Akira masih memandangi dokumen di tangannya, merasa sulit mempercayai kenyataan yang baru saja terbuka. Nama Claire, sekretaris Noah yang selama ini terlihat begitu setia dan profesional, tertera jelas di dalam daftar orang yang bekerja sama dengan Morgan."Apa mungkin ada kesalahan?" Akira bertanya, suaranya sedikit bergetar.Noah menggeleng pelan, matanya dipenuhi amarah yang ditahan. "Dokumen ini berasal dari sumber Morgan sendiri. Jika namanya ada di sini, berarti dia memang terlibat."Gabriel yang berdiri di sudut ruangan menatap keduanya dengan ekspresi serius. "Kami sedang melacak setiap gerak-gerik Claire selama beberapa bulan terakhir. Sejauh ini, dia memang terlihat bersih, tapi ada beberapa transaksi mencurigakan dalam rekening pribadinya."Noah menatap Gabriel tajam. "Seberapa mencurigakan?"Gabriel menghela napas sebelum menjawab. "Dalam dua bulan terakhir, dia menerima sejumlah besar uang dari rekening anonim. Jumlahnya cukup besar untuk membangun bisnis sendiri. Dia jug
Akira yang beberapa hari dibuat pusing oleh beberapa masalah, meminta suaminya untuk menemani dirinya di taman kota dengan suasana langit senja yang mulai berubah menjadi jingga keemasan, menciptakan suasana yang tenang dan damai. Angin berhembus sepoi-sepoi, membawa aroma dedaunan basah dan bunga-bunga yang bermekaran di sepanjang jalur pejalan kaki.Di salah satu bangku taman, Akira duduk bersandar dengan kedua tangan bertumpu pada lututnya. Wajahnya tampak lelah, pikirannya sudah terlalu jenuh dengan berbagai masalah yang datang silih berganti dalam beberapa minggu terakhir. Puncaknya adalah ancaman yang ditinggalkan Nisa sebelum menghilang—sesuatu yang masih menjadi tanda tanya besar di benaknya dan Noah.Noah yang duduk di sebelahnya merasakan kegelisahan sang istri. Dia menatapnya penuh perhatian, tangannya menggenggam jemari Akira dengan lembut."Sayang, kamu pasti sangat lelah," ujar Noah pelan.Akira menghela napas panjang, kemudian menoleh ke arah suaminya. "Aku hanya ingin
Setelah kejadian di taman, perasaan tidak nyaman terus menghantui Akira. Meskipun dua sudah berada di rumah bersama Noah, bayangan sosok misterius yang mengawasi mereka tak kunjung hilang dari benaknya.Di dalam kamar mereka yang luas, Akira duduk di tepi ranjang sambil menatap ke luar jendela. Langit malam tampak pekat, hanya dihiasi oleh sedikit cahaya bintang. Angin bertiup pelan, membuat tirai jendela bergoyang perlahan.Noah keluar dari kamar mandi dengan piyama santai, rambutnya masih sedikit basah. Dia melihat istrinya termenung dan langsung mendekat, duduk di sampingnya."Pikiranku masih belum tenang, Sayang," ujar Akira lirih. Dia membuka suara setelah Noah bersama dengan dirinya. "Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa seseorang benar-benar mengawasi kita."Noah meraih tangan Akira dan menggenggamnya erat. "Aku sudah menyuruh Gabriel menyelidiki. Dia akan mencari tahu apakah ada seseorang yang mencurigakan di sekitar kita."Akira menatap suaminya, mencari ketenangan dalam ta
Malam itu semakin larut saat Akira ingin berangkat untuk mengistirahatkan pikiran dan. juga tubuhnya. Namun, pikirannya masih dipenuhi oleh kejadian siang tadi. Ya setelah Noah dan Gabriel menggerebek tempat persembunyian Claire siang itu, Noah mulai menceritakan bagaimana Claire benar-benar berniat untuk menghancurkan dirinya dan juga Noah. Ancaman dari Claire yang di sampaikan oleh suaminya masih terasa begitu nyata, meskipun vila tempat persembunyiannya sudah kosong. Di sampingnya, Noah tampak terjaga, matanya menatap langit-langit kamar dengan ekspresi serius. "Masih memikirkan Claire?" Akira bertanya pelan. Noah menoleh, lalu tersenyum tipis. "Aku hanya tidak suka jika orang-orang menganggap aku lemah dan mudah lengah. Aku bisa mencegah lawan agar tidak menghancurkan kita. Aku punya ide untuk ini. Akira menggenggam tangan Noah erat. "Kita sudah melewati banyak hal, Sayang. Dan aku percaya kita bisa melewati ini juga." Noah menatap istrinya dalam-dalam sebelum menghela na
Malam itu, setelah kejadian pengejaran yang gagal, Noah dan Gabriel kembali ke rumah dengan perasaan tidak tenang. Akira menunggu di ruang tamu dengan wajah penuh kekhawatiran."Sayang, kamu baik-baik saja?" Akira segera menghampiri suaminya begitu dia masuk.Noah mengangguk, tetapi tatapan matanya tetap tajam. "Claire menghilang. Dia sudah merencanakan semua ini."Gabriel menambahkan, "Dia bahkan punya orang-orang yang bekerja untuknya. Ini bukan sekadar dendam pribadi. Ada sesuatu yang lebih besar."Akira menggigit bibirnya. "Jadi... kita belum selesai dengan semua ini?"Noah menghela napas panjang dan menarik Akira ke dalam pelukannya. "Tidak, sayang. Tapi aku janji, aku akan melindungimu apa pun yang terjadi."Namun, sesuatu yang mengejutkan terjadi.Ponsel Noah berbunyi di layar ponsel ada sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.["Kamu sudah menemukan petunjuk pertama. Sekarang lihat ke belakangmu."]Noah segera menoleh.Jendela ruang tamu terbuka sedikit, seolah seseorang bar
Noah merasakan jantungnya berdegup kencang saat melihat rekaman di ponsel Andre. Claire berdiri di belakang Akira dengan pisau di tangannya, wajahnya tanpa ekspresi seperti boneka yang dikendalikan oleh dalangnya. "Aku akan membunuhmu, Andre!" Noah menggeram, berusaha melepaskan diri dari ikatan di tangannya. Andre tertawa kecil, berjalan santai mengelilingi ruangan. "Oh, tenang saja, Noah. Aku tak akan membunuhnya... setidaknya belum. Aku hanya ingin kamu merasakan ketakutan, ketidakberdayaan. Seperti yang kamu buat aku rasakan saat kamu menghancurkan hidupku dulu." Noah menatapnya tajam. "Aku tidak pernah menghancurkan hidupmu! Kamu sendiri yang menjerumuskan dirimu ke dalam kegelapan!" Andre mendekat dan meraih dagu Noah dengan kasar. "Dan sekarang, aku akan menarikmu ke dalam kegelapan itu bersamaku." Tiba-tiba, layar besar di ruangan itu menyala, menampilkan siaran langsung dari rumah Akira dan Noah. Di layar, Akira berdiri di tengah ruangan, wajahnya ketakutan saat C
Malam itu, hujan turun deras di kota, membasahi jendela kamar rumah sakit tempat Akira beristirahat. Noah duduk di samping tempat tidurnya, tangannya menggenggam erat jemari istrinya yang dingin. Luka-luka ringan di tubuh Akira telah dirawat, tetapi trauma yang dialaminya masih membekas.Noah menatap wajah istrinya yang tampak tenang dalam tidur. Namun di dalam pikirannya, kemarahan masih membara. Andre kabur dan bahaya masih saja mengincar, dan selama dia masih bebas, Akira serta bayi mereka dalam bahaya.Gabriel masuk ke dalam ruangan dengan ekspresi serius. "Kita harus bicara."Noah mengangguk dan berdiri perlahan, melepaskan genggaman tangannya dari Akira. Dia mengikuti Gabriel keluar ke koridor rumah sakit yang sepi."Kami menemukan jejak Andre," kata Gabriel, suaranya pelan. "Dia bersembunyi di sebuah vila tua di pinggir kota. Tapi ada sesuatu yang lebih besar dari ini."Noah menyipitkan matanya. "Apa maksudmu?"Gabriel menyerahkan sebuah amplop. Noah membukanya dan melihat foto
Malam itu, hujan deras membasahi jendela kamar Noah. Bocah lelaki berusia delapan tahun itu duduk di sudut kamar gelap, memeluk lututnya erat. Di luar, suara hujan bercampur dengan bentakan keras seorang pria."Noah! Kamu pikir kamu bisa lari dariku?!"Suara itu milik Charles Mahendra—ayahnya.Langkah kaki terdengar mendekat, berat dan penuh kemarahan. Pintu kamar Noah terbuka dengan kasar, memperlihatkan sosok pria bertubuh tegap dengan sorot mata tajam yang penuh amarah."Dasar anak tak berguna!" bentaknya sebelum menampar pipi Noah.Tubuh kecil Noah terhempas ke lantai kayu yang dingin. Matanya memerah, tapi dia menahan air matanya. Dia tahu, menangis hanya akan membuat Charles semakin marah."Kamu bukan pewaris yang kuinginkan! Kamu lemah, kamu tidak pantas menyandang nama Mahendra!"Kata-kata itu menggema di kepala Noah, bahkan bertahun-tahun setelah kejadian itu berlalu.Sejak kecil, dia sudah merasakan betapa ayahnya membencinya. Tapi mengapa?Seiring bertambahnya usia, kebenci
Seminggu telah berlalu sejak penyelamatan Talia. Meskipun luka-lukanya mulai membaik, trauma yang ditinggalkan oleh para penculik masih melekat. Akira memutuskan untuk memberinya waktu istirahat penuh, menghindarkannya dari segala rapat strategis.Namun di balik dinding kaca Phoenix Headquarters, badai tengah mengumpul.Sejumlah negara, dipimpin oleh Eropa Timur dan beberapa pihak dari Asia Tengah, membentuk koalisi darurat—menuntut audit terbuka terhadap teknologi Phoenix of Gold. Mereka menganggap perusahaan yang dulunya adalah Mahendra Corp itu telah berubah menjadi kekuatan supranasional yang tak bisa diawasi.“Kita menjadi trending topic bukan karena pujian saja,” kata Noah dalam rapat utama. “Tapi juga karena rasa takut. Dunia melihat kita sebagai ancaman baru.”Arka duduk tak jauh dari ayahnya, ekspresinya kaku. Ia telah mempelajari reaksi publik, membaca lebih dari dua ratus artikel opini dalam empat hari terakhir. Kesimpulannya hanya satu—Phoenix mulai kehilangan kendali atas
Senja menyelimuti markas utama Phoenix of Gold. Gedung kaca yang menjulang tinggi itu memantulkan warna jingga dari matahari yang perlahan tenggelam. Di dalam ruang observasi, Arka duduk diam menatap layar hologram, meninjau ulang data-data yang berhasil direbut dari Leo.Di sampingnya, Vanya membungkuk memeriksa pola-pola anomali dalam algoritma yang digunakan Leo untuk menyalin blueprint milik Hydra Star Corp.“Leo bekerja sendiri?” tanya Vanya, masih menatap layar.Arka menggeleng pelan. “Enggak. Pola enkripsinya bukan gaya Leo. Ini lebih kompleks. Lebih... khas Dragunov.”Vanya menegakkan tubuh. “Tapi Dragunov udah dihancurkan, Ka. Kita sendiri yang mengakhiri jaringan mereka.”Arka mengangguk. “Iya. Tapi sisa-sisanya masih berkeliaran. Dan aku curiga... mereka tidak pernah benar-benar hancur. Hanya bersembunyi.”Belum sempat Vanya menjawab, pintu ruang observasi terbuka cepat. Gabriel masuk dengan ekspresi tegang.“Kalian harus lihat ini.”Mereka mengikuti Gabriel menuju ruang ko
Tiga minggu telah berlalu sejak insiden pelabuhan. Dunia mulai menaruh perhatian besar pada dua sosok remaja jenius, Arka Mahendra dan Vanya Laurent. Tak hanya karena keberanian mereka melawan jaringan Black Shadow, tetapi karena simbol baru yang mereka wakili—harapan generasi masa depan.Media internasional menjuluki mereka sebagai Phoenix Twins, mengacu pada nama perusahaan keluarga Arka, Phoenix of Gold, dan kebangkitan mereka dari ancaman masa lalu. Namun, bagi Arka, popularitas bukanlah sesuatu yang ia nikmati. Ia lebih memilih duduk di ruang riset, berkutat dengan sistem keamanan, memantau jejak sisa kelompok Rio yang kini menghilang dari radar.Sementara itu, Vanya, yang mulai tinggal di markas Phoenix sebagai bagian dari program rehabilitasi dan perlindungan, tak kunjung merasa nyaman. Meskipun Arka membelanya di depan seluruh dewan direksi Phoenix, beberapa anggota senior perusahaan—terutama dari pihak investor lama Mahendra Corp—masih mencurigainya.
Pagi itu, langit kota London terlihat kelabu. Kabut menyelimuti kaca-kaca pencakar langit, seolah menyembunyikan sesuatu yang lebih besar dari sekadar perubahan cuaca. Di salah satu ruangan paling aman di markas Phoenix of Gold, Arka sedang bersiap untuk melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya—keluar dari perlindungan ayahnya.Ia telah meretas jalur khusus di dalam sistem bawah tanah milik Phoenix. Jalur itu dulunya hanya diketahui oleh Noah dan Gabriel, namun kini Arka telah berhasil menciptakan duplikat pintu masuk virtualnya sendiri. Ia tahu, jika ia ingin menyelamatkan Vanya dan menghentikan Rio, ia harus melangkah seorang diri.Dengan mengenakan pakaian khusus berteknologi ringan dan chip identifikasi palsu, Arka menyelinap keluar melalui lorong belakang, diiringi suara langkah robot pengawas yang nyaris tak terdengar. Ia tidak meninggalkan pesan, kecuali surat di bawah bantalnya yang bertuliskan satu kalimat,"Jangan cari aku. Aku akan kembali saat sudah bisa m
Pagi di kediaman keluarga Mahendra begitu tenang, nyaris terlalu tenang jika dibandingkan dengan malam sebelumnya. Burung-burung berkicau seperti tak tahu bahwa dunia di luar pagar besar itu tengah bersiap meledak dalam badai yang lebih besar dari sebelumnya.Di dalam ruang latihan rahasia, Arka yang kini berusia tujuh tahun, mengenakan seragam khusus dengan lambang Phoenix kecil di dadanya. Di depan layar kaca transparan, ia mempelajari ulang taktik bertahan, membaca kode sinyal, dan membedakan pola gerakan drone musuh. Noah berdiri tak jauh darinya, mengamati.“Kamu sudah makin cepat, Arka. Tapi ingat, bukan soal kecepatan. Ini tentang ketepatan dan niat.”Arka menoleh, berkeringat namun penuh semangat. “Papa, kenapa mereka mau menyakiti kita? Padahal kita tidak pernah mengganggu mereka.”Noah menarik napas. Ia tahu, anaknya terlalu cerdas untuk dibohongi, tapi juga terlalu muda untuk menanggung semua kebenaran.“Karena mereka takut. Karena kita punya sesuatu yang tidak bisa mereka
Malam itu langit Jakarta berwarna gelap pekat. Awan hitam menggulung seakan menyembunyikan badai yang akan datang. Di ruang observasi Phoenix of Gold, cahaya layar komputer menyala redup. Noah berdiri di tengah ruangan seperti bayangan diam yang sedang menyatu dengan gelap. Di hadapannya, lusinan monitor menampilkan gambar-gambar: aktivitas Black Shadow, pergerakan logistik Rio, dan pesan-pesan terenkripsi yang telah berhasil dibuka oleh sistem keamanan rahasia mereka.“Aku akan turun langsung,” gumam Noah.Akira yang berdiri di belakangnya mengernyit. “Maksudmu ke Montenegro? Noah, kamu baru saja menarik perhatian dunia. Kamu akan menjadi target utama jika kembali menyamar.”Noah memalingkan wajahnya. “Bukan menyamar. Aku akan kembali menjadi diriku yang dulu. Phantom. Hanya itu cara untuk menuntaskan semuanya.”Akira menatapnya dalam-dalam. “Kalau kamu masuk terlalu dalam… bagaimana caranya kamu kembali ke kami?”Noah melangkah pelan mendekati istrinya, menangkup wajahnya dengan ked
Phoenix of Gold kini menjadi sorotan dunia. Media internasional menyoroti perusahaan yang tak hanya bergerak di bidang energi hijau, tetapi juga menjadi simbol ketahanan keluarga di tengah ancaman global. Akira dan Noah menjadi pasangan fenomenal yang disegani—bukan karena kekayaan mereka, tapi karena integritas dan keberanian mereka mempertahankan nilai.Namun di balik sorotan itu, ada ketegangan yang terus menguat. Noah kini tidur hanya dua hingga tiga jam sehari. Sisanya ia habiskan untuk memperkuat keamanan digital, memperluas jaringan intelijen, dan yang paling penting: menyusun serangan balik terhadap Rio Vasilyev.Di ruang bawah tanah Phoenix of Gold—ruang yang tak diketahui siapa pun kecuali Akira dan beberapa orang kepercayaannya—Noah berdiri di hadapan layar besar yang menampilkan peta dunia.“Operasi Valkyrie akan dimulai dalam empat puluh delapan jam,” ucap Raka sambil menunjukkan serangkaian data. “Kami sudah menanam orang dalam di markas Rio di Montenegro. Namun mereka m
Pagi itu, langit Jakarta tampak kelabu, mendung menggantung berat seolah memantulkan perasaan yang memenuhi hati Akira. Ia berdiri di balkon rumahnya, menatap taman tempat anak-anak biasanya bermain. Namun hari ini, taman itu kosong. Arka sedang di kamar bersama tutor privatnya, sementara Eiden masih tidur dalam pelukan pengasuhnya.Akira baru saja menerima laporan bahwa kantor pusat Phoenix of Gold kembali diserang secara digital. Sistem keamanan mereka diretas, dan beberapa dokumen rahasia hampir bocor ke publik jika tim IT tidak sigap memblokir akses asing yang berasal dari luar negeri.“Noah, ini bukan cuma tentang bisnis lagi. Mereka sudah menjadikan Phoenix of Gold sebagai simbol. Dan kita adalah target berikutnya,” ucap Akira dengan nada serius saat Noah masuk ke balkon membawakan secangkir teh hangat untuknya.Noah meletakkan cangkir itu di meja kecil. “Aku tahu. Rio ingin menjatuhkan semua yang pernah kita bangun. Dia tak hanya menyasar bisnis kita, tapi juga keluarga kita.”
Matahari sore menyelinap di balik jendela besar kamar keluarga Noah dan Akira. Di ruang bermain yang hangat dengan karpet berbentuk awan, Eiden tertawa ceria saat Akira menyuapi potongan buah kecil ke mulutnya. Sementara itu, Arka duduk di pojok ruangan, menggambar dengan pensil warna yang ditekan kuat-kuat ke kertas.“Nooo! Itu apelku, Mama!” Arka tiba-tiba berseru, melihat potongan buah yang diberikan ke adiknya.Akira menoleh, sedikit kaget. “Sayang, kamu 'kan tadi sudah makan dua potong. Ini buat Eiden.”“Tapi aku mau sekarang juga!” Arka bangkit dan berjalan cepat, hampir mendorong Eiden yang sedang duduk di kursi bayi.“Arka!” Akira memanggil tegas. “Kamu tidak boleh dorong adikmu seperti itu.”Anak laki-laki berusia lima tahun itu memelototi adiknya. “Kenapa sih semuanya selalu tentang Eiden! Dia selalu dapat pelukan, buah, bahkan mainan baru. Aku ini anak pertama, kan?”Akira menelan ludah, hatinya perih. Ia tahu kecemburuan ini bukan muncul tiba-tiba, tapi sudah ia lihat seja