Hi guyss, mau tanya gimana nih komentar mengenai ceritanya sampai di sini. Jangan lupa kasih tahu author biar memotivasi author untuk lanjut menulis yaa! Cheers!
Valency berlari kecil memasuki rumah, langkahnya terhenti begitu menemukan May yang menyambut kepulangannya dengan agak kaget. “Nyonya, jangan berlari. Hati-hati terpeleset,” ucap May saat melihat Valency begitu tergesa-gesa. “A-ah, ya,” balas Valency. Matanya bergerak gelisah ke ruang tamu yang kosong sebelum kembali menatap May. “Jayden di ruang kerja?” tanyanya cepat. May mengangguk pelan. “Dia … marah?” tanya Valency lagi. Senyum tak berdaya terlukis di wajah May. “Tuan pulang lebih awal hari ini dan mencari Nyonya saat pulang. Saat Tuan tahu Nyonya tidak berada di rumah, moodnya jadi sedikit … terganggu. Saya sudah mencoba untuk menjelaskan, tapi ….” May memilih kata-katanya dengan sangat hati-hati, tak ingin menakuti Valency. Akan tetapi, bagaimanapun May berusaha menutupi hal tersebut, Valency sudah terlebih dahulu memiliki firasat buruk. “Aku mengerti. Aku temui dia dulu. Terima kasih, May,” balas Valency sebelum melesat menuju ruang kerja Jayden. Sesampainya di depa
Menyingkirkan seseorang demi menjaga reputasi keluarga, itu adalah cara termudah dan paling sering dilakukan oleh para keluarga kelas atas. Valency tahu jelas mengenai hal tersebut. Di sisi lain, raut wajah Jayden terlihat menggelap mendengar ucapan Valency. “Kamu tahu dan kamu masih berkeliaran dengan sembarangan?” tegurnya. “Mereka tidak akan berani menyerangku di kampus, terlebih kalau aku berada di tempat terbuka, Jay,” jelas Valency. “Selain itu, sopirmu yang kuyakini memiliki kemampuan bela diri seperti pengawalmu yang lain juga berada di dekatku. Aku aman!” Gadis itu tersenyum. Jayden cukup kaget. Dia tidak menyangka kalau Valency memiliki ketelitian yang begitu luar biasa dan sudah memikirkan langkahnya dengan sangat hati-hati. Gadis ini memang tampak polos dan lugu, tapi pemikirannya sungguh di luar nalar. Akhirnya, Jayden pun berdiri dan bertanya, “Siapa yang melakukannya?” Dia mengusap pelan plester yang telah menutupi luka di dahi Valency. “Cecilia Owen?” Valency mengg
Valency yang baru saja keluar dari kamar mandi mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar, mencari keberadaan suaminya. Namun, dia tak menemukan Jayden di sana. Hal itu membuat Valency mengernyit. “Apa dia masih di ruang kerjanya?” tanya Valency pada dirinya sendiri. Mengingat hari ini Jayden pulang lebih awal, pasti suaminya itu meninggalkan banyak pekerjaan hanya untuk dirinya. Valency merasa bersalah.Jujur saja, Valency merasa selama beberapa waktu ini, dia sudah terlalu banyak menyusahkan Jayden alih-alih membantunya.Memikirkan hal tersebut, Valency berpikir dia harus melakukan sesuatu untuk Jayden, bahkan bila itu adalah hal kecil. Dengan sebuah ide di kepala, dia pun langsung bergegas menuju dapur. Sesampainya di sana, Valency melihat May yang sedang sibuk menyiapkan bahan untuk makan malam hari ini. “May,” panggilnya, membuat May menoleh.“Nyonya?” ucap May cepat. “Apa perlu sesuatu? Kalau Nyonya ingin makan sesuatu, bisa langsung beri tahukan padaku atau pelayan lainny
Valency tersentak halus merasakan ada tangan yang tiba-tiba melingkar di pinggangnya. Kepalanya menoleh sedikit ke belakang dan mendapati wajah tampan Jayden. “J-jay ... “ Wajah Valency bersemu memerah dan memanas, menyadari tatapan May dan pelayan lainnya kini menatap mereka. Namun, Jayden seolah tak peduli dengan hal itu. Dia malah semakin mempertunjukkan kemesraannya dengan Valency. “Kenapa kamu ada di sini?” tanya Valency gugup sekaligus malu. Jayden meletakkan dagunya di pundak Valency, membuat beberapa pelayan menahan diri untuk tidak memekik melihat kemesraan Tuan dan Nyonya mereka yang sangat jarang. “Ini rumahku, kenapa aku tidak boleh berada di sini?” Jayden balik membalas, menjahili Valency. “Tidak! B-bukan begitu maksudku ... “ Valency menjadi semakin malu dan salah tingkah, membuatnya menundukkan kepala untuk menyembunyikan wajahnya yang benar-benar memerah. Kedua sudut bibir Jayden tertarik untuk membentuk senyum kecil saat menyadari istrinya sedang malu. D
“Kamu mendengarnya?!” Kedua mata Valency membulat sempurna. Jayden terlihat santai, berbanding terbalik dengan ekspresi Valency yang menjadi panik sendiri. Hal itu membuat Jayden terkekeh geli, padahal dia tak akan melakukan apa-apa pada Valency. ‘B-bagaimana bisa dia mendengar percakapanku dengan May?’ tanya Valency lagi dalam hati. ‘Bukankah dia ada di ruang kerjanya?’ Dia tak habis pikir bagaimana Jayden bisa mendengarnya, padahal jarak antara dapur dan ruang kerja Jayden sangat jauh. Jayden yang seakan bisa membaca pikiran Valency mengedikan bahunya santai. “Suara kalian begitu besar, tentu saja aku yang berada di ruang tamu bisa mendengarnya.” Ucapan Jayden membuat Valency melongo dan mematung seketika. Jadi Jayden berada di ruang tamu?! Astaga! Jadi pria itu mendengar semua percakapannya!? Dari awal sampai akhir!? ‘Ya ampun, Valency Lambert. Bisa-bisanya kamu seceroboh itu!?’ Tidak menyangka pria itu ada di ruang tamu, Valency merutuki dirinya sendiri. Seharusnya, dia
“Tuan, ada surat untuk Nyonya.” May datang memasuki ruang kerja Jayden, menyodorkan sebuah amplop cokelat dengan logo pengadilan di atasnya. “Panggilkan Valency, katakan aku ingin bicara dengannya,” titah Jayden. May mengangguk, bergegas melenggang keluar dari ruang kerja Jayden tanpa banyak bertanya. Mendapati amplop dari pengadilan bertuliskan nama nyonya barunya saja sudah berhasil mengejutkan May pagi ini. Namun, melihat reaksi tuannya yang biasa-biasa saja malah terlihat santai juga membuat May mengerti jika majikannya itu sudah memiliki rencana. Artinya, tidak akan ada masalah yang terjadi. Baru saja May hendak memanggil Valency di kamar, Valency sudah lebih dulu keluar dari kamarnya. Tubuhnya tersentak halus melihat May yang berada di depan pintu. “Ada apa, May?” tanya Valency bingung. “Aku tidak memanggilmu, apa ada sesuatu?” “Selamat pagi Nyonya. Tuan Jayden meminta Nyonya untuk datang ke ruang kerjanya,” ucap May sembari tersenyum. Kerutan di kening Valency bertam
Valency menatap cemas keadaan di luar mobil, dirinya terlihat sama sekali belum ada niat untuk turun padahal mobil yang membawanya telah berhenti. “Kita sudah sampai dari sepuluh menit yang lalu, mau berapa lama lagi kamu menatap keadaan di luar?” tanya Jayden sembari bersandar santai di balik kemudi. Sontak Valency melempar tatapan kesal pada suaminya dan berkata, “Ini semua salahmu, Jay!” Dia melanjutkan, “Sudah kubilang untuk tidak mengantarku, tapi kamu tetap keras kepala!” Ekspresi gadis itu sangat kesal. Bagaimana tak kesal, Valency awalnya hanya ingin makan siang bersama Jennita. Namun, Jayden malah memaksa untuk mengantarnya langsung dengan mobil pribadinya. Bahkan, tidak ada sopir yang mengikuti, hanya Jayden sendiri! Oleh karena itu, sekarang Valency takut jika ada paparazi yang menangkapnya keluar dari mobil Jayden. Bisa-bisa akan ada masalah lain yang tercetus! “Bagaimana kalau nanti ada yang melihat kita? Kamu sendiri belum ingin pernikahan ini terbongkar, ‘kan?!”
Valency terbelalak, lalu meremas ujung kemeja yang dia kenakan demi menekan rasa gugup dan panik karena pertanyaan Christian. Bagaimana pria itu bisa melihatnya? Bukankah Jayden sendiri berkata kaca film mobilnya sangat gelap sehingga aman dari pandangan luar? Tidak, lebih penting dari itu, bagaimana mungkin Christian tahu mobil seorang Jayden Spencer?! Melihat Valency terdiam, Jennita pun bertanya dengan bingung, “Kamu benar-benar datang bersama Jayden Spencer?” Bola mata Valency bergerak risau. “Itu ….” Haruskah Valency berbohong? Akan tetapi, bagaimana bisa berbohong kalau Christian tampaknya begitu yakin dengan apa yang dia lihat? Valency menatap Jennita yang terus menatapnya lurus. Kalau Jennita tahu dia berbohong, temannya itu pasti akan sangat tersinggung dan marah besar. Akan tetapi, di sisi lain, Valency tidak bisa semudah itu mengaku dan membongkar hubungannya dengan Jayden, bukan? Tunggu … memangnya kalau mengaku berarti Valency harus membongkar hubungannya? Va
"Kecelakaan itu. Jangan bilang ... kalau ada hubungannya dengan adikmu?"Poin pertama. Lalu Verena menggali lagi ingatannya yang tidak terlalu jauh, tentang ucapan Keith sebelum ini.Adik tirinya itu kesal karena Verena tidak bisa dihubungi. Namun, kalimatnya menunjukkan bahwa pertengkaran dengan Kimberly karena provokasi Verena adalah sebuah kelanjutan dari kecelakaan beberapa waktu yang lalu.Ya. Verena tidak salah.Keith yang tidak menjawab pun sudah merupakan jawaban yang jelas untuk Verena."Begitu." Verena mengangguk. Sampai pada sebuah kesimpulan.Pantas saja. Mencari tersangka kasus tabrak lari seharusnya tidak sulit, apalagi untuk keluarga berkuasa seperti Miller. Namun, itu jika memang pelakunya orang biasa yang kedudukannya di bawah keluarga Miller.Apabila kedudukan pelaku setara dengan keluarga Miller atau lebih tinggi, hasilnya hanya akan ada dua; pihak Verena akan kesulitan mencari tersangka atau ia bisa menemukannya, tapi tidak bisa melakukan apa pun.Apakah itu berart
Ketika Verena sampai di rumah yang ia huni hanya dengan seorang asisten rumah tangga, rupanya Keith tengah menunggu di ruang tamu."Dari mana saja?" Pria itu bertanya. Keith kemudian berdiri dan menghampiri Verena.Ekspresi pria itu tampak kesal dan terusik, yang Verena duga karena Keith sudah menunggu lama di sana."Rumah Ashton. Kenapa?" tanya Verena kembali. "Kamu kapan datang?"Keith berdecak kesal. Bibirnya cemberut dengan sangat kentara, sama sekali tidak menyembunyikan perasaannya. "Ponselmu mati?" Adik tiri Verena itu kembali bertanya.Mendengar itu, Verena mengeluarkan ponselnya yang memang sudah tidak bisa dinyalakan."Ah, iya. Kamu menghubungiku?" Verena melangkah ke tengah ruang tamu. "Ada apa? Soal pekerjaan?"Tidak ada jawaban dari Keith sampai-sampai Verena harus kembali fokus pada sang adik itu."Kalau mau merajuk, jangan sekarang, Keith," ucap Verena.Selain dengan Ashton, hubungan Verena dan Keith bisa dibilang tidak buruk. Apalagi memang kadang mereka bertemu dan s
"Verena. Jawab aku. Apakah kamu tertarik pada pria itu?"Verena tertegun. Selain karena pertanyaan Ashton, ekspresi kakak sepupunya yang tampak serius itu membuatnya bertanya-tanya.Kenapa pria itu bertanya demikian?"Jangan mengada-ada, Ash." Verena akhirnya merespons, tanpa menjawab pertanyaan Ashton."Siapa yang mengada-ada?" sahut Ashton. "Aku hanya bertanya.""Kenapa bertanya seperti itu? Aku dan dia tidak ada apa-apa.""Bukan itu yang kutanyakan, Ve. Tapi apakah kamu tertarik pada Eric Gray itu."Verena cemberut. Kepalanya mendadak sakit sebelah.Ia baru saja lolos dari Eric yang suka mendebat dan membuatnya sakit kepala. Verena tidak mau interaksinya dengan Ashton juga menyusahkan dirinya seperti ini.Tapi merajuk hanya akan membuatnya seperti anak kecil. Sekalipun hubungan Verena dan Ashton sekarang sudah membaik, ia tidak mau dianggap remeh oleh kakak sepupunya itu.Apalagi dimanjakan.Karenanya, Verena akhirnya berkata, "Dibandingkan tertarik, aku lebih ke menjaga hubungan b
"Alamat ini...." Eric mengernyit membaca alamat itu. Selama beberapa saat ia terdiam, sebelum kemudian bertanya, "Rumahmu?" Pria itu mengenali alamat itu sebagai kawasan perumahan elit tidak jauh dari rumahnya. "Apakah itu penting?" Verena justru balik bertanya. Eric berdecak pelan. "Kenapa kamu sulit sekali langsung menjawab pertanyaanku, hm?" katanya. "Apakah kamu suka sekali berdebat denganku?" Verena memutar bola matanya. "Itu kediaman asistenku." Wanita itu akhirnya menjawab. "Oh. Pria itu?" "Hm." "Ada urusan apa?" "Lebih baik kamu mulai menjalankan mobilnya sebelum kutendang keluar, Eric Gray." Nada suara Verena sudah mulai terdengar kesal, tidak lagi datar. Dan itu membuat Eric terkekeh. Memancing reaksi wanita ini selalu menyenangkan. Dengan sigap, ia menjalankan mobilnya sesuai rute yang disarankan oleh GPS. Obrolan di dalam mobil tidak sepenuhnya berlangsung dua arah karena Verena selalu menjawab dengan singkat, seperti memang sengaja memutus pemb
"Kenapa kamu selalu memaksa?""Karena kamu selalu kabur, Verena.""Itu berarti aku tidak nyaman, Eric Gray. Apakah untuk hal yang seperti ini saja, aku harus mengatakannya keras-keras?"Pada akhirnya, Verena mengatakan itu karena tidak punya alasan lain untuk menolak.Eric terdiam menatapnya. Sorot mata biru itu entah kenapa mengingatkan Verena pada pagi ketika pria itu melamarnya mendadak.Verena jadi merasa seperti ia telah melukai seekor anak anjing lucu yang tidak bersalah."Maksudku--"Akan tetapi, sebelum Verena meralat atau melembutkan maksud ucapannya, sorot mata terluka itu kembali berubah tajam."Bukankah seharusnya kamu tahu, bahwa satu kali penolakan itu membuatku berusaha lebih keras untuk mendapatkan apa yang kumau?" Eric berkata. "Masa aku harus mengatakan ini keras-keras, Nona Miller?"Verena mendengus. "Ya sudah, usaha saja besok. Hari ini cukup, biarkan aku sendiri.""Oh?" Eric tertawa kecil, lalu mengangkat tangannya. Seperti akan menyerah."Lalu bagaimana dengan pe
"Mau ke mana kamu!? Kembali ke sini, Verena! Hadapi aku!"Verena berpikir bahwa itu adalah ocehan biasa atau sekadar gertakan kosong dari adik tirinya. Menganggap bahwa Kimberly akhirnya gila karena dibakar cemburu buta.Ia sama sekali tidak menyangka kalau setelahnya, Eric Gray akan bergerak cepat menarik tubuh Verena dan membawanya beberapa jengkal lebih jauh sebelum kemudian terdengar suara pecahan kaca beradu dengan lantai, tak jauh darinya."Astaga, Kimberly!""Eric! Kamu baik-baik saja!?"Teriakan dari dua wanita paruh baya di sana terdengar hampir bersamaaan.Sementara itu, pandangan Verena terjatuh pada pecahan kaca tak jauh darinya. Ada beberapa yang kemudian terlempar dan menggores sisi kakinya yang tidak tertutup sepatu.Jika saja Eric tidak menolongnya, lemparan gelas itu pasti mengenai kepala Verena.Ah, iya, Eric--"Perempuan gila," bisik Eric, yang bisa didengar Verena dengan jelas.Nyaris saja ia berpikir kalau sebutan itu tertuju padanya. Apalagi karena kedua tangan E
"Apakah itu mengubah kenyataan bahwa wanita itu adalah putri Tuan Aster Miller?"Semuanya terdiam dengan ucapan Eric Gray."Eric." Beatrice Gray menghela napas. Hatinya merasa dongkol karena ini jauh dari rencananya. Ia tidak ingin keponakan tampannya yang menjanjikan ini harus terjebak dengan putri tiri sahabatnya yang tidak ia sukai. "Jangan mengada-ada. Kita di sini--""Untuk mempererat hubungan dua keluarga, bukan, Bibi? Aku paham." Eric mengangguk. itu kemudian menoleh pada Verena."Duduklah. Ini ada kaitannya denganmu," ucap Eric setelahnya. Menyadarkan Verena.Wanita itu baru saja mencatat dalam kepalanya kalau kegilaan Eric Gray sudah naik satu tingkat."Aku ada urusan lain." Kali ini, ucapan Verena tidak terdengar formal seperti tadi. "Silakan lanjutkan makan malamnya. Aku permisi.""Kamu yakin?" Eric kembali berkata. "Apa pun keputusan yang kuambil, kamu setuju?"Verena tertawa kecil. "Eric," balasnya. "Buka matamu. Di sini, aku sependapat dengan semua orang kecuali kamu."
"Makan malamlah denganku sebelum kamu pulang."Kalimat dari sang ayah itu lebih terdengar seperti titah bagi Verena, alih-alih ajakan atau ungkapan keinginan.Meski begitu, Verena tidak ragu untuk menolak."Saya lebih nyaman makan di rumah.""Ini rumahmu juga."Verena diam sejenak, mengatur kata-kata yang ingin langsung keluar dari bibirnya agar terdengar lebih sopan.Tapi gagal.Pada akhirnya, wanita itu tetap berkata, "Saya tidak merasa demikian."Untungnya, Aster Miller tidak lagi melarang ataupun meminta aneh-aneh pada Verena selain makan malam. Pria itu hanya menyampaikan bahwa kondisi Ashton sudah membaik, jika Verena belum tahu. Dan pria itu sudah bisa kembali bekerja minggu depan.Setelah itu, sang ayah melanjutkan jika mereka harus makan bertiga saat Ashton sudah kembali bertugas. Kali ini, Aster dengan jelas menggunakan alasan pekerjaan.Sepertinya keinginan Aster Miller untuk membuat Verena makan dengannya sangat kuat.Jika saja Verena tahu, mungkin Verena akan menyanggupin
"Balas pesanku." Setelah terdiam beberapa saat, Verena lebih memilih untuk bereaksi biasa."Selamat malam, Tuan Gray. Saya tidak menyangka akan bertemu Anda di sini," ucap Verena sembari tersenyum sopan.Ia sama sekali tidak menyinggung perihal pesan teks ataupun rumah sakit ataupun malan malam bersama tempo hari.Sementara itu, Eric menatapnya dalam diam. Manik birunya bergerak memindai wajah Verena dengan saksama.Masih ada plester luka kecil di sudut pelipisnya. Namun, selain itu, wanita keras kepala di hadapannya tampak baik-baik saja."Aku sendiri terkejut kamu ada di sini," balas Eric kemudian. Perhatiannya tertuju lurus pada Verena tanpa menggubris keberadaan bibi dan keluarga tiri Verena. "Tapi, ini merupakan kejutan yang menyenangkan."Verena menanggapinya dengan sopan sebelum undur diri."Mohon maaf, Tuan Miller sudah menunggu. Permisi."Wanita itu melirik pada pandangan penuh permusuhan dari Olivia dan Kimberly, tapi tidak terlalu memusingkan ataupun membalasnya. Verena ha