Dari dalam kamar terdengar suara Dewi yang tertawa manja penuh kemenangan. Sofia mengangkat wajah yang masih bersimbah air mata. Menatap nyalang pada pintu kamar yang telah tertutup rapat dengan lampu yang sudah dipadamkan. Sofia bangkit dari duduk, melangkah ke arah dapur. Tangannya meraih sebuah kursi kayu, lalu menyeret benda itu sampai di depan kamar. Entah kekuatan dari mana, diangkatnya kursi kayu itu tinggi-tinggi, hendak diban tingnya pada pintu kamar yang tertutup rapat.
Ingin rasanya Sofia mendobrak pintu kamarnya yang tertutup. Biar dua orang yang sedang bermesraan di dalam sana jadi terganggu. Namun, wanita itu berubah pikiran dan terpaksa mengurungkan niat. Ia tak mau sikapnya yang penuh amarah hanya akan menjadi bahan tertawaan dan ejekan perempuan yang telah memenangkan hati sang suami.Sofia yang berhasil mengendalikan diri dari amarah yang memuncak, akhirnya menurunkan kursi yang sempat terangkat. Tangannya bergerak mengelus dada berulangkali sambil bibirnya mengucap sesuatu untuk menenangkan diri. Mata indahnya kembali berair saat mengingat nasib pernikahan yang entah akan bernasib seperti apa nanti. Sofia kembali terduduk lemas di atas lantai keramik yang dingin. Tangannya ia tangkupkan untuk menutupi wajah. Bahunya bergerak turun naik menahan sesak dalam dada.Kembali ia teringat akan pengakuan suami beberapa waktu lalu. Haris yang saat itu baru saja pulang dari rumah orang tuanya, langsung menemuinya dan mengutarakan niat."Aku ingin menikah lagi," ucap Haris seolah tanpa beban.Sofia yang sejak tadi menunggu kepulangan suami, hanya bisa terdiam. Hatinya seketika berderak patah mendengar pengakuan suami yang tiba-tiba. Apa yang dikatakan oleh lelaki yang begitu dicintai membuatnya seperti terempas ke jurang yang sangat dalam.Selama beberapa saat lamanya Sofia terdiam, sampai akhirnya ia memberanikan diri untuk mengangkat wajah. Menatap dalam pada manik hitam yang tak lagi memancarkan keteduhan."Siapa ... siapa perempuan itu?" tanya Sofia dengan suara bergetar. Sekuat tenaga ditahannya kaca-kaca yang mulai mengaburkan pandangan."Kau mengenal bahkan sering bertemu dengannya." Haris menjawab pertanyaan sang istri dengan tenang, seolah ini hanyalah perkara biasa yang tidak perlu dipermasalkan dan bukan hal yang perlu dibesar-besarkan.Sofia kembali menunduk. Serasa ada tangan besar tak kasat mata yang mere mas jantung. Dadanya kembali sesak hingga membuatnya kesulitan bernapas. Sofia memang sudah merasakan perubahan Haris belakangan ini. Namun, dia tidak menyangka lelaki yang dulu begitu memuja akan mengatakan hal seperti itu, tepat menjelang ulang tahun pernikahan mereka yang kelima. "Jangan membuatku bertanya-tanya Mas, katakan saja siapa dia.""Dia Dewi, janda Mas Adam." Jawaban Haris berhasil membuat Sofia merasa seperti tertusuk ribuan jarum. Menorehkan luka yang begitu dalam. Hingga yang terasa hanyalah perih yang tak berkesudahan.Tentu saja dia sangat mengenal perempuan itu."Aku banyak berhutang budi pada almarhum Mas Adam. Dia sangat berjasa padaku. Dialah yang membantu membiayai kuliahku hingga akhirnya berhasil mendapatkan pekerjaan dan sukses seperti sekarang. Anak yang dia tinggalkan baru berumur dua tahun, butuh sosok seorang ayah.""Mas, aku tahu kalau semua anak butuh kasih sayang seorang ayah, tapi haruskah dengan cara seperti ini? Kau seorang paman dan satu-satunya saudara laki-laki Mas Adam, wajib bagi Mas untuk ikut bertanggungjawab memikirkan masa depan keponakanmu. Aku tidak akan melarang jika Mas menanggung biaya hidup dan sekolah anak itu nantinya, tapi tidak dengan cara menikahi ibunya." Sofia tak bisa lagi menahan perasaannya. Air mata yang sejak tadi berusaha ditahan akhirnya tumpah membasahi wajah.Sebagai seorang istri, Sofia merasa belum mampu untuk menjalankan syariat yang satu itu. Baginya itu terlalu berat. Membayangkannya saja ia sudah tak mampu apalagi harus menjalani dalam kehidupan nyata. Hidup berbagi suami dengan perempuan lain bukanlah perkara mudah, terlebih dengan seorang wanita yang dikenal. Itu jelas akan membuat hatinya sangat hancur. Hanya karena hutang budi dan rasa kasihan pada keponakan yang masih kecil, menjadi alasan Haris ingin menikahi janda sang kakak.Sofia tahu, Dewi kerap datang ke rumah mertua untuk mengadu perihal keadaannya usai ditinggal suami untuk selamanya. Wanita itu selalu curhat pada ibu mertua tentang kehidupannya yang sekarang. Tentang sulitnya membesarkan anak seorang diri, dan tentang beratnya bekerja serabutan seperti yang ia jalani belakangan ini. Apa yang disampaikan oleh Dewi, berhasil membuat sang mertua merasa iba dan kasihan pada wanita itu. Dewi yang sebelumnya tinggal terpisah, akhirnya diminta untuk tinggal menetap di rumah milik orang tua almarhum suaminya. Tak susah bagi Dewi untuk mengambil hati sang mertua, sebab sejak dulu Dewi adalah menantu kesayangan. Menantu yang telah memberikan cucu pada orang tua Haris yang telah lama menantikan kehadiran cucu. Berbeda dengan Sofia yang menikah lebih dulu, tapi belum juga dikaruniai anak.Kehadiran Dewi di rumah mertua membuat semuanya perlahan mulai berubah. Haris yang semenjak kepergian kakaknya lebih sering berada di rumah orang tua, menjadi semakin betah. Laki-laki itu semakin sering bermalam di rumah ibunya tanpa menghiraukan Sofia yang menunggu di rumah sepanjang malam. Haris lebih sering menghabiskan waktu senggang dan hari libur bersama keponakannya yang lucu dan menggemaskan itu daripada pulang ke rumah. Entah bagaimana awalnya, mertua Sofia lalu merencanakan sebuah pernikahan untuk mantan menantunya itu. Mereka kasihan melihat kondisi kehidupan Dewi yang memprihatinkan semenjak ditinggal suami. Dan Haris, laki-laki perhatian dan penyayang yang selama ini dianggap Sofia sebagai suami yang paling baik dan setia, akhirnya termakan bujukan orang tuanya untuk menikahi Dewi, janda sang kakak. Mereka sepakat untuk menyelamatkan seorang menantu tanpa mempedulikan perasaan menantu lainnya yang akan dimadu.Meskipun awalnya itu hanyalah keinginan orang tua, tapi seiring berjalannya waktu dan seringnya Haris dan Dewi bertemu di dalam rumah yang sama, Haris ternyata juga menginginkan perempuan yang selalu berpenampilan seksi itu. Perasaan iba akhirnya berhasil menumbuhkan benih-benih cinta di hati Haris.Dari jendela kamarnya, beberapa kali Sofia menyaksikan Haris sedang asyik bercengkrama dengan Dewi--janda sang kakak. Rumah Sofia dan mertua hanya dipisahkan oleh sepetak tanah kosong yang ditumbuhi ilalang.Pernah juga suatu malam, Sofia mendapati suami yang sangat dicintainya itu sedang berboncengan dengan Dewi entah ke mana. Dengan mata kepalanya sendiri, Sofia menyaksikan perempuan itu melingkarkan tangan dan memeluk mesra pinggang Haris layaknya pasangan suami istri. Sofia tak mau berburuk sangka walau hatinya terusik. Dia menganggap kalau Dewi hanyalah saudara ipar yang butuh perlindungan dan dukungan. Sofia percaya bahwa laki-laki yang sangat dicintai itu tidak akan berkhianat. Hingga pengakuan Haris sore itu membuat ia benar-benar terguncang. Dia tak menyangka kalau hubungan Dewi dan Haris bukanlah sekadar hubungan antar ipar, tapi lebih dari itu. Dan apa yang diucapkan oleh Haris membuat Sofia seolah terhempas ke dalam jurang yang sangat dalam dan membuatnya hancur berkeping-keping."Kau mengizinkan atau tidak, aku tetap akan menikahinya."Air mata Sofia kembali jatuh saat menyadari pernikahan itu telah terjadi beberapa jam yang lalu. Hatinya bertambah sakit karena kedua orang yang tak punya perasaan itu sedang memadu kasih di dalam kamar pribadinya. Dari tempatnya berada, Sofia bisa mendengar suara manja perempuan di dalam kamar. Dua orang manusia di dalam sana seolah tak peduli pada hati yang panas dan sakit karena perbuatan mereka.Tak sanggup terus mendengarkan suara sepasang kekasih di dalam kamar, tangan Sofia bergerak menutupi kedua telinga demi meredam suara yang membuat jantungnya serasa seperti tercabik. Tawa manja perempuan yang kini berstatus sebagai istri kedua itu seakan sengaja mengejek dan menertawakan kehancuran dirinya.Tak mau terus terpuruk dalam kesedihan, Sofia perlahan bangkit. Melangkah gontai menuju salah satu kamar yang lain. Sebuah ruangan berukuran lebih kecil dari kamar utama. Kamar itu lebih sering kosong karena tidak ada yang menempati. Seluruh ruangan tampak bersih dan rapi. Sofia memang selalu membersihkan kamar tersebut meski tak ada yang menempati.Wanita berwajah ayu itu memilih membaringkan tubuh rampingnya di atas ranjang berukuran sedang. Beberapa kali ia menarik napas panjang untuk mengisi paru-parunya dengan udara. Berharap sesak dalam dada segera sirna. Masih dengan sisa-sisa air mata, netranya memandang langit-langit kamar dengan tatapan nanar. Sepanjang malam itu Sofia
Sofia kembali masuk ke dalam rumah setelah selesai membakar habis barang-barang bekas pakai kedua orang yang telah menghancurkan perasaannya. Langkahnya terhenti sesaat di ambang pintu kamar tidur yang selama ini jadi tempat peraduannya. Kamar yang sudah tak ingin dia lihat lagi apalagi untuk tidur di sana.Sofia memaksakan diri untuk masuk ke dalam ruangan berukuran besar tersebut, lalu dikeluarkannya pakaian dari dalam lemari. Selembar foto tiba-tiba terjatuh dari dalam laci saat dia mengeluarkan beberapa barang penting di dalamnya. Membungkukkan badan Sofia lalu meraih benda tersebut. Itu adalah foto Sofia dan Haris waktu acara lamaran dulu.Seketika ingatan Sofia kembali pada masa saat-saat pertemuan mereka yang pertama lima tahun silam.Sofia sedang berada di sebuah acara resepsi pernikahan salah seorang teman SMU. Ia yang saat itu datang sendirian, berdiri menunggu di salah satu sisi gedung sambil netranya memandang sekeliling mencari teman-teman yang lain. Namun setelah sekian
Dari arah luar terdengar suara ketukan di pintu depan. Bergegas Sofia melangkah untuk membuka pintu. Netranya membeliak saat menyaksikan seorang perempuan seksi telah berdiri di depan pintu dengan senyum menantang."Mau apa kamu bawa-bawa koper segala?" tanya Sofia geram melihat Dewi telah kembali lagi dengan membawa sebuah koper berukuran besar."Mau tinggal di sini. Kenapa? Ada masalah?" "Aku tidak akan mengijinkan kamu tinggal di rumahku!""Hei, kamu lupa ya, kalau aku sudah sah menjadi istri Mas Haris? Itu artinya semua milik Mas Haris adalah milikku juga." Jawaban Dewi membuat Sofia tersulut emosi. Ditendangnya koper milik Dewi hingga terjungkal."Sofia!" Tiba-tiba terdengar suara berat seseorang. Haris datang bersama seorang anak balita yang berada dalam gendongan. Pria itu tergopoh menghampiri kedua istrinya yang sedang beradu mulut di depan pintu. Ditatapnya Sofia yang melempar pandangan tak suka padanya."Sudahlah Sofia, tidak enak diliat orang," ucap Haris berusaha menenan
"Kamu benar-benar keterlaluan, Sofia!" Haris menatap tajam pada Sofia, bersamaan dengan gerakan tangan lelaki itu yang tiba-tiba melayang ke arah sang istri.Sofia tersentak saat merasakan kibasan tangan milik Haris mengenai wajahnya dengan keras. Rasa sakit seketika menjalar pada pipi yang barusan terkena tamparan. Menyisakan perih pada kulit wajah dan rasa pusing di kepala. Wanita itu mengerjapkan mata yang terasa berkunang-kunang, lalu menyentuh pipi yang terasa seperti terbakar. Rasa sakit yang ditimbulkan bukan hanya terasa di pipi, tapi juga di hati. Sofia tak menyangka Haris telah tega melakukan kontak fisik dengan menamparnya. Lelaki itu bertindak kasar hanya karena hasutan dan tuduhan tak berdasar yang dilontarkan oleh Dewi, perempuan yang belum genap seminggu menjadi istri kedua. Wanita itu telah berhasil mengubah Haris yang dulu sangat lembut dan perhatian menjadi sosok yang pemarah.Dengan mudahnya Haris termakan hasutan Dewi padahal Haris tahu pasti, Sofia adalah perempu
"Demi Allah, Bu. Saya tidak pernah menyakiti Alisa.""Jangan bohong kamu! Ibu memang sudah muak melihat wajahmu yang sok lugu itu. Perempuan mandul seperti kamu ini, lebih baik diceraikan saja!""Astaghfirullah, Bu. Ini tentang masalah Alisa, kenapa sampai bicara soal perceraian? Saya bersumpah atas nama Allah, kalau saya tidak pernah menyakiti cucu Ibu!""Halah! Kamu ini banyak omong. Lebih baik kamu tinggalkan saja rumah ini, daripada menjadi sumber malapetaka bagi cucuku." Wanita tua itu kembali menghardik."Haris tidak membutuhkan istri mandul seperti kamu. Yang dia butuhkan adalah perempuan yang subur seperti Dewi." Tanpa mempedulikan perasaan Sofia, ibunda Haris terus bicara sambil telunjuknya mengarah ke wajah sang menantu. Sama sekali tidak menghiraukan keadaan sekitar di mana orang-orang telah berdatangan dan menyaksikan semuanya.Salah seorang kerabat ibu mertua yang kebetulan melintas, segera menghampiri untuk menenangkan wanita yang sedang dikuasai oleh amarah itu. Dengan
Sofia segera menutup pintu rumahnya dengan kasar. Wanita itu duduk terkulai di sofa. Kepalanya yang tadi pusing semakin berdenyut sakit. Dengan malas, ia lalu meraih amplop putih yang tergeletak di atas meja, yang tadi diberikan Dewi. Dibukanya benda itu perlahan. Netranya membeliak tak percaya saat menghitung jumlah lembaran rupiah yang ada di dalamnya."Tiga ratus ribu?" tanyanya lirih pada diri sendiri sambil mengeluarkan tiga lembar uang kertas berwarna merah dari dalam amplop."Tega kamu, Mas, membiarkan istri mudamu memperlakukan aku seperti ini." Tangan Sofia mengepal menahan amarah. Ditariknya napas dalam-dalam untuk mengisi rongga paru-paru yang terasa sesak. Sedih dan marah bercampur jadi satu. Perempuan itu bangkit dari tempat duduk, menghapus lelehan air mata dengan kasar. Habis sudah kesabarannya kini. Sudah cukup ia diperlakukan semena-mena seperti ini. Ia tak mau lagi mengemis belas kasihan pada laki-laki yang masih berstatus sebagai suaminya itu. Tak sudi terus ditind
"Oke, sudah lengkap. Silahkan masuk," ucap wanita itu, kemudian membuka pintu ruangan yang sejak tadi tertutup. Menarik napas panjang demi mengurangi rasa gugup, Sofia lalu melangkah masuk dengan ucapan basmalah. Di dalam ruangan itu telah duduk empat orang dengan draf pertanyaan masing-masing. Dua diantaranya wanita, sisanya adalah laki-laki. Sofia dipersilahkan duduk tepat di hadapan para pewawancara. Jantungnya seakan berhenti berdetak ketika salah seorang laki-laki yang tadi duduk membelakangi, tiba-tiba membalikkan badan dan langsung menatapnya tajam.Sofia berusaha bersikap tenang, mengabaikan sorot dingin dan menusuk dari pria yang sempat ditemuinya di toilet lantai bawah. Bersikap biasa saja meski sebenarnya ia begitu gugup saat ini. Dia yang tadinya sudah menyiapkan diri untuk melakukan interview, mendadak kehilangan konsentrasi karena keberadaan lelaki yang tadi membentaknya karena salah masuk toilet.Sofia yang sempat merasa tegang karena menjadi pusat perhatian akhirnya me
"Nih, upahmu. Karena kerjamu nggak becus, kamu hanya akan dibayar dengan sebungkus nasi putih." Bu Jenar lalu melemparkan sebuah bungkusan pada Sofia, yang kemudian dipungut oleh Sofia dengan tangan bergetar. Dengan mata berkaca-kaca, ia melangkah keluar meninggalkan tempat itu.Para pelanggan yang kebetulan menyaksikan bagaimana Sofia diperlakukan, hanya bisa geleng-geleng kepala. Sikap semena-mena pemilik warung membuat mereka ilfil. Beberapa diantaranya langsung berdiri meninggalkan tempat itu. Pun dengan seorang pria bertopi dan berkaca mata hitam yang sejak tadi memperhatikan Sofia. Laki-laki itu meninggalkan meja, setelah sebelumnya membayar makanan yang belum sempat disentuhnya.Pria berkaca mata hitam berdiri terpaku di pinggir jalan. Netranya memandang punggung Sofia yang berjalan menjauh. Untuk beberapa saat lamanya ia mengarahkan pandangan pada wanita itu. Ia kemudian melangkah menuju mobil sport hitam miliknya yang terparkir tak jauh dari situ.Di depan sana, Sofia melangk
"Penampilanmu itu merusak pemandangan," pungkas lelaki itu membuat hati Sofia mencelos.Sofia menunduk. Apa yang diucapkan oleh lelaki itu memang benar adanya. Siapa pun yang melihatnya, mungkin akan berpendapat seperti itu. Sofia sudah menduga ini sebelumnya. Apa boleh buat, ia tak punya pakaian lain. Dia tidak mungkin memaksakan diri untuk membeli beberapa lembar baju baru yang lebih pantas. Bisa-bisa ia harus puasa sebulan penuh.Menyaksikan perubahan raut wajah Sofia, Alif merasa bersalah. Laki-laki itu menyesal telah berkata seperti itu. Kalimat yang barusan ia ucapkan telah menyakiti perasaan wanita yang belum genap sejam bekerja di kantor itu."Maafkan perkataanku barusan. Terserah kamu mau menerima atau tidak. Tapi jika kamu menolak, berarti harus siap-siap menyaksikan pemandangan seperti tadi." Alif berkata datar. Laki-laki itu kemudian kembali ke mejanya untuk meneruskan pekerjaan.Tak lama kemudian terdengar suara lirih Sofia yang mengucapkan terima kasih. Perempuan itu akh
"Nih, upahmu. Karena kerjamu nggak becus, kamu hanya akan dibayar dengan sebungkus nasi putih." Bu Jenar lalu melemparkan sebuah bungkusan pada Sofia, yang kemudian dipungut oleh Sofia dengan tangan bergetar. Dengan mata berkaca-kaca, ia melangkah keluar meninggalkan tempat itu.Para pelanggan yang kebetulan menyaksikan bagaimana Sofia diperlakukan, hanya bisa geleng-geleng kepala. Sikap semena-mena pemilik warung membuat mereka ilfil. Beberapa diantaranya langsung berdiri meninggalkan tempat itu. Pun dengan seorang pria bertopi dan berkaca mata hitam yang sejak tadi memperhatikan Sofia. Laki-laki itu meninggalkan meja, setelah sebelumnya membayar makanan yang belum sempat disentuhnya.Pria berkaca mata hitam berdiri terpaku di pinggir jalan. Netranya memandang punggung Sofia yang berjalan menjauh. Untuk beberapa saat lamanya ia mengarahkan pandangan pada wanita itu. Ia kemudian melangkah menuju mobil sport hitam miliknya yang terparkir tak jauh dari situ.Di depan sana, Sofia melangk
"Oke, sudah lengkap. Silahkan masuk," ucap wanita itu, kemudian membuka pintu ruangan yang sejak tadi tertutup. Menarik napas panjang demi mengurangi rasa gugup, Sofia lalu melangkah masuk dengan ucapan basmalah. Di dalam ruangan itu telah duduk empat orang dengan draf pertanyaan masing-masing. Dua diantaranya wanita, sisanya adalah laki-laki. Sofia dipersilahkan duduk tepat di hadapan para pewawancara. Jantungnya seakan berhenti berdetak ketika salah seorang laki-laki yang tadi duduk membelakangi, tiba-tiba membalikkan badan dan langsung menatapnya tajam.Sofia berusaha bersikap tenang, mengabaikan sorot dingin dan menusuk dari pria yang sempat ditemuinya di toilet lantai bawah. Bersikap biasa saja meski sebenarnya ia begitu gugup saat ini. Dia yang tadinya sudah menyiapkan diri untuk melakukan interview, mendadak kehilangan konsentrasi karena keberadaan lelaki yang tadi membentaknya karena salah masuk toilet.Sofia yang sempat merasa tegang karena menjadi pusat perhatian akhirnya me
Sofia segera menutup pintu rumahnya dengan kasar. Wanita itu duduk terkulai di sofa. Kepalanya yang tadi pusing semakin berdenyut sakit. Dengan malas, ia lalu meraih amplop putih yang tergeletak di atas meja, yang tadi diberikan Dewi. Dibukanya benda itu perlahan. Netranya membeliak tak percaya saat menghitung jumlah lembaran rupiah yang ada di dalamnya."Tiga ratus ribu?" tanyanya lirih pada diri sendiri sambil mengeluarkan tiga lembar uang kertas berwarna merah dari dalam amplop."Tega kamu, Mas, membiarkan istri mudamu memperlakukan aku seperti ini." Tangan Sofia mengepal menahan amarah. Ditariknya napas dalam-dalam untuk mengisi rongga paru-paru yang terasa sesak. Sedih dan marah bercampur jadi satu. Perempuan itu bangkit dari tempat duduk, menghapus lelehan air mata dengan kasar. Habis sudah kesabarannya kini. Sudah cukup ia diperlakukan semena-mena seperti ini. Ia tak mau lagi mengemis belas kasihan pada laki-laki yang masih berstatus sebagai suaminya itu. Tak sudi terus ditind
"Demi Allah, Bu. Saya tidak pernah menyakiti Alisa.""Jangan bohong kamu! Ibu memang sudah muak melihat wajahmu yang sok lugu itu. Perempuan mandul seperti kamu ini, lebih baik diceraikan saja!""Astaghfirullah, Bu. Ini tentang masalah Alisa, kenapa sampai bicara soal perceraian? Saya bersumpah atas nama Allah, kalau saya tidak pernah menyakiti cucu Ibu!""Halah! Kamu ini banyak omong. Lebih baik kamu tinggalkan saja rumah ini, daripada menjadi sumber malapetaka bagi cucuku." Wanita tua itu kembali menghardik."Haris tidak membutuhkan istri mandul seperti kamu. Yang dia butuhkan adalah perempuan yang subur seperti Dewi." Tanpa mempedulikan perasaan Sofia, ibunda Haris terus bicara sambil telunjuknya mengarah ke wajah sang menantu. Sama sekali tidak menghiraukan keadaan sekitar di mana orang-orang telah berdatangan dan menyaksikan semuanya.Salah seorang kerabat ibu mertua yang kebetulan melintas, segera menghampiri untuk menenangkan wanita yang sedang dikuasai oleh amarah itu. Dengan
"Kamu benar-benar keterlaluan, Sofia!" Haris menatap tajam pada Sofia, bersamaan dengan gerakan tangan lelaki itu yang tiba-tiba melayang ke arah sang istri.Sofia tersentak saat merasakan kibasan tangan milik Haris mengenai wajahnya dengan keras. Rasa sakit seketika menjalar pada pipi yang barusan terkena tamparan. Menyisakan perih pada kulit wajah dan rasa pusing di kepala. Wanita itu mengerjapkan mata yang terasa berkunang-kunang, lalu menyentuh pipi yang terasa seperti terbakar. Rasa sakit yang ditimbulkan bukan hanya terasa di pipi, tapi juga di hati. Sofia tak menyangka Haris telah tega melakukan kontak fisik dengan menamparnya. Lelaki itu bertindak kasar hanya karena hasutan dan tuduhan tak berdasar yang dilontarkan oleh Dewi, perempuan yang belum genap seminggu menjadi istri kedua. Wanita itu telah berhasil mengubah Haris yang dulu sangat lembut dan perhatian menjadi sosok yang pemarah.Dengan mudahnya Haris termakan hasutan Dewi padahal Haris tahu pasti, Sofia adalah perempu
Dari arah luar terdengar suara ketukan di pintu depan. Bergegas Sofia melangkah untuk membuka pintu. Netranya membeliak saat menyaksikan seorang perempuan seksi telah berdiri di depan pintu dengan senyum menantang."Mau apa kamu bawa-bawa koper segala?" tanya Sofia geram melihat Dewi telah kembali lagi dengan membawa sebuah koper berukuran besar."Mau tinggal di sini. Kenapa? Ada masalah?" "Aku tidak akan mengijinkan kamu tinggal di rumahku!""Hei, kamu lupa ya, kalau aku sudah sah menjadi istri Mas Haris? Itu artinya semua milik Mas Haris adalah milikku juga." Jawaban Dewi membuat Sofia tersulut emosi. Ditendangnya koper milik Dewi hingga terjungkal."Sofia!" Tiba-tiba terdengar suara berat seseorang. Haris datang bersama seorang anak balita yang berada dalam gendongan. Pria itu tergopoh menghampiri kedua istrinya yang sedang beradu mulut di depan pintu. Ditatapnya Sofia yang melempar pandangan tak suka padanya."Sudahlah Sofia, tidak enak diliat orang," ucap Haris berusaha menenan
Sofia kembali masuk ke dalam rumah setelah selesai membakar habis barang-barang bekas pakai kedua orang yang telah menghancurkan perasaannya. Langkahnya terhenti sesaat di ambang pintu kamar tidur yang selama ini jadi tempat peraduannya. Kamar yang sudah tak ingin dia lihat lagi apalagi untuk tidur di sana.Sofia memaksakan diri untuk masuk ke dalam ruangan berukuran besar tersebut, lalu dikeluarkannya pakaian dari dalam lemari. Selembar foto tiba-tiba terjatuh dari dalam laci saat dia mengeluarkan beberapa barang penting di dalamnya. Membungkukkan badan Sofia lalu meraih benda tersebut. Itu adalah foto Sofia dan Haris waktu acara lamaran dulu.Seketika ingatan Sofia kembali pada masa saat-saat pertemuan mereka yang pertama lima tahun silam.Sofia sedang berada di sebuah acara resepsi pernikahan salah seorang teman SMU. Ia yang saat itu datang sendirian, berdiri menunggu di salah satu sisi gedung sambil netranya memandang sekeliling mencari teman-teman yang lain. Namun setelah sekian
Tak sanggup terus mendengarkan suara sepasang kekasih di dalam kamar, tangan Sofia bergerak menutupi kedua telinga demi meredam suara yang membuat jantungnya serasa seperti tercabik. Tawa manja perempuan yang kini berstatus sebagai istri kedua itu seakan sengaja mengejek dan menertawakan kehancuran dirinya.Tak mau terus terpuruk dalam kesedihan, Sofia perlahan bangkit. Melangkah gontai menuju salah satu kamar yang lain. Sebuah ruangan berukuran lebih kecil dari kamar utama. Kamar itu lebih sering kosong karena tidak ada yang menempati. Seluruh ruangan tampak bersih dan rapi. Sofia memang selalu membersihkan kamar tersebut meski tak ada yang menempati.Wanita berwajah ayu itu memilih membaringkan tubuh rampingnya di atas ranjang berukuran sedang. Beberapa kali ia menarik napas panjang untuk mengisi paru-parunya dengan udara. Berharap sesak dalam dada segera sirna. Masih dengan sisa-sisa air mata, netranya memandang langit-langit kamar dengan tatapan nanar. Sepanjang malam itu Sofia