Setelah mengutarakan niatnya, Damar segera menggulung lengan baju. Ia menurunkan gulungan bahan lizard sintetis itu dengan sekali raup. "Sudah, Pak Damar. Cukup bahan lizard ini saja yang Bapak turunkan. Gulungan bahan motif crocodile itu berat. Nanti Bapak tidak kuat. Bapak kan tidak biasa bekerja keras." Suri benar-benar tidak enak hati karena telah memperlakukan Damar seperti kuli angkut. Damar menyipitkan mata. Ternyata Suri memandangnya remeh. Suri bilang apa tadi? Bahwa bahan-bahan itu berat dan ia tidak kuat mengangkatnya? Suri benar-benar telah membanting harga dirinya. Berarti di mata Suri, dirinya hanyalah executive muda klemar-klemer yang tidak bertenaga. Hah, yang benar saja. Damar tersenyum licik. Baiklah. Terlanjur basah, ia akan mandi saja sekalian. Sebelum menjalankan akal bulusnya, Damar memperhatikan sekeliling. Tidak lucu juga kalau ada salah seorang pekerja yang akan meniru modusnya. Dari hasil pengamatan Damar, keadaan cukup kondusif. Para pekerja sudah berpin
Suri mendecakkan lidah ketika melihat mobil Murni terparkir di halaman rumah Bu Ajeng. Sungguh, saat ini ia sedang malas bermain drama setelah seharian bekerja. Tujuannya tadi mengikuti Damar hanyalah karena ia ingin menghargai Bu Ajeng yang sudah mengundangnya. Kalau saja tidak memikirkan perasaan Damar, Suri ingin sekali ia memutar balik mobilnya. Tapi rasanya tidak etis bukan? Apalagi Damar tadi menunggunya bekerja hampir satu jam penuh. Ada beberapa masalah mengenai pengiriman yang tertahan dibea cukai. Suri harus menelepon ke sana dan ke mari untuk meloloskan produknya. Suri kaget saat Damar membunyikan klakson. Lamunannya buyar. Damar mengklaksonnya mungkin karena ia tidak kunjung keluar dari mobil. Padahal mobilnya sudah terparkir rapi. Setelah mematikan mesin mobil, Suri meraih tas tangannya. Baiklah, apapun yang terjadi akan ia hadapi. Toh selama ini ia sudah berkali-kali mematahkan provokasi Murni. Ditambah sekali ini seharusnya bukan masalah. Suri menutup pintu mobil ser
Damar tersenyum lebar. Lihatlah ibunya ini memang pintar sekali menyusun strategi. Kalimatnya pertamanya saja sudah bermakna sekali bukan?"Ada Mama dan Chika juga lo, Oma. Kami tidak disuruh duduk juga?" Lagi-lagi Chika menyela. Suri beradu pandang dengan Damar. Rasa-rasanya kalimat-kalimat yang dilontarkan Chika agak tidak biasa. Terlalu dewasa untuk anak kecil berusia sepuluh tahun."Kamu dan mamamu 'kan bukan orang lain di sini. Sudah termasuk tuan rumah. Masa sih tuan rumahnya disuruh-suruh lagi. Benar tidak?" Bu Ajeng memberi pengertian pada cucunya dengan bijak. Namun tak urung ekor matanya menyambar Murni yang tersenyum simpul. Melihat senyum itu, Bu Ajeng sudah bisa menyimpulkan sesuatu. Murni cuma mulai mencuri start untuk mempengaruhi Chika rupanya. Sebaiknya nanti ia akan memperingati Murni secara khusus. Ia tidak menyukai trik-trik kotor ini. Apalagi melibatkan anak sendiri. Keji sekali mengotori hati anak-anak yang masih suci dengan kecemburuan pribadi."Mari, sekarang
Suasana makan malam terasa sangat mencekam bagi Suri. Kata-kata Chika perihal ketakutannya yang tidak akan disayang lagi apabila mendapat seorang ibu tiri, terus terngiang-ngiang di kepalanya. Hal ini juga memberi petunjuk pada Suri. Bahwa sepertinya pernyataan cinta Damar tempo hari padanya sudah diketahui orang banyak. Buktinya Murni dan Chika sudah mengetahuinya. Suri menduga bahwa Bu Ajeng sepertinya juga tahu. Istimewa Bu Ajeng tadi menyanjung Damar secara halus, dengan mengatakan bahwa Damar mengetahui makanan kesukaannya bukan?Lain yang dirasakan Suri, lain juga yang dikhawatirkan oleh Murni. Kalimat Damar yang meminta agar Chika bersama Vitri dahulu, menggentarkannya. Ia bisa mengasumsikan kalau Damar berniat menyidangnya. Jangan-jangan Damar akan membongkar rahasia yang yang sebelumnya hanya mereka berdua yang mengetahui kebenarannya. Murni gelisah. Semua makanan lezat yang ada di hadapannya mendadak terasa hambar. Murni hanya mengaduk-aduk makanannya, sementara penghuni m
Murni semakin mengkeret. Harga diri dan nyalinya benar-benar diuji saat ini. Telinganya berdenging. Kedua tangannya yang sedari tadi terjalin di pangkuan terasa lembab. Keringat mengalir dari leher, belahan dada dan terus melewati perutnya."Saya... saya..." Lidah Murni terasa kelu. Ditatap tajam oleh empat pasang mata membuatnya gugup. Ia seperti dipaksa untuk menelanjangi dirinya sendiri."Kamu tidak mau mengatakannya, Murni? Baik kalau begitu saja yang--""Jangan, Mas. Saya saja." Murni memotong kata-kata Damar. Jika Damar yang menceritakan boroknya, bau busuknya akan semakin tercium. Karena Damar pasti tidak akan mencoba menutupi minimal sedikit kebusukannya. Kalau dirinya, mungkin lebih baik. Karena ia bisa menggunakan kalimat yang lebih persuasif alih-alih frontal seperti Damar. Murni menarik nafas panjang sebelum mengakui dosa-dosanya."Bu, Yah, sebenarnya Chika tidak lahir prematur. Chika lahir seperti bayi normal lainnya, sembilan bulan sepuluh hari."Hening.Murni menahan n
Suri baru saja mengeluarkan remote mobil dari dalam tas, kala ponsel di dalam tasnya bergetar. Suri urung memencet remote mobil. Sebagai gantinya, ia meraih ponsel dan memindai pemanggilnya. Ketika mendapati nama Damar di layar ponsel, jantung Suri berdebar lembut. Tanpa bisa ia cegah, ingatan akan todongan Bu Ajeng beberapa hari lalu, kembali singgah di benaknya. Alhasil pipi Suri pun memanas dengan sendirinya. Kejadian kemarin dulu itu membuatnya tersipu-sipu sendiri. Sibuk memikirkan insiden membingungkan namun juga membahagiakan tersebut membuat Suri terlambat mengangkat ponsel. Akibatnya panggilan dari Damar pun terhenti. Suri mengomeli tingkahnya sendiri yang menyerupai seorang ABG baru pertama kalinya jatuh cinta."Astaga, Ri. Kamu norak amat sih?" Suri mengomeli dirinya sendiri. Memikirkan bahwa mungkin saja ada hal penting yang ingin Damar sampaikan padanya, Suri pun bermaksud menelepon balik. Baru saja Suri ingin menekan kontak Damar, ponselnya kembali bergetar. Ternyata
Di kantor, Damar yang merasa salah ucap, tidak henti-hentinya menyesali kalimatnya yang ambigu. Sungguh, ia tidak bermaksud membuat Suri kecewa. Mana Suri sudah berniat menerima cintanya lagi. Kesalahpahaman ini harus segera ia selesaikan!"Ngapain Bapak ke rumah saya? 'Kan saya sudah bilang, kalau saya tidak punya printer. Bapak lupa?" dengkus Suri kesal-kesal gemas. Setelahnya Suri bingung sendiri. Mengapa ia jadi uring-uringan begini, hanya karena harapannya tidak sesuai dengan apa yang ia inginkan. Ya, Suri ingin sekali Damar mencabut kalimat yang mengatakan bahwa ia tidak serius mengatakan soal pernyataan cintanya. Menyadari ke plin plan-an sikapnya, Suri segera mengubah nada bicaranya."Eh, maaf, Pak. Maksud saya--" Suri kehabisan kata-kata. Ia bingung harus meralat apa. "Kamu di mana sekarang?" Damar mengabaikan kata-kata Suri. Ia tidak tenang sebelum bertemu dengan Suri dan menjelaskan segalanya. Lebih tepatnya ia takut kalau Suri berubah pikiran. Jangan sampai Suri malah ba
Sudah lima belas menit Damar duduk di ruang tamu. Namun Suri tidak juga muncul. Tadi Suri pamit ke belakang untuk menyiapkan minuman. Namun sudah sepuluh menit berlalu, sang nyonya rumah belum juga muncul. Damar kian gelisah. Jangan-jangan niat Suri ke dapur hanya untuk menghindarinya saja. Damar mengoyang-goyangkan kakinya gelisah di ruang tamu. Kesabarannya semakin menipis. Setiba di rumah Suri ini tadi, sebenarnya ia ingin langsung saja menjelaskan tentang kesalahpaham di antara mereka berdua. Masalahnya Suri buru-buru mengelak dan menyembunyikan diri ke dapur. Sepertinya Suri belum siap mental untuk bertemu dengannya. Damar meninju telapak tangannya sendiri. Kalau saja waktu bisa diulang, betapa ingin dirinya menghilangkan waktu sekian detik di mana terjadi kerancuan analogi ucapannya. Suri tidak menangkap poin yang benar dari analoginya. Ketika tujuh menit kembali berlalu, Damar tidak tahan lagi. Ia bermaksud langsung ke dapur saja menemui Suri. Dalam keadaan darurat seperti i