“Verena, aku di sini!” Setibanya di bandara Utopia, Verena disambut dengan suara bariton yang meneriaki namanya. Verena sempat celingukan mencari asal suara karena kondisi pintu keluar bandara yang cukup ramai membuatnya tak langsung menemukan sosok tersebut. Sampai akhirnya, matanya bersitatap dengan sosok pria tinggi tegap dengan wajah mengagumkan. Rahang tegas, hidung mancung dengan mata sebiru lautan. Pria itu tampak gagah meski hanya mengenakan pakaian kasual dengan kacamata yang menggantung di kerah kaosnya, sedang berdiri sambil bersandar pada body mobil dengan senyum lebar sambil melambaikan tangan pada Verena.Verena tersenyum, balas melambaikan tangan. “Ashton.” Verena menarik kopernya, kaki jenjang itu melangkah cepat menghampiri pria itu. Ashton merentangkan kedua tangan, Verena pun langsung mendekap pria itu dengan hangat. Semerbak wangi parfum maskulin memenuhi indera penciumannya, membuat Verena sedikit bernostalgia. Ashton, dia masih sama.Balas memeluk Verena dan
Verena memandang ke luar jendela saat mobil yang dikendarai Ashton melaju meninggalkan bandara, menuju mansion besar kediaman keluarga Miller. Perempuan itu sibuk dengan pikirannya sendiri, mencatat dalam diam sudah berapa banyak perubahan yang ia temui sepanjang jalan sembari membandingkannya dengan yang ada dalam ingatan.Apalagi beberapa tahun sudah berlalu sejak terakhir kali ia meninggalkan Utopia."Verena.""Hm?" Perempuan itu sekilas menoleh pada Ashton yang duduk di sebelahnya."Apa yang kamu pikirkan?"Verena kembali menatap ke luar jendela. "Tidak ada," jawabnya, tidak ingin memberikan penjelasan lebih lanjut."Apakah kamu," Ashton kembali berkata. Mata pria itu mengamati Verena sepintas sebelum kemudian kembali fokus ke jalan, "khawatir bagaimana reaksi keluarga besar Miller tentang kepulanganmu?"Verena tidak langsung menjawab. Namun, tak lama, ia turut menyimpulkan bahwa perasaan tidak nyaman yang dirasakannya sejak tadi adalah karena hal tersebut."Mungkin," akunya. "Se
Verena mematung.Wanita itu berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa pemandangan yang ada di depannya itu nyata. Ayahnya dalam kondisi bugar dan baik, jauh dari kata sakit apalagi sekarat seperti yang Ashton katakan sebelumnya."Ashton," gumam Verena, lalu menoleh pada pria itu. Namun, Ashton sendiri tetap di luar dan langsung menutup pintu begitu Verena masuk ke dalam ruangan Aster.Wanita itu berdecak pelan."Kemarilah."Verena kembali memfokuskan perhatiannya pada sang ayah. Pria itu sedang duduk di kursi lengan di dekat jendela. Aura mengintimidasinya masih kuat, seperti yang diingat Verena.Meski begitu, reaksi tubuhnya tidak sama seperti dulu. Paling tidak, Verena tidak sepengecut dulu."... Kudengar Anda sakit, bahkan sekarat." Wanita itu berucap dengan nada formal, sama sekali belum mendekati ayahnya. “Tapi bisa kulihat berita yang kuterima tidak sama dengan kenyataan.”Aster menatap Verena. Senyum miring membayang tipis di bibirnya."Aku hanya memberimu alasan untuk kembal
“Kita hampir sampai.”Mendengar kalimat Ashton, Verena mengangkat pandangan dan melihat ke luar jendela. Deretan rumah-rumah mewah memenuhi pandangannya.Setelah menyelesaikan percakapannya dengan Verena tadi, Aster memerintahkan Ashton untuk mengantar Verena ke kediaman lama yang dulu wanita itu tempati.Untunglah. Karena dengan demikian, Verena tidak perlu bertemu dengan keluarga tirinya dan menghadapi celotehan tidak penting mereka sehari-hari.Di saat dirinya memandangi deretan rumah itu, percakapan terakhir dengan sang ayah melayang ke dalam pikirannya.“Ada seorang pengkhianat di keluarga, dan jika kamu berhasil menyingkirkannya, aku akan mengesahkan posisimu sebagai pewaris utama perusahaan Miller.&rd
"Ahh … kau nikmat sekali, ...." Baru saja Valency melangkah masuk ke dalam apartemen sang kekasih untuk merayakan hari jadi ketiganya, tapi dirinya malah dikejutkan dengan lenguhan dua orang yang bersahutan. "Jangan meninggalkan jejak di sana, Lency bisa curiga nanti ...." Valency menautkan alisnya. Itu … suara desahan seorang perempuan! Dengan tubuh kaku, gadis berambut hitam panjang bergelombang itu berjalan perlahan, menghampiri sumber suara yang dia yakini berasal dari kamar sang kekasih. Di waktu yang bersamaan, sebuah suara pria terdengar berkata, “Kamu kira aku takut padanya?” Itu adalah suara kekasih Valency, Felix! Dengan jantung berdebar kencang, Valency mengintip celah pintu kamar yang tak tertutup rapat. Seketika, gadis itu pun terbelalak melihat pemandangan di dalam. Tampak sang kekasih dan sahabat dekatnya, Felix dan Cecilia, sedang berbaring mesra di atas tempat tidur dengan posisi intim! “Bukankah hari ini hari jadi tiga tahun hubungan kalian?” tanya Cecilia se
Jayden Spencer, seorang desainer perhiasan ternama yang dihormati semua orang! Di usia lima belas tahun, Jayden Spencer sudah berhasil menghasilkan desain perhiasan legendaris yang dikagumi semua orang. Saat dia dua puluh lima tahun, pria itu mendirikan Diamant Corp, perusahaan yang hanya dalam kurun waktu tiga tahun menjadi perusahaan perhiasan terbesar negara Eden. Sekarang, di usianya yang ketiga puluh sembilan, pria tersebut telah menjadi salah satu tokoh terpenting dalam dunia perhiasan! Mata Valency membulat sempurna. Bagaimana bisa satu email sederhananya malah membuatnya dipertemukan langsung dengan orang penting seperti Jayden? “Langsung ke intinya,” ucap Jayden memecah lamunan Valency. “Desain yang dirimu kirimkan, itu adalah desain yang telah diikutkan dalam lomba Komunitas Desainer Perhiasan Negara.” Valency menelan ludah. Lomba Komunitas Desainer Perhiasan Negara adalah lomba yang diikuti oleh Felix dan Cecilia. Kebetulan Valency tahu Diamant Corp adalah salah satu p
Jayden menganggukkan kepala mendengar jawaban Valency. Dia mengambil sebuah map coklat dan meletakkannya di hadapan gadis itu. “Apa ini?” tanya Valency kepada Jayden. “Kontrak pernikahan, tanda tangani,” titah pria itu. Valency mengambil dokumen yang diberikan Jayden dan membaca isi dari kontrak yang tertera. Sulit untuk dipercaya, semua persyaratan tertuang dengan sangat detail di dalam sana, seolah Jayden telah menyiapkan semuanya dari jauh hari! Menepiskan keterkejutan itu, Valency tetap menandatangani kontrak tersebut dan memberikannya pada Jayden. Pria itu melakukan hal yang sama dan memberikan salinannya kepada Valency. “Ayo,” ucap Jayden seraya melangkah meninggalkan ruang kantornya. Valency bergegas mengejar Jayden. “Ke mana?” tanyanya dengan sedikit berlari. Di dalam lift bersama dengan Jayden dan seorang pria yang Valency duga adalah asisten pribadi pria tersebut, Valency mendengar presdir Diamant Corp itu menjawab, “Kantor catatan sipil. Kita menikah hari ini.” Va
Di saat kekhawatiran Cecilia mencapai puncak, Valency pun menjawab dengan senyuman tipis, “Aku dikejutkan oleh Dekan yang mengabarkan kalau beasiswa tingkat lanjutan yang kuajukan disetujui. Akhirnya, aku pun harus kembali ke kampus untuk mengurus berkas-berkasnya.” Mendengar itu, Cecilia memaki dalam hati, ‘Sial, kukira apa … ternyata beasiswa bodoh saja!’ Namun, di depan Valency, Cecilia memaksa untuk bersikap senang. “W-wah, selamat ya, Lency!” Tampak senyuman Cecilia agak canggung karena sebelumnya memang sempat terkejut. Sudut bibir Valency terangkat semakin tinggi. “Kamu kenapa ketakutan begitu? Seperti habis tertangkap basah selingkuh saja.” Ucapan Valency membuat sekujur tubuh Cecilia menggigil, jantungnya berdebar kencang. Gadis itu pun tertawa palsu kepada Valency. “Apa sih Lency? Bercandamu ada-ada aja,” balas Cecilia. Dia dengan cepat mengalihkan topik. “Syukur deh kamu dapat beasiswa itu. Tapi sayang ya, kamu jadi gak rayain hari jadian sama sekali kemarin?” “Ya beg