Share

H.6

Penulis: Rianievy
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Guyuran hujan tak membuatku mengurungkan niat pergi ke toko bahan kue. Besok Arinda, putri keduaku berulang tahun ke sembilan. Sudah dari jauh hari kuniatkan membuat kue sendiri, ya ... walau bukan ahli baking kue, tapi gak ada salahnya mencoba. 

Kukibas air hujan yang sedikit membahasi jilbab dan bajuku dengan tangan sebelum masuk ke dalam toko. Mobil sudah terkunci, aku mendorong pintu toko bahan kue yang hampir sebesar minimarket 'maret-maret' itu. 

"Selamat sore," apa pelayan. 

"Sore, Mbak," balasku kemudian meraih keranjang belanja warna merah. Catatan bahan kue yang aku butuhkan sudah siap, sejak dari rumah aku catat dengan rinci jangan sampai ada yang terlewat. 

Satu persatu bahan kue aku masukan ke dalam keranjang, saat berdiri di depan rak aneka bahan pasta, aku mematung. Farid bersama Siska berdiri berjarak dariku dengan wajah berseri-seri. 

Astaghfirullahaladzim, batinku berucap. 

Ingin rasanya kaki ini mendekat, tapi tak sanggup melangkah. Farid tampak mesra merangkul Siska yang sibuk memilih bahan kue juga. Ia masih memakai pakaian kerja, ah, keduanya tepatnya. Malam jumat memang jatah Farid ada di rumah Siska hingga hari minggu, tapi aku sudah meminta supaya Farid pulang sabtu esok karena Arinda ulang tahun. 

Dengan keberanian terkumpul, aku melangkah mendekat, karena memang bahan kue yang kubutuhkan ada di rak tepat di depan mereka. 

Bismillah, ucapku dalam hati menguatkan mentalku. 

"Maaf, permisi, Mbak, Mas, saya mau ambil itu," tunjukku ke arah kacang almond. Mereka terkejut melihatku, tapi tak kupedulikan seolah-olah tidak mengenal mereka. Aku takut, Siska terpancing emosi dan meluapkannya di sana. 

"Permisi," kataku lagi setelah meletakkan kacang almond ke dalam keranjang. Aku berjalan ke rak lain, masih ada beberapa barang yang aku butuhkan juga. Sama sekali aku tidak menoleh ke arah mereka lagi, terlalu sedih. 

Saat membayar, aku mengantri karena masih ada dua orang di depanku. Kuedarkan pandangan, bukan untuk mencari mereka, tetapi sekedar melihat saja. Farid menatapku dengan tatapan nanar, aku tersenyum tipis penuh paksaan lalu menatap ke arah meja kasir di hadapanku lagi. 

Tiba giliranku membayar, total belanjaanku dua ratus lima puluh enam ribu, kubayar tunai. Setelah semua beres aku segera pergi dari sana, tetapi Farid memanggil, kutolehkan pandangan ke arahnya. Ia berjalan mendekat dengan perlahan. 

"Habis berapa belanjaan kamu?" ucapnya lirih. 

"Sedikit, kok, aku duluan, permisi." Kemudian mendorong pintu. Syukurlah hujan sudah reda, kuletakkan tas belanjaan ku di jok belakang, lalu setelah mengunci pintu mobil lagi, aku berjalan menuju penjual mie ayam bangka di ruko sebelah toko bahan kue. Sengaja beli untuk makan malam aku dan anak-anak. 

Sambil menunggu pesanan siap, mataku mengedar ke arah lain. Jalanan sore pukul setengah enam semakin ramai, aku tersenyum karena lalu lalang kendaraan membuat hatiku ramai. Namun, hal itu tak berselang lama karena tanpa sengaja pandanganku berhenti pada mobil Farid. Kaca depan yang tidak begitu gelap, memperlihatkan jelas apa yang mereka lalukan di dalam. 

Siska mencumbu bibir Farid begitu menggebu, Farid juga membalas. Terus saja aku melihat tontonan itu hingga kakiku lemas dengan kedua mata memanas. Kukuatkan hati, memang ini resiko harus berbagi suami dan cinta. 

"Berapa semua, Pak?" tanyaku pada penjual mie ayam. 

"Enam puluh tujuh, Bu," jawabnya. Aku memberikan uang seratus ribu kemudian melesat berlari ke arah mobilku terparkir. Tak kuat berdiri lebih lama lagi di sana. 

Aku menutup pintu mobil dengan kencang, buru-buru menghidupkan mesin lalu tancap gas segera pergi dari sana. 

Tanganku gemetar memegang kemudi, tangisku pun pecah. Sen kiri kunyalakan, setelah menepi dan berhenti. Kuluapkan semua rasa yang tadi bergumul terkumpul dengan teriakan juga isak tangis. Pecah sudah pertahananku. Jeritan perasaan sedih, marah, kecewa, membuatku harus bisa mengeluarkannya. 

"Sakit sekali, Ya Allah, sakittt ...!" rintihku. "Aku harus apa, Ya Allah ... aku ... harus ... apa ...," ucapku lagi di sela raungan pilu hidupku. "Aku mencintainya, tapi mengapa begini!"

Air mataku pecah. Menjadi kedua dalam rumah tangga orang lain jelas sekali salah. Kaca mobilku diketuk. Dengan sesenggukkan aku membuka kunci otomatis, pintu penumpang bagian depan terbuka, Farid masuk dengan cepat, secepat ia menutup pintu lalu memelukku erat. 

"Sakit Farid, sakit!" jeritku dalam pelukannya. Aku yakin ia sadar jika aku melihat dia bercumbu mesra dengan Siska. Tak ada suara darinya, ia pun menangis, aku bisa merasakan bahunya naik turun. 

***

Kami masih di dalam mobil, sudah sama-sama tenang. Ia mengusap wajahku begitu lembut. Lalu tersenyum. 

"Nisa, aku mau memberimu kabar. Tapi tolong, dengarkan aku baik-baik." 

Aku mengangguk. 

"Aku akan bicarakan tentang kamu di keluarga Siska, apapun resikonya, Siska harus hadapi. Hak kamu untuk mendapatkan penerimaan posisimu dimereka. Aku tidak takut mereka marah, tidak masalah." 

"Aku nggak kuat lihat kamu dan Siska, tadi--" Kubekap mulutku dengan tangan, kembali air mata ini berderai. 

"Maafkan aku. Siska yang tiba-tiba melakukannya tadi. Aku pulang sabtu besok, saat ulang tahun Arinda." Farid mencium keningku lama. "Siska aku suruh pulang naik taksi tadi, dia mau. Nisa, maafkan aku membuat kamu menangis lagi karena ulahku." 

Aku menghambur memeluknya. Rasa ego dalam diriku muncul, entah mengapa rasanya ada yang aneh, Farid seperti sedang menyembunyikan sesuatu tengang Siska, dari pandangannya saat bicara tadi, mengapa aku seperti melihat keanehan. 

"Sabar, ya, Nis. Jangan lemah. Aku tau kamu kuat jalani rumah tangga ini denganku. Bertahan sebentar lagi ya, Sayang," bisiknya. 

Betul, ada yang aneh. Aku tetap memeluknya erat, sama sekali tidak mau melepaskan suamiku. Pria yang sangat aku cintai. 

"Farid, boleh aku egois ingin memiliki kamu seutuhnya dan hanya untukku? Aku tidak mau berbagi dengan wanita lain atau siapapun," ucapku tegas. 

"Iya, boleh, Nisa, boleh."

Pelukan terlepas, dengan wajah sembab, mencoba tersenyum. Farid pamit pergi, kujawab lewat anggukan. Ia keluar dari mobilku menuju mobilnya yang terparkir di belakangku. 

Saat aku melajukan mobil ke arah komplek perumahan, ponselku bergetar. Pesan masuk dari Siska muncul. Ia tau nomorku pasti dari Farid, sejak minggu lalu ia sudah berkirim pesan denganku sekedar menyapa tapi tidak pernah aku balas. 

Kali ini isi pesannya membuatku cukup terkejut. "Hai, Nis. Gimana tontonannya? Panas? Itu belum seberapa, karena Farid selalu puas jika aku melayaninya. Ingat! Jangan ganggu Farid sampai hari minggu!" 

Aku menepi lagi, lalu membalas pesan itu. 

"Assalamualaikum Siska. Betul, panas sekali. Saking panasnya sampai rasanya aku mau siram pakai selang damkar. Setidaknya, tau adab dan tempat jika mau bercumbu mesra. Jangan bikin Farid turun derajatnya dari pria baik jadi pria tidak tau etika." 

Kepalang emosi, aku balas seperti itu. Seringaiku muncul, sekelebat rencana muncul dikepalaku, jika sudah begini, aku tau siapa yang harus kuhubungi. Siapa lagi jika bukan ... Mama mertuaku. 

bersambung

Bab terkait

  • Istri sebatas harapan    H.7

    Tanganku berhenti menghias kue tart saat suara kedua mertuaku terdengar di teras depan rumah. Kuletakkan plastik berisi krim di atas piring, berjalan ke depan menemui mereka. “Waalaikumsalam, Ma, Pa,” balasku sambil membuka pintu ruang tamu. “Wangi kue. Kamu jadi bikin?” Mama mencium kedua pipiku bahkan kening, pun papa, ia bahkan memelukku erat. “Masuk, Ma, Pa,” ajakku. Mereka berjalan masuk, di kedua tangannya membawa tas belanja besar. “Arin mana?” bisik mama. “Lagi ke mini market sama Nazwa, Nisa suruh beli susu kotak. Mama Papa jadi nginep, ‘kan?” Aku membantu membawakan tas milik mama yang isinya baju, lalu aku letakkan di kamar anak-anak. “Ya, jadi, lah. Udah niat. Farid … pulang malam ini, ‘kan? Acara ulang tahun Arinda nanti sore jam empat, ‘kan?” Mama yang cerewet tapi baik, bertanya merepet. Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala sambil tersenyum. “Aki! Nini!” teriak anak-anak saat tiba ke rumah. Aku kembali ke dapur untuk melanjutkan menghias kue. Goodie bag seba

  • Istri sebatas harapan    H. 8

    “Papa pulang, Nak,” bisik Farid saat tiba di rumah dan langsung masuk ke dalam kamar anak-anak. Kedua sorot mata orang tuanya menunjukkan amarah yang tidak bisa teralihkan. Aku sendiri hanya bisa terdiam sambil berjalan ke dapur untuk melihat bahan masakan untuk hari itu. “Mama sudah masak, Nis, kamu istirahat aja, ya.” Mama mengusap bahuku. “Nisa repotin Mama, jadi Mama yang masak,” kataku tak enak hati. “Nggak apa-apa, Mama masak rawon sama goreng ayam. Tadi Nazwa minta itu.” “Iya, Ma, terima kasih, Ma.” Aku tersenyum begitu penuh syukur mama mertuaku begitu baik bahkan menerima kondisiku sebagai istri kedua anaknya. Mama menarik tanganku, mengajak ke teras depan rumah, kami duduk bersisian. “Nisa, tadi kamu ketemu Siska? Gimana reaksi dia waktu ketemu kamu tadi?” Mama tampaknya sangat penasaran. “Kaget, Ma. Pembantunya yang bukakan pagar, nggak lama Siska dan Farid keluar temuin Nisa. Siska kesal, Nisa nggak tahan sama semua ini dan sepertinya Farid nggak datang kemarin karen

  • Istri sebatas harapan    H. 9

    Kami semua pulang, Arinda kembali istirahat di kamarnya. Aku memberinya obat lalu tak lama ia pulas tidur. Nazwa menangis walau sikapnya tenang saat Farid duduk di sisinya, jika aku lihat suamiku sedang menjelaskan keadaan kami. Ya Allah, perih rasaya melihat Nazwa hanya mengangguk mencoba memahami walaupun pasti ingin teriak. “Rid, tolong tegas. Siska nggak bisa berlaku seperti ini ke kamu. Dia harusnya sadar kamu masih mau kasih kesempatan kedua walaupun harus Nisa yang dikorbankan.” Mama mertuaku menatap garang ke Farid. Ia hanya mengusap kasap wajahnya. “Ma, susah. Farid maunya semua akur dan damai, bukan malah seperti ini.” Apa? Akur? Damai? Sadar Farid, kamu bukan sultan yang kaya raya dan bisa menikmati dua wanita walau sah secara bersamaan. Aku kesal menatap suamiku, dengan tekad kuat dan yakin akhirnya aku berani berpendapat. “Kalau begitu, karena kamu tidak bisa bersikap adil. Mulai hari ini aku yang akan bilang ke Siska kalau kamu harus lebih banyak ada dengan kami. Den

  • Istri sebatas harapan    H. 10

    Ponsel Farid tidak langsung aku letakkan di atas meja. Aku ingin tau apa yang Farid ceritakan benar adanya tau sekedar supaya aku percaya. Jemariku terus bergerak membaca history chat mereka. Jujur sekali, Farid memang tidak banyak mengetik balasan bahkan bertanya sebagai bentuk perhatian kecil juga sewajarnya. Sama sekali tidak membuat aku cemburu, yang ada aku jadi berpikir, kenapa mereka harus bertahan jika sudah tidak ada percikan rasa cinta. Tetapi memang terlihat Siska yang dominan dan bernafsu banyak bertanya ke Farid. Beralih ke galery foto, kucoba mencari apakah ada foto-foto mereka. Ternyata ada, tapi foto saat mereka pacaran dan awal menikah. Terlihat suamiku bahagia difoto itu, sedikit mulai kurasakan nyeri di hati tapi segera aku tepis karena fokusku bukan itu saja. Kembali aku mencari bukti lain, kini beralih ke laporan transaksi uang Farid. Aku penasaran, apakah suamiku juga menafkahi Siska walau jelas sekali terlihat wanita itu mampu menghidupi diri sendiri. Aku men

  • Istri sebatas harapan    H. 11

    Jangan lupa tinggalkan jejak, ya. Terima kasih. ______Rasa penasaran akhirnya membawaku jadi sedikit nekat demi Farid tetap ada di sisiku. Pengakuan Siska yang hamil, tidak sepenuhnya aku percaya. Mobil kuarahkan ke rumah mama mertua, pingin tau apa mama sudah dapat kabar dari Siska? "Assalamualaikum, Ma?" Sapaku seraya membuka pintu ruang tamu. "Waalikumsalam, Nis, masuk sayang. Kok tumben kamu ke sini, habis dari pasar?" Mama menunjuk ke plastik kresek belanjaanku. "Iya. Ma, Nisa mau ngobrol sama Mama." Mama mengangguk, kuletakkan belanjaan di dapur, setelah cuci tangan aku dan mama duduk di kursi makan. "Ma, apa Mama tau Siska hamil?" Langsung saja aku tanyakan. "Nggak. Emang dia hamil?!" pekik mama. Aku mengangguk. "Dia kasih tau kamu?" tanya mama lagi. Aku mengangguk lagi. "Tapi Nisa nggak yakin, Ma, takutnya itu akal-akalan dia aja. Nisa udah tau cerita Farid mau ceraikan Siska dulu, diam-diam gugurin kandungan. Kalau sekarang tiba-tiba dia hamil, rasanya aneh, Ma."Mam

  • Istri sebatas harapan    H. 12

    Awalnya aku sempat ragu untuk membahas ini dengan anak-anak, tetapi karena Siska sudah memulainya, tak baik jika anak-anak tau bukan dari mulutku. Nazwa tau aku menutupi rasa kecewa kepada papanya karena tadi Farid memutuskan untuk sementara bersama Siska yang ‘mengaku hamil’. Posisiku akan salah jika melarang Farid, akan ramai kedepannya karena semua akan terbongkar cepat dan aku yakin akan kalah. Tidak mau aku menjadi yang kalah dipermainan ini. Suamiku laki-laki biasa dan normal, jadi aku yakin dia akan tergoda oleh kemolekan tubuh Siska apalagi ia istri pertamanya sebelum aku. Kebohongan pasti untuk menjaga perasaanku saja. “Nazwa, Arin, duduk sini. Mama mau jelasin semuanya,” perintahku dengan bernada lembut ke mereka yang baru selesai salat magrib. Kedua putriku duduk berhadapan denganku di lantai beralaskan karpet, di ruang TV. Keduanya masih memakai mukena. TV aku matikan, hanya deru AC ruangan yang sengaja kunyalakan supaya sejuk karena bahasan kami akan terasa panas. Bismi

  • Istri sebatas harapan    H. 13

    “T-tapi, kita satu mobil, itu nggak boleh,” tolakku sedikit terbata-bata. Ya karena memang aneh saja, tidak boleh satu mobil dengan yang bukan memiliki hubungan sah. Ilham mengangguk, dari wajahnya terlihat bingung. Akhirnya aku berikan beberapa uang lima puluh ribu. “Pakai ini aja, kembalikan ke saya gampang, bisa kapan aja.” Aku memberikan uang ke arahnya, ia menerima dengan wajah meringis. “Maaf, jadi repotin kamu. Saya malu jadinya,” tuturnya yang memang terlihat jika ia malu menerima uang yang kupinjamkan. “Nggak masalah. Kalau itu, saya duluan, ya, Ham. Assalamualaikum,” jawabku seraya masuk ke dalam mobil. “Waalaikumsalam, hati-hati, Nisa,” balasnya lembut yang masih bisa aku dengar karena belum menutup pintu. Aku menghidupkan mesin mobil, kemudian menginjak pedal gas, perlahan aku meninggalkan area parkir tapi sempat melihat Ilham dari spion tengah. Seketika kubuang napas panjang, bagus aku masih bisa jaga diri, bisa saja bahaya karena satu mobil dengan pria yang bukan pasa

  • Istri sebatas harapan    H.14

    Tampaknya memang ini sudah menjadi secercah harapan bagiku. Saat aku langsung menceritakan kepada kedua mertuaku, mereka memiliki ide yang membuatku bisa terlihat ‘jahat’. “Nisa tenang aja, ya, kita cari tau bersama. Mama juga mau bilang ke kamu, adik-adik Mama, Kakak dan adik Papa mereka sudah tau kalau Farid punya kamu sebagai istri keduanya. Mereka awalnya marah dan kecewa karena kenapa baru diberitahu, tapi kami jelaskan semuanya. Ya, walau jadinya seperti menjatuhkan anak sendiri, tetapi memang Farid salah. Kami terima.” “Lalu, apa respon keluarga setelah tau, Ma?” “Mereka mau ketemu kamu, Nisa.” Jawaban mama mertuaku langsung membuatku berdebar tak karuan. Rasanya seperti terjun bebas dari ketinggian.

Bab terbaru

  • Istri sebatas harapan    H.49

    Peran istri itu seperti apa?Aku berpikir beberapa waktu, mencoba menelaah apakah aku salah selama ini menjadi istri. Baik saat bersama Farid atau saat ini bersama Ilham.Pandanganku lurus ke arah halaman depan rumah kami. Terlihat juga sinar matahari pagi begitu indah saat memberikan vitamin bagi tanaman di taman kecil yang kumiliki.Menjadi istri banyak sekali yang harus dipelajari bahkan seumur hidup. Jangan merasa menjadi yang paling tau tentang pasangan yang sudah dinikahi. Nyatanya, sifat dan watak seseorang akan berubah seiring berjalannya waktu.Pekerjaan seorang istri pun banyak, apalagi istri yang juga pekerja di kantor. Sudah lelah memikirkan pekerjaan, saat pulang tetap harus memikirkan pekerjaan di rumah yang bayarannya pahala.Pekerjaan gratis yang kadang terasa miris jika mendapatkan pasangan hidup yang membuat jiwa terkikis.Aku menghela napas, saat mengingat semua perjalanan pernikahanku dengan Farid yang aku pikir indah ... nyatanya ada kebohongan yang membuatku hancu

  • Istri sebatas harapan    H. 48

    Hai, maaf lama nggak update. ______ Jodoh, rezeki, bahkan maut, semua Allah yang atur. Manusia hanya bisa berharap dan berdoa supaya semua hal itu baik-baik saja. Aku merenungi masalah rumah tangga kami yang tak tau juntrungannya seperti apa. Rasa cemburu Ilham terhadap sikap mantan suamiku membuatnya hilang akal sehingga mengabaikanku dalam keadaan hamil. Farid sendiri sikapnya menunjukkan jika ia mampu berubah menjadi seseorang yang baru dan baik. Ia mau memperbaiki hubungan kami karena dua anak kandungnya yang sudah gadis pasti ingin melihat orang tuanya akur kembali. Tetapi, ada Ilham yang kini bersamaku walau nyatanya ia terus diam bahkan saat aku memintanya mengajukan gugatan cerai. Hah, aku lelah dengan semua drama yang terjadi. Berada di antara dua lelaki yang mudah meremehkan satu masalah disaat aku terus menata hati dan hidup, rasanya aku memilih hidup sendirian saja. Pikiranku buntu, ditambah memikirkan kondisi bayiku yang masih di NICU. Berapa biaya yang akan habis

  • Istri sebatas harapan    H.47

    Aku membuka mata, terlihat senyuman Ilham menatap ke arahku. Kupandangi sekeliling, tak ada siapa-siapa lagi selain kami. "Nis," sapanya lembut. Aku hanya bisa diam, tubuhku tak bisa digerakan, begitu kaku. Bersuara pun aku tidak bisa. "Anak kita sehat, laki-laki." Ia melanjutkan bicara. "Maaf, aku harus bawa dia menjauh dari kamu. Setelah ini aku akan lepaskan kamu dan kamu bisa kembali bersama Farid."Tidak, tidak bisa. Apa-apaan Ilham. Aku meronta, berusaha bergerak juga bersuara saat ia menggendong bayiku yang diberikan dokter. Mulutku seperti terbungkam, hanya erangan tertahan yang aku rasakan. Suasana berubah sedetik kemudian, gelap, aku seperti berada di goa yang tak ada cahaya sama sekali. Aku sadar aku tidak lagi berada di atas ranjang rumah sakit, berlari kencang menjadi keputusanku tapi lagi-lagi arah mana yang kutuju sama sekali aku tidak tau. "Ya Allah ini di mana," rintihku karena merasa lelah setelah lama mencari jalan. "Anisa, kemari," suara itu terdengar. Ada cah

  • Istri sebatas harapan    H.46

    Kami semua tiba di tanah air, aku duduk di kursi roda namun bukan Ilham yang mendorongnya melainkan teman lainnya sesama perempuan. Ilham dan aku terus perang dingin, sudah cukup lama jika dihitung. Dari kantor, Ustadzah Tyas kirim mobil untuk menjemput kami lalu diantar hingga sampai di rumah. Masih terus diam. Saat ditanya beberapa teman dan jamaah, aku beralasan sedang tidak enak badan. Saat tiba di rumah, bibi membantu membawa koper pakaian juga oleh-oleh ala kadarnya karena tak bisa belanja banyak untuk anak-anak. Ilham memanggilku, mengajak duduk di kamar tapi aku enggan. Aku memilih tidur karena kami tiba sudah sore hari saat di bandara. Baru saka hendak terlelap, ranjang bergerak karena Ilham ikut merebahkan diri. "Farid masih berharap sama kamu." Tak ku respon ucapannya, tak penting. Kupejamkan mata tetapi terdengar ia bicara lagi. "Farid bilang, dia seharusnya nggak bohong sama kamu, Nis. Aku tau dia menyesal setelah semua yang terjadi. Sebagai laki-laki yang masuk dia

  • Istri sebatas harapan    H.45

    Aku dan Ilham tak saling bicara, ia terus diam dengan pikiran yang mencurigai aku dan Farid diam-diam masih berkomunikasi. Bujuk rayu bahkan aku selalu mengajaknya membahas karena tak baik berlarut-larut menyimpan masalah namun sepertinya Ilham keras hati hingga menutup telinga untuk mendengar penjelasanku. Di depan orang kami terlihat baik-baik saja walau Ilham lebih sering menjauh dengan alasan mengawasi peserta umrah, aku tak mau mempersoalkan karena malu takut nantinya menjadi perhatian semua orang. "Ham, mau ikut beli oleh-oleh atau makanan buat dibawa pulang? Rombongan udah mau berangkat," kataku sambil duduk di tepi ranjang saat Ilham tiduran memunggungiku. Sedih rasanya, mengapa ia menjadi begini, menjadi keras kepala. Masih saja ia diam, entah tidur atau pura-pura tidur. "Aku izin ikut, ya. Mau beli oleh-oleh buat anak-anak," lanjutku kemudian beranjak untuk membawa tas selempang milikku. Baru saja hendak membuka pintu kamar hotel, Ilham bersuara. "Ada Farid, kan? Sama di

  • Istri sebatas harapan    H.44

    Aku heran dengan sikap Ilham sekarang, hingga tiba di Mekkah ia lebih sering mendiamiku walau perhatiannya tak luntur. Hanya saja aku merasa kikuk sendiri. Kami akan melakukan ibadah pertama bersama para rombongan termasuk Farid dan kedua orang tuanya, aku tetap duduk di kursi roda. Selesai ibadah, kami makan malam di hotel, aku membantu memastikan makanan untuk jamaah kami tidak kekurangan dan sesuai rencana. Sengaja aku memilih menghindar suamiku supaya tak berlarut over thinking. Dengan percakapan menggunakan bahasa inggris aku berkomunikasi dengan para petugas hotel. Makanan siap, aku mengarahkan para jamaah untuk mulai mengambil makanan. "Nisa, laki-laki atau perempuan?" tanya mantan ibu mertuaku. "Kata dokter laki-laki, Bu," jawabku seraya tersenyum. Ibu mengangguk. "Selamat ya, sayang. Ibu senang, Bapak juga. Dari semalam bahas kamu, mau belikan hadiah untuk anak kamu nanti." "Jangan repot-repot, Bu. Ibu dan Bapak kok bisa ikut rombongan kami, bukannya tinggal di luar ko

  • Istri sebatas harapan    H. 43

    Bekerja bersama suami dalam lingkup yang sama juga menjadi hal baru bagiku. Ustadzah Tyas memudahkan semuanya. Ilham bekerja sebagai pengatur jadwal keberangkatan jamaah umrah dan juga haji, ia yang koordinasi dengan banyak pihak juga bersama timnya membuat rincian kegiatan supaya jamaah merasa nyaman. Kami berangkat dan pulang kerja bersama, bahkan makan siang juga tetap aku siapkan di pantry kantor untuk kami makan. Itu kalau Ilham tidak keluar kantor untuk urusan perijinan dan lain-lainnya. "Assalamualaikum, Nis," sapa ustadzah Tyas. "Waalaikumsalam, Ustadzah." Aku beranjak, ia menahanku berjalan mendekat kearahnya dengan gerakan tangan, memintaku duduk saja. "Nisa, keberangkatan jamaah umrah dua minggu lagi, apa bisa Ilham ikut ke sana temani suamiku sebagai ketua rombongannya?" Aku tersenyum senang seraya mengangguk kepala. "Alhamdulillah. Sama satu lagi, apa aku bisa minta tolong kamu atur seragam karyawan kita? Kayaknya harus semakin profesional, Nis. Kamu tau soal gaya p

  • Istri sebatas harapan    H. 42

    Air mata Mila turun perlahan, secepat kilat ia hapus dengan punggung tangannya. Ia tertawa miris, "kenapa cinta sesulit ini. Aku berhak mencintai seseorang, bukan?"Masih saya keras kepala. Aku tersenyum masam, "benar. Tetapi bukan dengan suami orang. Apa kamu tidak punya harga diri." Sengaja aku bicara seperti itu, sudah kepalang emosi. Ilham menghela napas panjang, lalu tersenyum. "Jika begini. Sudah jelas saya aka resign dari perusahaan. Nisa," panggilnya. Aku menoleh. "Temani aku ke kantor, aku mau resign hari ini juga. Tidak masalah aku harus rugi tunjangan apapun. Ini salah dan aku tidak mau mengorbankan perasaanmu dan rumah tangga kita." Ilham beranjak, mengulurkan tangan ke arahku yang langsung kusambut dengan meraihnya. "Percakapan kita sudah saya rekam, Mila. Dan saya akan laporkan ke Papamu. Perusahaan tidak akan menahan saya. Permisi." Kami pun pergi, Ilham terus menggandeng tanganku berjalan keluar dari sana hingga tiba di mobil. Saat kami sudah sama-sama duduk, ia

  • Istri sebatas harapan    H. 41

    Kuputuskan menyusul ke Bandung tepat di hari jumat. Pukul tiga aku sudah berangkat ke stasiun kereta diantar sopir juga bibi yang kupaksa merahasiakan kepergianku.Setelah bertanya sana sini, aku bisa tau jika dari stasiun bisa naik ojek online atau taksi resmi maupun taksi online menuju ke kantor cabang tempat Ilham bekerja.Dengan perasaan was-was aku pergi ke sana hanya dengan membawa tas kecil tanpa bawa pakaian ganti. Memang tak niat menginap, hanya ingin membuktikan sesuatu.Ilham sama sekali tak menghubungiku, benar-benar ada yang tidak beres dengannya.Aku berdoa ini bukan masalah besar dan bisa segera kuselesaikan.Akhirnya aku tiba di kota Bandung. Kupaksakan sarapan di sana walau hanya makan sepotong roti dan minum kopi. Kantor tempat suamiku bekerja ada di seberang kedai kopi yang aku sambangi. Suasana perkantoran terasa kental, lalu aku melihat mobil dinas dengan nama perusahaan masuk ke parkiran.Segera aku beranjak, berjalan sedikit cepat walau kakiku masih suka linu, m

DMCA.com Protection Status