Carla, Abi dan Adam duduk bersama di ruangan praktek dokter Ana. Udara dingin di dalam ruangan menyergap tubuh kecil Adam hingga membuatnya mengantuk. Sejak lima menit lalu mereka hanya terdiam dengan wajah serius menatap wajah dokter muda itu. Carla hanya mengangguk, Abi memangku Adam di atas pahanya sambil mengusap-usap kepala anak kecil itu dengan lembut. Selebihnya, hanya suara dokter Ana yang terdengar.
“Sebenarnya tidak terlalu serius, hanya saja ini bisa jadi sedikit berbahaya jika terus dibiarkan,” ujar dokter Ana menunjukkan hasil uji lab pada Carla dan Abi.
“Terlalu berbahaya, dok?” tanya Carla. Dokter Ana menggelengkan kepalanya.
“Masih batas aman. Jaga sistem imunnya ya. Jangan terlalu lelah beraktivitas dan sering berolahraga,” pesan dokter Ana diiringi dengan senyum manisnya.
Tadi, dokter Ana mengatakan jika Adam terkena virus dalam darahnya. Sejenis virus yang menghambat sistem imun dan dapat membuat tubu
Minggu pagi yang ceria. Setelah semalam terisi pertengkaran antara Riandari dan Carla, pagi hari ini keduanya memilih perang dingin. Carla membawa pergi Adam yang telah membaik ke rumah Rayya untuk mengajaknya bermain dengan Jihan sedangkan Riandari rencananya akan mengajak Abi pergi ke rumah Risya untuk bertemu dengan paman gadis itu.Abi sebenarnya enggan, tapi ibunya selalu saja memaksanya tanpa henti. Setelah semalam dirinya berhasil mengelak, kini ia hanya bisa diam tak berkutik.Dan, disinilah Abi beserta ibunya. Berada di rumah Risya untuk bertemu dengan paman Risya yang katanya adalah salah seorang anggota dewan di Senayan.“Wah, saya senang sekali keponakan saya akan menikah dengan pria mapan seperti Abi. Yah, walaupun katanya jadi istri yang kedua,” sindir paman Risya yang membuat Riandari tersenyum kecut. “Jadi pengusaha juga?” tanyanya yang dibalas anggukan oleh Abi.“Paman, mas Abi ini selain sebagai manajer mark
BrakkCarla terkejut menatap bingung gelas yang tiba-tiba terjatuh dari tangannya. Pikiran buruknya melayang pada Abi, suaminya. Sejak tadi pagi mereka berpisah dengan urusan masing-masing, suaminya itu belum sekalipun menghubungi dirinya. Waktu sudah hampir sore hari, deringan telpon ataupun pesan singkat tak menyapa ponselnya. Carla gelisah, ia takut terjadi sesuatu pada suaminya.“Kenapa, Carla?” tanya Rayya yang membuyarkan lamunan Carla. Wanita itu menggelengkan kepalanya lalu kembali mengunyah makanannya. Ia juga kembali memesan minuman yang sama. “Untung gelasnya enggak pecah.”“Ray, kira-kira Bimo ada sama Abi enggak ya?” Carla menggigit bibirnya gelisah. Rayya menggedikkan bahunya. “Aku...”“Kamu takut sesuatu terjadi sama Abi?”Carla hanya terdiam. Entah mengapa pikirannya jadi tak tenang sekarang. Melihat anaknya tengah riang bermain dengan sahabatnya, ia kembali tenang namun tetap saja tak bisa mengubah dalam hatinya jika dirinya belum bisa menghilangkan kegelisahan itu.“
“Lalu, maksud kamu apa? Aku enggak mau jadi sasaran kemarahan kamu dan ibumu.” Ucapan Carla rupanya menohok perasaan Abi. Pria itu menarik napasnya menahan agar emosinya yang terkumpul tak menguar ke permukaan.“Aku dijebak! Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba dia ajak aku ke tempat sepi. Lalu—”“Tapi kamu mau kan?” Carla mendengus keras lalu terkekeh. “Munafik kalau kamu bilang tidak mau. Sudahlah, sini mana surat izinnya.”“Besok. Hari ini sedang diurus asisten aku.”“Ok. Selamat malam.”Abi menghela napas kasarnya. Ia belum bisa memejamkan matanya, ia gelisah. Langkah kakinya ia bawa ke depan balkon kamarnya yang masih tertutup. Langit malam ini cerah tapi hatinya sangatlah muram. Hari ini adalah hari buruk pernikahannya dengan Carla. Tak sedikitpun ia memimpikannya seumur hidup.“Maafkan aku, Carla.”***Carla bangun pagi sekali. Seperti b
Memalukan!Satu kata itu yang ingin Carla teriakkan di telinga Abi dan ibunya. Bertahun-tahun dirinya bersusah payah menaikkan derajat dan martabat keluarga suaminya, baru kali ini hancur karena sebuah jebakan yang disadari oleh Abi. Tujuh tahun yang lalu saat Abi mendekati Carla, belum pernah sama sekali berbuat tak senonoh hingga membuat mereka jatuh dalam skandal.Aneh! Mengapa baru sekarang sifat liar Abi keluar.“Sebenarnya, saya tak percaya dengan pernyataan yang dituduhkan oleh keluarga kalian,” ujar Carla melirik sinis pada salah satu pria yang sejak tadi memaksa ketua RT untuk percaya dengan skandal yang dibuat oleh Abi. “Ada saksi selain anda yang bersifat netral?”Tak ada yang bicara, ruangan hening seketika.“Tapi, saya lihat dia pegang dada Risya. Dia—”“Saya bisa dijadikan jaminan oleh kalian. Kalau memang Abi adalah pria mesum, sejak kami berkenalan dulu dia akan berbuat nakal.”Abi tersenyum mendengar Carla yang berani bersaksi atas dirinya. Lalu setelah Carla bicara,
Carla pulang dengan wajah masam tak berbentuk. Sejak pulang dari rumah kepala RT tadi, pikirannya melayang entah kemana. Banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada suaminya tapi entah mengapa semuanya menguap begitu saja. Rayya berkali-kali menoleh ke belakang, memastikan temannya baik-baik saja. Carla jadi sosok yang berbeda kali ini. Rayya memakluminya. Carla mungkin merasa terkhianati dengan sikap dan tingkah laku Abi yang selama ini dibanggakannya. Helaan napas kasar Carla cukup membuktikan seberapa besar masalah yang tengah dihadapinya. “Carla, kamu istirahat saja nanti.Kalau butuh sesuatu, kamu bisa hubungi aku atau Bimo. Jangan sungkan ya. Aku selalu ada untuk kamu,” ujar Rayya sebelum membiarkan Carla turun dari mobilnya. Carla mengangguk dengan senyuman manis merekah di bibirnya. “Terima kasih.” “Adam di rumah kami saja untuk sementara. Ada Jihan dan Rayhan, kebetulan adik aku lagi main di rumah.” Bimo menawarkan bantuan juga pada Carla yang dibalas anggukan olehnya. C
Hari yang melelahkan. Carla duduk dengan santai di ruang tengah sambil memijit kakinya yang terasa pegal. Sejak tadi pagi dirinya belum sempat beristirahat sama sekali. Setelah dari acara seminar, melanjutkan pergi mengunjungi bazaar produk kementrian lalu kembali ke kantor dan akhirnya pulang.Wajah lelah Carla telah menjelaskan segalanya. Ia hanya ingin beristirahat memejamkan matanya dengan tenang tanpa ada yang menganggunya.Namun sepertinya itu hanya ada dalam angan-angan Carla. Baru saja ia hendak beranjak masuk ke dalam kamarnya, tiba-tiba saja ada yang datang membuyarkan rencananya.“Carla, kebetulan kamu sudah pulang,” teriak kegirangan Riandari seperti sedang menemukan harta berharga di depannya. Bahu Carla merosot. Seseorang yang tak diharapkannya datang menganggu rencananya beristirahat.“Ada apa, Bu?” jawab Carla malas. Mata bulatnya melirik seorang wanita yang tengah berdiri di belakang ibu mertuanya. Wanita cantik yang akan jadi istri baru Abi dalam satu bulan ke depan.
"Mas Abi, hari ini...." sebelum meneruskan kata-katanya Abi sang suami terlihat melotot ke arah Carla dan ia pun seketika diam. Sejak pagi, Carla selalu menghujani Abi dengan permintaan dan selalu mengingatkan Abi untuk cuti satu hari ini. Alasannya, Abi dan Risya calon istrinya harus melakukan foto prewedding. Sudah beberapa kali Abi tak setuju dan menolak dengan tegas. Tapi apa yang Carla lakukan? Ia tetap memaksa. "Bisa diam tidak? Aku sudah tahu." Abi belum beranjak dari layar laptopnya sejak pagi hari sedangkan pemotretan akan dilakukan satu jam lagi. Bahkan, Risya sudah lebih dulu datang ke studio sebelum Abi. "Pemotretan jam sepuluh, Mas. Risya sudah sampai. Ayolah, Mas." Carla menarik tangan Abbi. Dengan terpaksa Abi menuruti kemauan Carla. Ia segera berganti pakaian seadanya, lalu memanaskan kendaraan. Wajah Abi terlihat masam. Carla yang duduk di sebelahnya tak sedikitpun disahuti omongannya. Carla maklum, karena memang sejak awal Abi tak menginginkan pernikahan ini. Sa
Dua minggu sebelumnya Bimo menghubungi Carla tengah malam. Di saat semua orang terlelap, sahabat Abi yang sering menasehati suami Carla itu tiba-tiba saja meminta bantuannya. Hari telah menunjukkan pukul dua belas malam. Untung saja Carla belum tertidur. Panggilan Bimo pun dijawab dengan dahi mengernyit heran. 'Ada sesuatu yang penting kah?' "Ada apa, Bim?" tanya Carla begitu menjawab panggilan yang terhubung itu. "Syukurlah kamu belum tidur. Aku minta maaf ganggu kamu malam-malam. Tadi, selepas isya sepupu kamu datang ke rumah aku. Dia mau nuntut aku dan kafe milik Hadi atas tuduhan penipuan. Dia juga bawa-bawa nama kamu." Carla membelalakkan matanya. Ia baru dengar ada masalah antara Bimo dan sepupunya. Sudah lama ia juga tak bertemu dengannya. "Lalu, apa yang dia katakan? Aku sama sekali belum dapat informasi dari dia." Carla melangkah keluar kamar lalu menutup pintunya. Takut jika Abi mendengar suaranya lalu terbangun. Ia memilih duduk di dekat taman di belakang dapur samb
Epilog: Tak ada yang tahu bagaimana takdir berjalan. Tak ada yang tahu juga bagaimana sebuah cinta akan berakhir dengan seseorang yang dicintai atau tidak. Carla telah jatuh dan bangkit karena cinta, kini hidupnya akan kembali disatukan dengan sebuah cinta. Satu bulan setelah perceraian Abi dan Risya, kabar duka datang dari Carla yang kehilangan suami tercintanya. Setelah berjuang melawan penyakit paru-paru yang telah menggerogotinya selama lima tahun, Vian pun menyerah. Ia meninggalkan seorang anak dan istri yang masih mencintainya. Carla kira, dirinya yang akan pergi lebih dulu. Mengingat penyakitnya yang tak mungkin bisa diselamatkan lagi. Ternyata tuhan masih memberikan umur panjang padanya. Setelah tiga bulan resmi menyendiri, sebuah lamaran datang kembali padanya. Kali ini, ia kembali pada cinta sejatinya yang tak mungkin bisa dilupakan. "Mama cantik sekali," puji Adam yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar rias calon ibunya. Carla memeluk anak pertamanya itu dengan erat. "Ter
Sidang putusan pengadilan akhirnya memutuskan perceraian antara Risya dan Abi. Mereka resmi berpisah dengan dikabulkannya tuntutan yang dilayangkan oleh Abi pada Risya. Perselingkuhan itu terbukti dilakukan dengan sadar dan atas kemauan mereka berdua. Risya sempat pingsan saat pembacaan putusan, walau tak lama kemudian ia sadar lalu menangis meraung-raung memikirkan nasibnya setelah ini. Abi tersenyum pedih melihat surat keputusan cerai yang telah diterimanya. Ini adalah surat ketiga yang dimilikinya. Ia tak lagi sanggup menangis, karena ini terlalu pedih. "Pa, makam mama apakah ada yang menjaganya?" Abi menoleh pada anaknya yang tengah mengemudi di sampingnya. Tak lama kemudian, ia mengangguk. "Adam kangen sama mama Winda." "Papa juga. Andai waktu itu papa tidak terburu-buru menceraikan dia dan pergi begitu saja dari sisinya. Pasti kita akan jadi keluarga yang bahagia saat ini. Maafkan papa, Adam. Papa salah dan berdosa padamu dan juga mama Winda." Abi mengusap air mata yang menga
"Itu adalah anakku, aku adalah ayahnya." Suara itu menggema memecah keramaian drama yang baru saja ditunjukkan oleh Risya di depan hakim persidangan. Semua orang menatap heran pria yang baru saja masuk ke dalam ruang sidang. Risya yang tadi menangis tersedu-sedu kini hanya bisa diam. Isi kepalanya ikut menghilang seperti air mendidih yang menguap. "Dia adalah anak saya pak hakim," tunjuk Sandy, pria yang tadi memasuki ruang sidang. "Itu bohong, pak. Saya hanya melakukan itu dengan suami saya!" bantah Risya. Sandy menyeringai. "Apa perlu aku putar video mesra kita saat menghabiskan malam romantis dan panas berdua?" Huuu Terdengar suara gaduh dari saksi yang mendengar ancaman dari Sandy. Semua orang kini memandang jijik dua orang yang tengah berdebat di depan hakim persidangan. "K-kamu yang jebak aku!" "Kau—" Belum selesai Sandy bicara, hakim mengetuk palunya. "Sidang ditunda minggu dep
Mantan ibu mertuanya duduk dengan nyaman di sofa rumah Abi setelah menunggu lebih dari dua jam kepulangannya. Abi memang sengaja pulang sedikit terlambat tadi. Ia menyempatkan mengajak kedua anaknya berjalan-jalan di pasar malam melihat pertunjukan lalu makan malam sejenak dan akhirnya pulang. Abi tak mengira, mantan ibu mertuanya akan datang dan menunggunya hingga selarut ini. Lebih mengherankan lagi, mata wanita paruh baya itu terlihat sembab dan lelah. Apa yang sebenarnya akan dia katakan hingga mengorbankan waktu istirahatnya? "Ibu ke sini diantar siapa?" tanya Abi sekedar berbasa-basi. Ibu Risya tersenyum getir. Ia menarik napas panjangnya lalu menunduk sejenak. "Tadi, ibu datang bersama menantu ibu yang kebetulan akan berangkat kerja." ibu Risya menggeser posisi duduknya, sedikit mendekat pada Abi yang terdiam di tempatnya. "Kedatangan ibu ke sini, hanya ingin mengatakan sesuatu. Semoga ini akan menjadi pertimbangan dirimu untuk membatalkan rencana perceraian besok." Abi me
Hoeekk hoekkk Risya terbangun dengan kepala pening dan perut yang mual sejak matanya terbuka. Hampir setengah jam ia berjalan mondar-mandir memasuki kamar mandi hanya untuk menuntaskan rasa mualnya. Tak ada sisa makanan yang ke luar, hanya cairan bening yang meluncur dari mulutnya. "Kamu hamil?" suara sang ibu terdengar dari balik pintu kamar mandi. Tangan wanita paruh baya itu menyilang di dadanya. "Anak siapa?" Dengan kaki gemetar, Risya membalikkan tubuhnya menghadap ibunya. Ibu Risya, terkenal keras sejak dulu. Ia memang menyayangi Risya dan sering memanjakannya. Namun jika anaknya itu melakukan kesalahan, ia tak segan untuk berbuat kejam. "Kamu tuli?" bentak ibu Risya. Suara menggelegar itu membuat Risya ketakutan. "Jawab!" "I-iya. I-ini anak mas Abi," jawab Risya gemetar. Tangannya berpegangan pada sisi wastafel agar tak jatuh. Kemarin, sesudah semua orang rumah pergi, Risya diam-diam pergi membeli alat tes kehamilan di apotek. Ia mulai merasakan hal yang tak beres dengan
Dua minggu sudah Risya dikembalikan ke rumah orang tuanya, dua minggu pula Abi merasakan kedamaian di rumahnya. Berkali-kali mantan ibu mertuanya mencoba menghubungi Abi untuk membatalkan perceraian, berkali-kali pula Abi menolaknya. Abi tak ingin luluh lagi dalam jeratan rayuan Risya seperti yang terjadi beberapa tahun lalu. Pria yang sebentar lagi menyandang status duda untuk keempat kalinya itu termenung di pinggir ranjang. Di tangannya, ada selembar surat undangan dari pengadilan untuk sidang cerainya pertama kali. Besok, akan jadi penentuan baginya untuk hidupnya yang baru. Pintu kamar pun terbuka, Adam dan Fariska yang hari ini tengah libur masuk ke dalam kamar milik ayahnya. Abi tersenyum melihat keduanya. "Pa, hari ini kita ke kantor papa ya? Aku lagi enggak ada kelas, Ika lagi rapat guru-gurunya. Boleh kan?" tanya Adam yang dibalas anggukan oleh Abi. "Kalau gitu, Adam sama Ika tunggu di bawah." "Iya. Papa nanti nyusul. Kalian sarapan saja dulu." Kedua anak Abi itu segera
Abi benar-benar telah matang dalam mengambil keputusan untuk bercerai dengan Risya, istrinya. Di dalam kepalanya, tak ada lagi kesempatan kedua untuk mempertahankan rumah tangga. Abi sudah muak dengan segala macam drama yang telah Risya buat. Walaupun dengan penolakan tak rela dari Risya, tetap saja Abi bersikeras untuk menceraikannya. Baginya, perselingkuhan adalah kehinaan dalam sebuah hubungan. "Turun!" perintah Abi yang dibalas dengan gelengan kepala oleh Risya. "Jangan sampai aku bertindak kasar padamu!" tegas Abi. Pria itu membuka pintu samping lalu menarik Risya ke luar. Risya terus memberontak bahkan tak segan memukul lengan Abi dengan keras. Abi tak peduli, ia tetap menarik Risya setelah berhasil menurunkan dua koper besar milik wanita itu. "Mas, aku enggak mau pulang ke sini!" rengek Risya. Tak peduli dengan rengekan Risya, Abi tetap menyeret koper milik Risya. Mendengar kegaduhan yang ada di depan rumah, ibu mertua Abi segera berlari menemui asal suara. Karena sayup-say
Risya tak terima dengan keputusan yang diambil oleh Abi. Ia terus meraung-raung tak jelas di depan kamar suaminya. Suaranya baru berhenti menjelang pagi. Rupanya, ia tertidur di depan pintu kamar dengan tubuh tengkurap mencium lantai. Abi sama sekali tak terenyuh dengan pemandangan di depannya. Tanpa menoleh sama sekali, ia pergi sambil melangkahi seonggok tubuh yang tengah tertidur itu. Mendengar suara tawa yang cukup keras dari lantai bawah, Risya terbangun dari tidurnya. Matanya mengerjap-ngerjap lalu perlahan terbuka. Tubuhnya sakit, ia melenguh. Rasanya seperti tertimpa ribuan ton besi. "Pa, hari ini aku mau ajak Ika ke rumah Jihan. Boleh kan?" ujar Adam meminta izin pada ayahnya. Abi mengangguk. Kedua anaknya cukup sering menghabiskan waktu di rumah sahabatnya, tak ada alasan untuk menolaknya. "Soalnya, Fariska mau main sama dedek Ragil. Iya kan?" "Ih, kakak. Kenapa dikasih tahu ke papa?" bibir Fariska mengerucut lucu, pipinya menggembung tanda ia marah pada kakaknya. Adam
Adam meremat tangannya, hatinya gusar dan bingung tak tahu apa yang harus dilakukannya. Sejak kejadian di dalam mobil itu. Tidur malam Adam pun tak pernah tenang. Wajah biadab itu selalu terngiang-ngiang di kepalanya tiap detik. Adam terus menimbang-nimbang apakah dirinya akan mengungkapkan semuanya pada sang ayah atau tidak. Setiap kali melihat wajah lelah ayahnya, Adam jadi tak tega mengungkapkan. Namun jika mengingat perlakuan buruk ibu tirinya, hatinya memanas. Ia tak rela jika ayahnya dikhianati dengan cara kejam di belakangnya. "Pa," panggil Adam dengan suara pelan. Abi menoleh dengan senyuman manisnya. Menepuk pinggiran sofa lalu melambaikan tangan mengajak Adam untuk duduk di sebelahnya. "Pa, Adam—" Abi melihat raut wajah keseriusan di mata Adam. Sudut hatinya yang peka mengatakan jika anaknya itu membutuhkan bantuan. "Ada apa, nak? Ada yang ingin kamu sampaikan?" Suara lembut ani menggoyahkan keinginan Adam untuk mengungkapkan sebuah rahasia. Pria muda itu menarik napas p