Malam itu, Noah duduk di ruang kerjanya, menatap ponselnya yang masih menampilkan panggilan terakhir dari Alice.Akira berdiri di sampingnya, mencoba membaca ekspresi suaminya. "Noah, kau yakin ingin bertemu dengannya?"Noah menghela napas. "Aku harus. Jika aku tidak melakukannya sekarang, aku akan terus dihantui oleh pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab."Akira menggenggam tangannya erat. "Aku tidak akan membiarkanmu menghadapi ini sendirian."Noah menatap istrinya dalam-dalam. "Terima kasih, Akira."Mereka berdua tahu, pertemuan ini bisa mengubah segalanya.Keesokan harinya, Noah dan Akira tiba di lokasi yang telah ditentukan oleh Alice—sebuah vila tua yang terletak di pinggiran kota.Udara dingin menusuk kulit, dan suasana di sekitar terasa begitu sunyi, seolah tempat itu telah lama ditinggalkan.Noah menggenggam tangan Akira erat saat mereka berjalan menuju pintu utama.Begitu mereka masuk, seorang pelayan tua menyambut mereka. "Tuan Noah, Nyonya Alice sudah menunggu di ruang
Mobil Noah melaju dengan kecepatan tinggi meninggalkan vila Alice. Akira duduk di sampingnya, mencengkram tangannya erat."Noah, kau baik-baik saja?" tanyanya dengan suara lembut.Noah tidak langsung menjawab. Tatapannya kosong menatap jalanan di depan, pikirannya masih dipenuhi kata-kata Alice."Kau pikir Charles adalah satu-satunya musuhmu? Kau salah, Noah. Ada seseorang yang bahkan lebih berbahaya, dan dia sudah memperhatikanmu sejak lama."Dan yang lebih mengejutkan—dia bukan anak Charles Mahendra.Dia adalah putra Edward Van Dijk.Jantungnya berdebar keras. Bagaimana mungkin? Kenapa Alice baru mengatakannya sekarang? Jika benar Edward adalah ayah kandungnya, kenapa pria itu tidak pernah muncul dalam hidupnya?"Noah," Akira memanggilnya lagi, suaranya penuh kekhawatiran.Noah menghela napas panjang sebelum menjawab, "Aku baik-baik saja."Akira tahu itu bohong. "Kita harus membicarakan ini."Noah tetap diam. Baginya, tidak ada yang perlu dibicarakan. Alice adalah manipulatif dan be
Edward Van Dijk duduk dengan tenang di sofa mewah di depannya, seolah-olah pertemuan ini bukanlah sesuatu yang luar biasa. Seakan-akan dia sudah lama menunggu momen ini tiba.Noah, di sisi lain, merasakan gelombang emosi bercampur aduk di dalam dadanya. Selama ini dia hidup dalam bayangan kekejaman Charles Mahendra, berpikir bahwa dia hanyalah anak yang tidak diinginkan. Sekarang, pria di depannya mengaku sebagai ayah kandungnya dan menginginkannya kembali."Jadi?" Noah akhirnya membuka suara, nadanya dingin. "Kau ingin aku kembali ke keluargamu setelah sekian lama? Seolah-olah aku ini barang yang bisa diambil dan ditinggalkan begitu saja?"Edward tersenyum tipis. "Kau bukan barang, Noah. Kau adalah warisanku."Noah mengepalkan tangannya di atas meja. "Aku bukan milik siapa pun. Aku membangun hidupku sendiri, tanpa bantuan siapa pun."Edward mengangkat alis. "Tanpa bantuan siapa pun? Noah, kau mungkin berbakat, tapi jangan naif. Setiap langkahmu sudah diperhatikan sejak lama."Noah me
Malam itu, Noah duduk di ruang kerja pribadinya, dikelilingi oleh cahaya temaram lampu kuning. Di hadapannya, berbagai dokumen tentang Van Dijk Group dan Hydra Star Corp tersebar di meja. Edward Van Dijk telah mulai menyerang, mengganggu stabilitas saham Hydra Star Corp. Akira berjalan mendekatinya, membawa secangkir kopi. Dia tahu suaminya sedang berada dalam tekanan besar. "Kau belum tidur?" tanyanya lembut. Noah menghela napas dan mengusap wajahnya. "Aku tidak bisa tidur. Edward mulai menggerakkan pionnya." Akira duduk di kursi di depannya, menatap suaminya dengan penuh perhatian. "Lalu apa langkah kita selanjutnya?" Noah menatapnya dalam. "Aku akan menyerang balik." "Bagaimana caranya?" Noah tersenyum tipis, namun matanya penuh perhitungan. "Edward mungkin pria yang licik, tapi dia punya kelemahan. Aku hanya perlu menemukan celah itu." Akira mengangguk, percaya pada kemampuan Noah. "Kita akan menghadapinya bersama." Noah menggenggam tangan Akira erat. "Aku tidak akan memb
Alice duduk di ruang interogasi dengan tangan terborgol di atas meja. Matanya menatap lurus ke depan, penuh dengan keangkuhan yang kini mulai memudar. Di hadapannya, Noah berdiri dengan tatapan dingin, sementara Edward duduk di sudut ruangan dengan ekspresi yang sulit ditebak.“Noah,” suara Alice akhirnya terdengar, lembut tapi penuh beban. “Aku tahu aku telah melakukan banyak kesalahan.”Noah tetap diam. Dia tidak akan mudah luluh oleh kata-kata ibunya.Alice menarik napas dalam, lalu melanjutkan, “Aku ingin meminta maaf.”Noah menatapnya tajam. “Untuk apa? Mencoba menghancurkan hidupku? Mengkhianati ayahku? Atau menjadikanku alat dalam permainan kotormu?”Alice menunduk, lalu menggeleng pelan. “Aku… Aku hanya ingin berkuasa. Aku pikir, dengan mengendalikan segalanya, aku bisa melindungi diriku sendiri.”Edward yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. “Alice, kau tidak hanya menghancurkan dirimu sendiri, tapi juga Noah.”Alice tersenyum pahit. “Dan kau lebih baik dariku, Edward?
Malam itu, di dalam kamar mewah mereka, Noah memeluk Akira dengan lembut, tangannya mengusap perut istrinya yang mulai membesar. Perasaan lega akhirnya bisa ia rasakan setelah semua musuhnya ditangkap dan pertarungan panjangnya selesai. Kini, yang tersisa hanyalah kebahagiaan bersama Akira dan calon bayi mereka.Namun, kehidupan rumah tangga dengan istri hamil ternyata membawa tantangan baru yang tak kalah menegangkan dari menghadapi Charles atau Alice."Sayang," Akira bersuara lembut, tangannya mengelus dada Noah."Hmm?" Noah membuka matanya yang hampir terpejam."Aku mau makan semangka… tapi yang dalamnya kuning, bukan merah."Noah terdiam sejenak. “Sekarang?”Akira mengangguk manja. “Iya, sekarang.”Noah melirik jam di meja. “Sayang, ini jam dua pagi.”Akira memajukan bibirnya, wajahnya tampak merajuk. “Tapi bayinya mau semangka kuning.”Noah menghela napas. "Oke, aku akan cari.”Lima belas menit kemudian, Noah sudah berada di dapur, mengacak-acak lemari es dengan ekspresi putus as
Ruangan rumah sakit yang awalnya dipenuhi kecemasan kini berubah menjadi lautan kebahagiaan. Tangisan bayi yang baru lahir menggema, memenuhi setiap sudut ruangan dengan suara kehidupan baru. Noah berdiri di samping tempat tidur Akira, matanya berkaca-kaca saat menatap bayi mungil yang digendongnya dengan penuh hati-hati."Dia... sangat tampan," gumam Noah, suaranya bergetar penuh emosi.Akira tersenyum lemah, kelelahan setelah proses persalinan yang panjang. "Tentu saja, dia anakmu."Gabriel, yang sejak tadi berdiri di sudut ruangan dengan mata berbinar, berseru dengan penuh semangat. "Bos, selamat! Akhirnya ada penerus Hydra Star Corp yang sah!"Noah menoleh dengan ekspresi malas. "Gabriel, dia baru lahir. Jangan langsung kasih beban bisnis ke anakku."Gabriel terkikik. "Baik, baik! Tapi serius, dia sangat tampan. Sepertinya nanti bakal banyak wanita yang mengejarnya seperti ayahnya."Akira tertawa pelan, sementara Noah menghela napas panjang. "Kita lihat nanti. Sekarang yang paling
Hari-hari pertama setelah kelahiran Arka berjalan dengan penuh kasih sayang—dan sedikit kekacauan. Sebagai orang tua baru, Noah dan Akira masih beradaptasi dengan kehadiran bayi mereka.Suatu pagi, Akira yang masih setengah sadar karena kurang tidur melihat pemandangan aneh di kamar bayi. Noah berdiri di depan Arka yang terbaring di boksnya, sambil membawa sekantong mainan."Noah, apa yang kamu lakukan?" tanya Akira, suaranya serak karena mengantuk.Noah menoleh dengan ekspresi serius. "Aku sedang memilih mainan yang cocok untuk meningkatkan kecerdasan Arka."Akira berjalan mendekat dan melirik isi kantong itu. "Noah, ini rubik, catur, dan buku ekonomi tingkat lanjut. Arka bahkan belum bisa mengangkat kepalanya sendiri!"Noah mengernyit. "Jadi, aku terlalu cepat?""Jelas!" Akira tertawa kecil, lalu mengambil boneka beruang kecil dan meletakkannya di samping Arka. "Ini, mainan yang lebih sesuai."Noah menatap boneka itu dengan skeptis. "Aku ingin dia jadi anak jenius, bukan pecinta bon
Senja menyelimuti markas utama Phoenix of Gold. Gedung kaca yang menjulang tinggi itu memantulkan warna jingga dari matahari yang perlahan tenggelam. Di dalam ruang observasi, Arka duduk diam menatap layar hologram, meninjau ulang data-data yang berhasil direbut dari Leo.Di sampingnya, Vanya membungkuk memeriksa pola-pola anomali dalam algoritma yang digunakan Leo untuk menyalin blueprint milik Hydra Star Corp.“Leo bekerja sendiri?” tanya Vanya, masih menatap layar.Arka menggeleng pelan. “Enggak. Pola enkripsinya bukan gaya Leo. Ini lebih kompleks. Lebih... khas Dragunov.”Vanya menegakkan tubuh. “Tapi Dragunov udah dihancurkan, Ka. Kita sendiri yang mengakhiri jaringan mereka.”Arka mengangguk. “Iya. Tapi sisa-sisanya masih berkeliaran. Dan aku curiga... mereka tidak pernah benar-benar hancur. Hanya bersembunyi.”Belum sempat Vanya menjawab, pintu ruang observasi terbuka cepat. Gabriel masuk dengan ekspresi tegang.“Kalian harus lihat ini.”Mereka mengikuti Gabriel menuju ruang ko
Tiga minggu telah berlalu sejak insiden pelabuhan. Dunia mulai menaruh perhatian besar pada dua sosok remaja jenius, Arka Mahendra dan Vanya Laurent. Tak hanya karena keberanian mereka melawan jaringan Black Shadow, tetapi karena simbol baru yang mereka wakili—harapan generasi masa depan.Media internasional menjuluki mereka sebagai Phoenix Twins, mengacu pada nama perusahaan keluarga Arka, Phoenix of Gold, dan kebangkitan mereka dari ancaman masa lalu. Namun, bagi Arka, popularitas bukanlah sesuatu yang ia nikmati. Ia lebih memilih duduk di ruang riset, berkutat dengan sistem keamanan, memantau jejak sisa kelompok Rio yang kini menghilang dari radar.Sementara itu, Vanya, yang mulai tinggal di markas Phoenix sebagai bagian dari program rehabilitasi dan perlindungan, tak kunjung merasa nyaman. Meskipun Arka membelanya di depan seluruh dewan direksi Phoenix, beberapa anggota senior perusahaan—terutama dari pihak investor lama Mahendra Corp—masih mencurigainya.
Pagi itu, langit kota London terlihat kelabu. Kabut menyelimuti kaca-kaca pencakar langit, seolah menyembunyikan sesuatu yang lebih besar dari sekadar perubahan cuaca. Di salah satu ruangan paling aman di markas Phoenix of Gold, Arka sedang bersiap untuk melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya—keluar dari perlindungan ayahnya.Ia telah meretas jalur khusus di dalam sistem bawah tanah milik Phoenix. Jalur itu dulunya hanya diketahui oleh Noah dan Gabriel, namun kini Arka telah berhasil menciptakan duplikat pintu masuk virtualnya sendiri. Ia tahu, jika ia ingin menyelamatkan Vanya dan menghentikan Rio, ia harus melangkah seorang diri.Dengan mengenakan pakaian khusus berteknologi ringan dan chip identifikasi palsu, Arka menyelinap keluar melalui lorong belakang, diiringi suara langkah robot pengawas yang nyaris tak terdengar. Ia tidak meninggalkan pesan, kecuali surat di bawah bantalnya yang bertuliskan satu kalimat,"Jangan cari aku. Aku akan kembali saat sudah bisa m
Pagi di kediaman keluarga Mahendra begitu tenang, nyaris terlalu tenang jika dibandingkan dengan malam sebelumnya. Burung-burung berkicau seperti tak tahu bahwa dunia di luar pagar besar itu tengah bersiap meledak dalam badai yang lebih besar dari sebelumnya.Di dalam ruang latihan rahasia, Arka yang kini berusia tujuh tahun, mengenakan seragam khusus dengan lambang Phoenix kecil di dadanya. Di depan layar kaca transparan, ia mempelajari ulang taktik bertahan, membaca kode sinyal, dan membedakan pola gerakan drone musuh. Noah berdiri tak jauh darinya, mengamati.“Kamu sudah makin cepat, Arka. Tapi ingat, bukan soal kecepatan. Ini tentang ketepatan dan niat.”Arka menoleh, berkeringat namun penuh semangat. “Papa, kenapa mereka mau menyakiti kita? Padahal kita tidak pernah mengganggu mereka.”Noah menarik napas. Ia tahu, anaknya terlalu cerdas untuk dibohongi, tapi juga terlalu muda untuk menanggung semua kebenaran.“Karena mereka takut. Karena kita punya sesuatu yang tidak bisa mereka
Malam itu langit Jakarta berwarna gelap pekat. Awan hitam menggulung seakan menyembunyikan badai yang akan datang. Di ruang observasi Phoenix of Gold, cahaya layar komputer menyala redup. Noah berdiri di tengah ruangan seperti bayangan diam yang sedang menyatu dengan gelap. Di hadapannya, lusinan monitor menampilkan gambar-gambar: aktivitas Black Shadow, pergerakan logistik Rio, dan pesan-pesan terenkripsi yang telah berhasil dibuka oleh sistem keamanan rahasia mereka.“Aku akan turun langsung,” gumam Noah.Akira yang berdiri di belakangnya mengernyit. “Maksudmu ke Montenegro? Noah, kamu baru saja menarik perhatian dunia. Kamu akan menjadi target utama jika kembali menyamar.”Noah memalingkan wajahnya. “Bukan menyamar. Aku akan kembali menjadi diriku yang dulu. Phantom. Hanya itu cara untuk menuntaskan semuanya.”Akira menatapnya dalam-dalam. “Kalau kamu masuk terlalu dalam… bagaimana caranya kamu kembali ke kami?”Noah melangkah pelan mendekati istrinya, menangkup wajahnya dengan ked
Phoenix of Gold kini menjadi sorotan dunia. Media internasional menyoroti perusahaan yang tak hanya bergerak di bidang energi hijau, tetapi juga menjadi simbol ketahanan keluarga di tengah ancaman global. Akira dan Noah menjadi pasangan fenomenal yang disegani—bukan karena kekayaan mereka, tapi karena integritas dan keberanian mereka mempertahankan nilai.Namun di balik sorotan itu, ada ketegangan yang terus menguat. Noah kini tidur hanya dua hingga tiga jam sehari. Sisanya ia habiskan untuk memperkuat keamanan digital, memperluas jaringan intelijen, dan yang paling penting: menyusun serangan balik terhadap Rio Vasilyev.Di ruang bawah tanah Phoenix of Gold—ruang yang tak diketahui siapa pun kecuali Akira dan beberapa orang kepercayaannya—Noah berdiri di hadapan layar besar yang menampilkan peta dunia.“Operasi Valkyrie akan dimulai dalam empat puluh delapan jam,” ucap Raka sambil menunjukkan serangkaian data. “Kami sudah menanam orang dalam di markas Rio di Montenegro. Namun mereka m
Pagi itu, langit Jakarta tampak kelabu, mendung menggantung berat seolah memantulkan perasaan yang memenuhi hati Akira. Ia berdiri di balkon rumahnya, menatap taman tempat anak-anak biasanya bermain. Namun hari ini, taman itu kosong. Arka sedang di kamar bersama tutor privatnya, sementara Eiden masih tidur dalam pelukan pengasuhnya.Akira baru saja menerima laporan bahwa kantor pusat Phoenix of Gold kembali diserang secara digital. Sistem keamanan mereka diretas, dan beberapa dokumen rahasia hampir bocor ke publik jika tim IT tidak sigap memblokir akses asing yang berasal dari luar negeri.“Noah, ini bukan cuma tentang bisnis lagi. Mereka sudah menjadikan Phoenix of Gold sebagai simbol. Dan kita adalah target berikutnya,” ucap Akira dengan nada serius saat Noah masuk ke balkon membawakan secangkir teh hangat untuknya.Noah meletakkan cangkir itu di meja kecil. “Aku tahu. Rio ingin menjatuhkan semua yang pernah kita bangun. Dia tak hanya menyasar bisnis kita, tapi juga keluarga kita.”
Matahari sore menyelinap di balik jendela besar kamar keluarga Noah dan Akira. Di ruang bermain yang hangat dengan karpet berbentuk awan, Eiden tertawa ceria saat Akira menyuapi potongan buah kecil ke mulutnya. Sementara itu, Arka duduk di pojok ruangan, menggambar dengan pensil warna yang ditekan kuat-kuat ke kertas.“Nooo! Itu apelku, Mama!” Arka tiba-tiba berseru, melihat potongan buah yang diberikan ke adiknya.Akira menoleh, sedikit kaget. “Sayang, kamu 'kan tadi sudah makan dua potong. Ini buat Eiden.”“Tapi aku mau sekarang juga!” Arka bangkit dan berjalan cepat, hampir mendorong Eiden yang sedang duduk di kursi bayi.“Arka!” Akira memanggil tegas. “Kamu tidak boleh dorong adikmu seperti itu.”Anak laki-laki berusia lima tahun itu memelototi adiknya. “Kenapa sih semuanya selalu tentang Eiden! Dia selalu dapat pelukan, buah, bahkan mainan baru. Aku ini anak pertama, kan?”Akira menelan ludah, hatinya perih. Ia tahu kecemburuan ini bukan muncul tiba-tiba, tapi sudah ia lihat seja
Pagi itu di rumah keluarga Noah Mahendra, suasana tampak seperti biasa—hangat, nyaman, dan penuh cinta. Namun di balik ketenangan itu, ada mata kecil yang memandang dengan diam-diam. Arka, anak pertama Noah dan Akira, berdiri di balik pintu ruang keluarga, memperhatikan sang ibu menyuapi adiknya, Eiden, sambil tertawa bahagia.“Eiden pintar banget sih… mama makin sayang sama adek,” kata Akira dengan lembut.Eiden tertawa kecil, tangan mungilnya menepuk-nepuk pipi Akira. Sementara itu, dada Arka terasa sesak. Ia tak mengerti mengapa dalam beberapa minggu terakhir, dirinya merasa seperti kehilangan tempat.Dulu, Akira selalu punya waktu untuknya. Dulu, Noah selalu mengajak Arka bermain catur atau membaca buku sebelum tidur. Tapi kini, semuanya seolah berubah. Segalanya tentang Eiden—jadwal makan, imunisasi, bahkan mainan terbaru.Arka tidak bodoh. Ia tahu adiknya masih bayi dan butuh perhatian lebih. Tapi kenapa ia merasa diabaikan?Di sekolah, Arka menjadi lebih pendiam. Gurunya bahkan