“Kenapa ibu berkata seperti itu sama Adam? Aku yang akan beritahu padanya saat waktunya tiba.” Abi masih berdiri di balkon kamarnya yang terbuka. Kepalanya masih pening akibat kelakuan ibunya yang mulai meracuni kepala anaknya. Adam marah dan tak mau bicara padanya. Entah hal apa saja yang telah dikatakan oleh ibunya kemarin.“Ibu hanya berkata yang sebenarnya. Bukankah kalian akan menikah sebentar lagi? Dia harus tahu dari sekarang.”“Tapi bu—”“Sudah. Ibu berbuat seperti ini karena ingin membantu kamu. Terserah kalau kamu tidak suka.”Riandari menutup telponnya lebih dulu. Kepala Adam kembali pening dengan jawaban ketus ibunya yang tak mau mengalah sama sekali. Ia menoleh ke belakang, ada Carla yang sedang duduk diam di depan cermin sambil mengoleskan krim di wajahnya. Merasa ditatap, Carla ikut menoleh. Keduanya saling bertatapan dalam diam.“Aku yang akan jelaskan sama Adam. Semoga dia mau mendengarnya.”Abi menutup pintu bal
Carla menatap serius dokter Ana yang tengah memeriksa keadaan Adam. Rasa cemasnya membuat dirinya tak sadar telah menggigit bibir bawahnya hingga terluka. Ana masih terus memegang dahi dan membuka mulut Adam dengan senter kecil. Tak lama kemudian, ia menaruh kembali peralatan itu ke dalam tasnya. Ana tersenyum, sekedar untuk menenangkan hati Carla, sahabatnya.“Bagaimana? Adam sakit apa?” tanya Carla dengan raut wajah penuh kecemasan. Tangannya tak berhenti mengusap-usap lengan Adam yang dibalut kain basah.“Tidak usah khawatir. Adam hanya demam biasa. Tapi tetap saja aku harus cek darahnya ke lab di klinik. Kamu bisa ambil nanti malam kalau sempat.” Ana membuka kembali tas dokternya lalu memasukkan jarum suntik ke pembuluh darah di tangan Adam.“Aku kasih obat penurun panas biasa ya. Nanti kalau belum juga turun dalam empat jam ke depan, kamu ke klinik aku. Hari ini aku tidak ada jadwal di rumah sakit,” lanjutnya.
Carla, Abi dan Adam duduk bersama di ruangan praktek dokter Ana. Udara dingin di dalam ruangan menyergap tubuh kecil Adam hingga membuatnya mengantuk. Sejak lima menit lalu mereka hanya terdiam dengan wajah serius menatap wajah dokter muda itu. Carla hanya mengangguk, Abi memangku Adam di atas pahanya sambil mengusap-usap kepala anak kecil itu dengan lembut. Selebihnya, hanya suara dokter Ana yang terdengar.“Sebenarnya tidak terlalu serius, hanya saja ini bisa jadi sedikit berbahaya jika terus dibiarkan,” ujar dokter Ana menunjukkan hasil uji lab pada Carla dan Abi.“Terlalu berbahaya, dok?” tanya Carla. Dokter Ana menggelengkan kepalanya.“Masih batas aman. Jaga sistem imunnya ya. Jangan terlalu lelah beraktivitas dan sering berolahraga,” pesan dokter Ana diiringi dengan senyum manisnya.Tadi, dokter Ana mengatakan jika Adam terkena virus dalam darahnya. Sejenis virus yang menghambat sistem imun dan dapat membuat tubu
Minggu pagi yang ceria. Setelah semalam terisi pertengkaran antara Riandari dan Carla, pagi hari ini keduanya memilih perang dingin. Carla membawa pergi Adam yang telah membaik ke rumah Rayya untuk mengajaknya bermain dengan Jihan sedangkan Riandari rencananya akan mengajak Abi pergi ke rumah Risya untuk bertemu dengan paman gadis itu.Abi sebenarnya enggan, tapi ibunya selalu saja memaksanya tanpa henti. Setelah semalam dirinya berhasil mengelak, kini ia hanya bisa diam tak berkutik.Dan, disinilah Abi beserta ibunya. Berada di rumah Risya untuk bertemu dengan paman Risya yang katanya adalah salah seorang anggota dewan di Senayan.“Wah, saya senang sekali keponakan saya akan menikah dengan pria mapan seperti Abi. Yah, walaupun katanya jadi istri yang kedua,” sindir paman Risya yang membuat Riandari tersenyum kecut. “Jadi pengusaha juga?” tanyanya yang dibalas anggukan oleh Abi.“Paman, mas Abi ini selain sebagai manajer mark
BrakkCarla terkejut menatap bingung gelas yang tiba-tiba terjatuh dari tangannya. Pikiran buruknya melayang pada Abi, suaminya. Sejak tadi pagi mereka berpisah dengan urusan masing-masing, suaminya itu belum sekalipun menghubungi dirinya. Waktu sudah hampir sore hari, deringan telpon ataupun pesan singkat tak menyapa ponselnya. Carla gelisah, ia takut terjadi sesuatu pada suaminya.“Kenapa, Carla?” tanya Rayya yang membuyarkan lamunan Carla. Wanita itu menggelengkan kepalanya lalu kembali mengunyah makanannya. Ia juga kembali memesan minuman yang sama. “Untung gelasnya enggak pecah.”“Ray, kira-kira Bimo ada sama Abi enggak ya?” Carla menggigit bibirnya gelisah. Rayya menggedikkan bahunya. “Aku...”“Kamu takut sesuatu terjadi sama Abi?”Carla hanya terdiam. Entah mengapa pikirannya jadi tak tenang sekarang. Melihat anaknya tengah riang bermain dengan sahabatnya, ia kembali tenang namun tetap saja tak bisa mengubah dalam hatinya jika dirinya belum bisa menghilangkan kegelisahan itu.“
“Lalu, maksud kamu apa? Aku enggak mau jadi sasaran kemarahan kamu dan ibumu.” Ucapan Carla rupanya menohok perasaan Abi. Pria itu menarik napasnya menahan agar emosinya yang terkumpul tak menguar ke permukaan.“Aku dijebak! Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba dia ajak aku ke tempat sepi. Lalu—”“Tapi kamu mau kan?” Carla mendengus keras lalu terkekeh. “Munafik kalau kamu bilang tidak mau. Sudahlah, sini mana surat izinnya.”“Besok. Hari ini sedang diurus asisten aku.”“Ok. Selamat malam.”Abi menghela napas kasarnya. Ia belum bisa memejamkan matanya, ia gelisah. Langkah kakinya ia bawa ke depan balkon kamarnya yang masih tertutup. Langit malam ini cerah tapi hatinya sangatlah muram. Hari ini adalah hari buruk pernikahannya dengan Carla. Tak sedikitpun ia memimpikannya seumur hidup.“Maafkan aku, Carla.”***Carla bangun pagi sekali. Seperti b
Memalukan!Satu kata itu yang ingin Carla teriakkan di telinga Abi dan ibunya. Bertahun-tahun dirinya bersusah payah menaikkan derajat dan martabat keluarga suaminya, baru kali ini hancur karena sebuah jebakan yang disadari oleh Abi. Tujuh tahun yang lalu saat Abi mendekati Carla, belum pernah sama sekali berbuat tak senonoh hingga membuat mereka jatuh dalam skandal.Aneh! Mengapa baru sekarang sifat liar Abi keluar.“Sebenarnya, saya tak percaya dengan pernyataan yang dituduhkan oleh keluarga kalian,” ujar Carla melirik sinis pada salah satu pria yang sejak tadi memaksa ketua RT untuk percaya dengan skandal yang dibuat oleh Abi. “Ada saksi selain anda yang bersifat netral?”Tak ada yang bicara, ruangan hening seketika.“Tapi, saya lihat dia pegang dada Risya. Dia—”“Saya bisa dijadikan jaminan oleh kalian. Kalau memang Abi adalah pria mesum, sejak kami berkenalan dulu dia akan berbuat nakal.”Abi tersenyum mendengar Carla yang berani bersaksi atas dirinya. Lalu setelah Carla bicara,
Carla pulang dengan wajah masam tak berbentuk. Sejak pulang dari rumah kepala RT tadi, pikirannya melayang entah kemana. Banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada suaminya tapi entah mengapa semuanya menguap begitu saja. Rayya berkali-kali menoleh ke belakang, memastikan temannya baik-baik saja. Carla jadi sosok yang berbeda kali ini. Rayya memakluminya. Carla mungkin merasa terkhianati dengan sikap dan tingkah laku Abi yang selama ini dibanggakannya. Helaan napas kasar Carla cukup membuktikan seberapa besar masalah yang tengah dihadapinya. “Carla, kamu istirahat saja nanti.Kalau butuh sesuatu, kamu bisa hubungi aku atau Bimo. Jangan sungkan ya. Aku selalu ada untuk kamu,” ujar Rayya sebelum membiarkan Carla turun dari mobilnya. Carla mengangguk dengan senyuman manis merekah di bibirnya. “Terima kasih.” “Adam di rumah kami saja untuk sementara. Ada Jihan dan Rayhan, kebetulan adik aku lagi main di rumah.” Bimo menawarkan bantuan juga pada Carla yang dibalas anggukan olehnya. C
"Tadi mertuanya Carla kesini." Al menghentikan langkahnya lalu menoleh. "Tapi tante tidak bolehkan dia ketemu sama Carla." "Sepupunya Abisena juga ke kantor. Dia mengancam Al untuk melaporkan Vian ke polisi," ujar Al tenang. Hani menghela napas kasar. Sudah diduga olehnya, keluarga kurang belaian itu pasti datang menemui keluarga besarnya hanya untuk mengancam. Anehnya, mereka tak merasa bersalah dan tetap pada keinginan mereka untuk menghancurkan Carla. "Keluarga enggak jelas," umpat Hani. "Adam mana, tante?" Hani menunjuk ke kamar lantai dua tempat Adam berada. "Tadi dia ketemu sama neneknya?" "Enggak. Lagipula kalau dia tahu, enggak akan mungkin mau nemuin. Itu anak, pikirannya dewasa sekali. Dia benar-benar enggak mau ketemu sama nenek dan ibu tirinya," ujar Hani yang diangguki Al. "Memang. Itu yang diharapkan Carla." Al memang tak menyukai Abisena yang selalu bertindak seenaknya pada adik sepupunya tapi ia tak bisa memungkiri bahwa Adam adalah anak yang cerdas. Anak itu se
Dua hari setelah peristiwa itu, Abi dan Carla terlibat perang dingin yang membuat kedua keluarga besar saling panas memanasi. Diawali dengan kehadiran sepupu Abisena yang datang ke kantor untuk bertemu dengan Al selalu kakak sepupu Carla. Ia tak terima setelah mendengar tragedi pemukulan Abi yang dilakukan oleh Vian. Menurut mereka, seharusnya Vian diproses secara hukum karena telah memukul Abi tanpa sebab. Inginnya Al mengabaikan mereka, tapi saat mereka memaksa masuk ke dalam ruanganya mau tak mau ia harus menghadapinya. "Kenapa tidak dibawa ke kantor polisi dan rumah sakit? Kamu bisa dituduh berkomplot untuk mencelakakan sepupu saya kalau begitu," tuduh Galih, sepupu Abi yang tiba-tiba masuk ke ruangannya tanpa permisi. Galih tidak sendiri, ia datang bersama satu orang temannya yang bisa Al yakini bertugas sebagai eksekutor. Bisa saja habis ini dirinya akan dipukuli oleh mereka jika tak diladeni. "Kamu mau saya lapor polisi?" tanya Al meyakinkan kedua orang di hadapannya serius
"Kita berpisah."Dua kata yang keluar dari bibir Abi terus terngiang di telinga Carla. Wanita itu melihat kepergian Abi dengan mata sendu yang menyiratkan kepedihan. Apa yang terjadi di depan matanya, bukanlah seperti apa yang dipikirkannya.Tubuh Carla serasa kosong tanpa nyawa. Abi, suaminya yang selama ini dicintainya semudah itu memberikan kata pisah untuk hubungan mereka yang telah berjalan lebih dari tujuh tahun.Semua berawal dari kesalahpahaman antara dirinya dan Vian."Aku menyesal tadi. Aku seperti orang ketiga yang telah membuat hubungan kalian berdua renggang," ujar Vian.Vian hanya refleks memegang tangan Carla saat keluar dari mobil. Seharusnya ia menunggu hingga Kesya keluar dan membantunya. Tak pernah terpikir olehnya akan menjadi suatu masalah besar bagi rumah tangga Carla dan Abi.Sejak pengakuan Carla tempo hari yang memintanya untuk menunggu, Vian semakin menggebu-gebu untuk memiliki Carla. Seharusnya ia sadar jika saat itu Carla hanya sedang bimbang dengan kehidup
"Mas Abi, mau kemana?"Abi yang sedang merapikan kemeja dan jas menoleh. Risya tersenyum menatap suaminya yang terlihat tampan dengan setelan kas kantornya.Keduanya berdiri berhadapan dengan mata yang saling menatap satu sama lain.Cupp...Risya mencium bibir Abi yang mengatup rapat sebelum membalas sapaannya tadi."Mau ke kantor, kenapa?" Abi menyambut ciuman itu dan membalasnya dengan ciuman lembut lagi."Mas, kata Anna mbak Carla tuh akan pulang hari ini. Kamu enggak mau jenguk dia di rumah ibunya?" tanya Risya sambil memainkan dasi yang menjulur di atas kemeja suaminya. "Kamu enggak mau baikan sama mbak Carla? Kan kalian selama ini tuh kurang komunikasi."Abi melirik Risya sekilas. Mata jernih Risya membuatnya terhanyut. Kata-kata yang meluncur dari mulut istrinya bagaikan magnet dengan jutaan listrik di dalamnya."Anna tahu dari mana?" tanya Abi sambil mengerutkan dahinya.Sedikit kebingungan, Risya pun berpikir sejenak untuk mencari alasan. Ia pun tersenyum, kembali memainkan d
Setelah sempat mengalami koma selama dua hari, akhirnya Carla terbangun di hari ketiganya berada di ruangan ICU. Wajahnya sedikit tirus dan pucat tapi tak menghilangkan sama sekali rona cantiknya. Matanya menatap ke sekeliling ruangan putih yang telah berubah. Ia dipindahkan kemarin malam setelah sadar lebih dari lima jam.Di dalam ruangan hanya ada Al dan Kesya yang sedang duduk berdiskusi. Carla sempat menoleh ke arah jendela kamarnya. Ini sudah hampir malam tapi kedua orang itu tak hentinya bekerja. Ada sesuatu yang penting hingga mereka melupakan apa yang namanya istirahat?"Sepertinya ada yang sangat penting sekali?" tanya Carla memecahkan keheningan. Kedua orang yang sedang fokus dengan data di layar laptop langsung menoleh bersamaan ke arah Carla. "Ada masalah dengan kantor?""Ada laporan kebocoran dana. Katanya, ada penyalahgunaan rekening perusahaan. Kamu tenang saja, ini semua bisa diperbaiki. Kesya hanya memberi laporan sekalian perkembangan masalah pribadi kamu dan Abisena
“Bagaimana?” Riandari menaikturunkan alisnya, bertanya penasaran pada sang menantu yang sedang duduk santai di taman belakang rumah. Risya tersenyum mendengar pertanyaan itu. “Abi mau kan maafin kamu?”“Ibu tenang saja. Dia mau kok memaafkan aku.”Riandari bernapas lega. Sejak kemarin malam, dirinya tak henti memutar isi kepala memikirkan bagaimana caranya agar Risya dan Abi kembali bersama. Pertengkaran yang dimulai karena kesalahan teman Risya itu hampir membuat keduanya bubar. Riandari tidak mau. Ia masih ingin memiliki menantu yang bisa dicekoki dengan pemikirannya. Winda dan Carla terlalu mandiri, jadinya sulit untuk diperdaya seperti Risya.“Syukurlah.”“Ibu yakin kalau mbak Carla akan diceraikan oleh mas Abi?” tanya Risya. Riandari mengangguk semangat. Dia tahu watak anaknya. Kalau sudah tak suka, dia pasti melepaskannya. Sama seperti waktu bersama Winda dulu.“Yakin. Carla sudah sulit dikendalikan. Apalagi dia berniat untuk mengusir kita sekeluarga. Beuh, berasa ratu kerajaan
Abi terduduk di pinggir jalan raya arah menuju ke rumahnya. Kepalanya menengadah ke langit memperhatikan bintang yang kelap-kelip indah di atas sana. Keheningan pun menemaninya. Bosan, ia mengeluarkan sebungkus rokok yang setengah jam lalu ia beli dari minimarket sebelum kembali. Tak lama kemudian, asap pun mengepul di udara. Hari ini kacau, itu yang ia rasakan. Sejak pagi, masalah terus silih berganti menyiksanya. Dari masalah Carla, keributan rumah, hingga Risya yang tak tahu malu bertingkah mesra dengan sahabatnya di depan mata. Seharusnya, hari ini ia bisa dengan tenang menimang anaknya. Namun kekacauan itu membuat akal sehatnya hilang entah kemana. Ting! Suara ponsel Abi berbunyi. Abi terlonjak kaget mendengarnya. Matanya mengintip dari balik tangannya yang mengusap wajah lelahnya. [Pulang! Ibu sudah tahu masalahnya. Risya mau minta maaf sama kamu.] Cih. Abi mendecih membaca pesan yang dikirimkan ibunya. Pasti permintaan maaf itu tidak tulus. "Nanti. Abi lagi di pinggir j
"Kalian, keluar dari rumah saya!" Suasana ruang tamu Risya terasa mencekam seketika. Wajah marah dan penuh emosi milik Abisena tak bisa dipandang sebelah mata. Pria yang biasanya ramah dan sering senyum itu tiba-tiba berubah menjadi sangar seperti singa mengamuk. Risya dan teman-temannya langsung terdiam. Gane mematikan siaran langsungnya. Ia menyimpan ponsel yang tadi dipakai ke dalam tasnya sementara yang lain sibuk membereskan barang-barang mereka. Wajah ketakutan teman-teman Risya terlihat jelas diantara barang-barang yang tersusun di ruang tamu. Mereka menunduk, Abi masih bisa melihatnya dengan jelas. Risya mengangkat wajahnya hendak melayangkan protes namun tak jadi karena mata Abi melotot tajam ke arahnya memintanya untuk diam. "Kamu, masuk kamar!" Abi memerintah Risya dengan bentakannya yang terdengar menggelegar. Habis sudah kesabaran seorang Abisena hari ini. Istrinya itu hanya terdiam. Ia beranjak pergi dari tempatnya, menuruti perintah sang suami yang tak bisa dibant
Carla kembali jatuh pingsan. Setelah pulang dari rumah Abi, tiba-tiba saja tubuhnya lemas tak sadarkan diri. Sepanjang perjalanan, bibik yang menjaganya di kursi belakang terus menerus menangis melihat nona mudanya pingsan. Vian yang duduk di depan ikut cemas dengan keadaan Carla. Berkali-kali dirinya menoleh ke belakang hanya untuk memastikan keadaan Carla baik-baik saja.“Bik, Carla pingsan?” bibik mengangguk. “Saya langsung ke rumah sakit. Bibik bisa telepon Al?” Vian menyerahkan ponselnya yang terbuka pada bibik.“Halo tuan Al, ini bibik.”[Kenapa, bik? Ada apa dengan Carla?]Al curiga dengan suara bibik yang terdengar gelisah. Ada juga suara Vian yang mengumpat sesekali.“Non Carla pingsan. Saya sama tuan Vian mau ke rumah sakit.” isakan bibik terdengar.[Pingsan? Kenapa bisa pingsan? Apa yang terjadi?]“Al, jangan banyak tanya. Langsung ke rumah sakit Medika. Nanti aku ceritakan di sana,” teriak Vian dari kejauhan.Al membelalakkan matanya. Segera ia tutup laptop dan mengakhiri