Sekian purnama berlalu, hingga tahun pun berganti windu. Gita dan Ardi melewati pernikahannya yang penuh liku dengan secercah pelangi kebahagiaan. Ia dengan telaten mendidik anak-anaknya---Sakha dan Arga menjadi anak yang sholeh dan berbakti pada kedua orang tuanya. Semakin beranjak dewasa, Sakha dan Arga memanggil keduanya dengan sebutan mama papa. Gita dan Ardi pun tidak mempermasalahkannya. Kedua putrannya pun tidak protes saat Ardi harus pindah kota karena ada proyek besar melanjutkan bisnis ayahnya. Ya, saat ini Gita dan Ardi beserta dua putranya yang telah beranjak dewasa, menginjak usia 27tahun dan 24tahun tinggal di ibukota. Bahkan Sakha sudah bekerja mapan di sebuah perusahaan cabang milik ayahnya. Sementara itu, Arga belum lama menyelesaikan kuliah kini bekerja di kantor papanya yang bergerak di bidang pelatihan IT. Ardi masih bekerja di bidang konsultan arsitek sekaligus membangun bisnis pelatihan IT. "Pa, sepertinya rumah ini semakin hari semakin sepi," protes Gita pada
Seminggu sebelum pernikahan siri, Sakha sedang mendapat tugas meninjau lokasi pembanguan cabang baru perusahaan papanya di daerah Sukabumi. Terhitung sudah dua bulan Sakha bolak-balik berkunjung. Kadang long weekend, ia menginap sekalian jalan-jalan untuk menyegarkan otaknya. Sampai suatu hari ia pun dekat dengan seorang gadis sederhana bernama Ratih Kumala. Gadis itu jualan camilan dengan berkeliling kompleks sekitar lokasi yang ditinjau Sakha. "Halo, Pa." Sakha mengangkat telepon yang bergetar. Dari seberang suara papanya sudah menyapa lebih dulu setelah saling mengucap salam. "Kha, ada om Revan sama tante Melly silaturahim ke rumah." "Terus?" Suara Sakha sedikit mendesah. Ia sudah menaruh curiga papanya pasti bersekongkol dengan sang mama untuk menjodohkannya dengan anak Revan dan Melly. "Ya, papa mau kamu pulang minggu ini." "Maaf, Pa. Sakha belum selesai melakukan seleksi lokasinya." "Tidak masalah. Biar aspri papa yang mengurusnya. Kamu yang penting pulang, oke!" "B
Sakha ragu ingin mengakhiri percakapan siang hari bersama Ratih. Dengan membulatkan tekad iapun bersuara. "Aku bukan orang kaya seperti yang kamu takutkan. Tapi aku orang yang bekerja keras demi meraih kesuksesan. Uang yang kudapatkan saat ini adalah hasil kerja keras. Jadi, jangan mengira aku sebagai orang yang kaya mendadak, Ratih," terang Sakha hati-hati. Ia takut Ratih tidak percaya lagi padanya. "Iya, iya. Aku percaya sama Mas Sakha, kok." "Kalau begitu aku melamarmu sekarang?" "Hah? Maksudnya?" "Kita menikah. Aku yang akan memintakan restu pada papa dan mama." "Tapi, Mas? Kondisi keluargaku begini." "Tidak masalah, harta bisa dicari. Lagian aku yang berkewajiban menafkahi. Yang penting kamu tulus menjadi pendamping hidupku." "Kamu bersedia kan, Tih?" Sakha menanti jawaban dari Ratih dengan harap-harap cemas. Senyum gadis itu memudar, tetapi tak lama kemudian Ratih menyunggikan senyumnya lagi. "InsyaAllah, Mas." Ratih mengangguk pelan. Sakha pun mengucap syuku
Bab 53 Waktu Berlalu "Pa, Ma. Apa Sakha boleh berterus terang?" ucap Sakha serius. "Ada apa, Kha? Apa kamu sudah punya calon?" tanya Gita sedikit kecewa, pun Ardi lebih heran lagi. "Sebenarnya Sakha mau minta restu papa dan mama. Sakha sudah melamar seorang gadis." "Apa?!" Ardi menghela napas panjang, pun Gita mencoba mengusap lengan suaminya lembut supaya tidak terjadi pertengkaran antara ayah dan anak. "Sakha, kalau kamu ingin melamar gadis itu. Bahkan kamu ingin menikahinya, papa setuju. Akan tetapi, kamu juga harus mau menikah dengan putri Om Revan." Gita terperanjat dengan ucapan suaminya. "Pa." Gita bertanya heran pada Ardi yang memasang wajah serius. "Tapi, Pa. Sakha cintanya sama Ratih bukan Rahma anak Om Revan. Rahma memang perempuan cerdas dan mandiri, tapi Sakha memilih Ratih. Dia gadis desa yang butuh perhatian," mohon Sakha. "Kamu bebas memberikan perhatian pada gadis itu, Kha. Tapi papa dan mama tetap berharap kamu menikah sama Rahma. Papa dan mama berhutang b
Bab 54 Ana melangkah gontai menyusuri trotoar depan gedung mirip tempat pelatihan kalau ia tidak salah terka. Laki-laki yang ditemui tadi parkir di sekitar gedung itu. Ia akan mencoba esok lagi harus berhasil menggaet pembeli. Sekarang tekadnya adalah pulang ke kos bertanya teman yang sudah menjadi reseller produk XYZ cosmetic. Panas mentari begitu terik membakar kulit wajah. Ana mengusap peluh yang membasahi dahi. Melewati kedai jus, gejolak hatinya ingin membeli. Tenggorokannya sudah kering kerontang akibat banyak bicara tadi. Namun, ia teringat belum makan siang, juga susu Aira belum terbeli. Membuka dompet ternyata tinggal 2 lembar, satu warna merah dan satunya biru. "Jus, makan siang, susu?" Ana menyugar rambutnya kasar. Kepalanya pusing membagi uang untuk keperluan hari ini. Harapan mendapat tambahan uang tadi ternyata gagal oleh lelaki yang baru saja dijulukinya muka kulkas. "Susu, makan siang, jus." Ana membuang napas kasar. Andai saja berlembar-lembar uang di dalam domp
BAB 55 "Aira....Ai, Sayang. Kenapa jadi panas begini badannya?" Ana menaruh tasnya di meja, pun belanjaan nasi bungkus juga susu untuk Aira. Ia kebingungan melihat kondisi wajah Aira yang pucat seputih kapas. Bahkan di sekitar mulutnya terlihat membiru. Punggung tangannya menyentuh dahi ternyata benar demam tinggi. "Mbok, gimana ini?" Ana panik tak terkira. Selama merawat Aira belum pernah bayi itu panas tinggi hingga kondisinya mengkhawatirkan seperti sekarang. Kedua mata balita mungil itu terpejam, sesekali rewel nangis kencang. Ana menyentuh badan Aira terasa dingin. Ia menyambar jaket kecil lalu dipakaikan. "Ai kedinginan, Mbok." Di dekapnya sang bayi dalam gendongan. Ana menenangkan tangisan Ai sambil menimangnya. Ia meminta tolong Mbok Darmi mengambilkan air anget dan serbet. Setelah datang Mbok Darmi menyerahkannya ke Ana. "Kita bawa ke rumah sakit saja, Na!" "Sebentar, Mbok!" Ana berusaha setenang mungkin. Ia meremas serbet dengan tangan kanan sambil duduk di ranj
"Gimana, Dok?" tanya Ana penasaran. "Maaf..., lain kali kalau badannya demam jangan di pakaikan pakaian tebal dan selimuti. Ana termenung karena merasa bersalah. Ia minim pengetahuan merawat bayi. Sehari-hari hanya memikirkan bagaimana mencari uang untuk bertahan hidup. Juga mencari ayah Aira di ibukota yang luasnya tak terkira. "Kenapa begitu, Dok?" Ana pun tidak malu untuk bertanya supaya lain kali kejadian yang sama tidak terulang. "Awalnya banyak ibu memakaikan jaket alasannya agar anak tidak kedinginan dan segera berkeringat lalu suhu tubuhnya menjadi menurun. Padahal hal tersebut tidak boleh dilakukan, karena bahan yang tebal justru akan mencegah keluarnya panas dari dalam tubuh." Ana mendengarkan seraya menganggukkan kepala. "Alih-alih turun, suhu tubuh bisa saja semakin naik, dan demam anak menjadi lebih tinggi. Sebaiknya ibu memakaikan anak dengan pakaian yang tipis, sehingga suhu panas dalam tubuh dapat dengan mudah keluar dari dalam tubuh," imbuh dokter membuat An
"Ana, Ana. Sudah aku bilang kamu layak mencobanya. Sini aku ajari dandan biar cantik. Jadi pembeli nggak meragukan produk yang kamu tawarkan." Rita menerocos tanpa henti membuat Ana meringis."Lagian kayak tuh cowok ganteng aja, Mbak." Ana mendecis kesal."Memangnya kayak mana orangnya?" Rita mengambil satu produk kosmetik dari pouch di tasnya untuk pemula. Ana hanya memperhatikan dengan seksama."Muka item dingin kayak kulkas. Ishh gemes deh mau maki-maki kok ya pembeli itu raja."Rita tergelak dengan ucapan Ana. Wajah Ana yang ditekuk membuat Rita terpingkal sampai sakit perut."Aku malah diceramahi udah pakai produknya belum, tahu asal usulnya nggak, promonya hanya beginian? Haduh Mbak pengin jitak kepalanya tahu, nggak?""Haha, Ana, Ana. Benar kan kata cowok itu. Kamu ikutin aja! Kalau berhasil kan lumayan saran gratis tuh.""Tapi kan kesel juga, kayak nggak ada pembeli lain aja."
Bab 137 EndingSakha sudah seperti buka puasa. Sekian purnama tidak menyentuh istrinya, kerinduan pun berada di puncaknya. "Wajah Mas masih sakit, ini. Aku obatin, ya?""Nggak perlu, Rahma. Aku butuh obat rindu.""Mas!"Rahma sudah tidak bisa mengelak, ia pun merasakan rindu yang menggebu. Keduanya melewati malam panjang ditemani rembulan yang sinarnya menyusup dari celah gorden. Sentuhan lembut Sakha menyapa Rahma membuat hati wanita itu mengembang. Seulas senyum terukir di bibir merahnya."Tenang, Nak, Abi mau mengunjungimu."Sakha memperlakukan istrinya dengan lembut walau di dalam sana sudah menahan gair*h yang memuncak. Ia tidak ingin membuat trauma istrinya yang sedang hamil besar.Satu jam berbagi peluh membuat keduanya kelelahan. Sakha memberikan kecupan hangat di kening Rahma. Hingga wanita itu memejamkan mata menikmati ketulusan suaminya."Terima kasih, Sayang.""Terima kasih juga, Mas."Waktu kian berlalu, detik tergerus oleh menit hingga menit berganti menjadi jam. Purnama
Bab 136 Rindu "Percuma, Arga. Kakakmu dari dulu sudah begitu," imbuh Pak Ardi ketus."Ya Allah, Pa, Arga. Ini salah paham," lirih Sakha yang merasakan tubuhnya sudah lunglai."Apa?! Astaghfirullah, ini pasti salah paham.""Pa, Arga, tunggu!" teriakan Sakha tidak digubris dua lelaki beda generasi itu. Pak Ardi dan Arga sudah masuk mobil meninggalkan kediaman untuk menemui Rahma yang terbaring di rumah sakit."Astaga, Mas Sakha kenapa?" Dari dalam rumah keluar satpam yang sedari tadi dicari Sakha."Bapak kemana saja? Muka saya sudah babak belur kayak maling, nih," dengkus Sakha sambil menahan nyeri akbitan tamparan papanya dan juga pukulan Sakha."Ayo, Pak. Kita ke dalam dulu. Bi, Bibi. Tolong ambilkan air kompres untuk Pak Sakha!" "Hah, Mas Sakha kenapa?""Jangan banyak omong, cepat ambilkan."Bibi ART pun mengangguk. Gegas ia ke dapur mengambil air kompres."Maaf, Mas. Tadi saya membereskan kamar Mbak Rahma sama bibi." Satpam mengucap dengan sedikit takut membuat Sakha penasaran."Me
Bab 135 PulangPenerbangan Padang-Jakarta akhirnya pesawat mendarat di bandara Soekarno Hatta. Sakha memang sengaja belum mengabari orang rumah tepat hari apa pulangnya. Ia harus menyiapkan keperluan Cantika dan neneknya di rumah sakit ternama di Jakarta. Setelahnya, Toni yang akan menemani Cantika untuk proses operasi mata neneknya."Pak Toni tolong Cantika ditemani sampai keperluannya tidak kurang satupun," ucao Sakha sambil menyenderkan punggung di sofa tunggu bandara. Mereka masih menunggu bagasi."Siap, Pak. Oya, Pak Sakha yakin tidak perlu ditemani pulang sampau rumah terlebih dulu?" tanya Toni basa-basi."Ckkk, bukankah Pak Toni senang langsung bisa menemani Cantika?" Sakha justru balik bertanya membuat Toni terkesiap."Nanti kalau Cantika bingung di kota ini, Pak Toni yang repot, kan? Gadis itu nggak ada duanya,"ucap Sakha terkekeh."Dia gadis yang pintar, Pak. Nggak mungkin nyasar di kota ini," balas Toni sambil tersenyum."Pak Toni nggak takut Cantika nyasar, tapi takut dia k
Bab 134 Tuntas"Terima kasih atas kerja samanya, Pak Sakha."Seorang pimpinan petugas kepolisian menjabat tangan serta mengucap terima kasih pada Sakha di ruang kerjanya. Sebab Sakha telah membantu petugas kepolisian untuk menegakkan keadilan. Tuntas sudah tugas Sakha di kota ini."Kalau begitu, saya pamit dulu, Pak. Saya harus menemui warga untuk m3nyampaikan hak-haknya,"ucap Sakha yang diangguki petugas. Sakha kembali menaiki mobilnya yang disopiri Toni menuju kediaman Pak Cokro. Di rumah orang terhormat di kampungnya itu telah berkumpul banyak warga. Ada juga karyawan Sakha yang sudah lebih dulu sampai di sana. Sementara itu, Cantika absen karena harus menemani neneknya melakukan diagnosis oleh dokter di rumah sakit."Kita sudah sampai, Pak." Toni menoleh lalu menggelengkan kepalanya. Ia tahu betul Sakha dangat kelelahan beberapa hari terakhir. Sebab anak bosnya itu kejar target melumpuhkan musuh ayahnya. Beruntung Cantika bisa diajak kerja sama, pun Pak Cokro dengan senang hati mem
Bab 133 Tertangkap TanganSenja menampakkan warna jingga yang indah di cakrawala. Cantika segera pulang ke rumahnya karena sang nenek pasti lama menunggu. Seharusnya, ia pulang siang hari, tetapi demi membantu pihak keamanan untuk menggrebek Robert, kepulangannya molor."Nek, nek." Cantika mendapati neneknya tiduran di kamar. Gadis itu mendekat lalu mengusap lembut wajah sang nenek. Setitik bulir bening menetes membasahi pipi mulusnya. wanita ini telah merawatnya sejak kecil. Cantika yatim piatu, entah di mana orang tuanya kini iapun tidak tahu. Kata Sang nenek orang tuanya telah meninggal. Tapi sunggu misterius baginya."Ika. Kamu sudah pulang?""Iya, Nek. Ika mau siapin baju buat kita ke rumah sakit. Nenek akan diobati dokter di sana biar bisa melihat lagi."Ucapan Cantika tersendat karena isakan kecil menyusul."Bukannya tadi siang kamu sudah pulang?""Hah, enggak. Ika barusan pulang dari bekerja."Cantika sedikit heran, apa ada yang datang ke rumah. Kenapa neneknya merasa ia sudah
Bab 132 Mencuri barangSakha merencanakan strategi untuk menangkap Robert beserta anak buahnya. Dia telah mengumpulkan bukti-bukti dibantu oleh Pak Cokro dan Cantika. Bekerja sama dengan pihak berwajib, Sakha ingin pekerjaan di proyek pembangunan jalan tol berjalan lancar. Ia ingin segera pulang sebelum istrinya melahirkan. Janji di awal hanya pergi satu dua bulan. Hingga kini kehamilan Rahma terhitung masuk trimester tiga.Semalam ia menelpon istrinya."Sayang, maafkan aku baru sempat menelpon. Pekerjaan di sini sungguh menyita waktu. Sinyal juga susah karena lokasi di tengah hutan.""Ia Mas. Aku tahu, yang penting kamu sehat dan baik-baik saja di sana. Aku percaya Mas melakukan kerja keras di sana. Ada Pak Toni yang menemani, aku pun lega.""Iya, Sayang. Selesai proyek di sini, aku segera kembali ke Jakarta. Doakan tidak sampai melewatkan kelahiran anak kita, ya.""Iya, Mas.""Jam segini kok belum tidur, Sayang?""Hmm, akhir-akhir ini aku susah tidur, Mas. Nggak tahu, pikiran selalu
Bab 131 TipuanHari berganti hari hingga menjadi minggu, Cantika berperan dengan tipuannya sebagai wanita penggoda Sakha. Dia bersikap manja saat bersama laki-laki itu. Sesekali meluncurkan rayuan saat di depan Robert. Toni sampai harus menahan diri untuk tidak tertawa saat melihat aksi mesra keduanya. Akting Sakha dan Cantika layak diberi apresiasi seperti bintang sinetron"Gimana, Sayang. Kita ambil saja proyek dengan Pak Robert. Track recordnya sudah tidak diragukan lagi. Bagi hasil keuntungannya juga besar. Ayolah, nanti setelah proyek selesai, kita bisa liburan ke pulau yang indah berdua," ungkap Cantika dengan gaya centilnya.Robert yang melihat dari balik meja kerjanya tersenyum menyeringai. Dia memang memerintahkan Cantika untuk merayu Sakha supaya bisa diajak kerja sama. Dengan nama perusahan Sakha, kerja ilegal Robert bisa disamarkan."Baiklah, saya perlu membaca surat kerjasamanya terlebih dulu Pak Robert. Paling lama tiga hari, saya akan memberi kabar hasilnya.""Jangan lam
Bab 130 SepakatSetengah jam, Sakha dan Toni duduk di luar kamar yang dimasuki Cantika dan wanita yang sudah renta tadi. "Pak, gimana? Kenapa gadis itu belum keluar juga?"Sakha hanya mengedikkan bahu. Ia lalu beranjak dari duduk dan mendekati kamar. Berhenti sejenak di depan pintu yang sedikit terbuka. Tampak di sana Cantika sedang membenarkan posisi yang nyaman untuk wanita tua tadi."Nek, istirahat saja. Ika baik-baik saja, kok.""Jadi gadis itu biasa dipanggil Ika. Pantas tidak ada yang kenal Cantika."Sakha mengembuskan napasnya kasar. Ia baru sadar kalau Cantika bekerja untuk menghidupi wanita tua yang pantas jadi neneknya itu.Beberapa menit kemudian, Cantika sudah turun dari ranjang dan berniat keluar. Sakha segera kembali ke kursi duduk bersama Toni."Gimana, Pak?" tanya Toni penasaran.Sakha hanya memajukan dagu ke arah pintu kamar di mana Cantika keluar dari sana."Kenapa kalian masih ada di sini? Sana pergi, jangan ganggu aku!"Cantika melenggang masuk ke sebuah ruangan ke
Bab 129B Ancaman"Berhenti! Atau kalian babak belur keluar dari sini.""Ups, sial. Gadis ini kuat juga, Bos.""Awas!" pekik Sakha saat bogeman Cantika mengenai Rahang kiri Toni.Tidak keras tetapi mampu membuat nyeri di pipi Toni."Astaga, perempuan ini ganas sekali."Sakha jengkel sekaligus menahan tawa. Bisa-bisanya ia dan Toni dikalahkan perempuan."Oke,oke. Kami mundur. Sekarang katakan. Apa tujuanmu berbuat licik padaku, hah?"Sakha mencoba bernegosiasi. Ia tidak ingin salah melangkah dan akhirnya usahanya membela hak warga gagal."Aku jelas butuh uang. Jadi kalian pergi saja. Karena kedatangan kalian ke sini hanya akan membuat masalah bagiku.""Oke, berapa uang yang kamu butuhkan? Aku bisa mencukupi lebih banyak dari yang diberikan Robert. Kamu tahu dia bukan siapa-siapa. Dia mantan napi karena sudah menipu ayahku. Sekarang katakan butuh uang berapa kamu? 100juta, 200juta, setengah milyar?"Cantika terkesiap mendengar uang yang besarnya menggoda."Pak. Jangan gila! Pak Ardi tidak