Tanganku berhenti menghias kue tart saat suara kedua mertuaku terdengar di teras depan rumah. Kuletakkan plastik berisi krim di atas piring, berjalan ke depan menemui mereka.
“Waalaikumsalam, Ma, Pa,” balasku sambil membuka pintu ruang tamu.
“Wangi kue. Kamu jadi bikin?” Mama mencium kedua pipiku bahkan kening, pun papa, ia bahkan memelukku erat.
“Masuk, Ma, Pa,” ajakku. Mereka berjalan masuk, di kedua tangannya membawa tas belanja besar.
“Arin mana?” bisik mama.
“Lagi ke mini market sama Nazwa, Nisa suruh beli susu kotak. Mama Papa jadi nginep, ‘kan?” Aku membantu membawakan tas milik mama yang isinya baju, lalu aku letakkan di kamar anak-anak.
“Ya, jadi, lah. Udah niat. Farid … pulang malam ini, ‘kan? Acara ulang tahun Arinda nanti sore jam empat, ‘kan?” Mama yang cerewet tapi baik, bertanya merepet. Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala sambil tersenyum.
“Aki! Nini!” teriak anak-anak saat tiba ke rumah. Aku kembali ke dapur untuk melanjutkan menghias kue. Goodie bag sebanyak dua puluh plastik juga nasi kotak berisi nasi kuning dengan lauk ayam bakar sudah aku siapkan juga. Semua ku kerjakan sendiri. Ulang tahun Arin hanya mengundang anak-anak tetangga satu RT yang sebaya dengan Arin. Keluargaku di kampung tak bisa datang, tapi mereka kirim kado dengan paket kilat yang masih belum sampai. Aku mengerti, bapak dan ibuku akan kerepotan jika ke Jakarta, belum lagi sadar statusku apa, mereka pasti segan. Tetapi Arin sudah bicara dengan mbah kung dan mbah utinya, yang mendoakan hal-hal baik diusia Arin yang kesembilan.
“Aki, Nini nginep, ‘kan?!” Arinda semangat bertanya, sementara Nazwa bergelendot manja ke papa mertuaku.
“Iya, dong. Ayo, kita rapihin karpet taruh di ruang tamu, kalian kuat angkat sofanya, nggak?” goda papa mertua, padahal sofa itu enteng, dan hanya ada satu dengan meja tamu kecil juga. Pintu ruang tamu model kupu-kupu bercat coklat tua, membuat leluasa mengeluarkan sofa dan meja.
“Kuat, lah, Ki! Ayo!” Arin semangat, Nazwa meletakkan belanjaannya di dapur, ia memandangiku sendu.
“Papa pulang nggak, Ma?” lirihnya begitu pelan.
“Pulang, tunggu aja, ya. Sana, bantuin Aki sama Arin. Mama selesaikan ini sebentar, ya.” Aku menunjuk ke kue tart yang hampir jadi hiasannya. Nazwa mengangguk, ia berjalan ke depan menemui papa mertua dan Arin. Sejujurnya, aku belum bisa memastikan apakah Farid akan pulang untuk menepati janji hadir diulang tahun anaknya.
Pukul empat, satu persatu anak-anak datang, mereka membawa kado yang diberikan ke Arin. Arin begitu ceria, mama mertua dan aku sibuk menghidangkan minuman dan camilan di atas piring yang kami letakkan di atas karpet. Arin memakai baju baru jahitan mama mertua, beliau memang pintar menjahit, Nazwa membantuku menyambut anak-anak lain yang juga baru datang. Hiasan balon, tulisan ulang tahun, meramaikan acara sederhana yang bagi Arin, pasti meriah. Ini kedua kali ia merayakan ulang tahun, pertama saat usianya lima tahun dan sekarang sembilan.
Saat usianya lima tahun, Farid mengadakan acara di TK tempat Arin sekolah. Farid yang bersemangat merayakan, sedangkan Nazwa bukan tipe anak yang suka keramaian, jadi ia santai saja saat ulang tahun tidak dirayakan. Cukup dengan aku membuat tumpeng dan memberi kado, ia sudah sangat senang.
Tiga puluh menit kemudian, Farid belum juga datang. Aku melirik ke papa mertua yang masih mencoba menghubungi putranya. Arin sudah gelisah, pun Nazwa yang coba menenangkan adiknya. Akhirnya kuputuskan acara dimulai, papa mertuaku berdiri di sisi kanan Arinda saat mama mulai memimpin acara dengan mengarahkan anak-anak supaya berdiri.
Aku sibuk menyalakan lilin angka 9 yang tertancap pada kue warna ungu dengan rasa vanilla dan lemon. “Ma, Papa mana?” lirih Arin dengan wajah sendu.
“Masih dijalan mungkin. Nggak apa-apa mulai aja, yuk. Ada Aki sama Nini, ‘kan.” Terpaksa aku menjelaskan seperti itu, padahal belasan chat w******p hanya dibaca Farid tanpa niat membalas. Doa dipimpin papa mertua, kemudian anak-anak menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Perlahan senyum Arin merekah saat teman-temannya begitu ceria bernyanyi bersama. Lanjut potong kue, Arin didampingi mama mertua memegang pisau, di potong kue itu yang ia suapi pertama kali diberikan ke Aki lalu Nininya. Papa memeluk Arin erat, aku bisa melihat papa menahan air mata, pun mama. Giliran aku, Arin menyuapiku, lalu mencium kedua pipi, terakhir Nazwa, keduanya berpelukan. Aku haru melihat Nazwa mampu membesarkan hati adiknya.
Acara selesai jam lima lewat lima belas, anak-anak sudah makan kue bersama juga spagety bolognise yang aku buat untuk makan di tempat. Goodiebag dibagikan, wajah anak-anak sumringah, hingga satu anak menyeletuk ke Arin, “Papa kamu pergi, ya, jadi nggak datang. Papa kamu sibuk banget.”
Dan, seketika Arin sendu, ia tak ceria seperti beberapa detik sebelumnya. Anak-anak sudah pulang, mama dan aku mulai merapikan piring kotor, papa merapikan karpet, di sapu dengan sapu lidi kotorannya hingga ke depan lantai teras. Tangis Arin terdengar, Nazwa menemani di dalam kamar.
“Mama!” teriak Nazwa. Aku dan mama mertua saling menatap.
“Biar Mama aja, Nis.” Mama mertua mencuci tangan, aku mengangguk. Beliau segera berjalan ke arah kamar anak-anak. Tak lama, aku mendengar papa bicara dengan Farid di ponsel, nada bicaranya meninggi. Buru-buru kubilas tangan, berjalan ke teras depan.
“Papa kecewa sama kamu, Farid. Papa benar-benar marah sama kamu!” Papa menyudahi percakapan, beliau duduk sambil memegang pangkal hidungnya.
“Pa,” kataku seraya memegang bahunya.
“Papa gagal mendidik anak lelaki Papa, Nisa, maafkan, Papa.” Aku merasakan kepiluan hati seorang ayah. Segera kupeluk papa dari samping, papa memegang tanganku, ia menangis.
Ya Allah, Farid sudah membuat orang tuanya menitikan air mata, sungguh keterlaluan. Jika ia memang sengaja tidak hadir karena kesibukan, aku memaklumi, tapi jika karena akal-akalan Siska, aku tidak akan tinggal diam.
***
Keesokan harinya, aku pamit untuk pergi sebentar, mama dan papa aku minta tolong menjaga anak-anak. Mama tau aku akan pergi ke mana, ia mendukungku. Mobil ku keluarga dari garasi, segera saja kutancap gas menuju ke tujuanku pergi. Sengaja aku tak bilang, sedikit memberi kejutan rasanya boleh-boleh saja.
Tiba di tujuan setelah satu jam mengemudi, rumah itu besar, lebih besar dari rumah yang aku tempati. Pagar tinggi, desain rumah eropa, aku yakin, ini pasti bukan Farid yang belikan, pasti sudah dimiliki Siska sendiri.
Bel kutekan beberapa kali, seorang pembantu keluar rumah. “Faridnya ada?” kataku tegas.
“Ada, dengan siapa, ya, Bu?”
“Annisa,” kataku lagi.
“Silakan masuk. Bapak dan Ibu sedang sarapan. Sebentar saya panggilkan.”
Aku melangkah berjalan ke arah teras, halamannya juga luas, rumputan hijau dengan pot-pot bunga sepatu warna merah bermekaran. Pintu terbuka, Siska melotot ke arahku.
“Sedang apa kamu di sini! Kenapa kemari!” cicitnya takut terdengar pembantunya pasti.
“Cari suami saya!” kataku tegas. Siska terkejut dengan ucapanku. Farid berjalan menghampiri, aku sengaja berjalan menubruk bahu kanan Siska lalu menyalim tangan Farid. “Assalamualaikum,” sapaku.
“Waalaikumsalam, Nis, kenapa kamu–”
“Pulang. Arin demam.” Aku tegas berucap. Farid terkejut. “Dari kemarin dia tunggu papanya pulang untuk merayakan ulang tahunnya, sampai akhirnya Arin menangis dan semalam demam. Papa marah sama kamu, ‘kan? Apa alasan kamu tidak pulang? Bukankah sudah berjanji?!” pelototku lagi.
Farid menghela napas. “Aku udah jelasin ke Papa apa lasannya, Nis. Siska kemarin sakit, badannya lemas dan itu biasa terjadi saat datang bulang. Maafkan aku,” lirih Farid. Aku menoleh ke Siska yang tegas menatapku tak suka. Oh, aku tau, dia mulai bermain-main denganku rupanya.
“Oh, begitu.” Aku tersenyum menatapnya. “Semoga lekas sembuh, atau sekarang sudah sembuh? Kalau sudah, Farid pulang denganku karena anaknya sakit. Anak juga butuh diperhatikan!” kataku tegas. Siska diam, ia melirik ke Farid lalu mengangguk. Farid ke dalam untuk mengambil ponsel dan dompet. Aku berdiri bersedekap berhadapan dengan wanita di hadapanku ini.
“Jika caramu bermain seperti ini. Aku akan ladeni sampai mana kamu bisa menantangku. Syarat sebelumnya yang kamu berikan kepadaku … tidak akan aku lakukan. Aku dan anak-anak berhak mendapatkan perhatian dan waktu Farid juga. Jika kamu mau egois, kami juga bisa!” tegasku lalu tersenyum sinis.
“Oh ya. Kamu pikir aku tidak bisa bertindak nekat, Nis?” Ia balas menantangku.
“Silakan. Kamu akan tau kekuatan seorang ibu membela hak anaknya. Jangan coba melawanku, kamu akan kalah!” tegasku lagi. “Lihatlah sikap Farid, ia langsung menuruti kemauanku, bukan? Karena anak-anaknya butuh dia. Aku juga bersikap sopan bahkan menutup auratku. Lihat Siska, siapa di sini yang nanti akan bertahan dicintai Farid. Kesabaranku memang terus ada, tapi tidak akan bisa kamu injak-injak. Ingat itu.” Aku balas mengancam. Siska terkejut dengan perlakuanku, Farid keluar, ia meminta kunci mobil yang kuberikan sambil tersenyum. Farid bahkan tidak pamit kepada istri tuanya, aku tersenyum sinis sambil membuka pintu mobil sebelum masuk.
Di dalam mobil, aku menghela napas panjang, tak menyangka bisa setegas itu membela hak aku dan anak-anak atas Farid. Biar aku egois, Siska juga harus bisa mengerti.
“Nis, aku minta maaf,” ucap Farid sambil menatapku sebelum kembali melihat ke jalanan di depan.
“Minta maaf sama anak-anak, bukan aku. Aku bisa mengerti tapi anak-anak tidak. Mereka tidak tau jika papanya memang punya istri dua.” Aku menatapnya lekat, ia mengusap kasar wajahnya, lalu mengangguk.
Bersambung,
“Papa pulang, Nak,” bisik Farid saat tiba di rumah dan langsung masuk ke dalam kamar anak-anak. Kedua sorot mata orang tuanya menunjukkan amarah yang tidak bisa teralihkan. Aku sendiri hanya bisa terdiam sambil berjalan ke dapur untuk melihat bahan masakan untuk hari itu. “Mama sudah masak, Nis, kamu istirahat aja, ya.” Mama mengusap bahuku. “Nisa repotin Mama, jadi Mama yang masak,” kataku tak enak hati. “Nggak apa-apa, Mama masak rawon sama goreng ayam. Tadi Nazwa minta itu.” “Iya, Ma, terima kasih, Ma.” Aku tersenyum begitu penuh syukur mama mertuaku begitu baik bahkan menerima kondisiku sebagai istri kedua anaknya. Mama menarik tanganku, mengajak ke teras depan rumah, kami duduk bersisian. “Nisa, tadi kamu ketemu Siska? Gimana reaksi dia waktu ketemu kamu tadi?” Mama tampaknya sangat penasaran. “Kaget, Ma. Pembantunya yang bukakan pagar, nggak lama Siska dan Farid keluar temuin Nisa. Siska kesal, Nisa nggak tahan sama semua ini dan sepertinya Farid nggak datang kemarin karen
Kami semua pulang, Arinda kembali istirahat di kamarnya. Aku memberinya obat lalu tak lama ia pulas tidur. Nazwa menangis walau sikapnya tenang saat Farid duduk di sisinya, jika aku lihat suamiku sedang menjelaskan keadaan kami. Ya Allah, perih rasaya melihat Nazwa hanya mengangguk mencoba memahami walaupun pasti ingin teriak. “Rid, tolong tegas. Siska nggak bisa berlaku seperti ini ke kamu. Dia harusnya sadar kamu masih mau kasih kesempatan kedua walaupun harus Nisa yang dikorbankan.” Mama mertuaku menatap garang ke Farid. Ia hanya mengusap kasap wajahnya. “Ma, susah. Farid maunya semua akur dan damai, bukan malah seperti ini.” Apa? Akur? Damai? Sadar Farid, kamu bukan sultan yang kaya raya dan bisa menikmati dua wanita walau sah secara bersamaan. Aku kesal menatap suamiku, dengan tekad kuat dan yakin akhirnya aku berani berpendapat. “Kalau begitu, karena kamu tidak bisa bersikap adil. Mulai hari ini aku yang akan bilang ke Siska kalau kamu harus lebih banyak ada dengan kami. Den
Ponsel Farid tidak langsung aku letakkan di atas meja. Aku ingin tau apa yang Farid ceritakan benar adanya tau sekedar supaya aku percaya. Jemariku terus bergerak membaca history chat mereka. Jujur sekali, Farid memang tidak banyak mengetik balasan bahkan bertanya sebagai bentuk perhatian kecil juga sewajarnya. Sama sekali tidak membuat aku cemburu, yang ada aku jadi berpikir, kenapa mereka harus bertahan jika sudah tidak ada percikan rasa cinta. Tetapi memang terlihat Siska yang dominan dan bernafsu banyak bertanya ke Farid. Beralih ke galery foto, kucoba mencari apakah ada foto-foto mereka. Ternyata ada, tapi foto saat mereka pacaran dan awal menikah. Terlihat suamiku bahagia difoto itu, sedikit mulai kurasakan nyeri di hati tapi segera aku tepis karena fokusku bukan itu saja. Kembali aku mencari bukti lain, kini beralih ke laporan transaksi uang Farid. Aku penasaran, apakah suamiku juga menafkahi Siska walau jelas sekali terlihat wanita itu mampu menghidupi diri sendiri. Aku men
Jangan lupa tinggalkan jejak, ya. Terima kasih. ______Rasa penasaran akhirnya membawaku jadi sedikit nekat demi Farid tetap ada di sisiku. Pengakuan Siska yang hamil, tidak sepenuhnya aku percaya. Mobil kuarahkan ke rumah mama mertua, pingin tau apa mama sudah dapat kabar dari Siska? "Assalamualaikum, Ma?" Sapaku seraya membuka pintu ruang tamu. "Waalikumsalam, Nis, masuk sayang. Kok tumben kamu ke sini, habis dari pasar?" Mama menunjuk ke plastik kresek belanjaanku. "Iya. Ma, Nisa mau ngobrol sama Mama." Mama mengangguk, kuletakkan belanjaan di dapur, setelah cuci tangan aku dan mama duduk di kursi makan. "Ma, apa Mama tau Siska hamil?" Langsung saja aku tanyakan. "Nggak. Emang dia hamil?!" pekik mama. Aku mengangguk. "Dia kasih tau kamu?" tanya mama lagi. Aku mengangguk lagi. "Tapi Nisa nggak yakin, Ma, takutnya itu akal-akalan dia aja. Nisa udah tau cerita Farid mau ceraikan Siska dulu, diam-diam gugurin kandungan. Kalau sekarang tiba-tiba dia hamil, rasanya aneh, Ma."Mam
Awalnya aku sempat ragu untuk membahas ini dengan anak-anak, tetapi karena Siska sudah memulainya, tak baik jika anak-anak tau bukan dari mulutku. Nazwa tau aku menutupi rasa kecewa kepada papanya karena tadi Farid memutuskan untuk sementara bersama Siska yang ‘mengaku hamil’. Posisiku akan salah jika melarang Farid, akan ramai kedepannya karena semua akan terbongkar cepat dan aku yakin akan kalah. Tidak mau aku menjadi yang kalah dipermainan ini. Suamiku laki-laki biasa dan normal, jadi aku yakin dia akan tergoda oleh kemolekan tubuh Siska apalagi ia istri pertamanya sebelum aku. Kebohongan pasti untuk menjaga perasaanku saja. “Nazwa, Arin, duduk sini. Mama mau jelasin semuanya,” perintahku dengan bernada lembut ke mereka yang baru selesai salat magrib. Kedua putriku duduk berhadapan denganku di lantai beralaskan karpet, di ruang TV. Keduanya masih memakai mukena. TV aku matikan, hanya deru AC ruangan yang sengaja kunyalakan supaya sejuk karena bahasan kami akan terasa panas. Bismi
“T-tapi, kita satu mobil, itu nggak boleh,” tolakku sedikit terbata-bata. Ya karena memang aneh saja, tidak boleh satu mobil dengan yang bukan memiliki hubungan sah. Ilham mengangguk, dari wajahnya terlihat bingung. Akhirnya aku berikan beberapa uang lima puluh ribu. “Pakai ini aja, kembalikan ke saya gampang, bisa kapan aja.” Aku memberikan uang ke arahnya, ia menerima dengan wajah meringis. “Maaf, jadi repotin kamu. Saya malu jadinya,” tuturnya yang memang terlihat jika ia malu menerima uang yang kupinjamkan. “Nggak masalah. Kalau itu, saya duluan, ya, Ham. Assalamualaikum,” jawabku seraya masuk ke dalam mobil. “Waalaikumsalam, hati-hati, Nisa,” balasnya lembut yang masih bisa aku dengar karena belum menutup pintu. Aku menghidupkan mesin mobil, kemudian menginjak pedal gas, perlahan aku meninggalkan area parkir tapi sempat melihat Ilham dari spion tengah. Seketika kubuang napas panjang, bagus aku masih bisa jaga diri, bisa saja bahaya karena satu mobil dengan pria yang bukan pasa
Tampaknya memang ini sudah menjadi secercah harapan bagiku. Saat aku langsung menceritakan kepada kedua mertuaku, mereka memiliki ide yang membuatku bisa terlihat ‘jahat’. “Nisa tenang aja, ya, kita cari tau bersama. Mama juga mau bilang ke kamu, adik-adik Mama, Kakak dan adik Papa mereka sudah tau kalau Farid punya kamu sebagai istri keduanya. Mereka awalnya marah dan kecewa karena kenapa baru diberitahu, tapi kami jelaskan semuanya. Ya, walau jadinya seperti menjatuhkan anak sendiri, tetapi memang Farid salah. Kami terima.” “Lalu, apa respon keluarga setelah tau, Ma?” “Mereka mau ketemu kamu, Nisa.” Jawaban mama mertuaku langsung membuatku berdebar tak karuan. Rasanya seperti terjun bebas dari ketinggian.
Aku bisa melihat raut wajah Siska yang begitu marah, tetapi ia tahan. Sambil tersenyum menatap suamiku yang sangat aku rindukan, aku menyapa Siska juga, sekedar basa basi tentunya. Jika Siska bisa bermain taktik, aku juga. Namun, bukan untuk hal jahat, aku mau suamiku tau jika di sini aku yang pantas ia pertahankan. Farid mulai keringat dingin, ia panik karena ditatap tak ramah oleh keluarga lainnya. Kami semua berkumpul di ruang tamu. Kedua mertuaku duduk di sofa, aku di bawah beralaskan karpet, anak-anak diungsikan ke lantai atas lagi karena pembahasan sepertinya rumit. “Kenapa kamu harus tutupi, Rid?” tegur Tante Iin, sejak awal ia yang terlihat menyambutku dengan begitu terbuka. “Farid hanya tidak mau semua keluarga melihat buruk ke Nisa karena–”“Tapi yang bohong, kan, kamu. Om yakin kalau Nisa tau kamu sudah menikahi Siska juga nggak akan mau didekati kamu. Kamu yang salah dan patut disalahkan.” Om Asep menegur marah suamiku. Aku hanya bisa diam sembari sesekali menghela napa
Peran istri itu seperti apa?Aku berpikir beberapa waktu, mencoba menelaah apakah aku salah selama ini menjadi istri. Baik saat bersama Farid atau saat ini bersama Ilham.Pandanganku lurus ke arah halaman depan rumah kami. Terlihat juga sinar matahari pagi begitu indah saat memberikan vitamin bagi tanaman di taman kecil yang kumiliki.Menjadi istri banyak sekali yang harus dipelajari bahkan seumur hidup. Jangan merasa menjadi yang paling tau tentang pasangan yang sudah dinikahi. Nyatanya, sifat dan watak seseorang akan berubah seiring berjalannya waktu.Pekerjaan seorang istri pun banyak, apalagi istri yang juga pekerja di kantor. Sudah lelah memikirkan pekerjaan, saat pulang tetap harus memikirkan pekerjaan di rumah yang bayarannya pahala.Pekerjaan gratis yang kadang terasa miris jika mendapatkan pasangan hidup yang membuat jiwa terkikis.Aku menghela napas, saat mengingat semua perjalanan pernikahanku dengan Farid yang aku pikir indah ... nyatanya ada kebohongan yang membuatku hancu
Hai, maaf lama nggak update. ______ Jodoh, rezeki, bahkan maut, semua Allah yang atur. Manusia hanya bisa berharap dan berdoa supaya semua hal itu baik-baik saja. Aku merenungi masalah rumah tangga kami yang tak tau juntrungannya seperti apa. Rasa cemburu Ilham terhadap sikap mantan suamiku membuatnya hilang akal sehingga mengabaikanku dalam keadaan hamil. Farid sendiri sikapnya menunjukkan jika ia mampu berubah menjadi seseorang yang baru dan baik. Ia mau memperbaiki hubungan kami karena dua anak kandungnya yang sudah gadis pasti ingin melihat orang tuanya akur kembali. Tetapi, ada Ilham yang kini bersamaku walau nyatanya ia terus diam bahkan saat aku memintanya mengajukan gugatan cerai. Hah, aku lelah dengan semua drama yang terjadi. Berada di antara dua lelaki yang mudah meremehkan satu masalah disaat aku terus menata hati dan hidup, rasanya aku memilih hidup sendirian saja. Pikiranku buntu, ditambah memikirkan kondisi bayiku yang masih di NICU. Berapa biaya yang akan habis
Aku membuka mata, terlihat senyuman Ilham menatap ke arahku. Kupandangi sekeliling, tak ada siapa-siapa lagi selain kami. "Nis," sapanya lembut. Aku hanya bisa diam, tubuhku tak bisa digerakan, begitu kaku. Bersuara pun aku tidak bisa. "Anak kita sehat, laki-laki." Ia melanjutkan bicara. "Maaf, aku harus bawa dia menjauh dari kamu. Setelah ini aku akan lepaskan kamu dan kamu bisa kembali bersama Farid."Tidak, tidak bisa. Apa-apaan Ilham. Aku meronta, berusaha bergerak juga bersuara saat ia menggendong bayiku yang diberikan dokter. Mulutku seperti terbungkam, hanya erangan tertahan yang aku rasakan. Suasana berubah sedetik kemudian, gelap, aku seperti berada di goa yang tak ada cahaya sama sekali. Aku sadar aku tidak lagi berada di atas ranjang rumah sakit, berlari kencang menjadi keputusanku tapi lagi-lagi arah mana yang kutuju sama sekali aku tidak tau. "Ya Allah ini di mana," rintihku karena merasa lelah setelah lama mencari jalan. "Anisa, kemari," suara itu terdengar. Ada cah
Kami semua tiba di tanah air, aku duduk di kursi roda namun bukan Ilham yang mendorongnya melainkan teman lainnya sesama perempuan. Ilham dan aku terus perang dingin, sudah cukup lama jika dihitung. Dari kantor, Ustadzah Tyas kirim mobil untuk menjemput kami lalu diantar hingga sampai di rumah. Masih terus diam. Saat ditanya beberapa teman dan jamaah, aku beralasan sedang tidak enak badan. Saat tiba di rumah, bibi membantu membawa koper pakaian juga oleh-oleh ala kadarnya karena tak bisa belanja banyak untuk anak-anak. Ilham memanggilku, mengajak duduk di kamar tapi aku enggan. Aku memilih tidur karena kami tiba sudah sore hari saat di bandara. Baru saka hendak terlelap, ranjang bergerak karena Ilham ikut merebahkan diri. "Farid masih berharap sama kamu." Tak ku respon ucapannya, tak penting. Kupejamkan mata tetapi terdengar ia bicara lagi. "Farid bilang, dia seharusnya nggak bohong sama kamu, Nis. Aku tau dia menyesal setelah semua yang terjadi. Sebagai laki-laki yang masuk dia
Aku dan Ilham tak saling bicara, ia terus diam dengan pikiran yang mencurigai aku dan Farid diam-diam masih berkomunikasi. Bujuk rayu bahkan aku selalu mengajaknya membahas karena tak baik berlarut-larut menyimpan masalah namun sepertinya Ilham keras hati hingga menutup telinga untuk mendengar penjelasanku. Di depan orang kami terlihat baik-baik saja walau Ilham lebih sering menjauh dengan alasan mengawasi peserta umrah, aku tak mau mempersoalkan karena malu takut nantinya menjadi perhatian semua orang. "Ham, mau ikut beli oleh-oleh atau makanan buat dibawa pulang? Rombongan udah mau berangkat," kataku sambil duduk di tepi ranjang saat Ilham tiduran memunggungiku. Sedih rasanya, mengapa ia menjadi begini, menjadi keras kepala. Masih saja ia diam, entah tidur atau pura-pura tidur. "Aku izin ikut, ya. Mau beli oleh-oleh buat anak-anak," lanjutku kemudian beranjak untuk membawa tas selempang milikku. Baru saja hendak membuka pintu kamar hotel, Ilham bersuara. "Ada Farid, kan? Sama di
Aku heran dengan sikap Ilham sekarang, hingga tiba di Mekkah ia lebih sering mendiamiku walau perhatiannya tak luntur. Hanya saja aku merasa kikuk sendiri. Kami akan melakukan ibadah pertama bersama para rombongan termasuk Farid dan kedua orang tuanya, aku tetap duduk di kursi roda. Selesai ibadah, kami makan malam di hotel, aku membantu memastikan makanan untuk jamaah kami tidak kekurangan dan sesuai rencana. Sengaja aku memilih menghindar suamiku supaya tak berlarut over thinking. Dengan percakapan menggunakan bahasa inggris aku berkomunikasi dengan para petugas hotel. Makanan siap, aku mengarahkan para jamaah untuk mulai mengambil makanan. "Nisa, laki-laki atau perempuan?" tanya mantan ibu mertuaku. "Kata dokter laki-laki, Bu," jawabku seraya tersenyum. Ibu mengangguk. "Selamat ya, sayang. Ibu senang, Bapak juga. Dari semalam bahas kamu, mau belikan hadiah untuk anak kamu nanti." "Jangan repot-repot, Bu. Ibu dan Bapak kok bisa ikut rombongan kami, bukannya tinggal di luar ko
Bekerja bersama suami dalam lingkup yang sama juga menjadi hal baru bagiku. Ustadzah Tyas memudahkan semuanya. Ilham bekerja sebagai pengatur jadwal keberangkatan jamaah umrah dan juga haji, ia yang koordinasi dengan banyak pihak juga bersama timnya membuat rincian kegiatan supaya jamaah merasa nyaman. Kami berangkat dan pulang kerja bersama, bahkan makan siang juga tetap aku siapkan di pantry kantor untuk kami makan. Itu kalau Ilham tidak keluar kantor untuk urusan perijinan dan lain-lainnya. "Assalamualaikum, Nis," sapa ustadzah Tyas. "Waalaikumsalam, Ustadzah." Aku beranjak, ia menahanku berjalan mendekat kearahnya dengan gerakan tangan, memintaku duduk saja. "Nisa, keberangkatan jamaah umrah dua minggu lagi, apa bisa Ilham ikut ke sana temani suamiku sebagai ketua rombongannya?" Aku tersenyum senang seraya mengangguk kepala. "Alhamdulillah. Sama satu lagi, apa aku bisa minta tolong kamu atur seragam karyawan kita? Kayaknya harus semakin profesional, Nis. Kamu tau soal gaya p
Air mata Mila turun perlahan, secepat kilat ia hapus dengan punggung tangannya. Ia tertawa miris, "kenapa cinta sesulit ini. Aku berhak mencintai seseorang, bukan?"Masih saya keras kepala. Aku tersenyum masam, "benar. Tetapi bukan dengan suami orang. Apa kamu tidak punya harga diri." Sengaja aku bicara seperti itu, sudah kepalang emosi. Ilham menghela napas panjang, lalu tersenyum. "Jika begini. Sudah jelas saya aka resign dari perusahaan. Nisa," panggilnya. Aku menoleh. "Temani aku ke kantor, aku mau resign hari ini juga. Tidak masalah aku harus rugi tunjangan apapun. Ini salah dan aku tidak mau mengorbankan perasaanmu dan rumah tangga kita." Ilham beranjak, mengulurkan tangan ke arahku yang langsung kusambut dengan meraihnya. "Percakapan kita sudah saya rekam, Mila. Dan saya akan laporkan ke Papamu. Perusahaan tidak akan menahan saya. Permisi." Kami pun pergi, Ilham terus menggandeng tanganku berjalan keluar dari sana hingga tiba di mobil. Saat kami sudah sama-sama duduk, ia
Kuputuskan menyusul ke Bandung tepat di hari jumat. Pukul tiga aku sudah berangkat ke stasiun kereta diantar sopir juga bibi yang kupaksa merahasiakan kepergianku.Setelah bertanya sana sini, aku bisa tau jika dari stasiun bisa naik ojek online atau taksi resmi maupun taksi online menuju ke kantor cabang tempat Ilham bekerja.Dengan perasaan was-was aku pergi ke sana hanya dengan membawa tas kecil tanpa bawa pakaian ganti. Memang tak niat menginap, hanya ingin membuktikan sesuatu.Ilham sama sekali tak menghubungiku, benar-benar ada yang tidak beres dengannya.Aku berdoa ini bukan masalah besar dan bisa segera kuselesaikan.Akhirnya aku tiba di kota Bandung. Kupaksakan sarapan di sana walau hanya makan sepotong roti dan minum kopi. Kantor tempat suamiku bekerja ada di seberang kedai kopi yang aku sambangi. Suasana perkantoran terasa kental, lalu aku melihat mobil dinas dengan nama perusahaan masuk ke parkiran.Segera aku beranjak, berjalan sedikit cepat walau kakiku masih suka linu, m