‘Urgh … kenapa harus macet di saat seperti ini sih?’ gerutu Jacob dalam hati sembari memasang wajah cemberut.“Apa kau sudah bosan menjadi asisten pribadiku, Jacob? Itu alasannya kau memasang wajah tidak rela itu?” tanya Jayden dengan nada bicara datarnya selagi menatap pantulan wajah Jacob di spion tengah mobilnya. Dengan cepat, senyuman lebar merekah di wajah Jacob. “Tentu saja tidak, Tuan Spencer! Bagaimana mungkin seperti itu? Ha ha ha!” Dia tertawa, berusaha menutupi tangis dalam hati karena harus melihat majikannya bermesraan dengan sang istri di kursi belakang.Mendengar balasan itu, Jayden mendengus mengejek. “Bilang saja kau tidak punya pasangan dan takut menjadi seorang bujangan tua, bukan?” Ucapan tuannya itu membuat pelipis Jacob berkedut. Apa pria itu tidak sadar yang sebelumnya hampir menjadi perjaka tua itu siapa!? Kalau bukan karena nyonyanya memerlukan bantuan untuk membalaskan dendam kepada dua pengkhianat dalam hidupnya itu, apa dia kira nyonyanya itu akan melirik
Mendengar itu, Valency pun hanya bisa menghela napas. “Jangan pernah masuk ke dalam penjara karena diriku, kau mengerti? Kalau memang aku jalan di jalan yang salah, kamu harusnya membawaku ke jalan yang benar.”Jayden hanya terdiam. Tidak mengiyakan, tidak juga menolak.Kemudian, Valency teringat satu hal. “Apa kamu menyalahkanku atas beberapa hari ini?” Jayden terdiam sejenak. “Sedikit.”Sontak saja jawaban Jayden mengundang gelak tawa Valency. Sudut matanya sampai berair. “Kenapa kamu begitu jujur?” ucap Valency diakhiri tawa kecil. “Tidak takut kita bertengkar lagi?”Melihat istrinya tertawa membuat perasaan Jayden menghangat, tatapannya semakin lembut dan berkata, “Karena hanya kebenaranlah yang ingin aku suguhkan padamu,” ucap Jayden. “Dan aku terlalu mengenalmu untuk tahu bahwa kamu membenci kebohongan.”Hal itu membuat Valency terdiam sejenak, sudut bibirnya tertarik membentuk senyum lembut. Seperti ada sentilan halus yang membuat Valency sadar bahwa beberapa hari ini dia kur
Kedua mata Valency terbelalak mendengar kesimpulan dari cerita Jayden yang membenarkan tebakan di dalam kepalanya. Padahal awalnya dia hanya mengira jika tebakannya salah dan nama belakang wanita itu hanya kebetulan mirip. Namun ternyata ... wanita seksi yang sempat dicemburuinya beberapa jam lalu adalah bibinya sendiri. “Ada satu hal lagi yang ingin aku beritahu padamu,” ucap Jayden membuyar lamunan Valency.Membuat Valency kembali bersiap-siap, entah kejutan apalagi yang ingin suaminya itu katakan padanya. Hari ini dia terlalu banyak mendengar kejutan yang membuatnya pusing tiba-tiba. “Selain pemilik dari VJ Studio tempatmu bekerja, Viona Jones juga sekarang menduduki kursi sebagai pewaris sah dari Jones Group,” ucap Jayden. Kening Valency mengernyit, merasa aneh dengan informasi tersebut. “Tunggu ... bukannya pewaris dari Jones Group seharusnya adalah Vincent Jones?!” tanya Valency, jelas ia terkejut karena informasi tersebut berbeda dari yang diceritakan ibunya dulu. Sebagai
Valency terkejut. Sungguh ini bukanlah hal yang masuk akal. Mia mencarinya untuk menikahkannya dengan Eric Gray?! Tidak waras! Bagaimana bisa dari sekian ribu banyaknya cara untuk menebus kesalahan, Mia malah memilih cara konyol itu?“Kenapa harus begitu?” tanya Valency dengan alis tertaut.Jayden terdiam sesaat. “Ingin kujawab jujur atau tidak?”Pelipis Valency berkedut. “Apakah masih perlu untuk bertanya seperti itu?” Dia mencubit wajah suaminya itu, tapi pria itu menghindar cepat. “Cepat jawab!”Jayden tersenyum tipis. “Aku tidak tahu.”“Jayden!”“Aku serius,” jawab Jayden sembari mengangkat tangan dan mengisyaratkan dengan jarinya bahwa dia ‘bersumpah’. “Apa kamu kira aku cenayang? Aku tentu tidak bisa membaca pikiran mereka dengan jelas.”Helaan napas kabur dari bibir Valency. “Kalau begitu, bukankah kita tinggal memberi tahu pada Eric bahwa aku telah menikah denganmu? Jika dia mengetahuinya pasti dia akan mundur dan memberitahu hal ini pada Mia Gray juga,” ucap Valency memberi s
Eric membeku di tempat mendengar balasan Verena. “Apa maksud dari kalimatmu itu?” tanyanya balik. “Pria sepertiku?” ulang Eric dengan alis tertaut erat. “Memangnya ada apa denganku? Katakan!” desak pria tersebut, tampak jelas dirinya mulai kehilangan ketenangan yang biasa ditunjukkan. Bukannya menjawab, Verena malah mendengus dingin, membuang pandangannya ke arah lain dan kembali melanjutkan langkahnya. “Verena Hayden! Aku sedang berbicara padamu!” ucap Eric kesal karena ditinggal begitu saja. Dipanggil lengkap seperti itu, Verena mendengus sebal. Dia kembali menghentikan langkahnya dan menoleh kecil, menatap Eric yang berdiri di belakangnya. “Lupakan kalimatku kalau memang Anda tidak mengerti,” ucap Verena sembari lanjut berjalan.Namun, baru dua langkah Verena ambil, langkahnya terpaksa kembali berhenti karena tangannya ditarik kuat oleh Eric. Alhasil, Verena pun melemparkan tatapan tajamnya kepada pria tersebut. Dia tampak sangat tidak nyaman dengan perbuatan Eric. “Tuan Gray,
Verena tersenyum, begitu percaya diri dan anggun. “Bukankah itu alasan Anda mendekati saya? Karena Anda ingin tahu lebih jauh kenapa wanita tanpa status ini begitu berani kepada Anda?” Eric terperangah, merasa agak tersinggung karena pikirannya terbaca jelas oleh Verena. Namun, apa iya dia hanya berusaha melampiaskan kebosanan dengan wanita ini?Selagi Eric tercengang, senyuman di wajah Verena menghilang. Digantikan dengan pandangan tajam yang menusuk.“Sayangnya, saya tidak bersedia menghapus rasa penasaran Anda. Permisi.”Tanpa menunggu balasan Eric, Verena langsung memutar tubuhnya dan berjalan pergi. Selagi berjalan, dia bergumam rendah, tidak berniat agar Eric mendengarnya. Namun, lorong yang hening membuat pria itu bisa mendengar jelas kalimat wanita tersebut.“Tidak heran Valency lebih memilih Jayden Spencer.” Ucapan Verena membuat Eric marah. Namun, pria itu bingung, dia marah karena merasa harga dirinya dilukai oleh perempuan itu … atau karena ucapan Verena seakan menyataka
“Betul, siapa sih yang mengizinkannya ke sini? Aku saja masih belum jelas dia dari keluarga mana sehingga bisa masuk ke tempat kalangan atas seperti ini!”“Apa kamu tidak tahu? Katanya, dia anak haram salah satu pebisnis ternama, tapi ayahnya tidak mengakuinya karena malu memiliki putra tak berguna sepertinya!”“Oh! Ayahnya memang bijak, sadar anaknya tak berguna dari awal makanya tidak diakui. Sekarang, dia kalah dari wanita, ayahnya tidak kena rumor buruk sedikit pun karena tidak ada yang tahu dia siapa! Ha ha ha!”PRANG!“Bajingan! Ulangi perkataanmu tadi!”Teriakan dan suara gaduh pecahan kaca itu mengalihkan perhatian semua orang. Mereka melihat s
Pagi hari itu, saat terbangun, Valency melihat sang suami telah berada di depan cermin dengan kemejanya. Pria itu tampak sibuk dengan dasinya.Melihat Valency terbangun, Jayden pun melirik sedikit sembari tersenyum. “Pagi.”Valency pun tersenyum lebar. “Pagi.” Dia turun dari tempat tidur, lalu menghampiri sang suami. “Kamu ada meeting hari ini?” tanyanya seraya menjulurkan tangan untuk membantu Jayden mengenakan dasinya.Alis kanan pria itu sedikit meninggi. “Dari mana kamu tahu?” Dia yakin tidak pernah menceritakan hal ini.Valency terkekeh. “Kamu biasa mengenakan dasi warna biru gelap ketika ada meeting.” Wanita itu mendorong simpul dasi ke arah kera, lalu mendekatkan wajahnya untuk mencium pipi Jayden. “Mengintimidasi.”Pria itu agak terkejut, tapi kemudian tersenyum dan mencium kening Valency. “Cepatlah bersiap. Aku menunggumu di bawah.”Dua hari setelah Valency dan Jayden saling berbicara dan bercerita jujur mengenai perasaan masing-masing, suasana di antara mereka kembali menjad
"Ada apa dengan ekspresimu? Ulah apa lagi yang kamu lakukan?"Kimberly segera menepis tangan Keith. "Apa maksudmu? Aku tidak melakukan apa-apa!"Mata abu-abu Keith menyipit. "Kim. Aku sudah memperingatkanmu. Kalau kamu menyentuh Verena lagi, aku akan--""Aku tidak melakukan apa pun! Justru wanita sial itu yang berulah!" Ucapan Kimberly terdengar cukup keras, membuat beberapa orang di sekitar mereka menoleh ke arahnya.Sudah jatuh, tertimpa tangga, lalu dikatai bodoh. Itulah perumpamaan yang cocok untuk kondisi Kimberly saat ini.Ia tidak bisa menemukan Eric yang kemungkinan sudah meminum minumannya yang sudah Kimberly campur dengan obat perangsang khusus. Suatu larutan asing dan tidak ada penawarnya, yang Kimberly dapatkan dari teman sang ibu. Tadi pria itu menemuinya.Satu-satunya cara untuk mengeluarkan zat asing itu dari tubuh si peminum adalah dengan berhubungan badan. Bahkan jika si peminum dibawa ke rumah sakit sekalipun, belum tentu dokter dan tim medis bisa mengatasinya.Lalu
“Tuan Gray. Sepertinya memang tidak ada pilihan lain.” Dengan kalimat itu, bahkan sebelum dokter keluarganya menjelaskan lebih lanjut, Eric sudah tahu apa yang harus ia lakukan.Ia pernah berada di posisi yang sama dengan Verena dan rasanya sangat menyiksa.Waktu itu, Verenalah yang membantunya. Meskipun Eric memaksakan dirinya pada gadis itu, sekalipun dengan tidak sadar. Hal itulah yang membuat Eric merasakan rasa tanggung jawab yang besar terhadap Verena.Dan itu jugalah yang ia rasakan sekarang.Namun, mengingat karakter Verena, gadis itu pasti akan membunuhnya jika Eric mengambil pilihan yang menempatkan pria itu dalam posisi yang "terlalu menguntungkan" dan terkesan mengambil kesempatan."Eric--" Suara Verena kembali terdengar. Wanita itu mencengkeram tangan Eric lebih erat, lalu menggeser tubuhnya agar tidur berbantalkan pangkuan Eric. Lalu, ia kembali mengerang. Detik itu juga, Eric membuat keputusan."Semuanya keluar," ucapnya dengan suara rendah. Nadanya terdengar rendah,
“Ini ... kamu, Eric Gray, aku ….” Jantung pria itu berdetak lebih cepat saat mendengar Verena mengatakan hal itu. Sorot mata tak percaya tampak jelas di sepasang matanya. Otaknya langsung berputar, mengingat bagaimana Verena bisa meminum obat perangsang padahal gadis itu hampir selalu bersamanya.Dan pikiran itu masuk begitu saja dalam kepalanya.Verena yang kehausan. Minuman di tangan Eric.Dari Kimberly.Ah, sial.“Eric …?” Verena kembali berbicara, membuat pria itu menunduk menatap wanita itu. "Aku--"Verena berkedip, berusaha menjernihkan fokusnya. Iris matanya yang indah itu mengamati seraut wajah di hadapan dari jarak yang amat dekat. Wanita itu bahkan bisa merasakan embusan napas keduanya, terdengar berat di telinga. Perlahan, Verena mengangkat tangannya, menyentuh pipi sosok itu dengan telapak tangan, menangkupnya dengan lembut. Sesuatu yang cukup mengejutkan, sekalipun memang setelah mengumpat tadi, Verena perlahan bersikap kebalikannya. Menempel pada Eric.Dingin. Saat
"Apa yang terjadi ...."Verena berpegang erat pada tepi wastafel hingga buku-buku jarinya memutih. Sebab tubuhnya sekarang mulai limbung."Permisi. Apa kamu baik-baik saja?"Verena mendengar salah satu pengunjung kamar mandi bertanya dan ia mengangguk, semata-mata karena ia sendiri tidak bisa menjelaskan apa yang sedang terjadi pada dirinya."Wajahmu pucat." Gadis itu kembali berkomentar. Lalu ia mengeluarkan beberapa jenis pil dari dalam tasnya. "Jika ... kamu sedang datang bulan dan merasa tidak nyaman karenanya, ini aku ada obat."Gadis itu meletakkan obat-obatan itu di tepi wastafel, di hadapan Verena."Tidak apa-apa. Jangan malu." Verena mendengar gadis asing itu kembali berucap. "Perlu kuantar ke petugas? Aku juga bisa memanggil dokter."Verena hanya tersenyum tipis dan mengucapkan terima kasih. Ia menggeleng, mencoba menyampaikan kalau ia tidak butuh bantuan.Meski sebenarnya, ia merasa bahwa ia akan mati di sini Lalu gadis itu keluar dan Verena sendirian di dalam toilet.Ve
"... Verena, kamu baik-baik saja?"Pertanyaan itu meluncur dari bibir Eric ketika Verena tanpa sadar menggenggam ujung jas pria itu dan meremasnya kuat-kuat. Wajah wanita itu kini agak pucat dan napasnya menjadi lebih berat."Kelelahan?" tanya Eric lagi. Bukan apa-apa. Bisa jadi memang wanitanya ini sedang kelelahan, bukan? Dengan segala kesibukan sebagai pengganti sang ayah, Verena sampai pada batasnya juga. Namun, Verena menggeleng. Ini jelas bukab kelelahan. Ia tidak selemah itu.Sejak dulu, Verena sudah terbiasa bekerja dan lembur. Mengurusi klien dan bersosialisasi juga sudah sering ia lakukan karena pekerjaannya. Jadi ia tidak akan tumbang semudah ini.Selain itu, kondisinya ini terlalu tiba-tiba.Tidak mungkin Verena yang normal dan sehat bisa menjadi seperti ini begitu saja?"Kita menyingkir--""Aku ke toilet dulu," ucap Verena, menepis lengan Eric sekarang. Di sini terlalu banyak orang. Pikirannya terasa kacau dan tidak nyaman. Mungkin sedikit udara segar bisa membersihkan
"Maaf, aku harus keluar lagi. Ada yang harus aku pastikan.""Mau ke mana?"Eric bertanya. Tidak seperti dugaan Verena, Eric tidak melepaskannya begitu saja. Padahal Verena pikir, pria itu akan mengiakan saja keputusan Verena seperti tadi."Ke luar. Sebentar. Kan sudah aku bilang.""Jawab dengan lebih spesifik, Verena." Eric berucap.Langsung saja, Verena menghela napas."Aku perlu memastikan beberapa tamu. Oke?""Kalau kamu memerlukan daftar tamu, bisa kuberikan.""Ya, tapi aku juga perlu menemui orang ini.""Siapa? Kutemani.""Tidak perlu. Ini acaramu. Kamu harus tetap di sini.""Tanpa tunanganku? Jangan bercanda."Verena berdecak. Merasa kesal.Karena tidak ingin kehilangan jejak seperti tadi, wanita itu nekat melangkah pergi----tapi ia justru berakhir terpenjara dalam tangan kekar Eric."Eric--""Kamu tahu," ucap Eric diikuti helaan napas. "Mengejarmu memerlukan kesabaran ekstra."Verena langsung merengut. Bukan karena ucapan Eric, melainkan karena posisi mereka. Si Presdir arogan
"Aku tidak mau kamu mati konyol, Verena. Tidak bisakah kamu memahami hal itu?"Ucapan yang meluncur dari bibir Keith itu tidak terlalu mengejutkan Verena. Namun, nada bicara dan ekspresi yang ditunjukkan oleh adik tirinya itu sukses membuat Verena terdiam.Ada yang asing dari tatap manik mata abu-abu itu.Sepasang warna abu-abu yang familiar itu--Apalagi bagaimana Keith membuang muka setelahnya, lalu mengusap tengkuk dengan kikuk sementara ujung telinganya memerah.Keanehan itu ... tidak bisa Verena pandang sebagai sebuah tingkah adiknya yang lucu.Bukan karena sikap Keith tidak lucu. Melainkan karena tingkahnya tidak seperti seorang adik pada umumnya.Seakan-akan--Tidak. Pasti Verena salah. Ia selalu salah dalam hal ini, kan?"Keith ... kamu--"Keith mengangkat tangannya sembari menghela napas."Sudahlah." Keith menukas. "Toh Ayah sudah merestui pertunanganmu, bukan? Lupakan saja.""Yah. Itu mustahil." Verena berusaha terdengar tegas, tapi ucapannya tak lebih dari sebuah gumaman.M
"Nona, Anda baik-baik saja?"Sosok itu adalah seorang pria paruh baya, dengan rambut hitam yang sudah banyak beruban. Namun, penampilannya tampak rapi, tidak serampangan. Mengindikasikan bahwa kemungkinan beliau adalah salah satu tamu undangan Eric Gray.Meski begitu, penampilannya tampak terlalu sederhana untuk dikatakan kaum sosialita.Namun, bukan itu yang membuat Verena tertegun. Mata abu-abu itu ... tampak familier bagi Verena. Di mana--"Nona?""Ah." Verena berkedip. "Maaf, Tuan. Saya tidak melihat ke depan." Verena buru-buru berkata setelahnya."Saya tidak masalah. Tapi apakah Anda baik-baik saja?""Saya tidak apa-apa. Permisi."Verena sedikit menunduk dan langsung pergi dari sana, ke arah yang dituju oleh Kimberly tadi.Namun, sayangnya, interupsi singkat tadi sudah cukup untuk melenyapkan jejak adik tirinya.Tanpa sadar, Verena menghela napas. Menyayangkan fokusnya yang sempat teralihkan tadi."Verena."Panggilan itu membuat Verena menoleh dan mendapati sosok Keith tengah ber
"Coba cari topik pembicaraan lain. Soal aku, misalnya. Putra ibu dan...." Verena mencoba memasang raut wajah biasa saja saat Eric mendekatkan bibirnya ke telinga Verena dan berbisik, "Calon suamimu."Baru setelah itu Verena menghela napas pelan. Lalu, wanita itu menoleh sedikit ke belakang, ke arah Eric."Kamu mau kami membicarakanmu di depanmu langsung?" tanyanya.Eric mengangkat bahu. "Silakan.""Tidak masalah kalau aku menyinggung soal kelakuanmu dulu?" Verena kembali bertanya. "Semua yang kamu lakukan saat kamu mengejar-ngejar--""Sini. Aku pasangkan lagi kalungnya." Eric Gray menyela. Tangannya terulur dan mengambil kalung di tangan Verena, sebelum kemudian memasangkannya. "Mau bicara soal Vera Jones lagi?""Tidak." Kali ini, Mia yang menjawab. "Meskipun rasanya menyenangkan, mengobrol dengan Verena. Tapi lebih baik kamu dan Verena sekarang kembali ke aula. Sapa para tamu."Lalu, pada Verena yang menatapnya, Mia menambahkan, "Senang bertemu denganmu, Verena. Lain kali, kita men