Cerita berikut mengisahkan tentang kisah cinta anak-anak Gita dan Ardi. Bagi yang masih ingin mengikuti ayuk semangat. InsyaAllah update rutin tiap hari. Salam sehat selalu.
Seminggu sebelum pernikahan siri, Sakha sedang mendapat tugas meninjau lokasi pembanguan cabang baru perusahaan papanya di daerah Sukabumi. Terhitung sudah dua bulan Sakha bolak-balik berkunjung. Kadang long weekend, ia menginap sekalian jalan-jalan untuk menyegarkan otaknya. Sampai suatu hari ia pun dekat dengan seorang gadis sederhana bernama Ratih Kumala. Gadis itu jualan camilan dengan berkeliling kompleks sekitar lokasi yang ditinjau Sakha. "Halo, Pa." Sakha mengangkat telepon yang bergetar. Dari seberang suara papanya sudah menyapa lebih dulu setelah saling mengucap salam. "Kha, ada om Revan sama tante Melly silaturahim ke rumah." "Terus?" Suara Sakha sedikit mendesah. Ia sudah menaruh curiga papanya pasti bersekongkol dengan sang mama untuk menjodohkannya dengan anak Revan dan Melly. "Ya, papa mau kamu pulang minggu ini." "Maaf, Pa. Sakha belum selesai melakukan seleksi lokasinya." "Tidak masalah. Biar aspri papa yang mengurusnya. Kamu yang penting pulang, oke!" "B
Sakha ragu ingin mengakhiri percakapan siang hari bersama Ratih. Dengan membulatkan tekad iapun bersuara. "Aku bukan orang kaya seperti yang kamu takutkan. Tapi aku orang yang bekerja keras demi meraih kesuksesan. Uang yang kudapatkan saat ini adalah hasil kerja keras. Jadi, jangan mengira aku sebagai orang yang kaya mendadak, Ratih," terang Sakha hati-hati. Ia takut Ratih tidak percaya lagi padanya. "Iya, iya. Aku percaya sama Mas Sakha, kok." "Kalau begitu aku melamarmu sekarang?" "Hah? Maksudnya?" "Kita menikah. Aku yang akan memintakan restu pada papa dan mama." "Tapi, Mas? Kondisi keluargaku begini." "Tidak masalah, harta bisa dicari. Lagian aku yang berkewajiban menafkahi. Yang penting kamu tulus menjadi pendamping hidupku." "Kamu bersedia kan, Tih?" Sakha menanti jawaban dari Ratih dengan harap-harap cemas. Senyum gadis itu memudar, tetapi tak lama kemudian Ratih menyunggikan senyumnya lagi. "InsyaAllah, Mas." Ratih mengangguk pelan. Sakha pun mengucap syuku
Bab 53 Waktu Berlalu "Pa, Ma. Apa Sakha boleh berterus terang?" ucap Sakha serius. "Ada apa, Kha? Apa kamu sudah punya calon?" tanya Gita sedikit kecewa, pun Ardi lebih heran lagi. "Sebenarnya Sakha mau minta restu papa dan mama. Sakha sudah melamar seorang gadis." "Apa?!" Ardi menghela napas panjang, pun Gita mencoba mengusap lengan suaminya lembut supaya tidak terjadi pertengkaran antara ayah dan anak. "Sakha, kalau kamu ingin melamar gadis itu. Bahkan kamu ingin menikahinya, papa setuju. Akan tetapi, kamu juga harus mau menikah dengan putri Om Revan." Gita terperanjat dengan ucapan suaminya. "Pa." Gita bertanya heran pada Ardi yang memasang wajah serius. "Tapi, Pa. Sakha cintanya sama Ratih bukan Rahma anak Om Revan. Rahma memang perempuan cerdas dan mandiri, tapi Sakha memilih Ratih. Dia gadis desa yang butuh perhatian," mohon Sakha. "Kamu bebas memberikan perhatian pada gadis itu, Kha. Tapi papa dan mama tetap berharap kamu menikah sama Rahma. Papa dan mama berhutang b
Bab 54 Ana melangkah gontai menyusuri trotoar depan gedung mirip tempat pelatihan kalau ia tidak salah terka. Laki-laki yang ditemui tadi parkir di sekitar gedung itu. Ia akan mencoba esok lagi harus berhasil menggaet pembeli. Sekarang tekadnya adalah pulang ke kos bertanya teman yang sudah menjadi reseller produk XYZ cosmetic. Panas mentari begitu terik membakar kulit wajah. Ana mengusap peluh yang membasahi dahi. Melewati kedai jus, gejolak hatinya ingin membeli. Tenggorokannya sudah kering kerontang akibat banyak bicara tadi. Namun, ia teringat belum makan siang, juga susu Aira belum terbeli. Membuka dompet ternyata tinggal 2 lembar, satu warna merah dan satunya biru. "Jus, makan siang, susu?" Ana menyugar rambutnya kasar. Kepalanya pusing membagi uang untuk keperluan hari ini. Harapan mendapat tambahan uang tadi ternyata gagal oleh lelaki yang baru saja dijulukinya muka kulkas. "Susu, makan siang, jus." Ana membuang napas kasar. Andai saja berlembar-lembar uang di dalam domp
BAB 55 "Aira....Ai, Sayang. Kenapa jadi panas begini badannya?" Ana menaruh tasnya di meja, pun belanjaan nasi bungkus juga susu untuk Aira. Ia kebingungan melihat kondisi wajah Aira yang pucat seputih kapas. Bahkan di sekitar mulutnya terlihat membiru. Punggung tangannya menyentuh dahi ternyata benar demam tinggi. "Mbok, gimana ini?" Ana panik tak terkira. Selama merawat Aira belum pernah bayi itu panas tinggi hingga kondisinya mengkhawatirkan seperti sekarang. Kedua mata balita mungil itu terpejam, sesekali rewel nangis kencang. Ana menyentuh badan Aira terasa dingin. Ia menyambar jaket kecil lalu dipakaikan. "Ai kedinginan, Mbok." Di dekapnya sang bayi dalam gendongan. Ana menenangkan tangisan Ai sambil menimangnya. Ia meminta tolong Mbok Darmi mengambilkan air anget dan serbet. Setelah datang Mbok Darmi menyerahkannya ke Ana. "Kita bawa ke rumah sakit saja, Na!" "Sebentar, Mbok!" Ana berusaha setenang mungkin. Ia meremas serbet dengan tangan kanan sambil duduk di ranj
"Gimana, Dok?" tanya Ana penasaran. "Maaf..., lain kali kalau badannya demam jangan di pakaikan pakaian tebal dan selimuti. Ana termenung karena merasa bersalah. Ia minim pengetahuan merawat bayi. Sehari-hari hanya memikirkan bagaimana mencari uang untuk bertahan hidup. Juga mencari ayah Aira di ibukota yang luasnya tak terkira. "Kenapa begitu, Dok?" Ana pun tidak malu untuk bertanya supaya lain kali kejadian yang sama tidak terulang. "Awalnya banyak ibu memakaikan jaket alasannya agar anak tidak kedinginan dan segera berkeringat lalu suhu tubuhnya menjadi menurun. Padahal hal tersebut tidak boleh dilakukan, karena bahan yang tebal justru akan mencegah keluarnya panas dari dalam tubuh." Ana mendengarkan seraya menganggukkan kepala. "Alih-alih turun, suhu tubuh bisa saja semakin naik, dan demam anak menjadi lebih tinggi. Sebaiknya ibu memakaikan anak dengan pakaian yang tipis, sehingga suhu panas dalam tubuh dapat dengan mudah keluar dari dalam tubuh," imbuh dokter membuat An
"Ana, Ana. Sudah aku bilang kamu layak mencobanya. Sini aku ajari dandan biar cantik. Jadi pembeli nggak meragukan produk yang kamu tawarkan." Rita menerocos tanpa henti membuat Ana meringis."Lagian kayak tuh cowok ganteng aja, Mbak." Ana mendecis kesal."Memangnya kayak mana orangnya?" Rita mengambil satu produk kosmetik dari pouch di tasnya untuk pemula. Ana hanya memperhatikan dengan seksama."Muka item dingin kayak kulkas. Ishh gemes deh mau maki-maki kok ya pembeli itu raja."Rita tergelak dengan ucapan Ana. Wajah Ana yang ditekuk membuat Rita terpingkal sampai sakit perut."Aku malah diceramahi udah pakai produknya belum, tahu asal usulnya nggak, promonya hanya beginian? Haduh Mbak pengin jitak kepalanya tahu, nggak?""Haha, Ana, Ana. Benar kan kata cowok itu. Kamu ikutin aja! Kalau berhasil kan lumayan saran gratis tuh.""Tapi kan kesel juga, kayak nggak ada pembeli lain aja."
"Mbak gimana, sih? Ini mobil mahal, kalau lecet kamu nggak bisa bayar biaya bengkel." Seorang laki-laki muda keluar dari pintu kemudi. Ia berdiri dengan wajah garang di dekat Ana. Mungkin dia adalah sopir mobil mewah yang menabrak Ana. Jantung Ana berdebar, bukan karena rasa sakit akibat badannya membentur tanah. Akan tetapi, ia takut kalau dimarahi pemilik mobil. Akibat menabraknya, bisa jadi mobilnya lecet. Sopirnya saja marahnya kayak gitu, apalagi pemiliknya pasti sudah mencak-mencak "Ough...sakit." "Sengaja ya? Biar dikasih uang berobat?"Ana beristighfar dalam hati. Matanya sudah mengembun. Ternyata begini rasanya diperlakukan semena-mena di ibukota. Kalau di kampung, tetangga akan memarahi habis-habisan orang yang naik mobil karena menabrak. Ini justru korban yang dicaci. Memang Ana yang salah tidak melihat jalan saat menyeberang. Namun, ia berharap dibantu bangun bukannya malah dihina. "Ada apa, Ton?" Sebuah kaca mobil bagian belakang terbuka memperlihatkan laki-laki pa