Aku membuka mata, terlihat senyuman Ilham menatap ke arahku. Kupandangi sekeliling, tak ada siapa-siapa lagi selain kami. "Nis," sapanya lembut. Aku hanya bisa diam, tubuhku tak bisa digerakan, begitu kaku. Bersuara pun aku tidak bisa. "Anak kita sehat, laki-laki." Ia melanjutkan bicara. "Maaf, aku harus bawa dia menjauh dari kamu. Setelah ini aku akan lepaskan kamu dan kamu bisa kembali bersama Farid."Tidak, tidak bisa. Apa-apaan Ilham. Aku meronta, berusaha bergerak juga bersuara saat ia menggendong bayiku yang diberikan dokter. Mulutku seperti terbungkam, hanya erangan tertahan yang aku rasakan. Suasana berubah sedetik kemudian, gelap, aku seperti berada di goa yang tak ada cahaya sama sekali. Aku sadar aku tidak lagi berada di atas ranjang rumah sakit, berlari kencang menjadi keputusanku tapi lagi-lagi arah mana yang kutuju sama sekali aku tidak tau. "Ya Allah ini di mana," rintihku karena merasa lelah setelah lama mencari jalan. "Anisa, kemari," suara itu terdengar. Ada cah
Hai, maaf lama nggak update. ______ Jodoh, rezeki, bahkan maut, semua Allah yang atur. Manusia hanya bisa berharap dan berdoa supaya semua hal itu baik-baik saja. Aku merenungi masalah rumah tangga kami yang tak tau juntrungannya seperti apa. Rasa cemburu Ilham terhadap sikap mantan suamiku membuatnya hilang akal sehingga mengabaikanku dalam keadaan hamil. Farid sendiri sikapnya menunjukkan jika ia mampu berubah menjadi seseorang yang baru dan baik. Ia mau memperbaiki hubungan kami karena dua anak kandungnya yang sudah gadis pasti ingin melihat orang tuanya akur kembali. Tetapi, ada Ilham yang kini bersamaku walau nyatanya ia terus diam bahkan saat aku memintanya mengajukan gugatan cerai. Hah, aku lelah dengan semua drama yang terjadi. Berada di antara dua lelaki yang mudah meremehkan satu masalah disaat aku terus menata hati dan hidup, rasanya aku memilih hidup sendirian saja. Pikiranku buntu, ditambah memikirkan kondisi bayiku yang masih di NICU. Berapa biaya yang akan habis
Peran istri itu seperti apa?Aku berpikir beberapa waktu, mencoba menelaah apakah aku salah selama ini menjadi istri. Baik saat bersama Farid atau saat ini bersama Ilham.Pandanganku lurus ke arah halaman depan rumah kami. Terlihat juga sinar matahari pagi begitu indah saat memberikan vitamin bagi tanaman di taman kecil yang kumiliki.Menjadi istri banyak sekali yang harus dipelajari bahkan seumur hidup. Jangan merasa menjadi yang paling tau tentang pasangan yang sudah dinikahi. Nyatanya, sifat dan watak seseorang akan berubah seiring berjalannya waktu.Pekerjaan seorang istri pun banyak, apalagi istri yang juga pekerja di kantor. Sudah lelah memikirkan pekerjaan, saat pulang tetap harus memikirkan pekerjaan di rumah yang bayarannya pahala.Pekerjaan gratis yang kadang terasa miris jika mendapatkan pasangan hidup yang membuat jiwa terkikis.Aku menghela napas, saat mengingat semua perjalanan pernikahanku dengan Farid yang aku pikir indah ... nyatanya ada kebohongan yang membuatku hancu
12 tahun menikah dengan suamiku, rasanya luar biasa naik turun melebihi naik roller coaster. Bagaimana tidak, biasa bekerja dan harus urus rumah tangga, begitu jomplang dalam hidupku. Semua diubah, menata satu persatu supaya tepat pada tempatnya tidaklah mudah. Kenapa begini jadinya? Farid dan aku kenal tidak sengaja saat aku sedang bekerja sebagai SPG makanan di salah satu acara besar yang ada di Jakarta. Dia bersama teman-temannya menghampiri untuk membeli produk yang aku jual. Dia tampan, baik dan sopan. Siapa juga yang tidak tertarik dengannya. Sejak perkenalan itu, pendekatan kami semakin gencar, bahkan tak sampai satu tahun akhirnya Farid melamarku. Ya Allah, alhamdulillah akhirnya aku bisa memiliki suami yang baik juga pekerja keras. Ia bekerja di instasi pemerintah. Sudah karyawan tetap dan kami dikaruniai dua orang anak yang cantik. Nazwa dan Arinda, kedua anak kami seperti hadiah yang Allah berikan kepada kami. Namun, namanya berumah tangga, aku yakin tidak hanya aku y
Pintu rumahku di ketuk, setelah pindahan satu minggu lalu aku mulai kenalan dengan para tetangga. Rumah yang kami tempat tak besar, tapi cukup untuk keluarga kecil kami. "Waalaikumsalam, sebentar," kataku buru-buru memakai hijab instan yang selalu ada di gantungan khusus dekat pintu supaya mudah jika buru-buru harus aku gunakan. "Mbak Anisa, ya," kata wanita berparas cantik, kulit putih, dan memakai hijab warna coklat. "Iya, kataku."Ia menyodorkan kotak putih besar ke hadapanku. "Dari Mama, katanya menyambut tetangga baru.""Oh, iya, terima kasih. Rumahnya yang mana, ya?" Aku sebenarnya belum hapal betul. Apalagi repot pindahan dan atur ini itu, hanya baru bisa membagi makanan kotak selametan rumah baru. "Cat hijau itu, Mbak, B1.nomor 3," jawabnya lagi. "Oh, terima kasih sekali lagi, ya.""Iya, Mbak, pulang dulu, ya, Assalamualaikum," pamitnya. "Waalaikumsalam," balasku lagi kemudian menutup pintu. Karena rumahmu model tanpa pagar, jadilah siapa yang datang bisa mengetuk pintu
Tidak bisakah jika semua ini hanya candaan? Sengaja mengerjaiku? Namun, nyatanya ini kenyataan. Semenjak aku tau jika suamiku menjadikanku istri kedua, rasanya duniaku kacau balau. Aku ... yang begitu menaruh harapan akan rumah tangga kami, sikap santun Farid, nyatanya ia lakukan sebagai pelarian yang kala itu sedang bermasalah dengan istri pertamanya. Aku dibohongi, jelas pasti. Pernah aku ajukan cerai, walau masih secara verbal, tapi Farid menolak dengan alasan anak-anak dan ia juga mencintaiku. Apakah bisa satu hati terbagi? Farid bisa melakukannya? "Nazwa, bekalnya, Nak," kataku saat Nazwa siap berangkat sekolah. "Iya, Ma." Ia sibuk menyiapkan buku sekolah, setelah kulihat ia keluar kamar, Nazwa juga membawakan tas sekolah Arinda. "Ma, Kakak minggu ini terakhir naik jemputan?" "Iya, nanti Mama aja yang antar, ya," sahutku lagi. Arinda menyusul keluar kamar. Ia sudah memakai seragam sekolah lengkap. Alhamdulillah, kedua anakku begitu patuh dan tidak neko-neko. Bisa dibilang F
Farid pulang, anak-anak sedang mengerjakan tugas sekolah dengan dibantuku di meja makan. Karena hal itu kebiasaan kami, kadang anak-anak tidak fokus kalau mengerjakan PR di kamar mereka, alasannya 'ngantuk'. Padahal dari yang aku lihat ya anak-anak hanya ingin aku membantunya. "Kak, kamu katanya diminta ikut lomba matematika perwakilan sekolah, beneran?" Sengaja aku bersuara agak keras, supaya Farid yang sedang melepaskan sepatu di teras terdengar. "Assalamualaikum," sapanya. "Waalaikumsalam," jawab kami kompak seraya menoleh ke arah pintu ruang tamu rumah kecil kami, hanya dengan ukuran luas tanah 100m². "Kak Nazwa ikut lomba? Keren anak Papa," pujinya sambil berjalan ke dapur untuk cuci tangan. Setelah mengeringkan tangan, Farid mencium pucuk kepala anak-anak bergantian. Lalu mencium pipi kiriku lama, sangattt ... lama hingga kedua mataku terpeja karena justru merasa nyeri di hati. "Kakak masih mikir, Pa," kata Nazwa. "Kenapa masih mikir?" Farid memeluk bahuku dari belakang sa
Punggung tanganku basah karena derai air mata yang sejak tadi berulang kali kuhapus tapi tetap saja tidak berhenti. Di depanku, Farid hanya tertunduk saat kuceritakan tentang Siska yang tadi datang ke rumah, memberikan syarat untukku jika masih ingin menjalin rumah tangga dengan Farid. "Di sini, kenapa aku yang seolah salah karena sudah merebutmu? Padahal aku yang jelas ditipu olehmu, bukan"? Suaraku bergetar, begitu pelan bicara karena takut anak-anak terbangun dan dengar percakapan kami. “Mereka memang tidak tau dan aku takut jika tau, Siska jadi sasaran kemarahan keluarganya.” Terkejut, aku bahkan sampai memegang dadaku. Sakit terasa. Benar berarti Farid lebih mencintai Siska dari pada aku. “Kamu bisa lepaskan aku,” kataku berani seolah itu keputusan akhir. Farid menggeleng cepat, ia memelukku erat, begitu erat sampi degup jantungnya terasa berdetak cepat. Aku menangis dalam pelukannya lagi. “Aku tidak mau jadi pihak yang disalahkan." “Kamu tidak salah, Nisa, sama sekali tidak
Peran istri itu seperti apa?Aku berpikir beberapa waktu, mencoba menelaah apakah aku salah selama ini menjadi istri. Baik saat bersama Farid atau saat ini bersama Ilham.Pandanganku lurus ke arah halaman depan rumah kami. Terlihat juga sinar matahari pagi begitu indah saat memberikan vitamin bagi tanaman di taman kecil yang kumiliki.Menjadi istri banyak sekali yang harus dipelajari bahkan seumur hidup. Jangan merasa menjadi yang paling tau tentang pasangan yang sudah dinikahi. Nyatanya, sifat dan watak seseorang akan berubah seiring berjalannya waktu.Pekerjaan seorang istri pun banyak, apalagi istri yang juga pekerja di kantor. Sudah lelah memikirkan pekerjaan, saat pulang tetap harus memikirkan pekerjaan di rumah yang bayarannya pahala.Pekerjaan gratis yang kadang terasa miris jika mendapatkan pasangan hidup yang membuat jiwa terkikis.Aku menghela napas, saat mengingat semua perjalanan pernikahanku dengan Farid yang aku pikir indah ... nyatanya ada kebohongan yang membuatku hancu
Hai, maaf lama nggak update. ______ Jodoh, rezeki, bahkan maut, semua Allah yang atur. Manusia hanya bisa berharap dan berdoa supaya semua hal itu baik-baik saja. Aku merenungi masalah rumah tangga kami yang tak tau juntrungannya seperti apa. Rasa cemburu Ilham terhadap sikap mantan suamiku membuatnya hilang akal sehingga mengabaikanku dalam keadaan hamil. Farid sendiri sikapnya menunjukkan jika ia mampu berubah menjadi seseorang yang baru dan baik. Ia mau memperbaiki hubungan kami karena dua anak kandungnya yang sudah gadis pasti ingin melihat orang tuanya akur kembali. Tetapi, ada Ilham yang kini bersamaku walau nyatanya ia terus diam bahkan saat aku memintanya mengajukan gugatan cerai. Hah, aku lelah dengan semua drama yang terjadi. Berada di antara dua lelaki yang mudah meremehkan satu masalah disaat aku terus menata hati dan hidup, rasanya aku memilih hidup sendirian saja. Pikiranku buntu, ditambah memikirkan kondisi bayiku yang masih di NICU. Berapa biaya yang akan habis
Aku membuka mata, terlihat senyuman Ilham menatap ke arahku. Kupandangi sekeliling, tak ada siapa-siapa lagi selain kami. "Nis," sapanya lembut. Aku hanya bisa diam, tubuhku tak bisa digerakan, begitu kaku. Bersuara pun aku tidak bisa. "Anak kita sehat, laki-laki." Ia melanjutkan bicara. "Maaf, aku harus bawa dia menjauh dari kamu. Setelah ini aku akan lepaskan kamu dan kamu bisa kembali bersama Farid."Tidak, tidak bisa. Apa-apaan Ilham. Aku meronta, berusaha bergerak juga bersuara saat ia menggendong bayiku yang diberikan dokter. Mulutku seperti terbungkam, hanya erangan tertahan yang aku rasakan. Suasana berubah sedetik kemudian, gelap, aku seperti berada di goa yang tak ada cahaya sama sekali. Aku sadar aku tidak lagi berada di atas ranjang rumah sakit, berlari kencang menjadi keputusanku tapi lagi-lagi arah mana yang kutuju sama sekali aku tidak tau. "Ya Allah ini di mana," rintihku karena merasa lelah setelah lama mencari jalan. "Anisa, kemari," suara itu terdengar. Ada cah
Kami semua tiba di tanah air, aku duduk di kursi roda namun bukan Ilham yang mendorongnya melainkan teman lainnya sesama perempuan. Ilham dan aku terus perang dingin, sudah cukup lama jika dihitung. Dari kantor, Ustadzah Tyas kirim mobil untuk menjemput kami lalu diantar hingga sampai di rumah. Masih terus diam. Saat ditanya beberapa teman dan jamaah, aku beralasan sedang tidak enak badan. Saat tiba di rumah, bibi membantu membawa koper pakaian juga oleh-oleh ala kadarnya karena tak bisa belanja banyak untuk anak-anak. Ilham memanggilku, mengajak duduk di kamar tapi aku enggan. Aku memilih tidur karena kami tiba sudah sore hari saat di bandara. Baru saka hendak terlelap, ranjang bergerak karena Ilham ikut merebahkan diri. "Farid masih berharap sama kamu." Tak ku respon ucapannya, tak penting. Kupejamkan mata tetapi terdengar ia bicara lagi. "Farid bilang, dia seharusnya nggak bohong sama kamu, Nis. Aku tau dia menyesal setelah semua yang terjadi. Sebagai laki-laki yang masuk dia
Aku dan Ilham tak saling bicara, ia terus diam dengan pikiran yang mencurigai aku dan Farid diam-diam masih berkomunikasi. Bujuk rayu bahkan aku selalu mengajaknya membahas karena tak baik berlarut-larut menyimpan masalah namun sepertinya Ilham keras hati hingga menutup telinga untuk mendengar penjelasanku. Di depan orang kami terlihat baik-baik saja walau Ilham lebih sering menjauh dengan alasan mengawasi peserta umrah, aku tak mau mempersoalkan karena malu takut nantinya menjadi perhatian semua orang. "Ham, mau ikut beli oleh-oleh atau makanan buat dibawa pulang? Rombongan udah mau berangkat," kataku sambil duduk di tepi ranjang saat Ilham tiduran memunggungiku. Sedih rasanya, mengapa ia menjadi begini, menjadi keras kepala. Masih saja ia diam, entah tidur atau pura-pura tidur. "Aku izin ikut, ya. Mau beli oleh-oleh buat anak-anak," lanjutku kemudian beranjak untuk membawa tas selempang milikku. Baru saja hendak membuka pintu kamar hotel, Ilham bersuara. "Ada Farid, kan? Sama di
Aku heran dengan sikap Ilham sekarang, hingga tiba di Mekkah ia lebih sering mendiamiku walau perhatiannya tak luntur. Hanya saja aku merasa kikuk sendiri. Kami akan melakukan ibadah pertama bersama para rombongan termasuk Farid dan kedua orang tuanya, aku tetap duduk di kursi roda. Selesai ibadah, kami makan malam di hotel, aku membantu memastikan makanan untuk jamaah kami tidak kekurangan dan sesuai rencana. Sengaja aku memilih menghindar suamiku supaya tak berlarut over thinking. Dengan percakapan menggunakan bahasa inggris aku berkomunikasi dengan para petugas hotel. Makanan siap, aku mengarahkan para jamaah untuk mulai mengambil makanan. "Nisa, laki-laki atau perempuan?" tanya mantan ibu mertuaku. "Kata dokter laki-laki, Bu," jawabku seraya tersenyum. Ibu mengangguk. "Selamat ya, sayang. Ibu senang, Bapak juga. Dari semalam bahas kamu, mau belikan hadiah untuk anak kamu nanti." "Jangan repot-repot, Bu. Ibu dan Bapak kok bisa ikut rombongan kami, bukannya tinggal di luar ko
Bekerja bersama suami dalam lingkup yang sama juga menjadi hal baru bagiku. Ustadzah Tyas memudahkan semuanya. Ilham bekerja sebagai pengatur jadwal keberangkatan jamaah umrah dan juga haji, ia yang koordinasi dengan banyak pihak juga bersama timnya membuat rincian kegiatan supaya jamaah merasa nyaman. Kami berangkat dan pulang kerja bersama, bahkan makan siang juga tetap aku siapkan di pantry kantor untuk kami makan. Itu kalau Ilham tidak keluar kantor untuk urusan perijinan dan lain-lainnya. "Assalamualaikum, Nis," sapa ustadzah Tyas. "Waalaikumsalam, Ustadzah." Aku beranjak, ia menahanku berjalan mendekat kearahnya dengan gerakan tangan, memintaku duduk saja. "Nisa, keberangkatan jamaah umrah dua minggu lagi, apa bisa Ilham ikut ke sana temani suamiku sebagai ketua rombongannya?" Aku tersenyum senang seraya mengangguk kepala. "Alhamdulillah. Sama satu lagi, apa aku bisa minta tolong kamu atur seragam karyawan kita? Kayaknya harus semakin profesional, Nis. Kamu tau soal gaya p
Air mata Mila turun perlahan, secepat kilat ia hapus dengan punggung tangannya. Ia tertawa miris, "kenapa cinta sesulit ini. Aku berhak mencintai seseorang, bukan?"Masih saya keras kepala. Aku tersenyum masam, "benar. Tetapi bukan dengan suami orang. Apa kamu tidak punya harga diri." Sengaja aku bicara seperti itu, sudah kepalang emosi. Ilham menghela napas panjang, lalu tersenyum. "Jika begini. Sudah jelas saya aka resign dari perusahaan. Nisa," panggilnya. Aku menoleh. "Temani aku ke kantor, aku mau resign hari ini juga. Tidak masalah aku harus rugi tunjangan apapun. Ini salah dan aku tidak mau mengorbankan perasaanmu dan rumah tangga kita." Ilham beranjak, mengulurkan tangan ke arahku yang langsung kusambut dengan meraihnya. "Percakapan kita sudah saya rekam, Mila. Dan saya akan laporkan ke Papamu. Perusahaan tidak akan menahan saya. Permisi." Kami pun pergi, Ilham terus menggandeng tanganku berjalan keluar dari sana hingga tiba di mobil. Saat kami sudah sama-sama duduk, ia
Kuputuskan menyusul ke Bandung tepat di hari jumat. Pukul tiga aku sudah berangkat ke stasiun kereta diantar sopir juga bibi yang kupaksa merahasiakan kepergianku.Setelah bertanya sana sini, aku bisa tau jika dari stasiun bisa naik ojek online atau taksi resmi maupun taksi online menuju ke kantor cabang tempat Ilham bekerja.Dengan perasaan was-was aku pergi ke sana hanya dengan membawa tas kecil tanpa bawa pakaian ganti. Memang tak niat menginap, hanya ingin membuktikan sesuatu.Ilham sama sekali tak menghubungiku, benar-benar ada yang tidak beres dengannya.Aku berdoa ini bukan masalah besar dan bisa segera kuselesaikan.Akhirnya aku tiba di kota Bandung. Kupaksakan sarapan di sana walau hanya makan sepotong roti dan minum kopi. Kantor tempat suamiku bekerja ada di seberang kedai kopi yang aku sambangi. Suasana perkantoran terasa kental, lalu aku melihat mobil dinas dengan nama perusahaan masuk ke parkiran.Segera aku beranjak, berjalan sedikit cepat walau kakiku masih suka linu, m