"Pertanyaan konyol apa itu?" tandas Rendi. Posisinya dia sedang berbaring, tapi mendengar pertanyaan Frani dia menegakkan tubuhnya. Belum pernah dia mendengar Frani sefrustasi itu. "Ayo, jelaskan! Kenapa kamu tiba-tiba bicara begitu?""Sebenarnya..,""Kita bertemu saja. Di rumah kamu. Kamu nggak perlu datang ke gang, cukup aku saja yang ke sana. Semua orang juga sudah tahu apa yang terjadi diantara kita, jadi nggak perlu repot-repot sembunyi."Frani menolak, "Jangan, Ren! Kalau aku bicara langsung, aku takut aku nggak bisa bicara. Kita bicara lewat telepon saja.""Tapi aku lebih suka melihat wajah kamu, Frani," tutur Rendi frustasi. Dia perlu tahu apa yang sedang dipikirkan Frani, melihat matanya, melihat hembusan napasnya entah teratur atau tidak dan melihat kerutan pada dahinya. Rendi takut Frani akan semakin cemas kalau mereka tidak saling berhadapan. "Tolong, Ren!"Rendi menghembuskan napas kecewa, "Baiklah. Sekarang jelaskan!""Sebenarnya alasanku bercerai karena suamiku berseli
"Batalkan pernikahan kalian!""Masuk dulu, Tan. Setelah itu baru kita bicara," ucap Frani, berusaha tenang. Dia menggenggam ponselnya dengan sekuat tenaga agar tidak terlihat gugup. Tapi dia yakin jika Fitri melihat matanya bergetar karena terkejut mendapat serangan ancaman dari calon mama mertuanya.Fitri mendesis, "Siapa yang kamu suruh duduk? Saya? Di tempat kumuh begini? Nggak akan! Saya punya standar sendiri untuk duduk di sofa yang bagaimana. Kalau hanya sofa ... ih, kotor dan tua begitu, saya nggak akan sudi. Bisa gatal-gatal."Frani tercekat. Usahanya untuk membuat Fitri masuk supaya dia bisa bicara dari hati ke hati tidak membuahkan hasil. Tatapan mata Fitri terlalu tajam untuk seorang ibu yang sudah menyetujui pernikahan anaknya. Apa mungkin Rendi berbohong?"Maaf, Tan. Tempat saya memang seperti ini. Kalau Tante keberatan, kita ngobrol di teras saja.""Sudah saya bilang standar tempat yang bisa saya duduki itu nggak main-main. Enak saja menyuruh saya duduk. Cukup berdiri da
"Terlepas dia janda atau bukan, mama sama papa sudah berjanji akan menyetujui pernikahan kami. Atau mama sama papa ingin aku pergi dari perusahaan lagi?" ancam Rendi. Pria itu tahu apa kelemahan Fitri ketika Irwan sedang sakit. Menurut diagnosa dokter, papanya terlalu lelah mengurus perusahaan sendiri dan membutuhkan bantuan Rendi untuk menangani. Irwan diharuskan bedrest selama apapun yang dibutuhkan agar kondisinya semakin membaik.Fitri mendesis, terlihat sekali kalau dia gusar, "Kamu bisa jadi anak durhaka kalau mengancam mama kamu sendiri.""Siapa yang mengancam? Aku hanya menginginkan hakku sebagai anak, Ma. Apa mama masih mau mengusikku dan Frani lagi?"Suasana tegang itu semakin menegang. Apalagi Rendi yang tanpa sadar memasang muka datar dan tajam agar Fitri enggan untuk membalasnya. "Oke, oke. Kalau kamu masih mau menikahi janda itu, mama akan mencoba terima. Hanya karena perusahaan bukan karena mama suka sama dia. Sebaiknya kamu tutup mulut soal statusnya sebagai janda kar
"Frani jangan diam aja dong. Lempar wanita itu ke luar. Seenaknya aja mencium suami orang," tutur Tanti kesal. Dia melihat sikap wanita yang entah siapa namanya itu dengan umpatan tertahan. Begitu juga Septi yang tidak bisa menyembunyikan kekesalannya karena ulah wanita yang tidak bertanggungjawab. Mungkin wanita itu berniat membuat keributan di pesta pernikahan sahabatnya agar Frani merasa terintimidasi.Tanti sudah ingin maju untuk menarik rambut wanita itu jika saja dia tidak melihat pergerakan Frani yang di luar dugaan. Frani mengapit lengan Rendi, menyibakkan lengan Sonya menjauh dan sedikit menjauhkan jarak antara Rendi dan Sonya. Wanita dengan gaun pengantin berekor panjang itu menyunggingkan senyum manisnya, berniat membangun ketenangan hatinya karena suaminya diusik oleh wanita lain. Padahal dalam hati Frani sempat pasrah karena dia tidak bisa dibandingkan dengan Sonya. "Terimakasih sudah mau datang ke acara pernikahan saya. Tapi tolong jaga mulut! Sekali-kali mulutnya dikun
Melihat Frani diam, Rendi tanpa sadar terkekeh geli, "Bercanda, Fran. Tegang sekali muka kamu?"Frani tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Malu sebenarnya kalau dia ketahuan gugup padahal dia bukan gadis perawan lagi. Lagi-lagi kebingungan Frani membuat Rendi seratus persen mengarah padanya. Dia duduk berjongkok di hadapan Frani, memberikan tatapan manis, tidak menuntut dan seperti biasa. "Kalau kamu belum siap, kita skip saja malam ini. Masih ada malam-malam besok kan?"Frani yang tidak tega kalau harus menunda. Kenapa juga dia harus menunggu sampai besok? Dengan memantapkan hati atas dasar niat untuk menikah mencari berkah, wanita itu menggeleng, "Aku ikut kamu saja, Mas.""Yakin mau ikut saja?"Frani mengangguk, "Iya. Aku istrimu dan kamu berhak atasku."Rendi tersenyum simpul, akhirnya dia mendapat lampu hijau. "Sekarang, kamu mandi dulu. Kalau kamu sudah selesai, panggil aku. Kita gantian.""Baik, Mas." Frani sudah berdiri setelah Rendi menyingkir. Dia berjalan ke arah bilik lai
"Mas," panggil Frani lirih. Dia dan Rendi sedang menikmati udara sore hari yang menyambut mereka. Balkon kamar telah disulap menjadi tempat duduk-duduk, dengan sofa set mungil dan juga ayunan kecil, termasuk meja mungil yang menjadi penumpu teh-teh hangat dan camilan buatan Frani. Bukan pertama kali Frani bangun dengan status yang berbeda. Terhitung tiga kali? Pertama, istri Gani, lalu janda dan hari ini istri Rendi. Apapun itu, yang jelas pagi ini --setelah semalaman tidak ada waktu istirahat, padahal mereka hanya melakukannya dua kali-- Frani mencoba perannya yang baru. Membuat sarapan untuk Rendi. Menu sangat sederhana. Ayam goreng tepung, sup kentang dan beberapa buah yang telah dia kupas sendiri. Frani juga menyeduh kopi racikannya tapi dia belum tahu apakah Rendi menyukainya. Pria itu hanya diam dan menikmati sarapannya. Sepanjang hari, Frani harus memikirkan apakah Rendi menyesal telah memakan masakannya atau Rendi tidak berani bicara jujur karena takut istrinya tersinggung.
Mungkinkah persetujuan Frani untuk ikut ke kantor sudah salah? Wanita itu bahkan tidak menyangka akan bertemu dengan sosok yang tidak ingin dia temui lagi. Kenapa harus hari ini? Ketika dia baru saja menginjak usia pernikahan hari ketiga, dia melihatnya lagi.Sebelum pria di depan yang menyerobot jalan itu menoleh, mungkin Frani masih bisa menahan diri. Tapi kenyataannya setelah pria itu menoleh, menatap tajam pada pemilik mobil yang berusaha membuat dia melayang, akhirnya Frani tahu kenapa sedari tadi jantungnya berdetak kencang. Apa dia sudah menyadari siapa orang di depan? Gerak-gerik orang tidak akan berubah hanya dalam hitungan bulan. Dari belakang, postur seperti itu tidak banyak orang yang memiliki.Sontak Frani menunduk, entah karena apa. Malu? Kenapa? Bukannya dia memiliki suami yang bisa dia banggakan? Bukan suami yang menyelinap ke toko dan melakukan hubungan suami istri dengan karyawannya sendiri?"Fran, kamu nggak apa-apa?" tanya Rendi cemas. Dia sudah meminta supir merek
"Mau apa dia, Mas?" tanya Frani sedikit menuntut ketika Rendi sudah menyelesaikan panggilannya. Sepanjang menit tadi, wanita itu tampak serius melihat wajah Rendi. Tidak ada yang aneh, tapi dia merasa ada sesuatu yang tidak akan beres kalau menyangkut Gani.Frani ingin bertemu Gani disaat yang tepat. Dia ingin membuktikan bahwa dia juga bisa bahagia tanpa mantan suaminya itu. Sejujurnya Frani memiliki ambisi untuk membanggakan hidupnya pada keluarga mantan suaminya --termasuk Celia-- pasca bercerai, apalagi kalau dia bisa memiliki anak. Sungguh hal itu yang menjadi kunci utama dia bisa membanggakan dirinya. Kalau dia berhasil punya anak dan dia bukan wanita yang memiliki kekurangan. Namun sayang, alasan paling terakhir yang paling memberatkannya.Rendi berdehem, tidak tampak terintimidasi sama sekali. "Minta bertemu nanti setelah pulang kantor."Jangan, Mas!" ucap Frani tiba-tiba membuat Rendi menoleh bingung. Wanita itu kemudian mengoreksi ucapannya, "maksudnya, kita nggak tahu apa y