"Lagi pula ibu sudah biasa mendapatkan perhiasan dari adik-adik perempuan saya. Saya ingin memberi kado yang unik, namun disukai oleh ibu saya. Masalahnya saya laki-laki. Saya tidak begitu paham kesukaan perempuan. Kamu ada ide barangkali, Suri?"Sesuatu yang disukai oleh Bu Ajeng? "Saya kepengen sekali punya tas tangan dan sandal yang senada dengan kebaya brokat ini, Nik. Selama ini saya belum menemukan padanan yang tepat. Apalagi kalau sandal dan tas tangannya handmade. Pasti cantik sekali ya, Nik?"Potongan obrolan Bu Ajeng dan Ninik, pegawai butik, memberi satu ide pada Suri. Namun ia agak ragu mengutarakannya."Sebenarnya saya ada ide. Tapi bagaimana ya? Saya takut kalau Pak Damar menganggap saya lancang," ungkap Suri terus terang."Lho kok lancang? Utarakan saja idemu, Suri. Saya memang menanyakan itu padamu bukan?" Damar terkekeh. Suri ini antik sekali. Segala hal itu pertimbangkan. Bahkan sekedar untuk memberikan saran. "Saya pernah tidak sengaja mendengar obrolan Bu Ajeng d
Supir taksi online baru saja menurunkan Suri di pintu gerbang rumah mewah bernomor 12 A. Suri yang saat ini berdiri di depan gerbang, memindai rumah asri nan megah di hadapannya dengan mata nanar. Istimewa di halaman rumah tersebut, terlihat satu unit mobil yang sangat ia kenali. Ya, mobil berplat B 150 PP itu adalah mobil Pras. Di samping mobil Pras ada beberapa unit mobil mewah lainnya. Salah satunya adalah mobil Damar. "Selamat malam, Mbak. Silakan langsung masuk ke dalam saja. Acaranya sebentar lagi akan dimulai." Dari pos Satpam, muncul seorang penjaga yang mempersilahkan Suri masuk ke dalam rumah. Suri menyunggingkan seulas senyum tegang, seraya melangkah memasuki gerbang yang dilebarkan oleh sang Satpam. "Acaranya di taman belakang rumah ya, Mbak? Mbak mau saya antar ke taman belakang atau bagaimana?" tanya sang Satpam sopan. "Saya sendiri saja, Pak. Oh ya, saya harus berjalan dari arah mana ya, Pak?" Suri memilih untuk berjalan sendiri ke taman belakang. Ia harus menenangk
Damar menyelamatkan Suri. Damar mengambil inisiatif dengan duduk di samping Pras. Suri pun menyusul duduk di samping Damar. Posisi duduk mereka berempat sangat aneh. Mereka seperti bertukar pasangan."Wah, kamu seperti mewujudkan apa yang Ibu impikan, Suri. Ibu memang menginginkan tas tangan dan sandal berwarna hitam emas, untuk Ibu padupadankan dengan kebaya brokat di butik. Astaga, kamu kok tahu sih soal keinginan Ibu ini?" seru Bu Ajeng gembira. "Saya kebetulan ada di butik saat ibu mengutarakan keinginan ibu itu pada Ninik," ucap Suri. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Bu Ajeng seantusias itu menerima bingkisannya. Alhamdulillah, pilihannya tidak sia-sia."Kamu memang sungguh berbakat ya, Suri? Rajutanmu ini sangat halus. Gradasi warnanya juga bagus sekali. Terlihat sederhana sekaligus elegan." Bu Ajeng tidak henti-hentinya memandangi sandal dan tas rajutnya. "Iya ya, Bu. Klasik dan anggun. Saya minta dibuatkan juga bisa tidak, Mbak Suri? Oh ya Mbak Suri ini perajut yang bek
Selama berkendara Suri tidak bersuara. Demikian juga dengan Damar. Mereka berdua sibuk dengan pikiran masing-masing. Suri memutar otak mencari topik pembicaraan yang aman untuk ia obrolkan dengan Damar. Diam-diaman seperti ini membuat mereka berdua seperti orang yang sedang bermusuhan.Selarik udara dingin menerpa bahu dan pundak Suri yang hanya dilapisi oleh lace tipis. Refleks Suri memeluk tubuhnya sendiri. Suhu AC dalam mobil Damar dinginnya menggigiti tulang."Kamu kedinginan, Suri?" Damar melirik ke samping. Posisi Suri yang memeluk dirinya sendiri sembari menggosok-gosok kedua lengannya membuat Damar menyadari sesuatu. Suri kedinginan. "Sebentar," Damar menepikan kendaraan. Ia bermaksud membuka jasnya untuk ia pinjamkan pada Suri. Baru melepaskan satu lengan jas, Damar mengurungkan niatnya. Suri ini istri orang. Meminjamkan jas padanya rasanya terlalu intim. Damar memasukkan lengan kembali ke dalam jas. Sebagai gantinya Damar menyetel volume AC pada suhu dua tingkat lebih hanga
Suri menjawab apa adanya. Tentang bagaimana kaumnya insecure bahwa suami-suami mereka akan berpaling, setelah tubuh mereka melar pasca melahirkan. Bagaimana mereka berlomba-lomba memanjakan perut atas dan bawah perut suami, dengan harapan suami-suami mereka tidak kelaparan atas bawah di luar sana. Apabila sudah kejadian pun, mereka hanya bisa mengusap air mata. Mencoba menutup sebelah mata atas kegiatan suami-suami mereka di luaran. Yang penting uang bulanan aman dan suami tetap pulang ke rumah. Miris, tetapi itu memang benar bukan?"Bahkan ibu saya di kampung pernah bilang, bahwa membina rumah tangga itu serupa perang. Kadang sakit. Kadang rasanya sangat sulit untuk bertahan. Tetapi daripada wilayah kita diambil alih oleh perempuan lain, maka kita perempuan harus terus berjuang, walau penuh dengan luka-luka di sekujur badan." Suri mengusap pipinya yang mendadak lembab. Bahkan hanya mengucapkannya saja hatinya perih bukan kepalang.Damar melirik Suri meyusuti air mata dalam tangis tan
"Kamu pikir si Damar itu akan menikahimu setelah kita bercerai? Mimpi kamu, Ri!" Pras menurunkan tangannya. Sebagai gantinya ia menunjuk-nunjuk wajah Suri. Ia ingin menyadarkan Suri atas mimpinya yang ketinggian. Orang kaya mencintai orang miskin itu hanya ada di film dan novel-novel saja."Terhadap Murni yang berkelas dan kaya saja, ia campakkan. Apalagi kamu. Perempuan kampung beranak satu. Mikir kamu, Ri. Mikir!" Pras menoyor kening Suri dengan jari telunjuknya."Mas pintar sekali menganalisa hubunganku dengan Pak Damar. Lantas hubungan Mas dengan Bu Murni bagaimana?" Suri menepis kasar tangan Pras di keningnya."Terhadap Pak Damar yang gagah, berpendidikan dan kaya saja, Bu Murni tidak puas. Apa kabar dengan Mas yang nota bene orang gajiannya? Ganteng standard. Kaya tidak. Tukang bohong, iya. Mas mau saya bawakan cermin tidak?" Kepalang basah, mandi saja sekalian. Suri tidak mau mengalah lagi. "Bunda, kenapa teriak-teriak?" Suara serak khas bangun tidur Wira membuat Suri dan Pra
Ada yang aneh di sini. Alih-alih mendapati mobil Wanti, Suri malah menjumpai mobil Damar yang berhenti tepat di sudut jalan. Demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, Suri memang tidak berdiri tepat di depan pos Satpam. Melainkan di sudut jalan sebelum berbelok ke pos. "Ayo masuk, Suri." Damar membuka kaca mobil penumpang. Suri terpaku. Ia heran. Siapa yang ditelepon, siapa pula yang datang. Mencurigai sesuatu, Suri merogoh tasnya. Mengeluarkan ponsel dan mengecek siapa yang tadi ia hubungi dengan terburu-buru. Selebar wajahnya seketika terasa panas, saat menyadari bahwa ia telah menekan kontak nama Damar. Tidak heran ia bisa salah menekan kontak. Karena nama-nama pemanggil di ponselnya jarang sekali ia hapus. Riwayat ponselnya penuh dengan jejeran nama-nama pemanggil ataupun yang ia panggil. "Ma--maaf, Pak Damar. Saya--saya salah menelepon orang." Suri gelagapan karena malu bercampur takut. Ia ngeri kalau sampai Damar memarahinya karena peristiwa memalukan ini."Nanti saja k
"Ini ongkosnya ya, Pak? Sisanya buat Bapak saja. Terima kasih karena telah mengantarkan saya selamat sampai di rumah." Suri mengangsurkan selembar uang seratus ribuan kepada supir taksi online. Padahal ongkosnya hanya lima puluh dua ribu rupiah saja. "Terima kasih banyak ya, Bu? Semoga Ibu makin banyak rezekinya." Sang sopir menerima uang berwarna merah dari Suri dengan gembira. Tidak sia-sia ia bekerja hingga larut malam. Rezeki selalu datang pada orang yang rajin menjemputnya. "Aamiin," Suri mengamini. Sejurus kemudian sang sopir pun berlalu. Suri yang saat ini telah berdiri di depan pagar, melirik mobil berwarna hitam yang berhenti di seberang jalan. Mobil itu adalah mobil Damar. Setelah ia selesai melakukan visum di rumah sakit tadi, Suri memang berinisiatif untuk pulang sendiri. Ia takut kalau Pras memergokinya pulang dengan menumpang mobil Damar. Dikhawatirkan Pras akan menjadikan hal tersebut sebagai alasan bahwa dirinya juga berselingkuh. Oleh karenanya untuk mencegah hal-
"Bagaimana keadaan Ibu?" Suri menghampiri sang ibu yang terbaring di ranjang." Dirinya memang langsung pulang kampung setelah kakaknya mengabari kalau ibu mereka sedang sakit. "Lho kamu kok tiba-tiba ada di sini, Ri? Kamu datang dengan siapa? Damar?""Dengan Pak Min, Bu. Mas Damar besok baru menyusul. Ada rapat tahunan perusahaan. Keadaan Ibu bagaimana?" Suri menggenggam tangan sang ibu. "Seperti yang kamu lihat. Ibu baik-baik saja. Pasti kamu ya yang mengadu pada Suri, Las? Ibu tidak apa-apa kok?" Bu Niken memelototi Sulastri. Putri sulungnya ini sedikit-sedikit selalu mengadu pada Suri."Tidak apa-apa bagaimana? Orang Ibu nyaris stroke kemarin?" bantah Sulastri."Itu 'kan kemarin. Sekarang Ibu toh baik-baik saja. Lain kali jangan sedikit-sedikit mengadu pada Suri. Suri baru beberapa bulan melahirkan. Repot ke mana-mana membawa bayi." "Tidak repot kok, Bu. Kan ada Mbok Inah. Lagi pula sekalian Wira ingin bertemu dengan Pras. Rindu katanya. Kebetulan sekolahnya libur dua hari karen
Suri merapikan gaun hamil babydollnya karena tegang. Saat ini MC tengah membacakan nama-nama pengusaha yang masuk dalam nominasi Anugerah Wirausaha Indonesia atau AWI. Anugerah Wirausaha Indonesia itu sendiri adalah satu acara penghargaan yang diberikan kepada para pengusaha di Indonesia. Kompetisi dan penghargaan AWI ini biasanya dilaksanakan setiap tahunnya. Dan malam ini adalah acara AWI yang ke-22. Yang mana acara diselenggarakan pada ballroom Adi Daya Graha Hotel. Dalam acara AWI tahun ini, Damar yang mewakili PT Karya Tekstil Adhyatna masuk dalam 26 nominasi AWI yang terpilih. "Santai saja, Sayang. Jangan tegang. Nanti anak kita ikutan tegang di dalam sana." Damar menggenggam tangan Suri yang saling terjalin di pangkuan. Astaga, tangan Suri dingin sekali."Saya tidak tegang, Mas. Saya cuma tidak tenang. Masa nama Mas tidak disebut-sebut sih!" Suri mendecakkan lidah. MC dari tadi hanya membacakan nama-nama nominasi pengusaha yang lain."Sabar dong, Sayang. Nominasi yang harus
Dokter Aslan tersenyum tipis. Ia teringat pada Murni Eka Cipta. Sang pendonor yang juga mantan teman sekolahnya. Pada mulanya dokter Aslan tidak mengetahui kalau pendonor kornea mata Pras adalah Murni, teman SMP-nya dulu. Sampai sosok tubuh kaku Murni didorong masuk ke ruang operasi. Berdampingan dengan Pras. "Sudah lama meniatkan kornea matanya untuk saya? Siapa orangnya, Pak Dokter? Pras mengerutkan dahi. Ia penasaran. Siapa orang ini sampai-sampai meniatkan mendonor mata padanya? "Nanti Pak Pras akan tahu sendiri." Dokter Aslan menepuk ringan bahu Pras."Baiklah. Karena operasi ini telah berhasil dengan baik, saya akan memeriksa pasien lain lagi. Nanti siang, Pak Pras sudah bisa keluar dari rumah sakit. Saya ingatkan, besok pagi Bapak harus kembali kontrol ke poli mata untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan. Gunakan obat tetes mata sesuai dengan anjuran. Hindari menekan atau mengusap bagian mata, dan jangan mengendarai kendaraan bermotor. Tambahannya makanlah makanan yang bergizi s
Pras duduk di sisi ranjang seraya membuka mata perlahan. Ia mengikuti instruksi dokter Aslan. Perban yang membungkus matanya selama dua hari ini akhirnya dibuka juga. Sehari setelah operasi keratoplasti alias cangkok kornea mata, dirinya hanya mengganti perban dan mengecek kondisi mata. Setelah dinyatakan kalau hasil operasinya bagus, baru pada hari kedua inilah ia akan membuka mata hasil keratoplasti. Ia sungguh berterima kasih kepada siapa pun orang yang telah mendonorkan kornea mata padanya.Pras mencoba mengikuti instruksi dokter Aslan. Matanya masih terasa sedikit lengket. Padahal tadi dokter Aslan telah mengusapkan semacam cairan sejuk yang melembabkan matanya. Setelah matanya terbuka, Pras mengedip-ngedipkannya sebentar. Samar-samar ia mulai melihat cahaya terang. Sebuah tirai jendela berwarna hijau muda. Pras terbata-bata mengucap syukur. Akhirnya ia mampu melihat cahaya setelah tiga tahun bergelut dalam kegelapan."Ayah? Ayah sekarang sudah bisa melihat belum?"Suara Wira, p
"Ya sudah, Wira baik-baik di sana ya? Jangan nakal." Suri mengelus puncak kepala Wira. Sang putra mengangguk patuh. "Wira masuk ke dalam mobil dulu sana. Papa ingin berbicara pada bunda." "Siap, Pa." Wira bergegas masuk ke dalam mobil. Ia sudah tidak sabar ingin menunjukkan bingkisan pada sang ayah. Karena konon katanya ayahnya sudah bisa melihat sekarang."Mas pergi dulu ya, Ri? Kamu dan Dimas baik-baik di rumah. Mas tidak lama. Setelah semua urusan selesai, Mas dan Wira akan langsung pulang ke rumah." Damar mengecup kening Suri mesra. Setelahnya ia mencium sayang pipi anak laki-lakinya.Damar kemudian berjongkok sembari mengelus perut Suri yang sedikit membukit. Ya, Suri tengah mengandung muda. Dirinya dan Suri memang kejar setoran. Usia mereka berdua sudah tidak muda lagi. Untuk mereka berusaha secepat mungkin memiliki keturunan."Adek bayi juga baik-baik di dalam sana ya? Jangan buat Bunda susah ya, Nak ya?" Damar mencium perut Suri. Mengelus-elusnya sebentar. "Ri, jangan kela
Tiga tahun kemudian.Seorang lelaki tua mengecup kening putri kesayangannya untuk yang terakhir kalinya. Setelahnya ia menatap nanar ketika jenazah sang putri didorong masuk ke ruang operasi. Sejurus kemudian satu brankar juga didorong masuk. Pintu kemudian ditutup, bersamaan dengan air matanya yang menetes perlahan. "Selamat jalan, putriku. Ayah bangga padamu karena telah berjuang hingga kamu tidak mampu lagi bertahan. Ayah juga akan melaksanakan pesan terakhirmu. Doakan agar Ayah kuat kehilanganmu. Karena masih ada satu pesanmu lagi yang harus Ayah emban hingga Ayah tutup usia."Air mata sang lelaki tua terus menetes, tanpa sang lelaki tua itu sadar. Ia menangis tanpa suara tanpa emosi. Selama tiga tahun menemani putri tunggalnya ini berjuang melawan penyakit-penyakitnya, tidak sekalipun ia menangis. Ia tidak mau putrinya melihatnya patah semangat.Namun hari ini, semua emosi yang selama ini ditahan-tahannya sendiri luruh. Ia telah kehilangan istrinya bertahun lalu. Dan kini ia ju
Dengan besar hati Murni meminta maaf atas semua kesalahannya. Dua minggu belakangan ini ia sudah menyadari semua kesalahannya. Ia juga sudah meminta maaf pada Pras, walau yang bersangkutan tidak bersedia menerima teleponnya. Menurut orang tua Pras, sekarang Pras kerap mengurung diri di kamar. Pras sedang menjalani fase-fase terburuk dalam hidupnya. "Saya maafkan, Bu. Saya juga minta maaf kalau selama ini tanpa sengaja saya telah menyakiti hati Ibu. Kita akhiri saja semua perseteruan tiada guna ini ya, Bu?" "Iya, Ri." Murni mengangguk mengiyakan. Ia setuju dengan rekonsiliasi Suri ini. Sudah cukup semua pertikaian yang pada mulanya ia picu."Sebaiknya kita memang menghentikan segala pertikaian dan menjalin hubungan silaturahmi demi tumbuh kembang anak-anak kita. Mas Damar sudah berjanji bahwa ia akan tetap menjadi ayah Chika sampai kapan pun, walau ayah kandungnya ada. Martin telah memiliki istri dan juga anak-anak. Saya harus mempertimbangkan perasaan Lidya, istri Martin."Suri ters
"Boleh saya berbicara berdua denganmu, Ri?" Murni memajukan kursi roda. Menghampiri Suri dan Damar yang sedianya akan ke lokasi perhelatan."Tidak bisa, Murni. Kami akan segera ke ballroom. Lagi pula, saya tidak mengizinkan kamu hanya berdua saja dengan Suri. Terlalu riskan soalnya." Damar dengan cepat menghalangi laju kursi roda Murni. "Saya hanya ingin berbicara sebentar saja dengan Suri sebagai sesama perempuan. Sepuluh menit saja, Mas. Lagi pula keadaan saya sekarang seperti ini. Bagaimana mungkin saya bisa menyakiti Suri?" Murni memandang Damar kecut, seraya menunjuk kursi roda dengan tatapan mata. Di mana dirinya terduduk lemah dengan hanya satu kaki normal. Kaki lainnya tinggal sebatas lutut yang ditutupi oleh kain menyerupai rok batik panjang."Menyakiti tidak hanya selalu dalam bentuk fisik, Murni." Damar menggeleng. Ia tetap tidak mengizinkan Suri berduaan dengan Murni. Istimewa di resepsi pernikahan mereka. Damar tidak mau sampai Murni melukai perasaan Suri di hari bahagi
"Oh iya. Saya akan membawa tas kecil berisi ponsel saja. Mbak Husna bisa tolong ambilkan tas tangan saya?" pinta Suri pada Mbak Husna. Suri tidak berani memandang wajah Damar yang tengah tersenyum lebar. Ia malu."Bisa dong, Ri. Ini." Mbak Husna meraih tas tangan mewah bertabur swarovski milik Suri di atas meja. Ia kemudian mengulurkan tas tangan berkilauan itu pada sang empunya tas."Mbak Husna tidak ikut keluar sekalian?" Suri yang masih grogi ingin agak Mbak Husna ikut berjalan bersama. Sebagai seorang perias pengantin, sudah menjadi kewajiban Mbak Husna untuk mendampinginya."Kamu keluar bersama Pak Damar dulu. Mbak akan mempersiapkan tas kecil untukmu touch up nanti, kalau diperlukan. Kamu duluan saja, Mbak akan segera menyusul." Mbak Husna memberi kesempatan pada Damar untuk membimbing Suri. Sebagai orang yang sudah makan asam garam kehidupan lebih lama, Mbak Husna tahu bahwa Suri belum seratus persen percaya diri menyandang status sebagai istri Damar. Oleh karenanya Mbak Husna