"Tapi kamu jangan mengatakan apa pun sesampainya di rumah. Aku tidak mau semua orang yang rewang tahu masalah ini." Suara Satria lemah. Seolah pria itu sedang memohon padaku. Aku tidak menjawab ucapan Satria. Tidak perlu dijawab. "Mas, apa kamu akan mempertahankan wanita itu? Bukankah tugas dia sudah selesai. Bukankah kamu sering bilang meski dia istrimu tapi tidak lebih dari sekedar baby sitter untuk Putri?" Tatapan Arumi membidik wajah Satria, meski hanya dari samping. Aku sakit hati mendengar ucapan Arumi? Tidak sama sekali. Sudah kebas hati ini. Tanpa bicara pun sikap Satria sangat kentara. Menganggap aku hanya pengasuh anaknya. Selama enam bulan perkawinan, Satria tidak pernah menjalankan kewajibannya sebagai seorangsuami. Sikapnya tidak semanis ucapannya saat melamar aku di depan paman dan bibi. Sangat bertentangan. Putri lah yang membuatku kuat menjalani pernikahan ini. Dokter telah menjatuhkan vonis jatah umur gadis kecil itu. Sebagai ibu sambungnya aku tidak ingin membuatn
"Neng, sini. Kok malah bengong di situ?" Mamah memperhatikan aku yang sedang diam terpaku di depan pintu kamar Putri.Aku mengangguk pelan, saat tangan perempuan itu menepuk karpet di sisinya. Gegas, aku berjalan ke arah mereka. Aku mengambil tempat di depan kedua mertua yang sedang duduk di atas karpet."Mah, Pak, ada yang mau saya bicarakan." Aku menjeda ucapan sembari menatap kedua mertua secara bergantian.Bapak mengernyitkan dahinya. Mamah membalas tatapanku dengan penuh tanda tanya."Ada apa, Neng? Kelihatannya serius sekali." Lelaki berbaju koko putih itu mengamati mimik wajahku. Aku menarik napas dalam-dalam dan membuangnya pelan-pelan.Mereka memanggilku dengan sebutan Neng. Aku pun menyebut ibu mertua Mamah. Mertuaku orang Sunda. "Neng, ada masalah apa?" Kini perempuan setengah baya menatapku dengan lembut.Aku masih terdiam, menyusun kalimat yang tepat untuk disampaikan. Ibu mertua tahu aku sedang tidak baik-baik saja. Lekas, perempuan itu menggenggam tanganku dengan penu
Aku memberontak. Satria marah tangannya menarik paksa tubuhku yang lepas dari pelukannya. "Semakin kamu memberontak, aku semakin semangat mengagahi kamu. Aku tidak akan melepaskan kamu sebelum mendapatkan tubuhmu." Dia menatapku dengan buas. Aku semakin takut dengan sikapnya. Mau teriak tapi itu suamiku sendiri.Satria mulai melepas bajunya. Aku menutup mata. "Serahkan tubuhmu malam ini, maka aku akan melepaskanmu begitu saja besok pagi." Suaranya semakin dekat di telingaku. Aku merinding mendengarnya. Bukan karena menikmati, bukan. Tetapi, merasa ngeri kalau dia benar-benar melakukannya padaku. Aku tak Sudi.Namun, bagaimana caranya aku bisa lolos dari serangannya kalau pintu saja dia kunci. Otakku benar-benar membeku. ***** Tatapan Satria bagai mata elang yang siap memangsa lawannya.Tubuhku merosot. Aku hanya bisa menangis dalam takut.Aku menundukkan kepala saat tangan itu mulai membelai rambutku. Lelaki yang baru ditinggal anaknya itu telah jongkok, mensejajarkan diri dengan
Terserah mereka mau menganggap aku menantu yang durhaka karena membuat perumpamaan pada ibu mertua. Aku hanya ingin mereka paham posisiku. Mamah terdiam, begitu pun dengan bapak mertua. Mungkin mereka mencerna ucapanku. Satria menatapku dengan tajam. Aku tak peduli. "Halah sok-sokan tidak rela dijamah Bang Satria!" Arumi membantu Satria duduk di ranjang. "Apa ruginya memberikan tubuhmu pada Bang Satria? Dia berhak untuk itu." Inilah yang membuat aku enggan memakai nama Arumi sebagai perumpamaan tadi. Dia pasti akan menjawab begitu. "Mah, Pak. Saya pamit malam ini." Aku segera pergi dari hadapan mereka setelah mengalami ibu dan bapak mertua. "Silvia. Mau ke mana kamu malam-malam begini?" tanya ibu mertua dengan dingin. Sikapnya langsung berubah seketika terhadapku. Mungkin beliau kecewa dengan perbuatanku. Terserah! "Minta dijemput saudara, Mah." Aku menoleh ke arahnya sekejap. Tak peduli lagi dengan tatapan mereka. Sudah lima belas menit aku berdiri di depan pagar rumah Satria.
"Hanya kamu orang yang tepat diminta tolong." "Kenapa kamu yakin begitu?" "Karena kamu mencintai Silvia." Dari mana Aiza tahu? Aku tidak pernah bercerita tentang perasaanku ke dia."Ah, sok tahu." Mulutku menolaknya, padahal hati ini mengakuinya."Kamu tidak bisa membohongi aku, Bian. Sorot matamu yang menjelaskan semuanya padaku." Aiza menjeda ucapannya. Ah, perempuan itu memang selalu tahu banyak tentang aku meski tanpa berbicara padanya. "Aku berhenti di sini." "Rumahnya yang mana? Bagaimana kalau aku salah masuk rumah orang?" tanya setelah menurunkan Aiza. "Sepuluh rumah dari sini. Temboknya berwarna hijau daun. Ada pagar besinya. Dan yang paling penting Silvia sudah menunggu di luar. Aku tidak bisa ikut ke sana. Aku ingin membantu Silvia tanpa harus dimusuhi keluarga Satria." Aku mengangguk sebelum melajukan mobilnya kembali. Meskipun banyak tanda tanya di dalam otakku mengenai keluarga Satria. "Tunggu aku di sini." Aku lihat Aiza mengangguk. Gegas, aku menekan pedal gas m
"Silvia …" pekikku dan Aiza secara bersamaan. Reflek aku maju mendekat dan menangkap tubuh wanita yang aku cintai. Kebetulan aku berdiri tak jauh dari posisi Silvia saat tubuhnya mulai lemas dan hendak melorot ke tanah.Silvia pingsan setelah ditarik tangannya oleh suaminya."Jangan sentuh istriku!" Dengan kasar Satria merampas tubuh Silvia dari pelukanku.Aku pun urung mengangkat Silvia. Tadinya aku hendak membawa tubuh perempuan itu ke dalam rumah Aiza. Satria benar aku tidak boleh menyentuhnya. Biar bagaimanapun perempuan yang sedang tak sadarkan diri itu masih memiliki suami. Seandainya sudah tidak bersuami pun aku tidak boleh menyentuhnya sebelum halal bagiku. "Aiza. Aku akan membuat perhitungan dengan mu mulai saat ini," ancam Satria. Tatapan tajamnya mengarah pada temanku itu. Saat ini Satria membopong Silvia."Lebih baik dibawa ke dalam rumahku saja! Memangnya mau dibawa ke mana?" tegur Aiza dengan nada tinggi pada Satria. Temanku itu pasti sangat kesal menyaksikan kelakuan
Lagi-lagi Silvia menderita dalam pernikahannya. Ini semua salahku. Seandainya dari awal aku memperlakukan Silvia sebagaimana mestinya. Menyayangi layaknya seorang suami. Mencintainya sepenuh hati. Aku yakin dia akan tetap menjadi milikku. Silvia tidak akan pernah mengalami hal seperti ini.Ya Allah. Hamba mohon berikan kesempatan kedua untuk bisa menjadi suami Silvia kembali. Aku terus berdoa di dalam hati. Mataku pun terus memandang nanar ke arah wanita yang masih memejamkan mata itu.Aku beranjak dari ruang tamu Aiza. Menjauh dari mereka. Aku hendak menelpon paman Gozali. Beliau harus tahu bahwa keponakannya tidak baik-baik saja.Namun, aku urung melakukan panggilan telepon ketika mataku melirik jam yang menempel pada pergelangan ini. Sudah menunjuk ke angka setengah sebelas malam. Ini sudah larut malam. Beliau pasti sudah tidur. Aku berdiri di depan pintu. Satria tak menyadari posisiku di sini. "Kamu mau melihat aku bercerai dengan Silvia begitu? Hah?" Satria menatap sengit Aiz
"Bagaimana perkembangan Silvia, Nak?" tanya ibu sembari meletakkan sepiring pisang goreng di atas meja di depanku. Beliau segera mengambil tempat duduk di sampingku.Aku sudah menceritakan semua runtut Kejadian tadi malam. Mulai dari menelpon Aiza saat menanyakan yang jualan buah hingga peristiwa pingsannya Silvia. Dan berakhir dengan pengusiran yang aku alami. Aku bukan tidak ingin menunggui Silvia. Aku sebenarnya tidak mau meninggalkan wanita itu sendirian. Namun, aku tidak punya pilihan lain selain harus meninggalkan rumah Aiza. Aku benar-benar meninggalkan rumah Aiza pukul satu dini hari. Setelah kaca mobilku digedor-gedor oleh warga atas suruhan bapaknya Satria.Mereka mengusirku secara rame-rame. Bahkan ada yang mengancam akan memecahkan kaca mobil bila aku tidak segera pergi dari lingkungan mereka. Bukan aku takut akan ancaman mereka. Namun, aku tidak mau menjerumuskan diri begitu saja. Aku tidak tahu apa yang dikatakan bapaknya Satria, sehingga orang-orang itu datang dan me
Istri hanya Status Bab 51"Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun," ucap Abian dengan suara lemah setelah memeriksa denyut nadi kakeknya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Eyang Kakung telah tiada, tidak ada yang tahu kapan beliau menghembuskan napas terakhirnya. Menjelang tidur beliau pun masih terlihat segar bugar. Abian menemukan Eyang dalam keadaan yang sempurna. Matanya telah tertutup rapat. Bibirnya terkatup dengan benar. Bahkan ada senyum yang menghiasi bibirnya. Tangan Eyang pun sudah sedap bagai orang sedang salat, seolah sudah tahu kapan waktu ajalnya dijemput. Entah amalan apa yang Eyang lakukan selama ini sehingga meninggal dunia dalam keadaan baik. "Eyang kenapa, Kak?" Silvia muncul dari balik pintu dengan tergopoh-gopoh. "Eyang sudah nggak ada, Sayang." Tangan Abian menyeka sudut matanya yang basah. Lelaki itu segera merangkul istrinya yang mematung di tempatnya berdiri. "Innalillahi wa Inna Ilaihi Rojiun." Silvia membalas pelukan suaminya. Mereka berdua seol
Istri hanya StatusPOV Author "Sayang. Kakak minta maaf, ya!" Abian mendekati wanita cantik yang sedang tidur di ranjangnya. Lelaki yang kini bergelar ayah itu menciumi punggung istrinya secara diam-diam. Pergerakan tangan Abian yang masif membuat Silvia terbangun. Ia membuka matanya sebentar tak lama kemudian dipejamkan kembali. Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan suaminya.Silvia berbaring dalam posisi miring membelakangi Abian. Sehingga wanita itu bebas pura-pura tidur. "Sayang. Maafkan kakak yang masih egois. Maafkan suamimu yang kadang seperti anak kecil pola pikirnya." Abian terus menciumi punggung istrinya tanpa peduli ibunya Adiba mendengar atau tidak. Silvia merasa heran kenapa tiba-tiba Abian meminta maaf padanya? Apa karena ia diamkan atau sebab lainnya? Tentu, perubahan sikap Abian tidak terjadi begitu saja. Lelaki yang bergelar eyang Kakung yang telah berhasil menyadarkannya. Eyang Kakung sempat memarahi Abian secara habis-habisan. Sebab lelaki di penghujung usia it
Ah, mana mungkin aku hamil, kan diam-diam aku KB suntik tanpa sepengetahuan kak Abian. Iya, tanpa sepengetahuan lelakiku. Sebab ia ingin segera memiliki anak lagi. Sementara, aku ingin memberikan ASI secara full pada Adiba. "Sayang, kita periksa ke dokter, ya!" Kak Abian menuntun aku menuju ranjang. Kemudian menyodorkan segelas air hangat."Tidak perlu, Kak. Aku hanya masuk angin biasa. Nanti juga sembuh setelah dikerok." Kuteguk air hangat tersebut dengan pelan-pelan. Lumayan melegakan. "Kamu yakin, Sayang?" Lekaki yang telah membersamaiku itu menatap wajah ini dengan lekat. "Sangat yakin. Aku hanya butuh dikerok, Kak. Mau kan mengerok tubuhku?" Aku mengerlingkan mata ke arahnya. "Sangat mau. Kerok plus juga mau." Senyuman jahil terukir jelas dari bibirnya. "Ih maunya. Aku hanya mau dikerok biasa tidak pake plus." Aku menepis tangannya yang mulai jahil.*****"Sayang, dites ya?" Lakiku menyodorkan alat pengetes kehamilan. Aku yang baru selesai memberikan ASI pada Adiba terpaku b
Lihatlah, Sayang!" Kakak Abian heboh. Suara terdengar sangat bahagia. Dengan takut-takut aku membuka mata."Ini bener, Kak?" Aku menatap tak percaya pada alat tersebut. Garis dua terpampang jelas di sana. Bukan ucapan yang aku dapatkan, namun, pelukan serta kecupan di kening dan pipi bertubi-tubi."Kita sudah berhasil, Sayang." Pelukannya semakin erat. Air mata ini pun lolos begitu saja tanpa bisa dicegah. "Kita akan segera memberitahu eyang, Sayang. Tidak akan lagi ada drama dari eyang." "Baguslah kalau akhirnya kamu mau memberikan cicit untukku. Memang sudah seharusnya!" Ucapan pedas itu masih terus keluar dari bibir eyang, meski kami telah membawa berita bahagia. Kak Abian merangkul pundakku. Aku tahu maksudnya, membesarkan hatiku. Memintaku untuk bersabar oleh sikap eyangnya tersebut. ****Kandunganku sudah berusia 30 Minggu. "Cantik dan seksi bumilku." Kak Abian memeluk diriku dari belakang."Bohong!" bantahku dengan cepat sambil menggoreng sambal teri. Aku tahu dia itu han
"Assalamualaikum, Eyang, Apa kabar?" Lekas, Kuraih tangan yang sudah berkeriput itu. Kucium punggungnya dengan penuh takzim. "Dari mana kalian?" Pertanyaan pertama yang beliau berikan untukku. Lelaki itu masih saja sama. Tidak bisa ramah denganku. Entahlah. "Dari liburan, Eyang. Masa kerja terus takut kaya," seloroh Kak Abian seraya mencium punggung tangan kakeknya."Liburan terus. Kapan memberikan cicit padaku?" Tatapan tajamnya mengarah ke perutku. Aku merasa tidak nyaman."Sudahlah, Eyang. Kami itu baru saja sampai mau istirahat dulu." Kak Abian membawa koper kami ke dalam rumah.Aku pun mengikuti langkah suami. Entah mengapa aku merasa kehadiran eyang kaki ini akan membawa masalah. ****"Sudah berapa lama kalian menikah? Dan kalian belum juga memberikan keturunan padaku!" ucap Eyang saat kami selesai makan malam."Kami sudah berusaha, Eyang. Doakan saja semoga cepat diberikan momongan lagi." "Mau sampai kapan, Bian? Kamu itu satu-satunya pewaris Lukman. Kamu itu satu-satunya
Assalamualaikum." Seorang perempuan muda dengan bayi dalam gendongannya berada di depan pintu rumahku. "Waalaikummussallam…." Aku menulis penampilannya yang kacau. Sembab di matanya membuatku iba. "Monggo masuk, Mbak." Aku yang tidak tahu asal usul wanita itu merasa tersentuh ketika menatap bayi mungil yang tampak kedinginan itu. Hanya ditutupi dengan selimut bayi yang tipis. Malam ini terasa sangat dingin karena tadi sore langit menumpahkan air dengan sangat derasnya. Bahkan saat ini masih gerimis kecil-kecil. Kenapa ia harus keluar dengan membawa bayi? Dengan langkah pelan dan malu-malu wanita yang usianya dibawahku mengikuti masuk ke dalam rumah. "Mbak ini siapa? Dan kenapa jam segini ke luar rumah?" Aku membuka obrolan setelah memberikan baju ganti untuk anaknya. Bayi yang aku taksir berusia delapan bulan itu sedang diberi ASI oleh ibunya. Aku tidak hanya memberikan baju ganti tapi juga kebutuhan bayi. Seperti minyak telon dan lain sebagainya. Aku menatap lekat wajah sendu
"Itu masalahnya. Dia tidak mau mengambil anaknya, pun tidak mengizinkan Devia diadopsi oleh orang lain. Dia berjanji akan memenuhi semua kebutuhannya tapi belum bisa merawatnya sendiri. Tadi pun membelikan semua kebutuhan Devia."Keterangan Bu Maemunah membuatku mengernyitkan dahi. Apa yang menyebabkan dia tidak mau mengambil anaknya? Apa mungkin istri baru yang menyebabkan bapaknya anak ini memilih menitipkan Devia di panti asuhan? Untung saja Kak Abian dari awal melarang aku ketika ingin mengangkat Devia menjadi anak kami. Pasti kami akan berurusan dengan bapaknya anak ini kalau itu beneran terjadi."Semoga kamu selalu sehat, ya, Nak." Aku mencium pucuk kepalanya lama.****Satu tahun telah berlalu dan aku belum diizinkan Allah untuk mengandung lagi. Lelaki yang menjadi suamiku pun benar-benar menepati janjinya padaku. Tidak pernah mengungkit tentang kehadiran anak padaku.Kesibukan kami pun bertambah. Tidak hanya mengurusi usaha saja. Kini aku fokus di panti. Mengurus anak-anak ya
Aku pun mengguncang pundaknya dengan keras. "Katakan ada apa, Za? Jangan kau buat aku penasaran seperti ini." Air mataku sudah tak terbendung lagi. "Anakmu telah tiada, Via." Mendengar ucapan Aiza, kepalaku kembali nyeri tak lama kemudian kembali gelap. "Alhamdulillah kamu sudah siuman, Sayang?" Kak Abian yang kini ada di dekatku."Azkha mana, Kak?" Pertanyaan pertama yang aku lontarkan pada lelaki di hadapan."Itu di depan. Yuk, kita lihat untuk terakhir kalinya sebelum dikafani dan dishalatkan!"Lagi-lagi hatiku hancur ketika menatap bayi mungil yang matanya terpejam dengan damai itu. Bayi yang aku kandung selama sembilan bulan lebih. Bayi yang aku tunggu kelahirannya di dunia ini. Bayi yang telah membuatku jatuh cinta meski belum pernah bertemu dengannya. Bayi yang aku sukai tendangan-tendangan halusnya. Aku menatap nanar pada tubuh mungil yang terbujur kaku itu.Anak yang belum sempat aku gendong itu begitu tampan. Ini pertemuan kami yang pertama kalinya tanpa sekat. Kemarin wa
POV Silvia"Nduk, makan dulu." Aku menatap sekilas ke arah pintu. Bi Baidah membawa baki berisi piring dengan gundukan nasi dan teman-temannya."Silvia belum lapar, Bi." Aku menatap nanar pada nampan yang dibawa istrinya paman Gozali."Bibi tahu kamu sedih, tapi harus dipaksakan untuk makan walaupun sedikit." Wanita itu ikut duduk di sampingku. Tepi ranjang. Aku tetap menggelengkan kepala. Selera makanku menguap entah kemana semenjak mengetahui bahwa anak kami harus dirawat di rumah sakit. Aku sendiri sudah diperbolehkan pulang.Bagaimana bisa aku makan enak di rumah, sedangkan anakku sedang berjuang untuk hidup di dalam ventilator. Banyak selang yang terpasang di tubuhnya.Terjadi infeksi pada saluran napas dan paru-paru yang disebabkan oleh air ketuban yang sempat tertelan olehnya. Itu yang membuatnya tak menangis kala dilahirkan ke dunia ini. Tubuhnya pun sudah berwarna biru. "Kalau kamu terus-terusan sedih di sini, bagaimana kondisi anakmu di sana? Kamu harus kuat dan tegar. Ka