“Tutup mulut kotormu itu!”
Jennita terlihat sangat marah, dia mengacungkan telunjuknya di hadapan Felix dengan mata memerah, membuat Felix yang melihatnya jadi terkekeh geli.
Felix berdiri santai dan bersandar di ujung meja, memasukkan satu tangannya di saku celana. “Apa yang salah dari ucapanku?”
Pria itu melirik Valency dengan seringai mengejek.
“Bukankah itu adalah pekerjaanmu, Lency? Setelah menaiki ranjang Jayden Spencer dan menemani malamnya, sekarang kamu berpindah ke ranjang Christian Black,” ucap Felix merendahkan.
“Bajingan!” sentak Valency dengan nada tinggi, tak terima dengan kalimat yang dilayangkan Felix untuknya.
Namun pria itu ma
Valency menghempaskan tangan Felix, membuat pria itu terhuyung mundur ke belakang selagi mengusap lengannya. Christian bersiul dalam hati, kagum dengan sosok Valency. Dia kira hanya Jennita yang seperti singa betina, ternyata Valency juga sama! Aktor itu pun melipat tangannya di dada, berdiri santai di hadapan Felix yang terlihat mati kutu. “Besok-besok, kenali dulu lawanmu, Tuan Muda Smith.” Dia terkekeh. Felix melotot. “Diam kamu! Jangan ikut campur urusanku dengan Valency!” Alis kanan Jennita tertaut erat. “Felix, jangan tidak tahu diri! Kamu dan Valency juga tidak ada urusan lagi kecuali di pengadilan!” Emosi mencapai ubun-ubun, otak Felix tidak bisa lagi bekerja dengan benar. Dia langsung meraih sebuah g
Valency terdiam, nada suara Jayden yang terdengar beda membuatnya sadar kalau suaminya sedang marah. Mata Valency melirik ragu pada Jayden, menggeleng pelan untuk memberikan kode. Dia berharap semoga Jayden mau mengerti dan tak membuka identitasnya di sini. “Valey ...,” panggil Jayden kembali, dengan suara rendah penuh penekanan. Hal itu membuat Valency menghela napas panjang, jika sudah begini dia takkan bisa lagi menghindar. Baru saja kaki Valency hendak mendekat pada Jayden, tetapi Jennita segera menahan tangannya dan membuat gadis itu berhenti. “Kenapa kamu mau saja disuruh-suruh sih?!” ucap Jessica mendelik. Dia pun menatap tajam dan tak suka pada pria misterius di hadapannya. “Kamu siapa berani menyuruh-nyuruh Valency?!” “Apa kamu merasa dirimu sudah sehebat Jayden Spencer?” ucap Jennita sinis. Kalimat yang diucapkan Jennita membuat Valency dan Christian menghela napas berat. Apa Jennita buta?! Katanya fans berat Jayden, masa tidak sadar siapa pria di depan itu!? Val
“... dua sirloin, satu ribeye, dan satu potato au gratin. Itu saja pesanannya, Tuan?” Jayden menganggukkan kepala, lalu menyerahkan kembali menu di tangan kepada sang pelayan. “Tolong hidangkan anggur-nya segera.” “Baik, Tuan,” ucap sang pelayan seraya pergi meninggalkan ruangan VVIP tersebut. Setelah sang pelayan pergi, Jayden pun menatap dua orang di depannya. “Karena aku mendadak bergabung dan mengganggu makan siang kalian, makanan hari ini aku yang akan menanggungnya. Kalian jangan sungkan.” Pria itu pun tersenyum sopan. Jennita tersenyum lebar dengan mata berbinar, merasa sangat tersanjung dengan kesopanan Jayden. “T-tidak mengganggu! Tidak mengganggu sama sekali, Tuan Spencer. Bisa satu meja bersamamu, ini sungguh luar biasa!” Sungguh, Jennita tidak bisa menyembunyikan semangat dan rasa senangnya. Bagaimana tidak? Ayahnya saja yang seorang pebisnis besar sangat sulit mengatur pertemuan bersama Jayden. Namun kini … Jayden sendiri yang langsung ingin bergabung dalam makan si
Jayden tersenyum kecil melihat wajah Valency yang mulai memucat. “Santai saja, aku hanya bercanda Valey,” ucapnya. Tanpa sadar sejak tadi Valency terus menahan napasnya, terlalu takut dengan sikap Jayden yang tak bisa dia tebak. Ingin rasanya dia memarahi pria itu karena telah membuatnya sangat kacau hari ini, tapi … tidak mungkin dia melakukan itu di depan Jennita dan Christian! Sementara itu Jayden kembali menatap Christian dengan tatapan menantang. “Tidakkah kau merasa bahwa dia sangat menggemaskan? Berlian sepertinya, tentu harus selalu kujaga.” Christian terdiam. Raut wajahnya yang sejak tadi menunjukkan keramahan kini berubah menjadi serius, pikirannya mencerna ucapan Jayden yang penuh teka-teki. ‘Ah, sepertinya kini aku mengerti …,’ pikir Christian. Di tengah ketegangan antara Jayden dan Christian, Jennita yang sejak tadi diam malah tertawa renyah menanggapi ucapan Jayden. “Ha ha ha, itu sangat benar Tuan Spencer! Lency-ku ini sangat menggemaskan sejak dulu, Anda memi
Suara dentingan alat makan terdengar mengisi kecanggungan di ruangan yang cukup besar dan mewah itu, baik Valency maupun Jennita tak ada yang berniat untuk bersuara. Mereka fokus dengan makanan masing-masing. Jayden melirik sejenak pada Valency yang terlihat setengah melamun selagi berusaha memotong steak miliknya. Akhirnya, pria itu pun meraih piring milik Valency, membuat gadis itu terkejut dan segera mengangkat garpu dan pisaunya. Kemudian, pria itu menukar piring steak miliknya yang telah terpotong-potong dengan milik Valency. “Makan punyaku saja, aku memesan menu yang sama,” ucap Jayden. Valency terbengong sesaat, agak terkejut dengan tindakan Jayden. Dia yang tadi sempat hampir bertengkar dengan pria tersebut merasa hatinya menjadi lebih hangat. “Terima kasih,” ucap Valency singkat sembari tersenyum tipis. Dirinya sudah terbiasa dengan sikap Jayden yang selalu manis, jadi dia tidak merasa aneh dan tidak berpikir panjang. Yang penting, dia tahu paling tidak Jayden tidak se
Dalam perjalanan pulang, suasana di dalam mobil sangatlah hening. Valency tampak mencuri-curi pandang ke arah Jayden, yakin bahwa pria itu masih marah padanya.“Kamu marah,” ucap Valency tiba-tiba, membuat Jayden yang tengah fokus menyetir seketika dibuat menoleh. “Untuk?” tanya Jayden memancing.“Mengenai pengacara,” ucap Valency lagi dengan kepala menunduk. “Kamu merasa tidak seharusnya aku bertindak seorang diri dan menyembunyikan hal itu padamu.”Ucapan Valency membuat Jayden menghela napas. Dia menepikan mobilnya sejenak dan menatap Valency serius. Tangannya menangkup wajah gadis itu dan membuat mereka saling menatap. “Apa kamu tahu? Mendengar ucapan Christian Black tadi membuatku sangat marah.”Hal itu sontak membuat Valency menciut, takut jika kini Jayden akan melampiaskan kemarahannya yang tertunda tadi. Melihat reaksi Valency membuat ekspresi Jayden menjadi sedikit tak berdaya. “Aku bukan marah padamu, Valey,” ucap Jayden. “Aku hanya kecewa karena merasa tidak bisa diandal
Seiring waktu ciuman Jayden menjadi semakin panas, dan hal tersebut membuat Valency juga semakin kehilangan napas. Tangan gadis itu mendarat di dada bidang Jayden, mencoba mendorong pria itu menjauh. Akan tetapi, dia kalah kuat.“Mmhh ….” Lenguhan rendah terdengar dari sisi Valency saat kenikmatan itu menjalar ke seluruh tubuhnya.Entah berapa lama keduanya saling memagut, Jayden berakhir melepaskan Valency. Pria itu menatap mata berkaca-kaca gadis tersebut dan juga wajah manisnya yang merona merah. Sungguh menggoda.“Kamu bilang … hanya satu ciuman …,” ujar Valency dengan napas terengah.Sudut bibir Jayden sedikit terangkat. “Dan, hanya satu ciuman yang kudapatkan,” balasnya seraya mendaratkan sebuah ciuman di leher Valency, membuat gadis itu menahan lenguhannya. “Ah … aku menginginkanmu sekarang ….”Suara bariton Jayden membuat tubuh Valency bergetar, seakan menandakan bahwa dia juga menantikan hal tersebut. Hanya saja, pandangan Valency menangkap sosok yang mendadak keluar dari da
Melihat Valency tidak terpancing sindirannya, Angela mendecakkan lidah dan memasang tatapan sinis. “Ular,” makinya lagi, membuat tatapan Jayden dan Cleo berubah gelap seketika.“Jaga sopan santunmu,” tegur Cleo, tidak suka dengan cara cucunya itu bersikap. “Sejak kapan seorang nona dari keluarga Spencer bersikap seperti gadis liar tanpa etika!” tegurnya.“Aku akan beretika kalau bukan dihadapkan dengan wanita murahan sepertinya!” ucap Angela.Mata Cleo mendelik marah. “Inikah hasil didikan ibumu!?”Angela terbelalak. “Jangan bawa-bawa ibuku! Dia mengajariku dengan baik!”Sebuah dengusan terdengar, dan semua orang melirik ke arah Jayden. “Didikan yang baik katanya.” Pria itu menyandarkan punggungnya di sofa dan melipat kedua tangannya. Ada pandangan mencemooh yang dia arahkan kepada Angela. “Aku bisa melihat hal itu.”Seluruh tubuh Angela bergetar dan tangannya mengepal. Dia tahu jelas sang kakak sedang mengejeknya.“Kakak! Sampai kapan kau akan terus membela perempuan murahan itu!?” s
"Kecelakaan itu. Jangan bilang ... kalau ada hubungannya dengan adikmu?"Poin pertama. Lalu Verena menggali lagi ingatannya yang tidak terlalu jauh, tentang ucapan Keith sebelum ini.Adik tirinya itu kesal karena Verena tidak bisa dihubungi. Namun, kalimatnya menunjukkan bahwa pertengkaran dengan Kimberly karena provokasi Verena adalah sebuah kelanjutan dari kecelakaan beberapa waktu yang lalu.Ya. Verena tidak salah.Keith yang tidak menjawab pun sudah merupakan jawaban yang jelas untuk Verena."Begitu." Verena mengangguk. Sampai pada sebuah kesimpulan.Pantas saja. Mencari tersangka kasus tabrak lari seharusnya tidak sulit, apalagi untuk keluarga berkuasa seperti Miller. Namun, itu jika memang pelakunya orang biasa yang kedudukannya di bawah keluarga Miller.Apabila kedudukan pelaku setara dengan keluarga Miller atau lebih tinggi, hasilnya hanya akan ada dua; pihak Verena akan kesulitan mencari tersangka atau ia bisa menemukannya, tapi tidak bisa melakukan apa pun.Apakah itu berart
Ketika Verena sampai di rumah yang ia huni hanya dengan seorang asisten rumah tangga, rupanya Keith tengah menunggu di ruang tamu."Dari mana saja?" Pria itu bertanya. Keith kemudian berdiri dan menghampiri Verena.Ekspresi pria itu tampak kesal dan terusik, yang Verena duga karena Keith sudah menunggu lama di sana."Rumah Ashton. Kenapa?" tanya Verena kembali. "Kamu kapan datang?"Keith berdecak kesal. Bibirnya cemberut dengan sangat kentara, sama sekali tidak menyembunyikan perasaannya. "Ponselmu mati?" Adik tiri Verena itu kembali bertanya.Mendengar itu, Verena mengeluarkan ponselnya yang memang sudah tidak bisa dinyalakan."Ah, iya. Kamu menghubungiku?" Verena melangkah ke tengah ruang tamu. "Ada apa? Soal pekerjaan?"Tidak ada jawaban dari Keith sampai-sampai Verena harus kembali fokus pada sang adik itu."Kalau mau merajuk, jangan sekarang, Keith," ucap Verena.Selain dengan Ashton, hubungan Verena dan Keith bisa dibilang tidak buruk. Apalagi memang kadang mereka bertemu dan s
"Verena. Jawab aku. Apakah kamu tertarik pada pria itu?"Verena tertegun. Selain karena pertanyaan Ashton, ekspresi kakak sepupunya yang tampak serius itu membuatnya bertanya-tanya.Kenapa pria itu bertanya demikian?"Jangan mengada-ada, Ash." Verena akhirnya merespons, tanpa menjawab pertanyaan Ashton."Siapa yang mengada-ada?" sahut Ashton. "Aku hanya bertanya.""Kenapa bertanya seperti itu? Aku dan dia tidak ada apa-apa.""Bukan itu yang kutanyakan, Ve. Tapi apakah kamu tertarik pada Eric Gray itu."Verena cemberut. Kepalanya mendadak sakit sebelah.Ia baru saja lolos dari Eric yang suka mendebat dan membuatnya sakit kepala. Verena tidak mau interaksinya dengan Ashton juga menyusahkan dirinya seperti ini.Tapi merajuk hanya akan membuatnya seperti anak kecil. Sekalipun hubungan Verena dan Ashton sekarang sudah membaik, ia tidak mau dianggap remeh oleh kakak sepupunya itu.Apalagi dimanjakan.Karenanya, Verena akhirnya berkata, "Dibandingkan tertarik, aku lebih ke menjaga hubungan b
"Alamat ini...." Eric mengernyit membaca alamat itu. Selama beberapa saat ia terdiam, sebelum kemudian bertanya, "Rumahmu?" Pria itu mengenali alamat itu sebagai kawasan perumahan elit tidak jauh dari rumahnya. "Apakah itu penting?" Verena justru balik bertanya. Eric berdecak pelan. "Kenapa kamu sulit sekali langsung menjawab pertanyaanku, hm?" katanya. "Apakah kamu suka sekali berdebat denganku?" Verena memutar bola matanya. "Itu kediaman asistenku." Wanita itu akhirnya menjawab. "Oh. Pria itu?" "Hm." "Ada urusan apa?" "Lebih baik kamu mulai menjalankan mobilnya sebelum kutendang keluar, Eric Gray." Nada suara Verena sudah mulai terdengar kesal, tidak lagi datar. Dan itu membuat Eric terkekeh. Memancing reaksi wanita ini selalu menyenangkan. Dengan sigap, ia menjalankan mobilnya sesuai rute yang disarankan oleh GPS. Obrolan di dalam mobil tidak sepenuhnya berlangsung dua arah karena Verena selalu menjawab dengan singkat, seperti memang sengaja memutus pemb
"Kenapa kamu selalu memaksa?""Karena kamu selalu kabur, Verena.""Itu berarti aku tidak nyaman, Eric Gray. Apakah untuk hal yang seperti ini saja, aku harus mengatakannya keras-keras?"Pada akhirnya, Verena mengatakan itu karena tidak punya alasan lain untuk menolak.Eric terdiam menatapnya. Sorot mata biru itu entah kenapa mengingatkan Verena pada pagi ketika pria itu melamarnya mendadak.Verena jadi merasa seperti ia telah melukai seekor anak anjing lucu yang tidak bersalah."Maksudku--"Akan tetapi, sebelum Verena meralat atau melembutkan maksud ucapannya, sorot mata terluka itu kembali berubah tajam."Bukankah seharusnya kamu tahu, bahwa satu kali penolakan itu membuatku berusaha lebih keras untuk mendapatkan apa yang kumau?" Eric berkata. "Masa aku harus mengatakan ini keras-keras, Nona Miller?"Verena mendengus. "Ya sudah, usaha saja besok. Hari ini cukup, biarkan aku sendiri.""Oh?" Eric tertawa kecil, lalu mengangkat tangannya. Seperti akan menyerah."Lalu bagaimana dengan pe
"Mau ke mana kamu!? Kembali ke sini, Verena! Hadapi aku!"Verena berpikir bahwa itu adalah ocehan biasa atau sekadar gertakan kosong dari adik tirinya. Menganggap bahwa Kimberly akhirnya gila karena dibakar cemburu buta.Ia sama sekali tidak menyangka kalau setelahnya, Eric Gray akan bergerak cepat menarik tubuh Verena dan membawanya beberapa jengkal lebih jauh sebelum kemudian terdengar suara pecahan kaca beradu dengan lantai, tak jauh darinya."Astaga, Kimberly!""Eric! Kamu baik-baik saja!?"Teriakan dari dua wanita paruh baya di sana terdengar hampir bersamaaan.Sementara itu, pandangan Verena terjatuh pada pecahan kaca tak jauh darinya. Ada beberapa yang kemudian terlempar dan menggores sisi kakinya yang tidak tertutup sepatu.Jika saja Eric tidak menolongnya, lemparan gelas itu pasti mengenai kepala Verena.Ah, iya, Eric--"Perempuan gila," bisik Eric, yang bisa didengar Verena dengan jelas.Nyaris saja ia berpikir kalau sebutan itu tertuju padanya. Apalagi karena kedua tangan E
"Apakah itu mengubah kenyataan bahwa wanita itu adalah putri Tuan Aster Miller?"Semuanya terdiam dengan ucapan Eric Gray."Eric." Beatrice Gray menghela napas. Hatinya merasa dongkol karena ini jauh dari rencananya. Ia tidak ingin keponakan tampannya yang menjanjikan ini harus terjebak dengan putri tiri sahabatnya yang tidak ia sukai. "Jangan mengada-ada. Kita di sini--""Untuk mempererat hubungan dua keluarga, bukan, Bibi? Aku paham." Eric mengangguk. itu kemudian menoleh pada Verena."Duduklah. Ini ada kaitannya denganmu," ucap Eric setelahnya. Menyadarkan Verena.Wanita itu baru saja mencatat dalam kepalanya kalau kegilaan Eric Gray sudah naik satu tingkat."Aku ada urusan lain." Kali ini, ucapan Verena tidak terdengar formal seperti tadi. "Silakan lanjutkan makan malamnya. Aku permisi.""Kamu yakin?" Eric kembali berkata. "Apa pun keputusan yang kuambil, kamu setuju?"Verena tertawa kecil. "Eric," balasnya. "Buka matamu. Di sini, aku sependapat dengan semua orang kecuali kamu."
"Makan malamlah denganku sebelum kamu pulang."Kalimat dari sang ayah itu lebih terdengar seperti titah bagi Verena, alih-alih ajakan atau ungkapan keinginan.Meski begitu, Verena tidak ragu untuk menolak."Saya lebih nyaman makan di rumah.""Ini rumahmu juga."Verena diam sejenak, mengatur kata-kata yang ingin langsung keluar dari bibirnya agar terdengar lebih sopan.Tapi gagal.Pada akhirnya, wanita itu tetap berkata, "Saya tidak merasa demikian."Untungnya, Aster Miller tidak lagi melarang ataupun meminta aneh-aneh pada Verena selain makan malam. Pria itu hanya menyampaikan bahwa kondisi Ashton sudah membaik, jika Verena belum tahu. Dan pria itu sudah bisa kembali bekerja minggu depan.Setelah itu, sang ayah melanjutkan jika mereka harus makan bertiga saat Ashton sudah kembali bertugas. Kali ini, Aster dengan jelas menggunakan alasan pekerjaan.Sepertinya keinginan Aster Miller untuk membuat Verena makan dengannya sangat kuat.Jika saja Verena tahu, mungkin Verena akan menyanggupin
"Balas pesanku." Setelah terdiam beberapa saat, Verena lebih memilih untuk bereaksi biasa."Selamat malam, Tuan Gray. Saya tidak menyangka akan bertemu Anda di sini," ucap Verena sembari tersenyum sopan.Ia sama sekali tidak menyinggung perihal pesan teks ataupun rumah sakit ataupun malan malam bersama tempo hari.Sementara itu, Eric menatapnya dalam diam. Manik birunya bergerak memindai wajah Verena dengan saksama.Masih ada plester luka kecil di sudut pelipisnya. Namun, selain itu, wanita keras kepala di hadapannya tampak baik-baik saja."Aku sendiri terkejut kamu ada di sini," balas Eric kemudian. Perhatiannya tertuju lurus pada Verena tanpa menggubris keberadaan bibi dan keluarga tiri Verena. "Tapi, ini merupakan kejutan yang menyenangkan."Verena menanggapinya dengan sopan sebelum undur diri."Mohon maaf, Tuan Miller sudah menunggu. Permisi."Wanita itu melirik pada pandangan penuh permusuhan dari Olivia dan Kimberly, tapi tidak terlalu memusingkan ataupun membalasnya. Verena ha