"Wah, kainnya cocok di kulit halus Carla. Cantik sekali," puji Leni yang sejak tadi tak berhenti tersenyum melihat hasil karyanya sempurna melekat di tubuh mungil Carla. "Ini enggak berlebihan kan tante?" tanya Carla, ia merasa tak percaya diri dengan tubuhnya yang kurus. Gaun itu terlalu cantik untuk dikenakannya. Tubuh Carla memang tinggi tapi terlihat kontras dengan lengannya yang kurus. Bentuk tubuh Carla belum kembali seperti sedia kala. Mungkin ini pengaruh dari makanan yang dipantang oleh Carla demi kesehatannya. Tak banyak yang dipantang tapi itu sedikit mengganggu untuk penambahan berat badannya. "Tidak. Ini sempurna sayang. Kulit kamu putih mulus, tante suka dengan kulit kamu yang bercahaya," puji Leni sekali lagi membuat Carla jadi tak enak hati. "Tapi kan saya kurus banget. Jadinya—" "No. Tante punya banyak solusi untuk tubuh yang terlalu kurus. Ada triknya biar terlihat proporsional. Kamu punya d
Suasana dalam mobil mewah itu terasa sunyi karena sejak pemiliknya masuk belum satupun yang membuka suara untuk bicara. Hanya ada suara alunan musik yang terdengar sayup-sayup di telinga keduanya. Carla irit bicara hari ini, begitu pula dengan Vian. Pria itu menunggu kesayangannya bicara agar ia tak dicap sebagai pria arogan. Tangan kiri Vian meraba, mencari tangan Carla lalu menggenggamnya erat. Dingin, untuk itu ia menghangatkannya. Carla menoleh lalu kembali menatap lurus menatap jalanan di depannya. "Kamu jangan keras sama sepupu kamu sendiri. Aku enggak enak sama tante Leni tadi." Carla bicara dengan wajah datarnya. Vian masih diam. Mungkin sedang mencari kalimat yang pantas untuk diucapkan. "Aku tidak apa-apa kok dihina seperti itu. Bukannya sudah biasa ya?" "Bagimu biasa, tapi tidak untukku. Harga dirimu adalah harga diriku juga. Kamu dihina aku juga dihina. Aku yang memilih kamu maka akulah yang akan membela jika ada yang menghinamu."
"Besok, kamu tidak boleh ke luar rumah tanpa izin dari aku. Hampir saja Fariska terjadi hal yang tidak-tidak. Untung aku pulang tepat waktu. Dari mana kamu tadi siang?" bentak Abi setibanya mereka di rumah. Risya menghela napasnya. Ia mengatur beberapa kalimat yang sudah disiapkannya jika Abi menanyakannya. "Ehm, ada teman minta diantar ke butik. Terus aku temenin deh. Maaf ya, lupa izin kamu dulu," ujar Risya sambil mengusap lengan Abi dengan lembut. "Teman aku tuh agak manja. Makanya aku—" "Butik?" Risya mengangguk. "Kenapa Carla tahu kalau kamu ke luar rumah? Kalian bertemu di tempat yang sama?" "Iya, Mas. Butik kan tempat umum," sahut Risya sedikit berani. Kesal, ia kesal selalu saja suaminya membawa-bawa nama Carla saat sedang berdebat. Selalu saja wanita itu yang berada di tengah-tengah antara mereka berdua. "Aku kan hanya tanya. Pokoknya, besok kamu enggak boleh ke luar rumah lagi. Urus Fariska sampai sembuh." Abi membanting p
Pernikahan kedua Carla berlangsung hari ini. Seluruh keluarga besar sudah berkumpul. Tak terkecuali sahabat dekatnya, Kesya dan juga Al yang akhir-akhir ini dikabarkan tengah dekat. Adam yang telah sembuh dari sakitnya, berdiri berdampingan dengan Tasya yang sudah siap dengan gaun cantiknya. Carla sendiri tengah bersiap dengan gaun mewah buatan tante Leni. Gaun yang sengaja disiapkan untuk hari istimewa Vian. Sebelum Vian resmi melamar Carla, Leni telah membuat gaun itu dengan perkiraannya sendiri. Tak disangka, gaunnya cocok dipakai oleh Carla. Semakin bertambah cantik karena kulit bercahaya milik wanita itu. "Cantiknya," puji Leni menelusup masuk ke dalam ruang ganti pengantin perempuan. Carla baru saja berganti gaun. Setelah pengucapan janji suci di depan penghulu satu jam yang lalu dan sempat beramah tamah dengan para tamu undangan, ia diminta kembali ke ruangan ganti untuk sesi selanjutnya. "Tante, gaunnya cantik sekali. Carla suka." Carla berdiri memamerkan gaun berwarna puti
Riandari tak terima dengan perlakuan Abi yang seenaknya mengusir dirinya dari dalam gedung pernikahan. Akibat perlakuannya itulah kini ia mendapat cibiran kasar dari para tamu undangan yang hadir dalam pesta pernikahan Carla. Tak hanya satu dua orang, hampir semuanya mencibir wanita paruh baya itu hingga ada yang mengunggah videonya saat bertengkar dengan Abi tadi. Habis sudah reputasinya sebagai ibu dan juga mertua yang baik dan ramah di mata para penggemarnya di media sosial.“Gara-gara kamu nih, ibu banyak dapat hujatan di media sosial. Kenapa sih kamu masih belain mantan istri kamu itu? Apa yang ibu bilang semuanya bener kan? Enggak usah ditutup-tutupin lah,” ujar Riandari dengan nada ketus tak terima dipaksa keluar oleh anaknya sendiri.“Ibu di luar saja, Abi masih ada keperluan di dalam. Kalau ibu memaksa masuk lagi, Abi tidak akan izinkan ibu menemui siapapun di luar rumah,” ancam Abisena pada ibunya.Riandari mendengus tak suka. I
Malam hari setelah pernikahan mewah, Carla dan Vian tampak lelah dan ingin segera merebahkan tubuh mereka di ranjang yang empuk. Seluruh keluarga telah pulang, termasuk Adam dan Tasya. Awalnya mereka merengek ingin ikut menginap satu kamar dengan pengantin baru. Atas bujukan ibu Carla yang berjanji akan mengajak mereka ke pantai keesokan harinya, keduanya pun mengangguk patuh. Kini tinggallah Carla dan Vian di kamar pengantin dengan ranjang besar dan tebal. Sangat cocok untuk sepasang pengantin yang akan mengarungi kehidupan rumah tangga mereka. Carla tersenyum malu saat ke luar dari dalam kamar mandi. Rambutnya basah, wajahnya telah bebas dari riasan. Sungguh menggoda Vian yang tengah menahan hasratnya. Tak sabar menunggu, Vian terburu-buru masuk ke kamar mandi untuk mempersiapkan malam terindah untuk istrinya, Carla.
Satu bulan kemudian Hari ini hari ulang tahun Adam. Bocah kecil itu telah memintanya sejak tiga bulan lalu. Ia memiliki rencana mengundang teman-teman barunya di sekolah yang baru pula. Carla tak keberatan. Selama Adam menginginkannya dan itu bermanfaat, ia akan mengabulkannya. Namun, ada yang berbeda di hari ulang tahun Adam kali ini. Ada Abi, mantan suami Carla yang juga ayah kandung Adam turut hadir dalam acara ulang tahun bocah kecil itu. Abi datang bersama istri dan anaknya. Ini semua karena Adam yang mengajaknya. Mungkin ia ingin lihat ayah dan ibunya yang kini jadi mantan datang bersama di pesta ulang tahunnya. "Ma, Jihan datang enggak ya?" tanya Adam pada sang ibu yang tengah sibuk mengatur makanan. Carla mengangguk. "Kok belum datang?" "Lagi
"Mas, ayo pulang." Risya menarik lengan Abi yang masih duduk tenang bersama anaknya di dekat panggung. Ada Adam, Tasya dan Jihan anak Bimo yang ikut datang. Abi bercanda bersama tiga anak kecil itu, menunjukkan mainan yang tadi dia bawa. Adam sangat menikmati momen bahagia itu sampai tiba-tiba Risya datang merusuh. "Sebentar ya. Lagi seru," tolak Abi. Risya merengut kesal. Pasalnya, ia sangatlah bosan dengan pesta anak kecil itu. Sudah hampir dua jam lebih ia hanya duduk seperti orang aneh tanpa ada yang mengajaknya bicara. "Aku maunya sekarang!" rengek Risya. Abi tak peduli. Ia masih tetap ingin menemani anaknya yang tengah ulang tahun hari ini. "Kamu paham bahasa Indonesia kan? Kamu pulang saja sama supir, biar nanti aku naik taksi saja pulangnya." Abi mengusir istrinya yang ingin pulang secepatnya. Bukan, bukan ini maunya Risya. Ia ingin mengajak Abi jalan-jalan ke tempat temannya. Tadi, Risya sempat melihat kalau salah satu teman selebnya ada yang ulang tahun juga hari ini
Epilog: Tak ada yang tahu bagaimana takdir berjalan. Tak ada yang tahu juga bagaimana sebuah cinta akan berakhir dengan seseorang yang dicintai atau tidak. Carla telah jatuh dan bangkit karena cinta, kini hidupnya akan kembali disatukan dengan sebuah cinta. Satu bulan setelah perceraian Abi dan Risya, kabar duka datang dari Carla yang kehilangan suami tercintanya. Setelah berjuang melawan penyakit paru-paru yang telah menggerogotinya selama lima tahun, Vian pun menyerah. Ia meninggalkan seorang anak dan istri yang masih mencintainya. Carla kira, dirinya yang akan pergi lebih dulu. Mengingat penyakitnya yang tak mungkin bisa diselamatkan lagi. Ternyata tuhan masih memberikan umur panjang padanya. Setelah tiga bulan resmi menyendiri, sebuah lamaran datang kembali padanya. Kali ini, ia kembali pada cinta sejatinya yang tak mungkin bisa dilupakan. "Mama cantik sekali," puji Adam yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar rias calon ibunya. Carla memeluk anak pertamanya itu dengan erat. "Ter
Sidang putusan pengadilan akhirnya memutuskan perceraian antara Risya dan Abi. Mereka resmi berpisah dengan dikabulkannya tuntutan yang dilayangkan oleh Abi pada Risya. Perselingkuhan itu terbukti dilakukan dengan sadar dan atas kemauan mereka berdua. Risya sempat pingsan saat pembacaan putusan, walau tak lama kemudian ia sadar lalu menangis meraung-raung memikirkan nasibnya setelah ini. Abi tersenyum pedih melihat surat keputusan cerai yang telah diterimanya. Ini adalah surat ketiga yang dimilikinya. Ia tak lagi sanggup menangis, karena ini terlalu pedih. "Pa, makam mama apakah ada yang menjaganya?" Abi menoleh pada anaknya yang tengah mengemudi di sampingnya. Tak lama kemudian, ia mengangguk. "Adam kangen sama mama Winda." "Papa juga. Andai waktu itu papa tidak terburu-buru menceraikan dia dan pergi begitu saja dari sisinya. Pasti kita akan jadi keluarga yang bahagia saat ini. Maafkan papa, Adam. Papa salah dan berdosa padamu dan juga mama Winda." Abi mengusap air mata yang menga
"Itu adalah anakku, aku adalah ayahnya." Suara itu menggema memecah keramaian drama yang baru saja ditunjukkan oleh Risya di depan hakim persidangan. Semua orang menatap heran pria yang baru saja masuk ke dalam ruang sidang. Risya yang tadi menangis tersedu-sedu kini hanya bisa diam. Isi kepalanya ikut menghilang seperti air mendidih yang menguap. "Dia adalah anak saya pak hakim," tunjuk Sandy, pria yang tadi memasuki ruang sidang. "Itu bohong, pak. Saya hanya melakukan itu dengan suami saya!" bantah Risya. Sandy menyeringai. "Apa perlu aku putar video mesra kita saat menghabiskan malam romantis dan panas berdua?" Huuu Terdengar suara gaduh dari saksi yang mendengar ancaman dari Sandy. Semua orang kini memandang jijik dua orang yang tengah berdebat di depan hakim persidangan. "K-kamu yang jebak aku!" "Kau—" Belum selesai Sandy bicara, hakim mengetuk palunya. "Sidang ditunda minggu dep
Mantan ibu mertuanya duduk dengan nyaman di sofa rumah Abi setelah menunggu lebih dari dua jam kepulangannya. Abi memang sengaja pulang sedikit terlambat tadi. Ia menyempatkan mengajak kedua anaknya berjalan-jalan di pasar malam melihat pertunjukan lalu makan malam sejenak dan akhirnya pulang. Abi tak mengira, mantan ibu mertuanya akan datang dan menunggunya hingga selarut ini. Lebih mengherankan lagi, mata wanita paruh baya itu terlihat sembab dan lelah. Apa yang sebenarnya akan dia katakan hingga mengorbankan waktu istirahatnya? "Ibu ke sini diantar siapa?" tanya Abi sekedar berbasa-basi. Ibu Risya tersenyum getir. Ia menarik napas panjangnya lalu menunduk sejenak. "Tadi, ibu datang bersama menantu ibu yang kebetulan akan berangkat kerja." ibu Risya menggeser posisi duduknya, sedikit mendekat pada Abi yang terdiam di tempatnya. "Kedatangan ibu ke sini, hanya ingin mengatakan sesuatu. Semoga ini akan menjadi pertimbangan dirimu untuk membatalkan rencana perceraian besok." Abi me
Hoeekk hoekkk Risya terbangun dengan kepala pening dan perut yang mual sejak matanya terbuka. Hampir setengah jam ia berjalan mondar-mandir memasuki kamar mandi hanya untuk menuntaskan rasa mualnya. Tak ada sisa makanan yang ke luar, hanya cairan bening yang meluncur dari mulutnya. "Kamu hamil?" suara sang ibu terdengar dari balik pintu kamar mandi. Tangan wanita paruh baya itu menyilang di dadanya. "Anak siapa?" Dengan kaki gemetar, Risya membalikkan tubuhnya menghadap ibunya. Ibu Risya, terkenal keras sejak dulu. Ia memang menyayangi Risya dan sering memanjakannya. Namun jika anaknya itu melakukan kesalahan, ia tak segan untuk berbuat kejam. "Kamu tuli?" bentak ibu Risya. Suara menggelegar itu membuat Risya ketakutan. "Jawab!" "I-iya. I-ini anak mas Abi," jawab Risya gemetar. Tangannya berpegangan pada sisi wastafel agar tak jatuh. Kemarin, sesudah semua orang rumah pergi, Risya diam-diam pergi membeli alat tes kehamilan di apotek. Ia mulai merasakan hal yang tak beres dengan
Dua minggu sudah Risya dikembalikan ke rumah orang tuanya, dua minggu pula Abi merasakan kedamaian di rumahnya. Berkali-kali mantan ibu mertuanya mencoba menghubungi Abi untuk membatalkan perceraian, berkali-kali pula Abi menolaknya. Abi tak ingin luluh lagi dalam jeratan rayuan Risya seperti yang terjadi beberapa tahun lalu. Pria yang sebentar lagi menyandang status duda untuk keempat kalinya itu termenung di pinggir ranjang. Di tangannya, ada selembar surat undangan dari pengadilan untuk sidang cerainya pertama kali. Besok, akan jadi penentuan baginya untuk hidupnya yang baru. Pintu kamar pun terbuka, Adam dan Fariska yang hari ini tengah libur masuk ke dalam kamar milik ayahnya. Abi tersenyum melihat keduanya. "Pa, hari ini kita ke kantor papa ya? Aku lagi enggak ada kelas, Ika lagi rapat guru-gurunya. Boleh kan?" tanya Adam yang dibalas anggukan oleh Abi. "Kalau gitu, Adam sama Ika tunggu di bawah." "Iya. Papa nanti nyusul. Kalian sarapan saja dulu." Kedua anak Abi itu segera
Abi benar-benar telah matang dalam mengambil keputusan untuk bercerai dengan Risya, istrinya. Di dalam kepalanya, tak ada lagi kesempatan kedua untuk mempertahankan rumah tangga. Abi sudah muak dengan segala macam drama yang telah Risya buat. Walaupun dengan penolakan tak rela dari Risya, tetap saja Abi bersikeras untuk menceraikannya. Baginya, perselingkuhan adalah kehinaan dalam sebuah hubungan. "Turun!" perintah Abi yang dibalas dengan gelengan kepala oleh Risya. "Jangan sampai aku bertindak kasar padamu!" tegas Abi. Pria itu membuka pintu samping lalu menarik Risya ke luar. Risya terus memberontak bahkan tak segan memukul lengan Abi dengan keras. Abi tak peduli, ia tetap menarik Risya setelah berhasil menurunkan dua koper besar milik wanita itu. "Mas, aku enggak mau pulang ke sini!" rengek Risya. Tak peduli dengan rengekan Risya, Abi tetap menyeret koper milik Risya. Mendengar kegaduhan yang ada di depan rumah, ibu mertua Abi segera berlari menemui asal suara. Karena sayup-say
Risya tak terima dengan keputusan yang diambil oleh Abi. Ia terus meraung-raung tak jelas di depan kamar suaminya. Suaranya baru berhenti menjelang pagi. Rupanya, ia tertidur di depan pintu kamar dengan tubuh tengkurap mencium lantai. Abi sama sekali tak terenyuh dengan pemandangan di depannya. Tanpa menoleh sama sekali, ia pergi sambil melangkahi seonggok tubuh yang tengah tertidur itu. Mendengar suara tawa yang cukup keras dari lantai bawah, Risya terbangun dari tidurnya. Matanya mengerjap-ngerjap lalu perlahan terbuka. Tubuhnya sakit, ia melenguh. Rasanya seperti tertimpa ribuan ton besi. "Pa, hari ini aku mau ajak Ika ke rumah Jihan. Boleh kan?" ujar Adam meminta izin pada ayahnya. Abi mengangguk. Kedua anaknya cukup sering menghabiskan waktu di rumah sahabatnya, tak ada alasan untuk menolaknya. "Soalnya, Fariska mau main sama dedek Ragil. Iya kan?" "Ih, kakak. Kenapa dikasih tahu ke papa?" bibir Fariska mengerucut lucu, pipinya menggembung tanda ia marah pada kakaknya. Adam
Adam meremat tangannya, hatinya gusar dan bingung tak tahu apa yang harus dilakukannya. Sejak kejadian di dalam mobil itu. Tidur malam Adam pun tak pernah tenang. Wajah biadab itu selalu terngiang-ngiang di kepalanya tiap detik. Adam terus menimbang-nimbang apakah dirinya akan mengungkapkan semuanya pada sang ayah atau tidak. Setiap kali melihat wajah lelah ayahnya, Adam jadi tak tega mengungkapkan. Namun jika mengingat perlakuan buruk ibu tirinya, hatinya memanas. Ia tak rela jika ayahnya dikhianati dengan cara kejam di belakangnya. "Pa," panggil Adam dengan suara pelan. Abi menoleh dengan senyuman manisnya. Menepuk pinggiran sofa lalu melambaikan tangan mengajak Adam untuk duduk di sebelahnya. "Pa, Adam—" Abi melihat raut wajah keseriusan di mata Adam. Sudut hatinya yang peka mengatakan jika anaknya itu membutuhkan bantuan. "Ada apa, nak? Ada yang ingin kamu sampaikan?" Suara lembut ani menggoyahkan keinginan Adam untuk mengungkapkan sebuah rahasia. Pria muda itu menarik napas p