Kering sudah air mata kami, Farid mengajakku istirahat. Benar-benar tidur dengan ia yang terus memelukku. Rencana tinggal rencana, apa daya jika nyatanya Farid lebih memilih istri pertamanya. Inilah ruginya menjadi yang kedua walaupun keluarga lelaki yang meminang lebih sayang denganku. Sebelum tidur, kami membahas beberapa hal penting. Farid berkata jika asuransi pendidikan anak-anak sudah aman hingga Nazwa kuliah dan Arin SMA, ia juga bilang jika KPR rumah sudah hampir lunas, karena kemarin sempat mendapat proyek audit perusahaan besar dan fee yang dibayarkan untuknya cukup untuk mempercepat cicilan rumah. “Siska tidak meminta uangmu, Rid?” “ Tidak, dia punya uang sendiri.” “Kamu kenapa memilih dia, bukannya kamu bilang lebih mencintaiku?” Farid mengusap punggungku, kami bicara sambil merebahkan tubuh saling berhadapan di atas ranjang. “Dia hamil dan itu yang aku inginkan sejak dulu. Aku memang tidak bisa tegas menjadi laki-laki, aku akui aku bodoh dan salah.” “Bagaimanapun, di
Aku kembali ke Farid dan anak-anak, mereka sedang mengantre di kasir membayar belanjaan. “Hai,” sapaku sumringah. Tak sungkan aku memeluk suamiku dari belakang, kemesraan kami terlihat seperti berlebihan karena beberapa orang melihat langsung ke arah kami,tapi ya sudah, aku biarkan. Aku hanya ingin memeluk Farid saat itu juga, menyalurkan perasaan seolah berkata ‘Lupakan masa lalumu dengan siska dan apapun kesalahan yang kalian perbuat. Tinggalkan dia, Farid’, andai bisa aku ucapkan secara langsung, ia pasti akan paham jika aku ikhlas menerima masa lalunya. Kami pulang sudah larut malam, Farid mengajak kami jalan-jalan juga, keliling Jakarta yang membuat anak-anak begitu semakin senang. Lampu-lampu gedung bertingkat, Monas yang menyala terang, membuat aku ikut menebar senyuman yang membuat Farid juga tampak lepas tertawa bersamaku saat kami berbincang tentang Nazwa yang tumbuh semakin cantik. Sempat juga kami membeli es krim legendaris yang ada tak jauh dari masjid istiqlal. Tangank
Selesai membersihkan area masjid, aku dan Farid pulang kembali ke rumah dengan berjalan kaki. Wajahnya masih tampak menunjukkan tak suka dengan Ilham, apalagi setelah kalimat yang diucapkan tadi. “Kamu kenapa?” tanyaku pura-pura tak tau. “Tidak apa-apa, Nis.” Walaupun menjawab, tapi aku tau ia tak baik-baik saja. Kami bertemu ustadzah Tyas dan Ilham yang baru tiba di depan rumahnya. Ustadzah menyapa kami, aku tersenyum sedangkan Farid kulihat ia hanya mengangguk sekali lalu memalingkan wajah. “Farid terima kasih, ya, sudah hadir dan menjadi donatur juga,” tutur ustadzah. “Sama-sama Ustadzah,” jawab Farid lalu merangkul pundakku. Aku menunduk, menjaga pandanganku–tentu saja. Saat berganti baju, Farid mendesah lelah dengan pandangan ke arahku yang mengartikan lain. Aku tau hatinya tak tenang. “Aku rasa Ilham suka sama kamu, Nis,” sungutnya. Tatapan mata suamiku terlihat yakin dengan ucapannya. Aku tersenyum tipis. “Aku serius,” lanjutnya. “Jangan menuduh, tidak ada bukti, k
Begitu sakit hatinya aku, menjadikan rasa yang selama ini aku miliki ke Farid menjadi gamang, bahkan aku harus meraba-raba apakah ia setulus aku atau ia hanya mencari keuntungan dariku karena sudah memberikannya anak? Suamiku pulang, dengan tergesa masuk ke dalam rumah. Ia melihatku sedang merapikan beberapa pakaian milikku dan anak-anak yang kumasukan ke dalam satu tas koper besar. “Nisa, kita bicara dahulu!” bentaknya. “Tidak perlu. Aku sudah bilang ke Mama dan Papa akan menggugat kamu!” Suara teriakanku membuat anak-anak keluar kamar, mereka melirik dingin ke papanya lalu membantuku memasukan baju ke dalam koper. “Kamu mau kemana! Kenapa bawa anak-anak!” Marah, itu yang terlihat dari Farid. Anak-anak keluar dari kamarku, mereka membawa bantal dari dalam kamar mereka ke mobil di garasi. “Nisa, jawab!” bentak Farid kencang. Aku yakin tetangga depan rumah bahkan kanan dan kiri pasti mendengar. Aku hanya bisa menatapnya dengan amarah tertahan, dengan cepat menyeret koper, tas ransel
Tidak ada yang bisa atau mampu mengubah bahkan melawan takdir. Tanpa perasaan ragu sedikitpun, kini nasib rumah tanggaku tiba dititik dengan akhir yang tidak pernah kami harapkan sebelumnya. Farid pasrah dengan ketegasanku, ia duduk dengan memakai kemeja putih celana bahan hitam, sedangkan aku gamis dan hijab warna hitam. Di belakangku, duduk Kak Jannah dan suaminya, juga kedua mertuaku. Sedangkan Farid, ia hanya seorang diri. Bahkan orang tua kandungnya marah dengan sikap anaknya. Ketukan palu hakim mengakhiri janji suci pernikahan kami selama belasan tahun. Tidak ada air mata dariku. Saat kami beranjak untuk meninggalkan ruang sidang dan berpapasan, aku hanya menatap dengan raut wajah datar. “Nisa,” panggilnya lembut. Aku menoleh lagi, mau tak mau beradu tatap dengannya. “Maaf,” ucapnya. Aku mengangguk lalu berjalan keluar dari dalam ruang sidang. Mama dan papa memelukku erat setelah kami berkumpul di parkiran mobil. “Nisa boleh ya, sering main ke rumah Mama Papa,” kataku sedih.
"Ada apa dengan Ilham, Ust?" Rasa penasaranku muncul. Ustadzah Tyas terlihat panik, setelah aku cecar akhirnya ia bilang jika sebenarnya tidak ingin menyampaikan ke Farid kalau aku hamil. Namun, saking kesalnya melihat lelaki itu tadi, ustadzah Tyas langsung membeberkan."Maafkan aku, Nis. Seharusnya Ilham yang bilang langsung, tapi kami ... maksudku aku, suamiku dan Umminya Ilham, kami tau kondisimu dan membahas bersama."Duh, ustadzah maksudnya apa? Jangan bikin aku bingung. Keningku berkerut, berpikir keras."Menikahlah dengan Ilham setelah masaidahmu selesai, Nis. Tidak baik kamu hamil tanpa suami. Ilham yang meminta itu kepada kami. Umminya Ilham datang dari kampung dan setuju. Kami tidak melihat siapa kamu atau masa lalumu dengan Farid, tetapi kami tau jika kondisimu bisa menimbulkan banyak fitnah."Astaghfirullah! Aku membekap mulutku dengan tangan. Mengapa jadi begini? Aku sanggup menjalani kehamilanku sendiri, ada anak-anak yang menemani, Farid juga masih bertanggung jawab s
Sungguh aku terkejut dengan pesan singkat yang Ilham kirim. Tanganku masih memegang ponsel yang layarnya menyala menunjukkan isi pesannya.Kupijit pelipisku, rasanya pening. Ilham, jika ia memang menaruh rasa kepadaku, ia pasti melihat perceraianku sebagai jawaban keinginannya.Aku memutuskan tidak membalas, mengabaikan kemudian memilih tidur.Keesokan paginya saat aku selesai mengantar anak-anak sekolah. Seorang wanita dengan memakai gamis warna hijau tua dan hijab senada berdiri di garasi rumahku.Segera setelah memarkirkan mobil, aku turun dengan menatap bingung ke arahnya."Assalamualaikum, Nisa," sapanya lembut."Waalaikumsalam, maaf dengan siapa, ya?" balasku lembut. "Saya Khadijah, Umminya Ilham."Deg!Seketika aku terkejut, jantungku bahkan cepat memompa darah."Oh, iya, Ummi, saya Nisa," kataku lagi seraya menyalim tangan lalu bercipika cipiki. "Mari masuk, Ummi," ajakku. Ummi mengangguk sekali lalu berjalan ke dalam rumah. Kami duduk di ruang tamu, teh hangat kubuatkan untu
"Ya Allah! Farid, berhenti!" Aku berteriak kencang, langsung menjauhkan dirinya dari Ilham. Kedua mata Farid memerah, napasnya tersengal berat. Ilham merapikan pakaiannya, tas belanja ditangan jatuh ke lantai garasi."Apa maksud anda?!" geram Ilham.Tetangga berdatangan, mengerubungi kami. Farid dipegangi suami tetanggaku sedangkan aku dirangkul para istri."Nisa ada apa ini?" tanya lembut salah satunya.Dengan berat hati terpaksa aku berkata yang tak mau kusampaikan."Mantan suami saya ini berulah. Dia yang mulai duluan serang Ilham, Bu. Boleh minta tolong usir dia dari rumah saya," kataku begitu berat di hati."Jadi ... benar kalian sudah cerai? Ya Allah, Farid ... Nisa ...," lirih tetangga depan rumahku percis bahkan ia memelukku erat. Kedua mataku terpejam, aku yakin setelah ini semua warga pasti menggosipkanku.***"Maaf karena tadi kamu jadi diserang Farid," lirihku pelan seraya menundukkan kepala. Ilham, aku dan anak-anak duduk di sofa ruang tamu. Aku tak mau sendirian saat ada
Peran istri itu seperti apa?Aku berpikir beberapa waktu, mencoba menelaah apakah aku salah selama ini menjadi istri. Baik saat bersama Farid atau saat ini bersama Ilham.Pandanganku lurus ke arah halaman depan rumah kami. Terlihat juga sinar matahari pagi begitu indah saat memberikan vitamin bagi tanaman di taman kecil yang kumiliki.Menjadi istri banyak sekali yang harus dipelajari bahkan seumur hidup. Jangan merasa menjadi yang paling tau tentang pasangan yang sudah dinikahi. Nyatanya, sifat dan watak seseorang akan berubah seiring berjalannya waktu.Pekerjaan seorang istri pun banyak, apalagi istri yang juga pekerja di kantor. Sudah lelah memikirkan pekerjaan, saat pulang tetap harus memikirkan pekerjaan di rumah yang bayarannya pahala.Pekerjaan gratis yang kadang terasa miris jika mendapatkan pasangan hidup yang membuat jiwa terkikis.Aku menghela napas, saat mengingat semua perjalanan pernikahanku dengan Farid yang aku pikir indah ... nyatanya ada kebohongan yang membuatku hancu
Hai, maaf lama nggak update. ______ Jodoh, rezeki, bahkan maut, semua Allah yang atur. Manusia hanya bisa berharap dan berdoa supaya semua hal itu baik-baik saja. Aku merenungi masalah rumah tangga kami yang tak tau juntrungannya seperti apa. Rasa cemburu Ilham terhadap sikap mantan suamiku membuatnya hilang akal sehingga mengabaikanku dalam keadaan hamil. Farid sendiri sikapnya menunjukkan jika ia mampu berubah menjadi seseorang yang baru dan baik. Ia mau memperbaiki hubungan kami karena dua anak kandungnya yang sudah gadis pasti ingin melihat orang tuanya akur kembali. Tetapi, ada Ilham yang kini bersamaku walau nyatanya ia terus diam bahkan saat aku memintanya mengajukan gugatan cerai. Hah, aku lelah dengan semua drama yang terjadi. Berada di antara dua lelaki yang mudah meremehkan satu masalah disaat aku terus menata hati dan hidup, rasanya aku memilih hidup sendirian saja. Pikiranku buntu, ditambah memikirkan kondisi bayiku yang masih di NICU. Berapa biaya yang akan habis
Aku membuka mata, terlihat senyuman Ilham menatap ke arahku. Kupandangi sekeliling, tak ada siapa-siapa lagi selain kami. "Nis," sapanya lembut. Aku hanya bisa diam, tubuhku tak bisa digerakan, begitu kaku. Bersuara pun aku tidak bisa. "Anak kita sehat, laki-laki." Ia melanjutkan bicara. "Maaf, aku harus bawa dia menjauh dari kamu. Setelah ini aku akan lepaskan kamu dan kamu bisa kembali bersama Farid."Tidak, tidak bisa. Apa-apaan Ilham. Aku meronta, berusaha bergerak juga bersuara saat ia menggendong bayiku yang diberikan dokter. Mulutku seperti terbungkam, hanya erangan tertahan yang aku rasakan. Suasana berubah sedetik kemudian, gelap, aku seperti berada di goa yang tak ada cahaya sama sekali. Aku sadar aku tidak lagi berada di atas ranjang rumah sakit, berlari kencang menjadi keputusanku tapi lagi-lagi arah mana yang kutuju sama sekali aku tidak tau. "Ya Allah ini di mana," rintihku karena merasa lelah setelah lama mencari jalan. "Anisa, kemari," suara itu terdengar. Ada cah
Kami semua tiba di tanah air, aku duduk di kursi roda namun bukan Ilham yang mendorongnya melainkan teman lainnya sesama perempuan. Ilham dan aku terus perang dingin, sudah cukup lama jika dihitung. Dari kantor, Ustadzah Tyas kirim mobil untuk menjemput kami lalu diantar hingga sampai di rumah. Masih terus diam. Saat ditanya beberapa teman dan jamaah, aku beralasan sedang tidak enak badan. Saat tiba di rumah, bibi membantu membawa koper pakaian juga oleh-oleh ala kadarnya karena tak bisa belanja banyak untuk anak-anak. Ilham memanggilku, mengajak duduk di kamar tapi aku enggan. Aku memilih tidur karena kami tiba sudah sore hari saat di bandara. Baru saka hendak terlelap, ranjang bergerak karena Ilham ikut merebahkan diri. "Farid masih berharap sama kamu." Tak ku respon ucapannya, tak penting. Kupejamkan mata tetapi terdengar ia bicara lagi. "Farid bilang, dia seharusnya nggak bohong sama kamu, Nis. Aku tau dia menyesal setelah semua yang terjadi. Sebagai laki-laki yang masuk dia
Aku dan Ilham tak saling bicara, ia terus diam dengan pikiran yang mencurigai aku dan Farid diam-diam masih berkomunikasi. Bujuk rayu bahkan aku selalu mengajaknya membahas karena tak baik berlarut-larut menyimpan masalah namun sepertinya Ilham keras hati hingga menutup telinga untuk mendengar penjelasanku. Di depan orang kami terlihat baik-baik saja walau Ilham lebih sering menjauh dengan alasan mengawasi peserta umrah, aku tak mau mempersoalkan karena malu takut nantinya menjadi perhatian semua orang. "Ham, mau ikut beli oleh-oleh atau makanan buat dibawa pulang? Rombongan udah mau berangkat," kataku sambil duduk di tepi ranjang saat Ilham tiduran memunggungiku. Sedih rasanya, mengapa ia menjadi begini, menjadi keras kepala. Masih saja ia diam, entah tidur atau pura-pura tidur. "Aku izin ikut, ya. Mau beli oleh-oleh buat anak-anak," lanjutku kemudian beranjak untuk membawa tas selempang milikku. Baru saja hendak membuka pintu kamar hotel, Ilham bersuara. "Ada Farid, kan? Sama di
Aku heran dengan sikap Ilham sekarang, hingga tiba di Mekkah ia lebih sering mendiamiku walau perhatiannya tak luntur. Hanya saja aku merasa kikuk sendiri. Kami akan melakukan ibadah pertama bersama para rombongan termasuk Farid dan kedua orang tuanya, aku tetap duduk di kursi roda. Selesai ibadah, kami makan malam di hotel, aku membantu memastikan makanan untuk jamaah kami tidak kekurangan dan sesuai rencana. Sengaja aku memilih menghindar suamiku supaya tak berlarut over thinking. Dengan percakapan menggunakan bahasa inggris aku berkomunikasi dengan para petugas hotel. Makanan siap, aku mengarahkan para jamaah untuk mulai mengambil makanan. "Nisa, laki-laki atau perempuan?" tanya mantan ibu mertuaku. "Kata dokter laki-laki, Bu," jawabku seraya tersenyum. Ibu mengangguk. "Selamat ya, sayang. Ibu senang, Bapak juga. Dari semalam bahas kamu, mau belikan hadiah untuk anak kamu nanti." "Jangan repot-repot, Bu. Ibu dan Bapak kok bisa ikut rombongan kami, bukannya tinggal di luar ko
Bekerja bersama suami dalam lingkup yang sama juga menjadi hal baru bagiku. Ustadzah Tyas memudahkan semuanya. Ilham bekerja sebagai pengatur jadwal keberangkatan jamaah umrah dan juga haji, ia yang koordinasi dengan banyak pihak juga bersama timnya membuat rincian kegiatan supaya jamaah merasa nyaman. Kami berangkat dan pulang kerja bersama, bahkan makan siang juga tetap aku siapkan di pantry kantor untuk kami makan. Itu kalau Ilham tidak keluar kantor untuk urusan perijinan dan lain-lainnya. "Assalamualaikum, Nis," sapa ustadzah Tyas. "Waalaikumsalam, Ustadzah." Aku beranjak, ia menahanku berjalan mendekat kearahnya dengan gerakan tangan, memintaku duduk saja. "Nisa, keberangkatan jamaah umrah dua minggu lagi, apa bisa Ilham ikut ke sana temani suamiku sebagai ketua rombongannya?" Aku tersenyum senang seraya mengangguk kepala. "Alhamdulillah. Sama satu lagi, apa aku bisa minta tolong kamu atur seragam karyawan kita? Kayaknya harus semakin profesional, Nis. Kamu tau soal gaya p
Air mata Mila turun perlahan, secepat kilat ia hapus dengan punggung tangannya. Ia tertawa miris, "kenapa cinta sesulit ini. Aku berhak mencintai seseorang, bukan?"Masih saya keras kepala. Aku tersenyum masam, "benar. Tetapi bukan dengan suami orang. Apa kamu tidak punya harga diri." Sengaja aku bicara seperti itu, sudah kepalang emosi. Ilham menghela napas panjang, lalu tersenyum. "Jika begini. Sudah jelas saya aka resign dari perusahaan. Nisa," panggilnya. Aku menoleh. "Temani aku ke kantor, aku mau resign hari ini juga. Tidak masalah aku harus rugi tunjangan apapun. Ini salah dan aku tidak mau mengorbankan perasaanmu dan rumah tangga kita." Ilham beranjak, mengulurkan tangan ke arahku yang langsung kusambut dengan meraihnya. "Percakapan kita sudah saya rekam, Mila. Dan saya akan laporkan ke Papamu. Perusahaan tidak akan menahan saya. Permisi." Kami pun pergi, Ilham terus menggandeng tanganku berjalan keluar dari sana hingga tiba di mobil. Saat kami sudah sama-sama duduk, ia
Kuputuskan menyusul ke Bandung tepat di hari jumat. Pukul tiga aku sudah berangkat ke stasiun kereta diantar sopir juga bibi yang kupaksa merahasiakan kepergianku.Setelah bertanya sana sini, aku bisa tau jika dari stasiun bisa naik ojek online atau taksi resmi maupun taksi online menuju ke kantor cabang tempat Ilham bekerja.Dengan perasaan was-was aku pergi ke sana hanya dengan membawa tas kecil tanpa bawa pakaian ganti. Memang tak niat menginap, hanya ingin membuktikan sesuatu.Ilham sama sekali tak menghubungiku, benar-benar ada yang tidak beres dengannya.Aku berdoa ini bukan masalah besar dan bisa segera kuselesaikan.Akhirnya aku tiba di kota Bandung. Kupaksakan sarapan di sana walau hanya makan sepotong roti dan minum kopi. Kantor tempat suamiku bekerja ada di seberang kedai kopi yang aku sambangi. Suasana perkantoran terasa kental, lalu aku melihat mobil dinas dengan nama perusahaan masuk ke parkiran.Segera aku beranjak, berjalan sedikit cepat walau kakiku masih suka linu, m