Punggung tanganku basah karena derai air mata yang sejak tadi berulang kali kuhapus tapi tetap saja tidak berhenti. Di depanku, Farid hanya tertunduk saat kuceritakan tentang Siska yang tadi datang ke rumah, memberikan syarat untukku jika masih ingin menjalin rumah tangga dengan Farid.
"Di sini, kenapa aku yang seolah salah karena sudah merebutmu? Padahal aku yang jelas ditipu olehmu, bukan"? Suaraku bergetar, begitu pelan bicara karena takut anak-anak terbangun dan dengar percakapan kami.
“Mereka memang tidak tau dan aku takut jika tau, Siska jadi sasaran kemarahan keluarganya.”
Terkejut, aku bahkan sampai memegang dadaku. Sakit terasa. Benar berarti Farid lebih mencintai Siska dari pada aku.
“Kamu bisa lepaskan aku,” kataku berani seolah itu keputusan akhir. Farid menggeleng cepat, ia memelukku erat, begitu erat sampi degup jantungnya terasa berdetak cepat. Aku menangis dalam pelukannya lagi. “Aku tidak mau jadi pihak yang disalahkan."
“Kamu tidak salah, Nisa, sama sekali tidak. Di sini aku yang memang salah. Seharusnya aku tidak menimbang perasaan siapapun, aku hanya berusaha tidak menyakiti kalian, tetapi nyatanya ada hati yang dirugikan. Terutama kamu, Nisa.”
Aku semakin sesenggukan, kupeluk erat pingga suamiku yang begitu aku cinta. Ya Allah, berat sekali hati ini. Kuatkan hambamu ini menjadi istri kedua dari suami yang mencoba adil. Semoga buah kesabaranku menghasilkan kebahagiaan bagi kami semua.
***
“Aku gak bisa protes apapun. Siska berhak miliki Farid juga,” kataku pada ustadzah yang menjadi guru serta penasihatku. Kala itu aku duduk di karpet masjid setelah acara pengajian mingguan.
“Kamu harus bisa tegas, Nisa, bagaimana juga Farid salah karena berbohong menyembunyikan status pernikahannya dengan Siska dan sekarang kamu yang kena getahnya. Kamu bisa tuntut Farid ke jalur hukum juga.”
Aku menggeleng, “aku gak mau, ustadzah. Dia suami yang aku cinta dan juga ayah dari kedua putriku,” kataku lirih. Aku mendengar hela napas panjang ustadzah, lalu ia menggenggam tanganku, seketika kepalaku terangkat menatapnya yang memakai cadar warna hitam.
“Nisa, begini. Aku tidak mau menggurui atau memberi nasehat yang memang kamu tidak mau lakukan. Tetapi, aku hanya memberi saran, karena kamu juga punya hak bahagia. Jadi, begini, Nisa … kamu, boleh meminta hak kepada Farid untuk pulang ke rumahmu juga, untuk bertemu denganmu dan kedua anak-anak juga. Kalau pun Siska melarang, itu akan menjadi urusan Farid. Di situ akan terlihat apakah suamimu bisa berlaku adil dan bijak atau tidak. Jika tidak, kamu boleh protes karena Farid tidak bisa adil kepada kalian berdua. Jangan memendam apa yang kamu rasakan, Nisa, kamu posisinya benar.”
Aku menangis, hah … benar sekali ucapannya. Apakah aku bisa melepaskan suamiku jika memang aku merasakan ketidak adilan dirinya dalam berbagi waktu?
“Tidak mudah poligami. Maka itu, seorang lelaki yang mau melakukannya harus dipikirkan dengan sebaik mungkin karena banyak sekali yang harus dibagi adil.” Aku mengangguk, kembali membenarkan ucapan ustadzah. Kututup wajah dengan kedua telapak tangan, tumpah air mataku, sesak napasku. Ustadzah memelukku erat. “Ceritakan kegundahanmu ini ke Allah ya, Nis, rajinkan tahajudmu, istikharahmu, lalu bahas dengan anak-anak karena sudah besar.” Pelukan terlepas. Aku begitu sesenggukan.
“Ini bukan pernikahan gagal karena masalah ketidak cocokan kalian, tapi lebih karena kamu tidak nyaman diperlakukan tidak adil. Semoga kamu bisa terus sabar, ikhlas dan mendapat keputusan baik untuk rumah tanggamu, ya. Saya doakan yang terbaik untuk rumah tangga kalian.”
Kami berjalan keluar dari masjid bersama-sama. Tiba dipelataran masjid, aku melihat satu mobil terparkir, lalu seorang pria dengan pakaian koko rapi dengan kain sarung dan peci hitam berjalan setelah keluar dari mobilnya. Segera kujaga pandangan dengan menundukkan kepala, tetapi langkah kaki ustadzah terhenti.
“Assalamualaikum, Ilham, kapan pulang dari luar kota?”
“Waalaikumsalam, Kak. Baru semalam. Kak Tyas apa kabar?”
“Baik. Abi tanyain kamu, mampir ke rumah kalau bisa, ya.”
“Iya, Kak. Ilham ke dalam dulum.”
“Oh, iya, janjian sama Ustadz Ridwan, ya?”
“Iya.”
“Yaudah, salam untuk Abi dan Umma kamu, ya. Maaf Kakak belum sempat main ke rumah.”
“Iya, Insyaa Allah disampaikan. Kak Tyas sibuk ceramah sama ngajar Ta'lim, 'kan. Salam untuk keluarga semua ya, Kak, Assalamualaiku.”
“Waalaikumsalam,” balas ustadzah. Aku masih menunduk hingga ustadzah menyenggol bahuku. “Ilham sudah pergi jauh,” bisiknya.
Aku mengangkat kepala, tersenyum tipis. Kami lanjut berjalan kaki, karena kebetulan rumah kami berdekatan hanya beda tiga rumah ke samping kiri.
“Ilham itu pemalu, jarang interaksi sama orang diluar rumah atau keluarga. Apalagi main kelayaban. Kamu kalau belum menikah, saya jodohin sama adik sepupu saya itu, Nis. Usianya lebih tua setahun dari kamu, kerja di perusahaan sawit yang ada di sumatera, tapi sekarang dipindah ke Jakarta karena dia jago keuangan.”
“Ustadzah kok gitu bilangnya. Ustadzah kan tau aku cinta sama Farid.”
“Iya, tetapi kadang karena terlalu cinta jadinya kamu tidak bisa berpikir mana cinta karena Allah atau karena nafsu dan takut omongan tetangga juga keluarga.”
Astaghfirullah, mengapa ucapan ustadzah jujur sekali. Kini aku hanya bisa diam. Bicara dengan beliau yang paham hukum, hak serta kewajiban suami istri dalam islam, membuatku mendapatkan banyak keterkejutan yang disampaikan oleh beliau dengan cara yang tidak tegas, seringnya bercanda atau menyindir halus sehingga begitu mengena dihati dan pikiranku.
“Ustadzah, sebelum kita berpisah karena ke rumah masing-masing, ada satu pertanyaan yang dari tadi aku pikirkan,” ucapku saat kami tiba di depan pagar rumahnya.
“Iya, mau tanya apa, Nis?” Ia memutar tubuh berdiri menghadapku.
“Untuk sikapku ke Siska, apa boleh aku bilang tegas ke dia jika Farid adalah suamiku juga dan aku berhak memintanya ada bersama aku dan anak-anak?”
“Boleh. Tetapi dengan yabayun, bicara dengan baik, jika dia keras hati juga sikapnya tidak mengenakan, kamu sabar tapi tetap mempertahankan permintaanmu. Saat bicara, Farid harus ada, kalian bertemu bertiga, ya.”
Ah, sama sekali aku tidak terpikir untuk kami bertemu bertiga, memang harusnya dilakukan sejak lama bukan malah Farid menyembunyikanku. Saran ustadzah Tyas memberiku secercah harapan tentang rumah tanggaku supaya berjalan baik. Warga di sekitar rumah tidak ada yang tau statusku kecuali ustdazah Tyas sehingga kondisi emosi juga batinku dan anak-anak masih terjaga baik.
Saat aku tiba di depan rumah, terlihat paket tergeletak diatas kursi teras. Bentuk paket itu seperti dokumen, ditujukan kepadaku dengan pengirim atas nama Siska. Dengan cepat jemariku membuka isi amplop coklat itu, lembaran foto terdapat di dalamnya. Satu persatu kukeluarkan. Foto Farid dengan Siska, yang jika kulihat sejak mereka pacaran lalu menikah. Ada satu surat yang Siska kirimkan ke aku juga.
Amplop lama, tulisan tangan suamiku. Perlahan aku baca isi surat, tertulis bagaimana Farid memuja Siska dan begitu jelas terlihat ia mencintai wanita itu dnegan sangat besar. Perasaanku kembali nyeri, mendapati pria yang kucintai memiliki cinta yang besar kepada wanita lain walaupun itu istri sahnya. Melihat wajah berseri Farid ditiap lembar foto tersebut, rasa tak tegaku muncul kepada Siska, bagaimanapun juga ia perempuan yang pasti punya rasa cembruu, lalu bagaimana denganku, salahkah aku cemburu juga?
bersambung,
Guyuran hujan tak membuatku mengurungkan niat pergi ke toko bahan kue. Besok Arinda, putri keduaku berulang tahun ke sembilan. Sudah dari jauh hari kuniatkan membuat kue sendiri, ya ... walau bukan ahli baking kue, tapi gak ada salahnya mencoba. Kukibas air hujan yang sedikit membahasi jilbab dan bajuku dengan tangan sebelum masuk ke dalam toko. Mobil sudah terkunci, aku mendorong pintu toko bahan kue yang hampir sebesar minimarket 'maret-maret' itu. "Selamat sore," apa pelayan. "Sore, Mbak," balasku kemudian meraih keranjang belanja warna merah. Catatan bahan kue yang aku butuhkan sudah siap, sejak dari rumah aku catat dengan rinci jangan sampai ada yang terlewat. Satu persatu bahan kue aku masukan ke dalam keranjang, saat berdiri di depan rak aneka bahan pasta, aku mematung. Farid bersama Siska berdiri berjarak dariku dengan wajah berseri-seri. Astaghfirullahaladzim, batinku berucap. Ingin rasanya kaki ini mendekat, tapi tak sanggup melangkah. Farid tampak mesra merangkul Sisk
Tanganku berhenti menghias kue tart saat suara kedua mertuaku terdengar di teras depan rumah. Kuletakkan plastik berisi krim di atas piring, berjalan ke depan menemui mereka. “Waalaikumsalam, Ma, Pa,” balasku sambil membuka pintu ruang tamu. “Wangi kue. Kamu jadi bikin?” Mama mencium kedua pipiku bahkan kening, pun papa, ia bahkan memelukku erat. “Masuk, Ma, Pa,” ajakku. Mereka berjalan masuk, di kedua tangannya membawa tas belanja besar. “Arin mana?” bisik mama. “Lagi ke mini market sama Nazwa, Nisa suruh beli susu kotak. Mama Papa jadi nginep, ‘kan?” Aku membantu membawakan tas milik mama yang isinya baju, lalu aku letakkan di kamar anak-anak. “Ya, jadi, lah. Udah niat. Farid … pulang malam ini, ‘kan? Acara ulang tahun Arinda nanti sore jam empat, ‘kan?” Mama yang cerewet tapi baik, bertanya merepet. Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala sambil tersenyum. “Aki! Nini!” teriak anak-anak saat tiba ke rumah. Aku kembali ke dapur untuk melanjutkan menghias kue. Goodie bag seba
“Papa pulang, Nak,” bisik Farid saat tiba di rumah dan langsung masuk ke dalam kamar anak-anak. Kedua sorot mata orang tuanya menunjukkan amarah yang tidak bisa teralihkan. Aku sendiri hanya bisa terdiam sambil berjalan ke dapur untuk melihat bahan masakan untuk hari itu. “Mama sudah masak, Nis, kamu istirahat aja, ya.” Mama mengusap bahuku. “Nisa repotin Mama, jadi Mama yang masak,” kataku tak enak hati. “Nggak apa-apa, Mama masak rawon sama goreng ayam. Tadi Nazwa minta itu.” “Iya, Ma, terima kasih, Ma.” Aku tersenyum begitu penuh syukur mama mertuaku begitu baik bahkan menerima kondisiku sebagai istri kedua anaknya. Mama menarik tanganku, mengajak ke teras depan rumah, kami duduk bersisian. “Nisa, tadi kamu ketemu Siska? Gimana reaksi dia waktu ketemu kamu tadi?” Mama tampaknya sangat penasaran. “Kaget, Ma. Pembantunya yang bukakan pagar, nggak lama Siska dan Farid keluar temuin Nisa. Siska kesal, Nisa nggak tahan sama semua ini dan sepertinya Farid nggak datang kemarin karen
Kami semua pulang, Arinda kembali istirahat di kamarnya. Aku memberinya obat lalu tak lama ia pulas tidur. Nazwa menangis walau sikapnya tenang saat Farid duduk di sisinya, jika aku lihat suamiku sedang menjelaskan keadaan kami. Ya Allah, perih rasaya melihat Nazwa hanya mengangguk mencoba memahami walaupun pasti ingin teriak. “Rid, tolong tegas. Siska nggak bisa berlaku seperti ini ke kamu. Dia harusnya sadar kamu masih mau kasih kesempatan kedua walaupun harus Nisa yang dikorbankan.” Mama mertuaku menatap garang ke Farid. Ia hanya mengusap kasap wajahnya. “Ma, susah. Farid maunya semua akur dan damai, bukan malah seperti ini.” Apa? Akur? Damai? Sadar Farid, kamu bukan sultan yang kaya raya dan bisa menikmati dua wanita walau sah secara bersamaan. Aku kesal menatap suamiku, dengan tekad kuat dan yakin akhirnya aku berani berpendapat. “Kalau begitu, karena kamu tidak bisa bersikap adil. Mulai hari ini aku yang akan bilang ke Siska kalau kamu harus lebih banyak ada dengan kami. Den
Ponsel Farid tidak langsung aku letakkan di atas meja. Aku ingin tau apa yang Farid ceritakan benar adanya tau sekedar supaya aku percaya. Jemariku terus bergerak membaca history chat mereka. Jujur sekali, Farid memang tidak banyak mengetik balasan bahkan bertanya sebagai bentuk perhatian kecil juga sewajarnya. Sama sekali tidak membuat aku cemburu, yang ada aku jadi berpikir, kenapa mereka harus bertahan jika sudah tidak ada percikan rasa cinta. Tetapi memang terlihat Siska yang dominan dan bernafsu banyak bertanya ke Farid. Beralih ke galery foto, kucoba mencari apakah ada foto-foto mereka. Ternyata ada, tapi foto saat mereka pacaran dan awal menikah. Terlihat suamiku bahagia difoto itu, sedikit mulai kurasakan nyeri di hati tapi segera aku tepis karena fokusku bukan itu saja. Kembali aku mencari bukti lain, kini beralih ke laporan transaksi uang Farid. Aku penasaran, apakah suamiku juga menafkahi Siska walau jelas sekali terlihat wanita itu mampu menghidupi diri sendiri. Aku men
Jangan lupa tinggalkan jejak, ya. Terima kasih. ______Rasa penasaran akhirnya membawaku jadi sedikit nekat demi Farid tetap ada di sisiku. Pengakuan Siska yang hamil, tidak sepenuhnya aku percaya. Mobil kuarahkan ke rumah mama mertua, pingin tau apa mama sudah dapat kabar dari Siska? "Assalamualaikum, Ma?" Sapaku seraya membuka pintu ruang tamu. "Waalikumsalam, Nis, masuk sayang. Kok tumben kamu ke sini, habis dari pasar?" Mama menunjuk ke plastik kresek belanjaanku. "Iya. Ma, Nisa mau ngobrol sama Mama." Mama mengangguk, kuletakkan belanjaan di dapur, setelah cuci tangan aku dan mama duduk di kursi makan. "Ma, apa Mama tau Siska hamil?" Langsung saja aku tanyakan. "Nggak. Emang dia hamil?!" pekik mama. Aku mengangguk. "Dia kasih tau kamu?" tanya mama lagi. Aku mengangguk lagi. "Tapi Nisa nggak yakin, Ma, takutnya itu akal-akalan dia aja. Nisa udah tau cerita Farid mau ceraikan Siska dulu, diam-diam gugurin kandungan. Kalau sekarang tiba-tiba dia hamil, rasanya aneh, Ma."Mam
Awalnya aku sempat ragu untuk membahas ini dengan anak-anak, tetapi karena Siska sudah memulainya, tak baik jika anak-anak tau bukan dari mulutku. Nazwa tau aku menutupi rasa kecewa kepada papanya karena tadi Farid memutuskan untuk sementara bersama Siska yang ‘mengaku hamil’. Posisiku akan salah jika melarang Farid, akan ramai kedepannya karena semua akan terbongkar cepat dan aku yakin akan kalah. Tidak mau aku menjadi yang kalah dipermainan ini. Suamiku laki-laki biasa dan normal, jadi aku yakin dia akan tergoda oleh kemolekan tubuh Siska apalagi ia istri pertamanya sebelum aku. Kebohongan pasti untuk menjaga perasaanku saja. “Nazwa, Arin, duduk sini. Mama mau jelasin semuanya,” perintahku dengan bernada lembut ke mereka yang baru selesai salat magrib. Kedua putriku duduk berhadapan denganku di lantai beralaskan karpet, di ruang TV. Keduanya masih memakai mukena. TV aku matikan, hanya deru AC ruangan yang sengaja kunyalakan supaya sejuk karena bahasan kami akan terasa panas. Bismi
“T-tapi, kita satu mobil, itu nggak boleh,” tolakku sedikit terbata-bata. Ya karena memang aneh saja, tidak boleh satu mobil dengan yang bukan memiliki hubungan sah. Ilham mengangguk, dari wajahnya terlihat bingung. Akhirnya aku berikan beberapa uang lima puluh ribu. “Pakai ini aja, kembalikan ke saya gampang, bisa kapan aja.” Aku memberikan uang ke arahnya, ia menerima dengan wajah meringis. “Maaf, jadi repotin kamu. Saya malu jadinya,” tuturnya yang memang terlihat jika ia malu menerima uang yang kupinjamkan. “Nggak masalah. Kalau itu, saya duluan, ya, Ham. Assalamualaikum,” jawabku seraya masuk ke dalam mobil. “Waalaikumsalam, hati-hati, Nisa,” balasnya lembut yang masih bisa aku dengar karena belum menutup pintu. Aku menghidupkan mesin mobil, kemudian menginjak pedal gas, perlahan aku meninggalkan area parkir tapi sempat melihat Ilham dari spion tengah. Seketika kubuang napas panjang, bagus aku masih bisa jaga diri, bisa saja bahaya karena satu mobil dengan pria yang bukan pasa
Peran istri itu seperti apa?Aku berpikir beberapa waktu, mencoba menelaah apakah aku salah selama ini menjadi istri. Baik saat bersama Farid atau saat ini bersama Ilham.Pandanganku lurus ke arah halaman depan rumah kami. Terlihat juga sinar matahari pagi begitu indah saat memberikan vitamin bagi tanaman di taman kecil yang kumiliki.Menjadi istri banyak sekali yang harus dipelajari bahkan seumur hidup. Jangan merasa menjadi yang paling tau tentang pasangan yang sudah dinikahi. Nyatanya, sifat dan watak seseorang akan berubah seiring berjalannya waktu.Pekerjaan seorang istri pun banyak, apalagi istri yang juga pekerja di kantor. Sudah lelah memikirkan pekerjaan, saat pulang tetap harus memikirkan pekerjaan di rumah yang bayarannya pahala.Pekerjaan gratis yang kadang terasa miris jika mendapatkan pasangan hidup yang membuat jiwa terkikis.Aku menghela napas, saat mengingat semua perjalanan pernikahanku dengan Farid yang aku pikir indah ... nyatanya ada kebohongan yang membuatku hancu
Hai, maaf lama nggak update. ______ Jodoh, rezeki, bahkan maut, semua Allah yang atur. Manusia hanya bisa berharap dan berdoa supaya semua hal itu baik-baik saja. Aku merenungi masalah rumah tangga kami yang tak tau juntrungannya seperti apa. Rasa cemburu Ilham terhadap sikap mantan suamiku membuatnya hilang akal sehingga mengabaikanku dalam keadaan hamil. Farid sendiri sikapnya menunjukkan jika ia mampu berubah menjadi seseorang yang baru dan baik. Ia mau memperbaiki hubungan kami karena dua anak kandungnya yang sudah gadis pasti ingin melihat orang tuanya akur kembali. Tetapi, ada Ilham yang kini bersamaku walau nyatanya ia terus diam bahkan saat aku memintanya mengajukan gugatan cerai. Hah, aku lelah dengan semua drama yang terjadi. Berada di antara dua lelaki yang mudah meremehkan satu masalah disaat aku terus menata hati dan hidup, rasanya aku memilih hidup sendirian saja. Pikiranku buntu, ditambah memikirkan kondisi bayiku yang masih di NICU. Berapa biaya yang akan habis
Aku membuka mata, terlihat senyuman Ilham menatap ke arahku. Kupandangi sekeliling, tak ada siapa-siapa lagi selain kami. "Nis," sapanya lembut. Aku hanya bisa diam, tubuhku tak bisa digerakan, begitu kaku. Bersuara pun aku tidak bisa. "Anak kita sehat, laki-laki." Ia melanjutkan bicara. "Maaf, aku harus bawa dia menjauh dari kamu. Setelah ini aku akan lepaskan kamu dan kamu bisa kembali bersama Farid."Tidak, tidak bisa. Apa-apaan Ilham. Aku meronta, berusaha bergerak juga bersuara saat ia menggendong bayiku yang diberikan dokter. Mulutku seperti terbungkam, hanya erangan tertahan yang aku rasakan. Suasana berubah sedetik kemudian, gelap, aku seperti berada di goa yang tak ada cahaya sama sekali. Aku sadar aku tidak lagi berada di atas ranjang rumah sakit, berlari kencang menjadi keputusanku tapi lagi-lagi arah mana yang kutuju sama sekali aku tidak tau. "Ya Allah ini di mana," rintihku karena merasa lelah setelah lama mencari jalan. "Anisa, kemari," suara itu terdengar. Ada cah
Kami semua tiba di tanah air, aku duduk di kursi roda namun bukan Ilham yang mendorongnya melainkan teman lainnya sesama perempuan. Ilham dan aku terus perang dingin, sudah cukup lama jika dihitung. Dari kantor, Ustadzah Tyas kirim mobil untuk menjemput kami lalu diantar hingga sampai di rumah. Masih terus diam. Saat ditanya beberapa teman dan jamaah, aku beralasan sedang tidak enak badan. Saat tiba di rumah, bibi membantu membawa koper pakaian juga oleh-oleh ala kadarnya karena tak bisa belanja banyak untuk anak-anak. Ilham memanggilku, mengajak duduk di kamar tapi aku enggan. Aku memilih tidur karena kami tiba sudah sore hari saat di bandara. Baru saka hendak terlelap, ranjang bergerak karena Ilham ikut merebahkan diri. "Farid masih berharap sama kamu." Tak ku respon ucapannya, tak penting. Kupejamkan mata tetapi terdengar ia bicara lagi. "Farid bilang, dia seharusnya nggak bohong sama kamu, Nis. Aku tau dia menyesal setelah semua yang terjadi. Sebagai laki-laki yang masuk dia
Aku dan Ilham tak saling bicara, ia terus diam dengan pikiran yang mencurigai aku dan Farid diam-diam masih berkomunikasi. Bujuk rayu bahkan aku selalu mengajaknya membahas karena tak baik berlarut-larut menyimpan masalah namun sepertinya Ilham keras hati hingga menutup telinga untuk mendengar penjelasanku. Di depan orang kami terlihat baik-baik saja walau Ilham lebih sering menjauh dengan alasan mengawasi peserta umrah, aku tak mau mempersoalkan karena malu takut nantinya menjadi perhatian semua orang. "Ham, mau ikut beli oleh-oleh atau makanan buat dibawa pulang? Rombongan udah mau berangkat," kataku sambil duduk di tepi ranjang saat Ilham tiduran memunggungiku. Sedih rasanya, mengapa ia menjadi begini, menjadi keras kepala. Masih saja ia diam, entah tidur atau pura-pura tidur. "Aku izin ikut, ya. Mau beli oleh-oleh buat anak-anak," lanjutku kemudian beranjak untuk membawa tas selempang milikku. Baru saja hendak membuka pintu kamar hotel, Ilham bersuara. "Ada Farid, kan? Sama di
Aku heran dengan sikap Ilham sekarang, hingga tiba di Mekkah ia lebih sering mendiamiku walau perhatiannya tak luntur. Hanya saja aku merasa kikuk sendiri. Kami akan melakukan ibadah pertama bersama para rombongan termasuk Farid dan kedua orang tuanya, aku tetap duduk di kursi roda. Selesai ibadah, kami makan malam di hotel, aku membantu memastikan makanan untuk jamaah kami tidak kekurangan dan sesuai rencana. Sengaja aku memilih menghindar suamiku supaya tak berlarut over thinking. Dengan percakapan menggunakan bahasa inggris aku berkomunikasi dengan para petugas hotel. Makanan siap, aku mengarahkan para jamaah untuk mulai mengambil makanan. "Nisa, laki-laki atau perempuan?" tanya mantan ibu mertuaku. "Kata dokter laki-laki, Bu," jawabku seraya tersenyum. Ibu mengangguk. "Selamat ya, sayang. Ibu senang, Bapak juga. Dari semalam bahas kamu, mau belikan hadiah untuk anak kamu nanti." "Jangan repot-repot, Bu. Ibu dan Bapak kok bisa ikut rombongan kami, bukannya tinggal di luar ko
Bekerja bersama suami dalam lingkup yang sama juga menjadi hal baru bagiku. Ustadzah Tyas memudahkan semuanya. Ilham bekerja sebagai pengatur jadwal keberangkatan jamaah umrah dan juga haji, ia yang koordinasi dengan banyak pihak juga bersama timnya membuat rincian kegiatan supaya jamaah merasa nyaman. Kami berangkat dan pulang kerja bersama, bahkan makan siang juga tetap aku siapkan di pantry kantor untuk kami makan. Itu kalau Ilham tidak keluar kantor untuk urusan perijinan dan lain-lainnya. "Assalamualaikum, Nis," sapa ustadzah Tyas. "Waalaikumsalam, Ustadzah." Aku beranjak, ia menahanku berjalan mendekat kearahnya dengan gerakan tangan, memintaku duduk saja. "Nisa, keberangkatan jamaah umrah dua minggu lagi, apa bisa Ilham ikut ke sana temani suamiku sebagai ketua rombongannya?" Aku tersenyum senang seraya mengangguk kepala. "Alhamdulillah. Sama satu lagi, apa aku bisa minta tolong kamu atur seragam karyawan kita? Kayaknya harus semakin profesional, Nis. Kamu tau soal gaya p
Air mata Mila turun perlahan, secepat kilat ia hapus dengan punggung tangannya. Ia tertawa miris, "kenapa cinta sesulit ini. Aku berhak mencintai seseorang, bukan?"Masih saya keras kepala. Aku tersenyum masam, "benar. Tetapi bukan dengan suami orang. Apa kamu tidak punya harga diri." Sengaja aku bicara seperti itu, sudah kepalang emosi. Ilham menghela napas panjang, lalu tersenyum. "Jika begini. Sudah jelas saya aka resign dari perusahaan. Nisa," panggilnya. Aku menoleh. "Temani aku ke kantor, aku mau resign hari ini juga. Tidak masalah aku harus rugi tunjangan apapun. Ini salah dan aku tidak mau mengorbankan perasaanmu dan rumah tangga kita." Ilham beranjak, mengulurkan tangan ke arahku yang langsung kusambut dengan meraihnya. "Percakapan kita sudah saya rekam, Mila. Dan saya akan laporkan ke Papamu. Perusahaan tidak akan menahan saya. Permisi." Kami pun pergi, Ilham terus menggandeng tanganku berjalan keluar dari sana hingga tiba di mobil. Saat kami sudah sama-sama duduk, ia
Kuputuskan menyusul ke Bandung tepat di hari jumat. Pukul tiga aku sudah berangkat ke stasiun kereta diantar sopir juga bibi yang kupaksa merahasiakan kepergianku.Setelah bertanya sana sini, aku bisa tau jika dari stasiun bisa naik ojek online atau taksi resmi maupun taksi online menuju ke kantor cabang tempat Ilham bekerja.Dengan perasaan was-was aku pergi ke sana hanya dengan membawa tas kecil tanpa bawa pakaian ganti. Memang tak niat menginap, hanya ingin membuktikan sesuatu.Ilham sama sekali tak menghubungiku, benar-benar ada yang tidak beres dengannya.Aku berdoa ini bukan masalah besar dan bisa segera kuselesaikan.Akhirnya aku tiba di kota Bandung. Kupaksakan sarapan di sana walau hanya makan sepotong roti dan minum kopi. Kantor tempat suamiku bekerja ada di seberang kedai kopi yang aku sambangi. Suasana perkantoran terasa kental, lalu aku melihat mobil dinas dengan nama perusahaan masuk ke parkiran.Segera aku beranjak, berjalan sedikit cepat walau kakiku masih suka linu, m