Terserah mereka mau menganggap aku menantu yang durhaka karena membuat perumpamaan pada ibu mertua. Aku hanya ingin mereka paham posisiku. Mamah terdiam, begitu pun dengan bapak mertua. Mungkin mereka mencerna ucapanku. Satria menatapku dengan tajam. Aku tak peduli. "Halah sok-sokan tidak rela dijamah Bang Satria!" Arumi membantu Satria duduk di ranjang. "Apa ruginya memberikan tubuhmu pada Bang Satria? Dia berhak untuk itu." Inilah yang membuat aku enggan memakai nama Arumi sebagai perumpamaan tadi. Dia pasti akan menjawab begitu. "Mah, Pak. Saya pamit malam ini." Aku segera pergi dari hadapan mereka setelah mengalami ibu dan bapak mertua. "Silvia. Mau ke mana kamu malam-malam begini?" tanya ibu mertua dengan dingin. Sikapnya langsung berubah seketika terhadapku. Mungkin beliau kecewa dengan perbuatanku. Terserah! "Minta dijemput saudara, Mah." Aku menoleh ke arahnya sekejap. Tak peduli lagi dengan tatapan mereka. Sudah lima belas menit aku berdiri di depan pagar rumah Satria.
"Hanya kamu orang yang tepat diminta tolong." "Kenapa kamu yakin begitu?" "Karena kamu mencintai Silvia." Dari mana Aiza tahu? Aku tidak pernah bercerita tentang perasaanku ke dia."Ah, sok tahu." Mulutku menolaknya, padahal hati ini mengakuinya."Kamu tidak bisa membohongi aku, Bian. Sorot matamu yang menjelaskan semuanya padaku." Aiza menjeda ucapannya. Ah, perempuan itu memang selalu tahu banyak tentang aku meski tanpa berbicara padanya. "Aku berhenti di sini." "Rumahnya yang mana? Bagaimana kalau aku salah masuk rumah orang?" tanya setelah menurunkan Aiza. "Sepuluh rumah dari sini. Temboknya berwarna hijau daun. Ada pagar besinya. Dan yang paling penting Silvia sudah menunggu di luar. Aku tidak bisa ikut ke sana. Aku ingin membantu Silvia tanpa harus dimusuhi keluarga Satria." Aku mengangguk sebelum melajukan mobilnya kembali. Meskipun banyak tanda tanya di dalam otakku mengenai keluarga Satria. "Tunggu aku di sini." Aku lihat Aiza mengangguk. Gegas, aku menekan pedal gas m
"Silvia …" pekikku dan Aiza secara bersamaan. Reflek aku maju mendekat dan menangkap tubuh wanita yang aku cintai. Kebetulan aku berdiri tak jauh dari posisi Silvia saat tubuhnya mulai lemas dan hendak melorot ke tanah.Silvia pingsan setelah ditarik tangannya oleh suaminya."Jangan sentuh istriku!" Dengan kasar Satria merampas tubuh Silvia dari pelukanku.Aku pun urung mengangkat Silvia. Tadinya aku hendak membawa tubuh perempuan itu ke dalam rumah Aiza. Satria benar aku tidak boleh menyentuhnya. Biar bagaimanapun perempuan yang sedang tak sadarkan diri itu masih memiliki suami. Seandainya sudah tidak bersuami pun aku tidak boleh menyentuhnya sebelum halal bagiku. "Aiza. Aku akan membuat perhitungan dengan mu mulai saat ini," ancam Satria. Tatapan tajamnya mengarah pada temanku itu. Saat ini Satria membopong Silvia."Lebih baik dibawa ke dalam rumahku saja! Memangnya mau dibawa ke mana?" tegur Aiza dengan nada tinggi pada Satria. Temanku itu pasti sangat kesal menyaksikan kelakuan
Lagi-lagi Silvia menderita dalam pernikahannya. Ini semua salahku. Seandainya dari awal aku memperlakukan Silvia sebagaimana mestinya. Menyayangi layaknya seorang suami. Mencintainya sepenuh hati. Aku yakin dia akan tetap menjadi milikku. Silvia tidak akan pernah mengalami hal seperti ini.Ya Allah. Hamba mohon berikan kesempatan kedua untuk bisa menjadi suami Silvia kembali. Aku terus berdoa di dalam hati. Mataku pun terus memandang nanar ke arah wanita yang masih memejamkan mata itu.Aku beranjak dari ruang tamu Aiza. Menjauh dari mereka. Aku hendak menelpon paman Gozali. Beliau harus tahu bahwa keponakannya tidak baik-baik saja.Namun, aku urung melakukan panggilan telepon ketika mataku melirik jam yang menempel pada pergelangan ini. Sudah menunjuk ke angka setengah sebelas malam. Ini sudah larut malam. Beliau pasti sudah tidur. Aku berdiri di depan pintu. Satria tak menyadari posisiku di sini. "Kamu mau melihat aku bercerai dengan Silvia begitu? Hah?" Satria menatap sengit Aiz
"Bagaimana perkembangan Silvia, Nak?" tanya ibu sembari meletakkan sepiring pisang goreng di atas meja di depanku. Beliau segera mengambil tempat duduk di sampingku.Aku sudah menceritakan semua runtut Kejadian tadi malam. Mulai dari menelpon Aiza saat menanyakan yang jualan buah hingga peristiwa pingsannya Silvia. Dan berakhir dengan pengusiran yang aku alami. Aku bukan tidak ingin menunggui Silvia. Aku sebenarnya tidak mau meninggalkan wanita itu sendirian. Namun, aku tidak punya pilihan lain selain harus meninggalkan rumah Aiza. Aku benar-benar meninggalkan rumah Aiza pukul satu dini hari. Setelah kaca mobilku digedor-gedor oleh warga atas suruhan bapaknya Satria.Mereka mengusirku secara rame-rame. Bahkan ada yang mengancam akan memecahkan kaca mobil bila aku tidak segera pergi dari lingkungan mereka. Bukan aku takut akan ancaman mereka. Namun, aku tidak mau menjerumuskan diri begitu saja. Aku tidak tahu apa yang dikatakan bapaknya Satria, sehingga orang-orang itu datang dan me
"Bu. Lebih baik kita berangkat sekarang saja," ucapku pelan di dekat telinga ibu. Aku yakin sikap lelaki itu pun tak akan jauh dari suaminya.Ibu menyenggol tanganku sambil menggelengkan kepalanya kuat. Tanda tak setuju dengan pikiranku."Terserah kalian. Kalau mau menunggu si situ. Saya sedang banyak pekerjaan." Wanita yang mengenakan gamis kembang-kembang itu tidak berniat memasukkan kami ke dalam rumahnya. Padahal dia sudah berhasil membuka kunci pintu. Buktinya dia main masuk rumah tanpa berbasa-basi terlebih dahulu. Kenapa dia jadi tidak memiliki adab begitu? Aku benar-benar heran dengan perubahan sikap bi Baidah. Kenapa jadi seperti orang asing begitu.Sudah satu jam berlalu dari kami berdiri di depan rumah bi Baidah. Menunggu paman Gozali. Aku pun sudah mulai gusar. Jangan-jangan benar apa yang dikatakan istrinya. Paman sedang banyak kerjaan. "Bu. Kita berangkat sekarang saja, ya?" Aku membujuk beliau."Sabar sebentar saja. Kita tidak boleh jalan sendiri. Harus ada pihak kel
"Bu." Suaraku tertahan di kerongkongan. Bu malah mengulum senyum ketika menatapku. Apa ada yang lucu dari ekspresiku? Aku mengerutkan kening. "Kok ibu malah tersenyum?" "Sepertinya kamu menanggapi serius ucapan ibu, Nak." Ibu mengelus pundakku."Maksudnya, Ibu tadi hanya bercanda?" Aku menerka. Cinta pertamaku mengangguk. "Ibu sukses membuat Bian jantungan." Aku menepuk-nepuk dada. Ibu malah tertawa bahagia melihat rautku."Tidak ada alasan ibu untuk menolak perempuan itu. Ibu pasti akan menerima Silvia kembali setelah dia resmi bercerai dengan suaminya. Namun, ibu mohon jangan pernah sakiti dia lagi." Aku bernapas lega. Sebelum ibu meminta aku telah berjanji di dalam hati. Jika diberi kesempatan untuk hidup bersama Silvia maka tidak akan pernah aku sia-siakan hidupnya. Obrolan kami berhenti ketika paman Gozali kembali ke mobil."Sudah siap, Paman?"Lelaki itu mengangguk. Aku pun mulai melajukan kuda besi kesayangan.Hening. Tidak ada obrolan yang kami bahas. Kami larut dalam la
Aiza mengangguk tanda paham dengan pertanyaan itu. Kemudian dia menatap lekat wajah kami satu persatu."Setelah saya kasih tau. Tolong nanti jangan ada yang mengungkapkan ini pada keluarga Satria. Bawa saja Silvia pergi dari rumah itu dengan alasan yang lainnya. Anggap kalian tidak mengetahui ini. Jangan sampai mereka tahu kalau saya telah memberitahukan masalah ini." Aku menatap ibu dan paman secara bergantian. Mereka pun mengangguk. "Sebenarnya ada apa, Nak?" Ibu mewakili kami berdua."Sebenarnya begini. Satria memiliki kakak perempuan yang saat ini sedang lumpuh. Selama ini tinggal di Riau. Dalam waktu dekat ini suaminya akan mengembalikan ke sini. Lelaki itu tak sanggup lagi mengurusnya. Kebetulan dia juga tak memiliki anak." "Aku paham. Mereka ingin menjadikan Silvia sebagai perawat gratisan begitu?" Aku langsung menebak pokok permasalahannya. Aiza mengangguk.Ibu beristighfar berkali-kali. Mungkin berusaha menetralkan hatinya yang mulai emosi. Paman Gozali mengatupkan bibirny