungkin ada kesalahan?" Akira bertanya, suaranya sedikit bergetar.Noah menggeleng pelan, matanya dipenuhi amarah yang ditahan. "Dokumen ini berasal dari sumber Morgan sendiri. Jika namanya ada di sini, berarti dia memang terlibat."Gabriel yang berdiri di sudut ruangan menatap keduanya dengan ekspresi serius. "Kami sedang melacak setiap gerak-gerik Claire selama beberapa bulan terakhir. Sejauh ini, dia memang terlihat bersih, tapi ada beberapa transaksi mencurigakan dalam rekening pribadinya."Noah menatap Gabriel tajam. "Seberapa mencurigakan?"Gabriel menghela napas sebelum menjawab. "Dalam dua bulan terakhir, dia menerima sejumlah besar uang dari rekening anonim. Jumlahnya cukup besar untuk membangun bisnis sendiri. Dia jug
Seminggu telah berlalu sejak penyelamatan Talia. Meskipun luka-lukanya mulai membaik, trauma yang ditinggalkan oleh para penculik masih melekat. Akira memutuskan untuk memberinya waktu istirahat penuh, menghindarkannya dari segala rapat strategis.Namun di balik dinding kaca Phoenix Headquarters, badai tengah mengumpul.Sejumlah negara, dipimpin oleh Eropa Timur dan beberapa pihak dari Asia Tengah, membentuk koalisi darurat—menuntut audit terbuka terhadap teknologi Phoenix of Gold. Mereka menganggap perusahaan yang dulunya adalah Mahendra Corp itu telah berubah menjadi kekuatan supranasional yang tak bisa diawasi.“Kita menjadi trending topic bukan karena pujian saja,” kata Noah dalam rapat utama. “Tapi juga karena rasa takut. Dunia melihat kita sebagai ancaman baru.”Arka duduk tak jauh dari ayahnya, ekspresinya kaku. Ia telah mempelajari reaksi publik, membaca lebih dari dua ratus artikel opini dalam empat hari terakhir. Kesimpulannya hanya satu—Phoenix mulai kehilangan kendali atas
Senja menyelimuti markas utama Phoenix of Gold. Gedung kaca yang menjulang tinggi itu memantulkan warna jingga dari matahari yang perlahan tenggelam. Di dalam ruang observasi, Arka duduk diam menatap layar hologram, meninjau ulang data-data yang berhasil direbut dari Leo.Di sampingnya, Vanya membungkuk memeriksa pola-pola anomali dalam algoritma yang digunakan Leo untuk menyalin blueprint milik Hydra Star Corp.“Leo bekerja sendiri?” tanya Vanya, masih menatap layar.Arka menggeleng pelan. “Enggak. Pola enkripsinya bukan gaya Leo. Ini lebih kompleks. Lebih... khas Dragunov.”Vanya menegakkan tubuh. “Tapi Dragunov udah dihancurkan, Ka. Kita sendiri yang mengakhiri jaringan mereka.”Arka mengangguk. “Iya. Tapi sisa-sisanya masih berkeliaran. Dan aku curiga... mereka tidak pernah benar-benar hancur. Hanya bersembunyi.”Belum sempat Vanya menjawab, pintu ruang observasi terbuka cepat. Gabriel masuk dengan ekspresi tegang.“Kalian harus lihat ini.”Mereka mengikuti Gabriel menuju ruang ko
Tiga minggu telah berlalu sejak insiden pelabuhan. Dunia mulai menaruh perhatian besar pada dua sosok remaja jenius, Arka Mahendra dan Vanya Laurent. Tak hanya karena keberanian mereka melawan jaringan Black Shadow, tetapi karena simbol baru yang mereka wakili—harapan generasi masa depan.Media internasional menjuluki mereka sebagai Phoenix Twins, mengacu pada nama perusahaan keluarga Arka, Phoenix of Gold, dan kebangkitan mereka dari ancaman masa lalu. Namun, bagi Arka, popularitas bukanlah sesuatu yang ia nikmati. Ia lebih memilih duduk di ruang riset, berkutat dengan sistem keamanan, memantau jejak sisa kelompok Rio yang kini menghilang dari radar.Sementara itu, Vanya, yang mulai tinggal di markas Phoenix sebagai bagian dari program rehabilitasi dan perlindungan, tak kunjung merasa nyaman. Meskipun Arka membelanya di depan seluruh dewan direksi Phoenix, beberapa anggota senior perusahaan—terutama dari pihak investor lama Mahendra Corp—masih mencurigainya.
Pagi itu, langit kota London terlihat kelabu. Kabut menyelimuti kaca-kaca pencakar langit, seolah menyembunyikan sesuatu yang lebih besar dari sekadar perubahan cuaca. Di salah satu ruangan paling aman di markas Phoenix of Gold, Arka sedang bersiap untuk melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya—keluar dari perlindungan ayahnya.Ia telah meretas jalur khusus di dalam sistem bawah tanah milik Phoenix. Jalur itu dulunya hanya diketahui oleh Noah dan Gabriel, namun kini Arka telah berhasil menciptakan duplikat pintu masuk virtualnya sendiri. Ia tahu, jika ia ingin menyelamatkan Vanya dan menghentikan Rio, ia harus melangkah seorang diri.Dengan mengenakan pakaian khusus berteknologi ringan dan chip identifikasi palsu, Arka menyelinap keluar melalui lorong belakang, diiringi suara langkah robot pengawas yang nyaris tak terdengar. Ia tidak meninggalkan pesan, kecuali surat di bawah bantalnya yang bertuliskan satu kalimat,"Jangan cari aku. Aku akan kembali saat sudah bisa m
Pagi di kediaman keluarga Mahendra begitu tenang, nyaris terlalu tenang jika dibandingkan dengan malam sebelumnya. Burung-burung berkicau seperti tak tahu bahwa dunia di luar pagar besar itu tengah bersiap meledak dalam badai yang lebih besar dari sebelumnya.Di dalam ruang latihan rahasia, Arka yang kini berusia tujuh tahun, mengenakan seragam khusus dengan lambang Phoenix kecil di dadanya. Di depan layar kaca transparan, ia mempelajari ulang taktik bertahan, membaca kode sinyal, dan membedakan pola gerakan drone musuh. Noah berdiri tak jauh darinya, mengamati.“Kamu sudah makin cepat, Arka. Tapi ingat, bukan soal kecepatan. Ini tentang ketepatan dan niat.”Arka menoleh, berkeringat namun penuh semangat. “Papa, kenapa mereka mau menyakiti kita? Padahal kita tidak pernah mengganggu mereka.”Noah menarik napas. Ia tahu, anaknya terlalu cerdas untuk dibohongi, tapi juga terlalu muda untuk menanggung semua kebenaran.“Karena mereka takut. Karena kita punya sesuatu yang tidak bisa mereka
Malam itu langit Jakarta berwarna gelap pekat. Awan hitam menggulung seakan menyembunyikan badai yang akan datang. Di ruang observasi Phoenix of Gold, cahaya layar komputer menyala redup. Noah berdiri di tengah ruangan seperti bayangan diam yang sedang menyatu dengan gelap. Di hadapannya, lusinan monitor menampilkan gambar-gambar: aktivitas Black Shadow, pergerakan logistik Rio, dan pesan-pesan terenkripsi yang telah berhasil dibuka oleh sistem keamanan rahasia mereka.“Aku akan turun langsung,” gumam Noah.Akira yang berdiri di belakangnya mengernyit. “Maksudmu ke Montenegro? Noah, kamu baru saja menarik perhatian dunia. Kamu akan menjadi target utama jika kembali menyamar.”Noah memalingkan wajahnya. “Bukan menyamar. Aku akan kembali menjadi diriku yang dulu. Phantom. Hanya itu cara untuk menuntaskan semuanya.”Akira menatapnya dalam-dalam. “Kalau kamu masuk terlalu dalam… bagaimana caranya kamu kembali ke kami?”Noah melangkah pelan mendekati istrinya, menangkup wajahnya dengan ked
Phoenix of Gold kini menjadi sorotan dunia. Media internasional menyoroti perusahaan yang tak hanya bergerak di bidang energi hijau, tetapi juga menjadi simbol ketahanan keluarga di tengah ancaman global. Akira dan Noah menjadi pasangan fenomenal yang disegani—bukan karena kekayaan mereka, tapi karena integritas dan keberanian mereka mempertahankan nilai.Namun di balik sorotan itu, ada ketegangan yang terus menguat. Noah kini tidur hanya dua hingga tiga jam sehari. Sisanya ia habiskan untuk memperkuat keamanan digital, memperluas jaringan intelijen, dan yang paling penting: menyusun serangan balik terhadap Rio Vasilyev.Di ruang bawah tanah Phoenix of Gold—ruang yang tak diketahui siapa pun kecuali Akira dan beberapa orang kepercayaannya—Noah berdiri di hadapan layar besar yang menampilkan peta dunia.“Operasi Valkyrie akan dimulai dalam empat puluh delapan jam,” ucap Raka sambil menunjukkan serangkaian data. “Kami sudah menanam orang dalam di markas Rio di Montenegro. Namun mereka m
Pagi itu, langit Jakarta tampak kelabu, mendung menggantung berat seolah memantulkan perasaan yang memenuhi hati Akira. Ia berdiri di balkon rumahnya, menatap taman tempat anak-anak biasanya bermain. Namun hari ini, taman itu kosong. Arka sedang di kamar bersama tutor privatnya, sementara Eiden masih tidur dalam pelukan pengasuhnya.Akira baru saja menerima laporan bahwa kantor pusat Phoenix of Gold kembali diserang secara digital. Sistem keamanan mereka diretas, dan beberapa dokumen rahasia hampir bocor ke publik jika tim IT tidak sigap memblokir akses asing yang berasal dari luar negeri.“Noah, ini bukan cuma tentang bisnis lagi. Mereka sudah menjadikan Phoenix of Gold sebagai simbol. Dan kita adalah target berikutnya,” ucap Akira dengan nada serius saat Noah masuk ke balkon membawakan secangkir teh hangat untuknya.Noah meletakkan cangkir itu di meja kecil. “Aku tahu. Rio ingin menjatuhkan semua yang pernah kita bangun. Dia tak hanya menyasar bisnis kita, tapi juga keluarga kita.”
Matahari sore menyelinap di balik jendela besar kamar keluarga Noah dan Akira. Di ruang bermain yang hangat dengan karpet berbentuk awan, Eiden tertawa ceria saat Akira menyuapi potongan buah kecil ke mulutnya. Sementara itu, Arka duduk di pojok ruangan, menggambar dengan pensil warna yang ditekan kuat-kuat ke kertas.“Nooo! Itu apelku, Mama!” Arka tiba-tiba berseru, melihat potongan buah yang diberikan ke adiknya.Akira menoleh, sedikit kaget. “Sayang, kamu 'kan tadi sudah makan dua potong. Ini buat Eiden.”“Tapi aku mau sekarang juga!” Arka bangkit dan berjalan cepat, hampir mendorong Eiden yang sedang duduk di kursi bayi.“Arka!” Akira memanggil tegas. “Kamu tidak boleh dorong adikmu seperti itu.”Anak laki-laki berusia lima tahun itu memelototi adiknya. “Kenapa sih semuanya selalu tentang Eiden! Dia selalu dapat pelukan, buah, bahkan mainan baru. Aku ini anak pertama, kan?”Akira menelan ludah, hatinya perih. Ia tahu kecemburuan ini bukan muncul tiba-tiba, tapi sudah ia lihat seja