Wahahhaa, bagos Valency, bagoss! Emang THOL*L mereka!
Tangan Cecilia terkepal, tersinggung dengan ucapan Valency. “Kamu!” Cecilia melotot marah. “Kenapa marah?” Valency memotong ucapan Cecilia dengan wajah santai. Dia melipat kedua tangan dan memandang mantan sahabat baiknya itu dengan dingin. “Orang yang mendukung pelanggaran hak cipta dan perselingkuhan bukankah memiliki masalah dengan otak mereka? Ah, mungkin sebutan itu masih terlalu baik?” tanyanya seraya mengangkat sudut bibirnya.Keberanian Valency melawan dan menjawab ucapan Cecilia membuat banyak orang terkejut, apalagi selama ini Valency dikenal sangat penurut pada Cecilia. Mereka tak menyangka akan melihat perubahan Valency yang sangat drastis.Namun, di luar itu, mereka juga tidak menyangka akan mendengar tentang sebuah perselingkuhan! Ada skandal di sini!“Berselingkuh? Perselingkuhan apa yang dimaksud Valency?”“Cecilia mendukung perselingkuhan seseorang? Siapa?”Bisik-bisik penuh pertanyaan terdengar, ucapan ambigu Valency berhasil membuat mereka bertanya-tanya. Masalah
Melihat tingkah laku Felix membuat Jennita dan Valency sama-sama bingung. Jelas-jelas pria itu sudah tidur dengan Cecilia, kenapa malah berbicara tentang jalan ke mal?! Sinting!Di sisi lain, Felix, yang sedang tersenyum tak berdaya dan berusaha mengambil hati Valency, tertawa dalam hati melihat keraguan dan kebingungan gadis itu. ‘Pasti kamu tidak menyangka aku akan berperilaku seperti ini ‘kan, Lency? Pasti kamu bingung mengenai apa yang sebenarnya terjadi!’Sebenarnya, semua ini Felix lakukan karena dia tidak sepenuhnya tahu kapan dan bagaimana Valency tahu dirinya berselingkuh dengan Cecilia, makanya dia berasumsi Valency pernah memergokinya pergi jalan-jalan dengan nona muda Keluarga Owen itu. Kalau masalahnya benar itu, kecil untuk dihadapi dan diluruskan.Di luar itu, mengenai pernikahan Valency dan ayahnya, Felix tidak percaya. Tidak ada perayaan yang dilakukan, maupun pengumuman ke publik. Demikian, bisa jadi semuanya hanyalah sandiwara bodoh belaka. Lagi pula, mengenal si
“Felix!” Cecilia menghampiri Felix dan memeriksa wajahnya. “Kamu tidak apa-apa?!” Cecilia menatap Valency dengan wajah marah. “Valency, tega sekali kamu bertindak seperti ini kepada kekasihmu sendiri!?”Sama seperti Cecilia, semua orang juga dibuat terkejut dengan tindakan Valency. Dengan berani gadis itu menampar kekasih sekaligus idola para gadis-gadis di kampus, di depan semua orang!Namun, alih-alih mempertanyakan kenapa–karena hal itu sudah dijawab Valency beberapa kali sebelumnya–mereka lebih fokus terhadap hal lain, yakni perubahan Valency!“I-ini gila! Apa dia benar Valency Lambert yang itu? Apa dia masih orang yang sama!?”“Ke mana perginya Valency Lambert yang pendiam dan penurut!? Gadis di hadap
Seorang pemuda berambut hitam dengan mata biru mempesona itu tampak tersenyum santai selagi menghadapi Felix. Serentak, semua orang di tempat itu bersorak. “Itu ... Christian Black!” Christian Black, putra bungsu keluarga Black dan alumni dari kampus ini. Bukan hanya itu, dia adalah seorang artis ternama yang wajahnya selalu muncul di iklan-iklan brand terkenal. Dia merupakan idola bukan hanya para wanita kampus tersebut, tapi juga seluruh negara! “Kamu–!” Felix menggertakkan gigi. Felix mengenal Christian, sangat mengenalnya. Lagi pula, mereka sama-sama alumni kampus yang telah lulus dan bahkan pernah berada di satu kelas! Berbeda dari Felix yang melanjutkan kerja di dunia desain perhiasan, Christian beralih menjadi artis. Selama ini, Felix selalu menganggap Christian sebagai saingannya, apalagi kedudukannya sebagai pria terpopuler di kampus berada di bawah Christian. Begitu pula dengan keberhasilannya dalam karir. “Jangan mencampuri urusanku!” Felix berusaha melepaskan ta
“Sial, sial, sial!” Felix memukul kesal setir mobilnya, rahangnya mengetat dengan pandangan penuh amarah. Nafasnya memburu, menandakan emosinya telah memuncak. “Christian Black! Berani-beraninya dia menggangguku!” umpat Felix. Tangannya meremas erat setir mobil untuk melampiaskan amarah. “Lency juga! Apa dia sudah gila karena cemburu!? Bukan cuma mempermalukanku, dia juga menamparku! Dari mana dia dapat keberanian itu!?” celoteh Felix lagi, tak berniat berhenti mengeluarkan emosinya yang meledak-ledak. Cecilia yang sudah bosan mendengar nama Valency terus disebutkan Felix sejak tadi pun mengusap bahu kekasihnya lembut, berusaha menenangkan pria itu seperti biasanya. “Sudahlah, Sayang. Dibandingkan terus memikirkan perempuan itu, kita lebih baik memikirkan hal lain yang lebih penting,” ucap Cecilia dengan nada dibuat lembut dan menggoda. Felix menoleh sejenak, melirik tajam Cecilia. “Lebih penting untuk kita mengembalikan kepercayaan publik dan meyakinkan bahwa desain itu ada
Valency berlari kecil memasuki rumah, langkahnya terhenti begitu menemukan May yang menyambut kepulangannya dengan agak kaget. “Nyonya, jangan berlari. Hati-hati terpeleset,” ucap May saat melihat Valency begitu tergesa-gesa. “A-ah, ya,” balas Valency. Matanya bergerak gelisah ke ruang tamu yang kosong sebelum kembali menatap May. “Jayden di ruang kerja?” tanyanya cepat. May mengangguk pelan. “Dia … marah?” tanya Valency lagi. Senyum tak berdaya terlukis di wajah May. “Tuan pulang lebih awal hari ini dan mencari Nyonya saat pulang. Saat Tuan tahu Nyonya tidak berada di rumah, moodnya jadi sedikit … terganggu. Saya sudah mencoba untuk menjelaskan, tapi ….” May memilih kata-katanya dengan sangat hati-hati, tak ingin menakuti Valency. Akan tetapi, bagaimanapun May berusaha menutupi hal tersebut, Valency sudah terlebih dahulu memiliki firasat buruk. “Aku mengerti. Aku temui dia dulu. Terima kasih, May,” balas Valency sebelum melesat menuju ruang kerja Jayden. Sesampainya di depa
Menyingkirkan seseorang demi menjaga reputasi keluarga, itu adalah cara termudah dan paling sering dilakukan oleh para keluarga kelas atas. Valency tahu jelas mengenai hal tersebut. Di sisi lain, raut wajah Jayden terlihat menggelap mendengar ucapan Valency. “Kamu tahu dan kamu masih berkeliaran dengan sembarangan?” tegurnya. “Mereka tidak akan berani menyerangku di kampus, terlebih kalau aku berada di tempat terbuka, Jay,” jelas Valency. “Selain itu, sopirmu yang kuyakini memiliki kemampuan bela diri seperti pengawalmu yang lain juga berada di dekatku. Aku aman!” Gadis itu tersenyum. Jayden cukup kaget. Dia tidak menyangka kalau Valency memiliki ketelitian yang begitu luar biasa dan sudah memikirkan langkahnya dengan sangat hati-hati. Gadis ini memang tampak polos dan lugu, tapi pemikirannya sungguh di luar nalar. Akhirnya, Jayden pun berdiri dan bertanya, “Siapa yang melakukannya?” Dia mengusap pelan plester yang telah menutupi luka di dahi Valency. “Cecilia Owen?” Valency mengg
Valency yang baru saja keluar dari kamar mandi mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar, mencari keberadaan suaminya. Namun, dia tak menemukan Jayden di sana. Hal itu membuat Valency mengernyit. “Apa dia masih di ruang kerjanya?” tanya Valency pada dirinya sendiri. Mengingat hari ini Jayden pulang lebih awal, pasti suaminya itu meninggalkan banyak pekerjaan hanya untuk dirinya. Valency merasa bersalah.Jujur saja, Valency merasa selama beberapa waktu ini, dia sudah terlalu banyak menyusahkan Jayden alih-alih membantunya.Memikirkan hal tersebut, Valency berpikir dia harus melakukan sesuatu untuk Jayden, bahkan bila itu adalah hal kecil. Dengan sebuah ide di kepala, dia pun langsung bergegas menuju dapur. Sesampainya di sana, Valency melihat May yang sedang sibuk menyiapkan bahan untuk makan malam hari ini. “May,” panggilnya, membuat May menoleh.“Nyonya?” ucap May cepat. “Apa perlu sesuatu? Kalau Nyonya ingin makan sesuatu, bisa langsung beri tahukan padaku atau pelayan lainny
"Apa maksudmu dia tidak berada di daftar tamu?"Suara itu terdengar keras, memaksa Verena mengumpulkan kesadarannya perlahan. Setelah itu, si pemilik suara yang tampaknya kelepasan dengan bentakannya, kembali memelankan suaranya lagi hingga berupa gumaman-gumaman kurang jelas. Mungkin khawatir akan mengusik Verena.Namun, terlambat. Wanita itu sudah membuka matanya.Ia berada di sebuah ruangan yang cukup luas. Tampaknya seperti sebuah kamar hotel. Semua tirai jendela masih tertutup rapat, tapi Verena bisa melihat sedikit cahaya luar masuk melalui celahnya.Verena mengubah posisinya, berbaring terlentang. Mengumpulkan kesadaran yang--Tunggu. Kamar hotel!? Bukan kamarnya?Seketika Verena terduduk. Membuat kepalanya yang masih terasa berat mengalami sensasi seperti dibanting ke dinding.Ini bukan kamarnya. Verena menunduk dan meraba tubuhnya yang masih berada di balik selimut.Ini juga bukan gaun yang ia kenakan semalam. Bahkan bukan gaunnya--entah punya siapa."Kenapa bangun tiba-tiba
"Ada apa dengan ekspresimu? Ulah apa lagi yang kamu lakukan?"Kimberly segera menepis tangan Keith. "Apa maksudmu? Aku tidak melakukan apa-apa!"Mata abu-abu Keith menyipit. "Kim. Aku sudah memperingatkanmu. Kalau kamu menyentuh Verena lagi, aku akan--""Aku tidak melakukan apa pun! Justru wanita sial itu yang berulah!" Ucapan Kimberly terdengar cukup keras, membuat beberapa orang di sekitar mereka menoleh ke arahnya.Sudah jatuh, tertimpa tangga, lalu dikatai bodoh. Itulah perumpamaan yang cocok untuk kondisi Kimberly saat ini.Ia tidak bisa menemukan Eric yang kemungkinan sudah meminum minumannya yang sudah Kimberly campur dengan obat perangsang khusus. Suatu larutan asing dan tidak ada penawarnya, yang Kimberly dapatkan dari teman sang ibu. Tadi pria itu menemuinya.Satu-satunya cara untuk mengeluarkan zat asing itu dari tubuh si peminum adalah dengan berhubungan badan. Bahkan jika si peminum dibawa ke rumah sakit sekalipun, belum tentu dokter dan tim medis bisa mengatasinya.Lalu
“Tuan Gray. Sepertinya memang tidak ada pilihan lain.” Dengan kalimat itu, bahkan sebelum dokter keluarganya menjelaskan lebih lanjut, Eric sudah tahu apa yang harus ia lakukan.Ia pernah berada di posisi yang sama dengan Verena dan rasanya sangat menyiksa.Waktu itu, Verenalah yang membantunya. Meskipun Eric memaksakan dirinya pada gadis itu, sekalipun dengan tidak sadar. Hal itulah yang membuat Eric merasakan rasa tanggung jawab yang besar terhadap Verena.Dan itu jugalah yang ia rasakan sekarang.Namun, mengingat karakter Verena, gadis itu pasti akan membunuhnya jika Eric mengambil pilihan yang menempatkan pria itu dalam posisi yang "terlalu menguntungkan" dan terkesan mengambil kesempatan."Eric--" Suara Verena kembali terdengar. Wanita itu mencengkeram tangan Eric lebih erat, lalu menggeser tubuhnya agar tidur berbantalkan pangkuan Eric. Lalu, ia kembali mengerang. Detik itu juga, Eric membuat keputusan."Semuanya keluar," ucapnya dengan suara rendah. Nadanya terdengar rendah,
“Ini ... kamu, Eric Gray, aku ….” Jantung pria itu berdetak lebih cepat saat mendengar Verena mengatakan hal itu. Sorot mata tak percaya tampak jelas di sepasang matanya. Otaknya langsung berputar, mengingat bagaimana Verena bisa meminum obat perangsang padahal gadis itu hampir selalu bersamanya.Dan pikiran itu masuk begitu saja dalam kepalanya.Verena yang kehausan. Minuman di tangan Eric.Dari Kimberly.Ah, sial.“Eric …?” Verena kembali berbicara, membuat pria itu menunduk menatap wanita itu. "Aku--"Verena berkedip, berusaha menjernihkan fokusnya. Iris matanya yang indah itu mengamati seraut wajah di hadapan dari jarak yang amat dekat. Wanita itu bahkan bisa merasakan embusan napas keduanya, terdengar berat di telinga. Perlahan, Verena mengangkat tangannya, menyentuh pipi sosok itu dengan telapak tangan, menangkupnya dengan lembut. Sesuatu yang cukup mengejutkan, sekalipun memang setelah mengumpat tadi, Verena perlahan bersikap kebalikannya. Menempel pada Eric.Dingin. Saat
"Apa yang terjadi ...."Verena berpegang erat pada tepi wastafel hingga buku-buku jarinya memutih. Sebab tubuhnya sekarang mulai limbung."Permisi. Apa kamu baik-baik saja?"Verena mendengar salah satu pengunjung kamar mandi bertanya dan ia mengangguk, semata-mata karena ia sendiri tidak bisa menjelaskan apa yang sedang terjadi pada dirinya."Wajahmu pucat." Gadis itu kembali berkomentar. Lalu ia mengeluarkan beberapa jenis pil dari dalam tasnya. "Jika ... kamu sedang datang bulan dan merasa tidak nyaman karenanya, ini aku ada obat."Gadis itu meletakkan obat-obatan itu di tepi wastafel, di hadapan Verena."Tidak apa-apa. Jangan malu." Verena mendengar gadis asing itu kembali berucap. "Perlu kuantar ke petugas? Aku juga bisa memanggil dokter."Verena hanya tersenyum tipis dan mengucapkan terima kasih. Ia menggeleng, mencoba menyampaikan kalau ia tidak butuh bantuan.Meski sebenarnya, ia merasa bahwa ia akan mati di sini Lalu gadis itu keluar dan Verena sendirian di dalam toilet.Ve
"... Verena, kamu baik-baik saja?"Pertanyaan itu meluncur dari bibir Eric ketika Verena tanpa sadar menggenggam ujung jas pria itu dan meremasnya kuat-kuat. Wajah wanita itu kini agak pucat dan napasnya menjadi lebih berat."Kelelahan?" tanya Eric lagi. Bukan apa-apa. Bisa jadi memang wanitanya ini sedang kelelahan, bukan? Dengan segala kesibukan sebagai pengganti sang ayah, Verena sampai pada batasnya juga. Namun, Verena menggeleng. Ini jelas bukab kelelahan. Ia tidak selemah itu.Sejak dulu, Verena sudah terbiasa bekerja dan lembur. Mengurusi klien dan bersosialisasi juga sudah sering ia lakukan karena pekerjaannya. Jadi ia tidak akan tumbang semudah ini.Selain itu, kondisinya ini terlalu tiba-tiba.Tidak mungkin Verena yang normal dan sehat bisa menjadi seperti ini begitu saja?"Kita menyingkir--""Aku ke toilet dulu," ucap Verena, menepis lengan Eric sekarang. Di sini terlalu banyak orang. Pikirannya terasa kacau dan tidak nyaman. Mungkin sedikit udara segar bisa membersihkan
"Maaf, aku harus keluar lagi. Ada yang harus aku pastikan.""Mau ke mana?"Eric bertanya. Tidak seperti dugaan Verena, Eric tidak melepaskannya begitu saja. Padahal Verena pikir, pria itu akan mengiakan saja keputusan Verena seperti tadi."Ke luar. Sebentar. Kan sudah aku bilang.""Jawab dengan lebih spesifik, Verena." Eric berucap.Langsung saja, Verena menghela napas."Aku perlu memastikan beberapa tamu. Oke?""Kalau kamu memerlukan daftar tamu, bisa kuberikan.""Ya, tapi aku juga perlu menemui orang ini.""Siapa? Kutemani.""Tidak perlu. Ini acaramu. Kamu harus tetap di sini.""Tanpa tunanganku? Jangan bercanda."Verena berdecak. Merasa kesal.Karena tidak ingin kehilangan jejak seperti tadi, wanita itu nekat melangkah pergi----tapi ia justru berakhir terpenjara dalam tangan kekar Eric."Eric--""Kamu tahu," ucap Eric diikuti helaan napas. "Mengejarmu memerlukan kesabaran ekstra."Verena langsung merengut. Bukan karena ucapan Eric, melainkan karena posisi mereka. Si Presdir arogan
"Aku tidak mau kamu mati konyol, Verena. Tidak bisakah kamu memahami hal itu?"Ucapan yang meluncur dari bibir Keith itu tidak terlalu mengejutkan Verena. Namun, nada bicara dan ekspresi yang ditunjukkan oleh adik tirinya itu sukses membuat Verena terdiam.Ada yang asing dari tatap manik mata abu-abu itu.Sepasang warna abu-abu yang familiar itu--Apalagi bagaimana Keith membuang muka setelahnya, lalu mengusap tengkuk dengan kikuk sementara ujung telinganya memerah.Keanehan itu ... tidak bisa Verena pandang sebagai sebuah tingkah adiknya yang lucu.Bukan karena sikap Keith tidak lucu. Melainkan karena tingkahnya tidak seperti seorang adik pada umumnya.Seakan-akan--Tidak. Pasti Verena salah. Ia selalu salah dalam hal ini, kan?"Keith ... kamu--"Keith mengangkat tangannya sembari menghela napas."Sudahlah." Keith menukas. "Toh Ayah sudah merestui pertunanganmu, bukan? Lupakan saja.""Yah. Itu mustahil." Verena berusaha terdengar tegas, tapi ucapannya tak lebih dari sebuah gumaman.M
"Nona, Anda baik-baik saja?"Sosok itu adalah seorang pria paruh baya, dengan rambut hitam yang sudah banyak beruban. Namun, penampilannya tampak rapi, tidak serampangan. Mengindikasikan bahwa kemungkinan beliau adalah salah satu tamu undangan Eric Gray.Meski begitu, penampilannya tampak terlalu sederhana untuk dikatakan kaum sosialita.Namun, bukan itu yang membuat Verena tertegun. Mata abu-abu itu ... tampak familier bagi Verena. Di mana--"Nona?""Ah." Verena berkedip. "Maaf, Tuan. Saya tidak melihat ke depan." Verena buru-buru berkata setelahnya."Saya tidak masalah. Tapi apakah Anda baik-baik saja?""Saya tidak apa-apa. Permisi."Verena sedikit menunduk dan langsung pergi dari sana, ke arah yang dituju oleh Kimberly tadi.Namun, sayangnya, interupsi singkat tadi sudah cukup untuk melenyapkan jejak adik tirinya.Tanpa sadar, Verena menghela napas. Menyayangkan fokusnya yang sempat teralihkan tadi."Verena."Panggilan itu membuat Verena menoleh dan mendapati sosok Keith tengah ber