Suasana dalam mobil mewah itu terasa sunyi karena sejak pemiliknya masuk belum satupun yang membuka suara untuk bicara. Hanya ada suara alunan musik yang terdengar sayup-sayup di telinga keduanya. Carla irit bicara hari ini, begitu pula dengan Vian. Pria itu menunggu kesayangannya bicara agar ia tak dicap sebagai pria arogan.
Tangan kiri Vian meraba, mencari tangan Carla lalu menggenggamnya erat. Dingin, untuk itu ia menghangatkannya.Carla menoleh lalu kembali menatap lurus menatap jalanan di depannya."Kamu jangan keras sama sepupu kamu sendiri. Aku enggak enak sama tante Leni tadi." Carla bicara dengan wajah datarnya. Vian masih diam. Mungkin sedang mencari kalimat yang pantas untuk diucapkan. "Aku tidak apa-apa kok dihina seperti itu. Bukannya sudah biasa ya?""Bagimu biasa, tapi tidak untukku. Harga dirimu adalah harga diriku juga. Kamu dihina aku juga dihina. Aku yang memilih kamu maka akulah yang akan membela jika ada yang menghinamu."Prank!! Suara piring terjatuh berasal dari belakang membuat dua orang yang sedang duduk di ruang tamu terlonjak kaget. Suara itu terdengar jelas seperti ingin menginterupsi perbincangan hangat antara kedua anak dan ibu itu. "Tuh, dengar. Istrimu sedang mengamuk. Apa pantas, seorang menantu berbuat seperti itu?" Riandari, mertua dari Carla mencibir sang menantu di depan suaminya sendiri. Abi sang suami hanya bisa menjawab dengan senyuman kecut tanda ia bingung harus membela yang mana. Carla sedang tidak enak badan hari ini. Kebetulan, Abi juga sedang mengambil cuti kerja. Di saat Carla sedang ingin bermanja dengan tempat tidurnya tiba-tiba saja sang mertua datang dan memintanya untuk memasakkan makanan kesukaan. Kabar tak beruntungnya, asisten rumah tangga yang biasanya datang kini berhalangan. "Carla lagi sakit, Bu. Mungkin masih—" "Ah, itu hanya alasan dia saja. Menantu kurang ajar ya begitu." Riandari memotong penjelasan anaknya. Abi mendesah pasrah tak berani membantah perkata
Enam tahun menikah, badai pernikahan itu datang juga. Anak menjadi salah satu masalah yang membuat hubungan Carla dan Abi menjadi renggang. Ini bukan salah mereka, ini hanyalah permainan takdir. Sudah dua malam Abi tidur tanpa pelukan Carla. Istrinya itu memilih diam dan terkadang membalikkan tubuhnya. Ia tak mau menatap wajah Abbi sedetikpun. "Sayang, kamu kenapa?" Abi mengusap punggung Carla perlahan. Tangan Carla menepisnya. "Ada yang salah dengan aku?" Carla membalikkan tubuhnya. Tatapan sendu terlihat jelas di matanya. "Mas tahu apa yang tengah terjadi dalam rumah tangga kita?" Abi terdiam tak menjawab. "Mas harusnya sadar, kalau rumah tangga kita sedang tidak baik-baik saja!" "Aku tahu. Ini semua karena kata-kata ibu beberapa hari lalu. Iya, kan?" "Kalau kamu sudah tahu, kenapa tidak cari jalan keluar?" Carla menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Hawa di dalam kamar sangat panas dan ia ingin sekali menghirup udara segar dari balik balkon kamar. "Kita sudah dewasa, har
Carla seorang wanita sibuk, ia berkarir sebagai seorang pengusaha dan mandiri dalam finansial. Kebutuhan hidupnya terpenuhi. Bahkan ia sempat dijuluki wanita cerdas karena kehidupannya yang serba mewah dan sempurna. Itu dulu, jauh sebelum isu tak sedap itu menyerangnya. Beberapa kalangan pebisnis muda yang bernaung di dalam satu wadah organisasi pengusaha, banyak yang menunjukkan ketidaksukaannya pada sosok Carla. Tak ada yang bisa mencegah seseorang untuk tak membicarakan kejeniusan berbisnisnya. Tak terkecuali para investor dan para pengusaha lawan bisnisnya. Sosok dinginnyalah yang membuat banyak orang ingin tahu seberapa hebat sosok Carla, si pengusaha muda. "Selamat siang, Bu Carla." seorang pria berumur tiga puluhan masuk kedalam ruangan Carla. Ia seorang pebisnis muda juga. Salah satu calon mitra terkuat bisnis Carla. "Selamat siang, Pak Ardian. Silakan duduk." Setelah mempersilahkan duduk, sekretaris Carla masuk dan menyuguhkan dua cangkir teh untuk Carla dan tamunya. "S
"Katakan pada ibu, apa hasil tesnya? Kabar baik atau buruk?" Malam ini tanpa di sangka, ibu datang ke rumah Abbi dengan wajah yang ditekuk tajam. Ia ternyata mengetahui jika Abi dan Carla tadi siang datang menemui dokter Din. Entah darimana ia tahu, buktinya saat ini ia sudah datang sambil meneror sepasang suami istri itu. Napas Carla seakan tercekat, ia menahan tangisnya. Bukan karena keadaannya, tapi apa yang bisa ia lakukan setelah ibu tahu hal ini?. "Ibu, sekarang makan malam dulu ya. Ibu kan baru saja sampai." Carla berdiri dan membujuk ibu mertuanya untuk makan malam bersama. Untung sang ibu menurut. Mungkin pikirnya, jangan tergesa-gesa jika menginginkan sebuah jawaban. Makan malam di meja makan terasa seperti di sebuah kuburan, sunyi senyap. Bahkan Abi yang biasanya cerewet mengomentari makanan, kini berubah menjadi pendiam. Carla pun sama. Rasa ayam goreng yang biasanya enak, terasa hambar di lidah dan seakan tak bisa ia telan karena tersangkut di tenggorokan. "Kenapa ma
"Sudah aku bilang, mas harus punya pekerjaan tambahan jika sudah menikah dengan aku. Kamu tahu sendiri kan bagaimana tanggapan orangtuaku?" Piring dan sendok berterbangan karena gebrakan keras di atas meja yang mewarnai satu keluarga baru di sebuah rumah kecil di Jakarta. Rumah minimalis dengan dua kamar tidur menjadi saksi atas pertengkaran yang terus menerus terjadi antara mereka. Ini sudah ketiga kalinya mereka saling menjatuhkan satu sama lain. Saling mengejek dan menyindir tapi anehnya saling mencintai. "Aku juga kerja keras, Win. Kamu enggak lihat aku tiap hari ke luar rumah cari tambahan sana sini?" "Aku enggak mau hidup susah, mas. Pokoknya kamu harus bisa yakinkan orangtuaku kalau kita bisa hidup bahagia." Satu gebrakan lagi berhasil membuat isi meja berhamburan ke atas lantai dapur. Abi sudah menahannya, sangat menahannya. Bagaimana cara Winda memperlakukan dirinya bak pengemis setiap kali pulang. Bagaimana ketusnya Winda saat ia memberikan uang belanja setiap minggunya
Air mata Carla menetes tak henti hingga membasahi jari-jarinya yang ia gunakan untuk mengusap pipi lembutnya. Ia meratapi bagaimana kisah kehidupan rumah tangganya jika memilih membiarkan suami yang ia cintai menduakan cintanya. Bukan untuk sementara tapi ini selamanya. Carla bahkan tak sanggup membayangkannya. Tinggal dalam satu atap dengan dua cinta terlebih suatu saat nanti ia yang akan tersingkirkan. Carla menoleh sedetik. Dilihatnya sang suami sedang fokus mengendarai sedan kesayangannya melintasi jalanan kota Jakarta yang mulai padat siang ini. Carla tadi memaksa ingin pulang sendiri tapi Abi menolaknya. Suaminya itu terlihat kesal karena Carla memutuskan sesuatu tanpa dirundingkan terlebih dahulu padanya. Ia kesal karena Carla tak mengizinkan dirinya mengambil keputusan untuk rumah tangga mereka. "Aku tetap pada keputusanku," tegas Abi. Kepalanya menoleh sejenak. Carla dan Abi saling bertatapan. "Aku tidak akan menikah lagi." "Mas!!" te
Riandari sudah berdiri dengan anggun di depan teras rumah Abi. Pagi buta, dirinya telah berdandan cantik lalu mengetuk pintu rumah anak lelaki kesayangannya. Gaun yang dikenakannya cukup mewah. Khas wanita Jawa tapi dengan aksen modern yang lebih berwibawa. Sementara itu, kakak Abi juga telah tiba dari kediamannya. Membawa beberapa bingkisan ukuran besar yang mereka taruh di bagasi mobil. Rencananya, hari ini mereka akan pergi ke rumah Risya untuk memperkenalkan Abi sebagai calon suaminya. Risya seorang gadis manis yang baru saja lulus kuliah. Belum mempunyai pekerjaan tetap dan katanya dia sering membantu orangtuanya bekerja di toko pakaian. Wajahnya yang keibuan membuat Riandari jatuh hati saat pertama kali dikenalkan. Wanita paruh baya itu merasa cocok dengan penampilan Risya yang akan menjadi calon menantunya itu. Di kepalanya, sudah terbayang betapa menyenangkannya mempunyai menantu seperti Risya. "Abi!" teriak Riandari. Suaranya mampu menembus pintu ruang tamu hingga ke dapur
Abi tak bersemangat saat tiba di rumah calon istrinya. Di dalam pikirannya hanya ada nama Carla yang tadi wajahnya terlihat sendu. Abi merasa bersalah karena tak berpamitan pada istrinya itu, egonya merasa tersentil karena ketidaksukaannya pada sikap Carla yang tak memberitahunya akan kegiatan hari ini. Padahal sebelumnya, Carla tak pernah menyembunyikan apapun darinya. Saat acara resmi berakhir, abis meminta izin pada keluarganya untuk pergi sejenak ke belakang. Sejak setengah jam lalu, ponselnya terus berdering tanpa henti. Abi mengerutkan dahinya, merasa asing dengan nomor yang baru saja menghubunginya. "Halo." Abi menjawab panggilan tersebut. Raut wajahnya berubah, bibirnya terbuka dan matanya terbelalak lebar. Risya yang sedang duduk di kursi taman seberang pintu belakang ikut mengerutkan dahinya juga. "Sekarang dia dimana?" tanya Abi. Tangan kanannya dengan cepat melepas dasi yang mengikat lehernya. "Saya kesana sekarang. Tolong terus pantau." Abi menutup ponselnya. Ia berg
Suasana dalam mobil mewah itu terasa sunyi karena sejak pemiliknya masuk belum satupun yang membuka suara untuk bicara. Hanya ada suara alunan musik yang terdengar sayup-sayup di telinga keduanya. Carla irit bicara hari ini, begitu pula dengan Vian. Pria itu menunggu kesayangannya bicara agar ia tak dicap sebagai pria arogan. Tangan kiri Vian meraba, mencari tangan Carla lalu menggenggamnya erat. Dingin, untuk itu ia menghangatkannya. Carla menoleh lalu kembali menatap lurus menatap jalanan di depannya. "Kamu jangan keras sama sepupu kamu sendiri. Aku enggak enak sama tante Leni tadi." Carla bicara dengan wajah datarnya. Vian masih diam. Mungkin sedang mencari kalimat yang pantas untuk diucapkan. "Aku tidak apa-apa kok dihina seperti itu. Bukannya sudah biasa ya?" "Bagimu biasa, tapi tidak untukku. Harga dirimu adalah harga diriku juga. Kamu dihina aku juga dihina. Aku yang memilih kamu maka akulah yang akan membela jika ada yang menghinamu."
"Wah, kainnya cocok di kulit halus Carla. Cantik sekali," puji Leni yang sejak tadi tak berhenti tersenyum melihat hasil karyanya sempurna melekat di tubuh mungil Carla. "Ini enggak berlebihan kan tante?" tanya Carla, ia merasa tak percaya diri dengan tubuhnya yang kurus. Gaun itu terlalu cantik untuk dikenakannya. Tubuh Carla memang tinggi tapi terlihat kontras dengan lengannya yang kurus. Bentuk tubuh Carla belum kembali seperti sedia kala. Mungkin ini pengaruh dari makanan yang dipantang oleh Carla demi kesehatannya. Tak banyak yang dipantang tapi itu sedikit mengganggu untuk penambahan berat badannya. "Tidak. Ini sempurna sayang. Kulit kamu putih mulus, tante suka dengan kulit kamu yang bercahaya," puji Leni sekali lagi membuat Carla jadi tak enak hati. "Tapi kan saya kurus banget. Jadinya—" "No. Tante punya banyak solusi untuk tubuh yang terlalu kurus. Ada triknya biar terlihat proporsional. Kamu punya d
Keesokan harinya, Carla datang ke kantor untuk mengambil barang-barang miliknya yang tertinggal. Sekalian ia pamit pada karyawannya yang sudah dianggap keluarga olehnya. Niatnya memang ingin pensiun dan fokus mengurus rumah tangganya bersama Vian. Walau dalam hati dirinya tak rela meninggalkan semuanya. Berjalan pelan menuju ruang kerja Al, ia tersenyum manis pada sekretarisnya yang berada di meja kerjanya "Pak Al ada?" tanya Carla dengan suara lembut. "Ada, Bu. Bu Carla makin segar. Semoga lancar sampai hari H ya, Bu," ucap sekretaris Carla yang sekarang jadi sekretaris Al. "Ah, terima kasih. Kamu nanti datang kan ke acara pernikahan saya?" "Pasti Bu Carla. Saya akan datang." Carla pamit masuk ke dalam ruangan kerja Al. Kakak sepupunya itu sedang duduk, fokus membaca berkas di mejanya. "Mas Al?" Al menoleh. Ia tersenyum menyambut adik sepupunya yang baru saja datang. "Barang-barangku sudah disiapkan?"
BrakkRisya membuka pintu kamar dengan kasar. Suaranya hampir terdengar ke lantai bawah. Untung saja Fariska tak rewel mendengar ibunya mengamuk tak jelas. Ini semua karena Carla. Risya membenci wanita yang dulu pernah mengisi hati suaminya. Terlebih saat ini dia sudah bahagia dengan pendamping barunya. Risya semakin iri dibuatnya."Kamu kenapa sih? Pulang kondangan malah ngamuk-ngamuk." Abi datang dari balik pintu dengan raut wajah yang masam."Itu karena kamu, Mas."Abi mengerutkan dahinya. Ia tak merasa bersalah sama sekali karena sejak tadi dirinya hanya diam saja."Aku? Sejak kapan aku berulah?" Abi tak terima dituduh seperti itu. Aneh sekali pemikiran istrinya. "Aku tak merasa bersalah sedikitpun padamu.""Kamu sengaja kan ajak aku datang ke pesta lamarannya Carla supaya aku iri. Atau kamu masih suka sama dia diam-diam," tuduh Risya lagi.Abi melirik tak suka pada sikap Risya yang terkesan berlebihan. Apa yang membuatnya harus iri dengan kehidupan Carla? Bukankah dia juga mendap
"Hari ini ada acara di rumah mama. Aku mau datang dan nginap di sana," ujar Risya dengan nada ketus. Abi hanya melirik sekilas. Hari sabtu ini dirinya berencana akan pergi ke gedung hotel tempat acara lamaran antara Carla dan Vian akan dilangsungkan."Lalu? Memang ada acara apa? Kok kamu mendadak kasih tahunya? Senang lihat aku diomongin sama keluarga besar kamu?"Abi bukannya tak tahu. Semenjak perceraiannya dengan Carla, semakin banyak orang yang diam-diam tak menyukai Abi. Hanya saja saat bertemu dengannya, mereka berpura-pura tersenyum menyukainya."Kan kamu tahu sendiri, mama aku seringnya mendadak kalau bikin acara," jawab Risya beralasan."Aku ada acara. Kamu sama supir saja berangkatnya." Abi meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Pakaiannya rapi, kemeja dan jasnya terlihat serasi. Membuat wajah Abi semakin tampan dan berwibawa."Pasti mau ke pestanya Carla. Ya kan?" tuding Risya. Abi mengangguk datar. "Aku enggak izi
Tiga bulan setelah perceraian, tak membuat hidup Abi menjadi lebih bahagia. Hari-harinya dihabiskan dengan bekerja dan berkumpul bersama teman-teman barunya sesama pengusaha. Tak jarang ia juga pulang larut malam. Entah membicarakan apa dengan teman-temannya itu.Suasana di kantornya juga sudah tak senyaman dulu, baginya. Setiap kali ia menginjakkan kaki ke dalam ruangan, matanya selalu tertuju pada ruangan yang dulu pernah dijadikan kamar olehnya. Terakhir kali Carla memberikan kewajibannya sebagai seorang istri terjadi di kamar itu.Namun kini semuanya terasa menyesakkan. Abi menyesali kepergian Carla dari hidupnya.Tokk tokk tokk"Masuk!""Halo bro, apa kabar?" Abi mendongakkan wajahnya. Ternyata yang datang adalah Al, sepupu Carla."Ada apa?" Abi menjawab salam Al dengan raut wajah datar. Sekitar dahinya banyak kerutan tua yang tak sesuai dengan umurnya."Aku kesini mau kasih sesuatu untuk kamu." Al mengeluarkan
"Adam!" teriak Abi dari kejauhan. Adam yang sedang duduk mengamati ikan menoleh ke arah suara itu."Papa?" Adam tak beranjak dari duduknya. Baginya, lebih penting mengamati ikan daripada menyapa ayahnya."Adam, itu ada om-om panggil kamu." Tasya menarik lengan Adam menunjuk ke arah taman yang tak jauh dari kolam ikan. Adam tetap bergeming, matanya hanya melirik seolah tak peduli."Tasya, kita ke atas lagi yuk." Adam menarik lengan Tasya mengajaknya berlari ke lantai dua kafe lewat pintu belakang. Abi berlari ingin menyusulnya namun langkah Adam ternyata lebih cepat dari yang dirinya kira.'Kenapa dia menghindari aku?'"Adam, ihh!" Tasya kesal. Ia masih ingin melihat kolam ikan tapi malah diajak kembali ke dalam kafe. "Tasya masih ingin lihat ikan!""Di rumah eyang ada." Adam mengajak bocah kecil itu duduk di sofa mungil. Adam mengusap-usap rambut Tasya yang berantakan. Tasya melengos tak suka."Tapi kan Tasya mau li
"Aduh!" kaki Carla tersandung anak tangga menuju lantai dua. Tadi saat masuk ke dalam, matanya begitu takjub melihat pemandangan kafe dari ujung ke ujung."Pelan-pelan sayang." suara lembut Vian membuat hati Carla berbunga-bunga. Adam yang ikut tersenyum mendengarnya."Vian, kamu tuh..."Mereka bertiga naik ke lantai dua sambil bercanda mesra. Vian kerap kali melontarkan candaan mesra untuk Carla hingga membuat wanita cantik itu terkekeh."Om jamet!" celetuk Adam."Biarin. Jamet begini bikin mama kamu suka." Carla dan Adam terkekeh. Mereka sangat suka mendengar celetukan Vian yang lucu.Dari tangga sebelah kiri, mereka bertiga memutar ke arah jendela dekat kolam ikan yang pemandangannya sangat indah. Di lantai dua ada tiga ruangan yang bisa disewa oleh pelanggan untuk acara tertentu. Vian menggiring mereka berdua ke ruangan yang paling ujung sedikit lebih besar dari ruangan yang lainnya.Saat akan melewati ruangan pertama, jantung Carla berdegup kencang. Seakan akan ada sesuatu yang m
Carla masuk ke dalam rumah dengan perasaan senang, sedih dan sedikit lega. Beban yang selama ini menghimpitnya serasa pergi satu persatu meninggalkan hidupnya. Ada tangis haru yang ingin ia tumpahkan walau sekuat tenaga dilawannya."Carla..." Vian menyapa lebih dulu saat Carla baru saja melangkah masuk ke dalam rumahnya. Wanita itu membalasnya dengan senyuman manis."Vian? Kemana saja?""Kenapa? Kangen ya?" Carla mencubit pinggang Vian hingga meringis kesakitan. Pria itu hanya terkekeh sambil memegangi pinggangnya. "Aku setiap hari ke sini loh. Tapi mungkin kamu enggak lihat.""Iya kah? Waktu aku masih pemulihan?" Vian mengangguk. Carla memilih duduk di sofa empuk ruang tengah ditemani Vian. Keduanya duduk bersebelahan. Mata Vian memicing memperhatikan Carla yang tengah memijat kakinya."Lelah?" Carla mengangguk. Vian perlahan menarik kaki Carla lalu menaruhnya di atas pangkuannya. Sontak Carla terkejut melihat perlakuan tiba-tiba dari sahabat masa remajanya."Vian, jangan begini." Ca