Mendengar ucapan sang ibu, Verena menautkan alis selagi menatap Gracia. Dia jelas tidak pernah mengatakan Gracia bukanlah wanita terhormat karena hanya bisa berlindung di balik orang tuanya. Dia hanya memperingatkan gadis itu untuk berhenti bermuka dua demi menjatuhkan orang lain!Verena menghela napas. Ini jelas sudah lagu lama, di mana Gracia akan melebih-lebihkan ucapannya untuk membuat drama di depan orang tua mereka, lalu Verena akan berakhir ditegur.Kalau seperti itu, apa gunanya membela diri?“Verena, Mama bicara padamu!” bentak Viona lagi, membuat Verena menautkan alis. “Kalau sudah percaya, untuk apa lagi bertanya? Aku membela diri juga tidak akan ada gunanya, bukan?” balas Verena selagi menatap ibunya lurus.Viona terbelalak, tidak menyangka putrinya tersebut akan membalas ucapannya seperti itu.Melihat wajah Viona, Damian tahu kalau ibu dan anak itu akan kembali bertengkar. Dalam hatinya, dia juga dilema harus membela siapa, terutama karena pada kenyataannya, dia tidak ta
“Haruskah aku pergi saja?” pikir Verena saat dirinya berbaring di atas tempat tidur.Setelah pertengkaran besar dengan ibunya tadi, Verena kembali ke kamarnya, membersihkan diri, lalu bersiap untuk tidur. Namun, betapa pun dia berusaha untuk tidur, Verena tidak bisa berhenti memikirkan pertengkarannya tadi dengan Viona.Sudah tiga tahun berlalu semenjak terakhir mereka membahas mengenai ayahnya, dan terakhir kali Verena menyebut pria itu, dirinya hampir berakhir diusir dari rumah kalau bukan karena bantuan Damian yang menenangkan Viona. Hanya saja, kali ini … Verena merasa sudah lelah.Sedari awal, Verena tahu sang ibu memang tidak menginginkan dirinya. Lagi pula, kelahirannya adalah sebuah kecelakaan yang terjadi akibat jebakan pamannya, Vincent, yang berniat untuk menguasai keseluruhan warisan Jones dengan merusak reputasi Viona.Namun, rencana itu tidak berhasil lantaran orang yang berujung tidur dengan Viona merupakan Aster Jonathan Miller, salah satu sosok terkuat di Utopia. Den
“Kamu bilang apa?!”Suara melengking Viona bergema di kediaman tersebut, membuat bukan hanya Verena meringis, tapi Damian mengelus pundak sang istri untuk menenangkannya. “Apa maksudmu kamu akan kembali ke Utopia jhari ini?!” sergah Viona sembari menatap nyalang sang putri, tampak marah mendengar ide gila Verena. “Apa ini semua karena kejadian beberapa malam lalu?! Kau tidak terima aku menegurmu!?”Helaan napas terdengar dari bibir Verena selagi Damian terus berusaha menenangkan istrinya. Setelah menerima telepon dari Ashton dan mendapatkan kabar tentang sang ayah, Verena akhirnya memutuskan kembali ke Utopia. Bukan hanya karena dia merasa situasinya dengan Viona dan keluarga sang ibu sedang perlu ‘istirahat’, tapi ucapan Ashton ada benarnya.Seberapa pun besarnya dosa sang ayah kandung kepada Verena, tapi wanita itu tidak bisa membiarkan pria tersebut mati begitu saja tanpa menemuinya. Tidak ada yang tahu penyesalan macam apa yang kiranya akan hinggap bila hal itu terjadi.Alhasil,
“Verena, aku di sini!” Setibanya di bandara Utopia, Verena disambut dengan suara bariton yang meneriaki namanya. Verena sempat celingukan mencari asal suara karena kondisi pintu keluar bandara yang cukup ramai membuatnya tak langsung menemukan sosok tersebut. Sampai akhirnya, matanya bersitatap dengan sosok pria tinggi tegap dengan wajah mengagumkan. Rahang tegas, hidung mancung dengan mata sebiru lautan. Pria itu tampak gagah meski hanya mengenakan pakaian kasual dengan kacamata yang menggantung di kerah kaosnya, sedang berdiri sambil bersandar pada body mobil dengan senyum lebar sambil melambaikan tangan pada Verena.Verena tersenyum, balas melambaikan tangan. “Ashton.” Verena menarik kopernya, kaki jenjang itu melangkah cepat menghampiri pria itu. Ashton merentangkan kedua tangan, Verena pun langsung mendekap pria itu dengan hangat. Semerbak wangi parfum maskulin memenuhi indera penciumannya, membuat Verena sedikit bernostalgia. Ashton, dia masih sama.Balas memeluk Verena dan
Verena memandang ke luar jendela saat mobil yang dikendarai Ashton melaju meninggalkan bandara, menuju mansion besar kediaman keluarga Miller. Perempuan itu sibuk dengan pikirannya sendiri, mencatat dalam diam sudah berapa banyak perubahan yang ia temui sepanjang jalan sembari membandingkannya dengan yang ada dalam ingatan.Apalagi beberapa tahun sudah berlalu sejak terakhir kali ia meninggalkan Utopia."Verena.""Hm?" Perempuan itu sekilas menoleh pada Ashton yang duduk di sebelahnya."Apa yang kamu pikirkan?"Verena kembali menatap ke luar jendela. "Tidak ada," jawabnya, tidak ingin memberikan penjelasan lebih lanjut."Apakah kamu," Ashton kembali berkata. Mata pria itu mengamati Verena sepintas sebelum kemudian kembali fokus ke jalan, "khawatir bagaimana reaksi keluarga besar Miller tentang kepulanganmu?"Verena tidak langsung menjawab. Namun, tak lama, ia turut menyimpulkan bahwa perasaan tidak nyaman yang dirasakannya sejak tadi adalah karena hal tersebut."Mungkin," akunya. "Se
Verena mematung.Wanita itu berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa pemandangan yang ada di depannya itu nyata. Ayahnya dalam kondisi bugar dan baik, jauh dari kata sakit apalagi sekarat seperti yang Ashton katakan sebelumnya."Ashton," gumam Verena, lalu menoleh pada pria itu. Namun, Ashton sendiri tetap di luar dan langsung menutup pintu begitu Verena masuk ke dalam ruangan Aster.Wanita itu berdecak pelan."Kemarilah."Verena kembali memfokuskan perhatiannya pada sang ayah. Pria itu sedang duduk di kursi lengan di dekat jendela. Aura mengintimidasinya masih kuat, seperti yang diingat Verena.Meski begitu, reaksi tubuhnya tidak sama seperti dulu. Paling tidak, Verena tidak sepengecut dulu."... Kudengar Anda sakit, bahkan sekarat." Wanita itu berucap dengan nada formal, sama sekali belum mendekati ayahnya. “Tapi bisa kulihat berita yang kuterima tidak sama dengan kenyataan.”Aster menatap Verena. Senyum miring membayang tipis di bibirnya."Aku hanya memberimu alasan untuk kembal
“Kita hampir sampai.”Mendengar kalimat Ashton, Verena mengangkat pandangan dan melihat ke luar jendela. Deretan rumah-rumah mewah memenuhi pandangannya.Setelah menyelesaikan percakapannya dengan Verena tadi, Aster memerintahkan Ashton untuk mengantar Verena ke kediaman lama yang dulu wanita itu tempati.Untunglah. Karena dengan demikian, Verena tidak perlu bertemu dengan keluarga tirinya dan menghadapi celotehan tidak penting mereka sehari-hari.Di saat dirinya memandangi deretan rumah itu, percakapan terakhir dengan sang ayah melayang ke dalam pikirannya.“Ada seorang pengkhianat di keluarga, dan jika kamu berhasil menyingkirkannya, aku akan mengesahkan posisimu sebagai pewaris utama perusahaan Miller.&rd
"Dasar berengsek. Berhati dingin. Apa gunanya digandrungi para wanita jika sifatmu jelek begitu.”Eric Grey diam saja mendengar sahabatnya mengomel, pun saat si sahabat mengekorinya masuk ke dalam rumah pada akhirnya. Pandangan pria itu fokus mengitari sekeliling, mendapati bahwa rumahnya dalam keadaan baik dan terurus.Para asisten rumah tangganya memang tidak mengecewakan selama ini. "Hei. Tangkap."Eric menoleh ke arah sahabatnya saat pria itu melempar sebotol minuman dingin padanya. Tubuh Eric bergerak sigap untuk menangkap benda itu, sementara si sahabat langsung meneguk air dalam kemasan tersebut dengan rakus."Aman, kulkasmu sudah penuh dengan air dan bahan makanan, Tuan Grey.""Kamu tidak pergi?" Eric akhirnya bertanya. Ia membuka botol di tangannya dan minum perlahan."Setelah ini." Samuel, sahabatnya, memberikan jawaban sembari mengintip dari balik jendela, menatap ke arah rumah di sampingnya. "Ada yang mau aku pastikan.""Kalau kamu berniat menjadi biang gosip atau papara
[Atau kamu mau kujemput di tempat sepupumu itu?]"Oh, sial," gumam Verena, akhirnya bangkit dari kursi yang sudah beberapa jam ia duduki. Tak jauh dari sana, Ashton menoleh."Kenapa?" tanya pria itu."Tidak," balas Verena. Ia kembali duduk dan memikirkan balasan apa yang bisa dia berikan pada Eric.[Kamu sudah baca pesanku. Kenapa tidak balas?]Sebuah pesan dari Eric kembali muncul, membuat Verena berdecak."Dasar tidak sabaran." Verena membalas pesan tersebut demikian. "Apa tidak bisa dibicarakan lewat telepon saja?"Baru beberapa detik usai Verena mengirim pesan itu, balasan Eric langsung datang.[Tidak.][Harus bertemu.]Lalu satu lagi.[Tunggu aku di sana.]"Aku tidak sedang di rumah Ashton," balas Verena. "Nanti saja."[Di mana, kalau begitu?]Verena memutar otaknya dengan cepat. Jika ia menjawab ada di kantor, Eric akan dengan mudah menemukan kebenarannya."Di rumah."Eric belum tahu di mana tempat tinggalnya. Dan tidak mungkin pria itu dengan bodohnya mengecek mansion Miller un
[Atau kamu mau kujemput di tempat sepupumu itu?]"Oh, sial," gumam Verena, akhirnya bangkit dari kursi yang sudah beberapa jam ia duduki. Tak jauh dari sana, Ashton menoleh."Kenapa?" tanya pria itu."Tidak," balas Verena. Ia kembali duduk dan memikirkan balasan apa yang bisa dia berikan pada Eric.[Kamu sudah baca pesanku. Kenapa tidak balas?]Sebuah pesan dari Eric kembali muncul, membuat Verena berdecak."Dasar tidak sabaran." Verena membalas pesan tersebut demikian. "Apa tidak bisa dibicarakan lewat telepon saja?"Baru beberapa detik usai Verena mengirim pesan itu, balasan Eric langsung datang.[Tidak.][Harus bertemu.]Lalu satu lagi.[Tunggu aku di sana.]"Aku tidak sedang di rumah Ashton," balas Verena. "Nanti saja."[Di mana, kalau begitu?]Verena memutar otaknya dengan cepat. Jika ia menjawab ada di kantor, Eric akan dengan mudah menemukan kebenarannya."Di rumah."Eric belum tahu di mana tempat tinggalnya. Dan tidak mungkin pria itu dengan bodohnya mengecek mansion Miller un
"Dan aku bilang kamu beruntung karena tinggal di sebelah rumahnya?"Usai mengatakan itu, Samuel kembali memandang Eric dengan tatapan asing. Ekspresi sepupunya itu tampak senang, sekaligus puas. Seakan-akan ia baru mendapatkan momen yang ia harapkan."Tunggu, Ric. Kamu tidak tahu?" tanya Samuel. "Manusia ini. Kamu tidak mendengarkan ceritaku ya!?"Eric mengibaskan tangannya. "Tidak penting."Hal itu membuat Samuel menggerutu. Mengatakan hal-hal seperti ia yang telah membantu Eric dan selalu siap sedia, tapi begini balasan Eric padanya. Eric bahkan tidak memperkenalkan Verena lebih awal padanya, dan sebagainya.Namun, Eric tidak mendengarkan. Ia sibuk menyusun rencana.Karena Verena kembali tidak membalas pesan Eric, entah kenapa. Pria itu jadi tidak bisa mengurusi persoalan mereka yang belum selesai.Kalau Verena ada di sebelah rumah, akan lebih mudah bagi Eric untuk mengurusnya.***Namun, wanita yang Eric cari sedang tidak berada di rumah."Kamu tidak mau pulang?"Pertanyaan Ashton
"Selamat pagi, Nona Lee."Eric Gray memandang Leon, asisten kepercayaannya selama ini, yang tengah melakukan pertemuan dengan Patricia Lee, reporter yang pertama kali memuat berita tentang dirinya dan Verena. Ia ingin menyelidiki apakah Patricia terlibat pihak-pihak lain yang ingin menjatuhkannya, ataukah dia bergerak sendiri.Karena penyelidikan pun menyatakan kalau malam itu Patricia sedang berada di rumah sakit, bukan hotel tempat pesta Eric dilaksanakan.Ditambah lagi, Eric memang sudah dengan mudah menyingkirkan berita-berita yang merugikannya dan Verena. Tapi akan sulit kalau ternyata ada musuh lain yang tidak mereka ketahui.Sejauh ini, dugaannya dan Verena sama; keluarga Miller sendiri. Lebih tepatnya pihak Olivia. Meski ada ketidakcocokan mengenai asumsi tersebut di beberapa tempat."Sekarang kamu tertarik pada ibu tunggal?" Sepupunya, Samuel, menghempaskan dirinya untuk duduk di sebelah Eric dan mengamati pertemuan Leon dengan Patricia. Eric dan Samuel tidak bergabung, mela
Keith baru saja berjalan melewati pintu masuk ketika salah seorang pelayan menghampirinya dan mengatakan bahwa Verena datang berkunjung.Dan sekarang kakaknya itu ada di kamar Kimberly."Untuk apa dia ada di sana?" gumam Keith. Dia bergegas naik ke lantai 2 ketika ja mendengar suara pecahan kaca dari kamar Kimberly.Panik, Keith langsung berlari dan coba membuka pintu kamar.Terkunci. Kimberly nekat membayar orang untuk mencelakai Verena beberapa waktu yang lalu. Meskipun Keith sudah mengancam adik kembarnya itu agar ia tidak melakukannya lagi, Keith tidak yakin Kimberly akan diam saja saat melihat Verena ada di tempat yang sama dengannya.Dengan panik, Keith menggedor pintu kamar adik kembarnya.Tak berapa lama, Verena muncul di balik pintu tersebut dan langsung ditarik keluar oleh Keith."Ve!?" Tidak ada luka. Aman--tunggu. Keith mengernyit melihat tanda merah keunguan di area sekitaran tengkuk Verena. Namun, saat ia berniat memastikan tanda itu, Verena sudah menarik diri.Keith m
"Apakah benar demikian?" Senyum Verena tidak sampai matanya, seolah sedang mengolok lawan bicaranya. "Anak kandung Aster Miller?"Tidak ada perubahan ekspresi yang berarti di wajah Kimberly, saat Verena mengamati. Bisa jadi gadis itu benar-benar meyakini identitasnya sebagai putri bungsu keluarga Miller."Omong kosong apa yang kamu katakan?" balas Kimberly. Gadis itu akhirnya berjalan menghampiri Verena dan menarik lengan baju Verena. "Keluar dari kamarku, sekarang!"Namun, Verena menepisnya dengan mudah. "Jangan begitu. Kita baru sampai di obrolan yang kusukai." balas Verena. Ia menyelipkan kunci kamar tersebut di tas miliknya. "Kimberly. Apakah kamu pernah berpikir dari mana kamu mendapat mata abu-abu dan rambut pirang itu? Padahal di saat yang sama, keluarga kita seluruhnya berambut gelap?""Berhenti menyebutnya keluarga kita, sialan. Menjijikkan sekali!""Tapi suka tidak suka, ini memang keluargaku juga." Verena berdiri, lalu berjalan ke tepi ranjang Kimberly. "Meski aku sempat te
"Tuan Gray, ini profil identitas reporter yang menulis berita mengenai Anda dan Nona Miller pertama kali."Eric hanya melirik laporan si asisten yang ada di atas meja sekilas sebelum kembali menekuni layar laptop di hadapan.Meski begitu, pikirannya sebenarnya tidak sedang berada di sana.Pria itu masih ada pada malam yang ia habiskan dengan Verena. Dan itu membuatnya gila karena Verena tampil seakan itu tidak berdampak apa-apa padanya.Padahal kalau ia memang benar, Eric adalah kali pertama dan kali selanjutnya wanita itu. Kenapa Verena bersikap biasa saja?"Tuan Gray?" Suara sang asisten kembali mengusik Eric."Ya, aku dengar." Eric menghela napas dan akhirnya menyandarkan dirinya ke sandaran kursi, lalu mengambil laporan yang ada."Sudah kamu cek?" tanya Eric."Ya, Tuan.""Ada yang aneh?""Saya sarankan Anda mengecek bagian keluarga, Tuan."Eric menggumam pelan. Ia hanya membaca sekilas mengenai identitas si reporter. Patricia Lee. Pendatang di negara ini, usianya ada di akhir 20-a
Verena merasakan atmosfer di mansion keluarga Miller sedikit berbeda dan cukup mencekam dibandingkan biasanya. Mungkin karena tidak ada suara para pekerja membersihkan perabotan atau mereka yang beraktivitas di dapur, mengobrol ringan sembari mempersiapkan makan. Atau mungkin juga karena suara barang pecah belah yang dihancurkan di lantai 2.Verena bisa menduga itu berasal dari kamar adik tirinya, Kimberly. Tidak sulit."Selamat pagi, Nona." Salah seorang pelayan menyapanya, bersamaan dengan suara teriakan dari lantai 2. "Tuan Miller ada di kamarnya seperti biasa, Nona. Mari saya antar "Verena menggeleng. "Aku ke sini bukan untuk bertemu dengannya." Ia mengangkat kepalanya, memandang ke arah pintu ruangan yang merupakan kamar Kimberly. "Keith di mana?""Tuan Keith belum pulang sejak semalam, Nona."Hal tersebut menimbulkan kernyitan di kening Verena.Apakah terjadi sesuatu pada pria itu setelah ia bertemu dengan Verena semalam? Atau ada hal lain?Pikiran Verena teralihkan saat kemba
"Kalau begitu, apakah kamu masih akan berpikir kalau hubungan kita hanya sekadar bisnis untukku?"Verena memilih untuk tidak menjawab terlebih dahulu dan melanjutkan sarapannya. Ia perlu beberapa saat untuk berpikir, bukan menuruti keinginan emosionalnya seperti beberapa saat terakhir.Sepertinya obat itu sudah merusak sistem kerjanya. Sangat disayangkan.Tanpa diduga, Eric Gray tidak mengejar jawabannya. Meski begitu, bukan berarti Eric berhenti menatap Verena dengan pandangannya yang tidak bisa ia artikan itu.Oke, fokus. Pertama, soal si pria misterius. Belum selesai, tapi sedang dalam penyelidikan. Verena hanya bisa menunggu.Kedua, soal adik tirinya yang tersayang. Verena sudah mengatur rencana untuk gadis licik itu. Akan ia laksanakan di waktu yang tepat untuk hasil maksimal.Lalu, Eric Gray. Pria ini--Pikiran Verena terputus saat ponselnya kembali berdering. Mengira bahwa itu Ashton, Verena langsung mengangkatnya."Ash, sudah kubilang--""Balas pesanku."Panggilan diakhiri beg