Aku harus melakukan tindakan sebelum eyang pulang. Aku tak mau beliau menaruh curiga atas pernikahan kami. Segera ku hubungi nomor eyang. "Assalamualaikum, Eyang." "Waalaikummussallam, ada apa, Bian?" "Yang, Bian mau pamit pulang. Ada hal yang harus diurus di sana." Aku terpaksa berbohong."Sana pulang! Kamu memang tidak pernah betah di rumah eyang." Suara kakekku terdengar kesal."Bukan begitu, Eyang. Bian ada urusan mendadak yang harus diselesaikan sekarang. Nanti kalau sudah ada waktu luang kami ke sini lagi, Yang.""Kamu selalu bilang begitu. Nanti kalau ke sini bawa cicit eyang sekalian." Aku menelan ludah. Cicit? Bagaimana mau ngasih cicit kalau kami saja belum pernah memproduksinya. "Doakan semoga cepat jadi cicit, Eyang. Bian pamit, Yang"Doakan semoga cepat jadi cicit, Eyang. Bian pamit, Yang. Assalamualaikum." Aku segera menutup sambungan telepon setelah eyang menjawab salam. Segera kukemasi barang bawaan. Rencana mau liburan beberapa hari di sini terpaksa batal kare
Mataku menyapu sekeliling. Semua orang sedang memandangku. Ada yang bergidik, ada yang menatap tak suka, ada pula yang geleng-gelengkan kepalanya. Mereka semua menelan mentah-mentah ucapan Anggraini.Wanita di depanku merasa telah menang. Dia melipatkan kedua tangannya di depan dada. Tersenyum sinis ke arahku.Gegas, aku berdiri. Berjalan mendekati Anggraini yang masih mematung di tempat."Pilihannya ada di tanganmu. Antara meminta maaf padaku di sini atau aku bongkar semua kartumu saat ini? Atau memilih dipecat dari tempat ini?" bisikku tepat di telinganya. Wajah Anggraini pias.Padahal aku tidak kenal siapa pemilik restoran ini. Bagaimana mungkin aku meminta untuk memecat Anggraini. Pasti tidak akan terpikir olehnya tentang ucapanku. Dia terlihat kaget. Masih bagus, aku memberikan pilihan daripada membongkar semuanya di depan umum. Di restoran ini.Anggraini karyawan di sini. Aku tahu dari baju seragam yang ia kenakan. Dia terlalu gegabah. Mengurusi masalah pribadi di jam kerja. A
"Mas. Boleh aku minta nomor WhatsAppnya?" tanyanya lirih."Aku lupa dengan nomorku sendiri." Aku menjawab asal sembari menyuap makanan. Terlihat gurat kecewa di wajahnya.Aku tidak tega melihat wajah yang sedih begitu."Begini saja. Kamu ada kartu nama?"Senyumnya merekah setelah mendengar pertanyaanku. Hanum segera melambaikan tangan pada karyawannya. Memerintahkan pada salah satu karyawannya. "Tolong ambilkan kartu nama di meja saya.""Ini restoran kamu yang keberapa?" tanyaku kepo. Aku tahu orang tuanya memiliki beberapa cabang rumah makan. Mungkin saat ini sudah menjadi restoran. Belum sempat menjawab karyawan tadi sudah kembali ke sini. Cepat juga dia! "Kamu boleh pergi," ucap Hanum pada karyawannya, setelah menyerahkan kartu nama tersebut. "Ini, Mas. Tolong hubungi aku segera, ya. Aku sudah lama mencari kontakmu tapi tidak ketemu. Mencari akun media sosialmu pun tidak berhasil." Tangan kiriku segera mengambil kartu nama tersebut. Entah untuk kepentingan apa aku menghubun
"Astaghfirullah … Bian! Alangkah menjijikkan perbuatan bekas istrimu!" Aku kehabisan kata-kata untuk membantah ucapan ibu. Toh memang benar adanya. Aku sudah melihat adegan yang memalukan di galeri Silvia. "Firasat ibu tidak salah. Anggraini bukan wanita baik-baik. Ini buktinya."Untung saja sudah aku ceraikan.Aku merasa jijik setelah melihatnya adegan itu. Membayangkan tubuhnya sudah dijamah oleh lelaki lain selain suaminya. Mual pun tiba-tiba menyerangku. Zaman sekarang banyak wanita yang covernya gadis tapi isinya sudah tak perawan. Bagaimana bisa dahulu, aku jatuh cinta pada wanita itu? Aku terpesona dengan cantiknya. Memang benar apa kata orang tua, cantik rupa belum tentu hatinya."Benar-benar menjijikkan! Kamu harus segera memeriksakan diri, Bian! Ibu tidak mau kamu terkena penyakit kelamin!" "Bian belum pernah menyentuhnya, Bu," jawabku jujur. Ibu mengernyitkan dahinya. Pasti beliau tak percaya. Tapi itu kenyataannya."Apa kamu tidak normal, Bian?" Pertanyaan ibu absurd. R
Ternyata selama ini ibu dan Silvia memiliki komunikasi yang bagus. Ibu sepertinya sengaja membuat aku tersiksa karena mencari keberadaan menantunya. Tiba-tiba hatiku panas saat melihat Silviatersenyum ramah dan sesekali melihatnya tertawa pada seorang pria yang sedang duduk manis di depan warungnya."Ini alasan kamu tidak pulang-pulang! Pantas saja kamu betah menyendiri dan jauh dari suami karena di sini ada lelaki lain." ucapku setelah menggebrak meja di depannya.Silvia terlihat kaget. Matanya melotot sempurna, giginya gemeretak. "Apa-apaan kamu, Mas. Datang-datang marah nggak jelas. Bikin malu saja. Memang kamu siapa?" tantang Silvia dengan mata menatap nyalang ke arahku. ***POV 3"Ini alasan kamu tidak pulang-pulang! Pantas saja kamu betah menyendiri dan jauh dari suami karena di sini ada lelaki lain," ucap Abian setelah menggebrak meja di depannya.Silvia terlihat kaget. Matanya melotot sempurna, giginya gemeretak. "Apa-apaan kamu, Mas. Datang-datang marah nggak jelas. Biki
"Saya tidak perlu menjelaskan mengapa istri saya menyendiri di sini. Jangan berasumsi sendiri. Istri saya wanita baik-baik, Istri yang sholehah. Tidak perlu kalian korek informasi tentangnya terlalu dalam." Darini melengos pergi begitu saja setelah Abian berhasil membungkam mulutnya.Merasa kesal wanita beranak dua itu segera pergi dari warung Silvia tanpa pamit. Sebenarnya karedok Darini sudah dibungkus dari tadi. Wanita itu sengaja berlama-lama karena ingin ngerumpi di situ. Mencari bahan ghibahan."Mbak Silvia. Punya hutang penjelasan sama kami. Yuk, Ningsih kita pulang dulu!" "Mbak kami pulang dulu, ya," pamit keduanya. Marini dan Ningsih pun meninggalkan warung itu.Kini tinggal "Mbak. Pesanan saya sendiri sudah selesai?" Darsono merasa tak nyaman berlama-lama di warung Silvia, padahal biasanya tempat itu menjadi candu untuknya. "Ini, Mas." Silvia menyerahkan dua puluh bungkus karedok pada Darsono."Terima kasih. Ini uangnya." Ada yang berbeda dengan pemuda itu. Abian menangk
"Baju kamulah. Masa baju orang lain." "Siapa tahu baju istrimu yang lain. Secara aku telah pergi selama tiga bulan. Aku sudah tidak tahu lagi kamu menikah dengan wanita mana? Menikah ke berapa? Dan apa yang telah terjadi aku benar-benar tidak paham.""Aku tidak seperti apa yang kamu pikirkan.""Dulu aku berpikir yang baik-baik tentang kamu, Mas. Namun, penilaianku telah kamu patahkan. Sekarang aku tidak tahu siapa sebenarnya lelaki yang telah menikahiku. Buktinya, aku mengira kamu adalah anak yang patuh serta menyayangi ibu, nyatanya kamu malah tega menorehkan luka di hatinya.""Aku bukan malaikat yang tidak pernah salah dan juga bukan setan yang tak pernah benar. Sudahlah kita akhiri perdebatan ini dan cepat ganti bajumu. Memangnya kamu mau tidur dengan gamis seperti ini?" Silvia terdiam beberapa detik. Tidak mungkin dia bisa tidur dengan nyaman apabila masih memakai gamis yang berbahan tebal dan terasa berat itu."Aku janji tidak akan macam-macam." Abian menerima baju tidur itu ke
Abian masih ingin berbicara banyak dengan Silvia. Akan tetapi, istrinya sudah tidak ingin berlama-lama di cafe tersebut. Silvia sudah berjalan meninggalkan Abian yang masih terdiam di kursi. Tidak menyangka akan mendapatkan penolakan dari Silvia. Sadar dirinya ditolak, gegas pria itu berjalan ke kasir guna membayar tagihan. Silvia sudah menunggu di depan mobil. Dari jauh Abian berjalan gontai menuju mobilnya. Senyumnya mengembang saat melihat Silvia berdiri di depan kuda besinya. Mereka melanjutkan perjalanan kembali. Tinggal tiga puluh menit menuju rumah Bu Anis. Selama dalam kendaraan dua manusia itu saling diam. Terhanyut dengan pikirannya masing-masing. Tanpa terasa mobil telah sampai di depan rumah bercat tosca tersebut. Abian pun telah membelokkan mobilnya ke arah garasi. Pria itu berhasil masukkan mobilnya ke dalam garasi. Silvia mendelik sempurna ke arah suaminya. Dadanya bergemuruh hebat. Abian tersenyum kecut menerima tatapan itu. "Ayo turun!" Abian hendak membuka p
Istri hanya Status Bab 51"Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun," ucap Abian dengan suara lemah setelah memeriksa denyut nadi kakeknya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Eyang Kakung telah tiada, tidak ada yang tahu kapan beliau menghembuskan napas terakhirnya. Menjelang tidur beliau pun masih terlihat segar bugar. Abian menemukan Eyang dalam keadaan yang sempurna. Matanya telah tertutup rapat. Bibirnya terkatup dengan benar. Bahkan ada senyum yang menghiasi bibirnya. Tangan Eyang pun sudah sedap bagai orang sedang salat, seolah sudah tahu kapan waktu ajalnya dijemput. Entah amalan apa yang Eyang lakukan selama ini sehingga meninggal dunia dalam keadaan baik. "Eyang kenapa, Kak?" Silvia muncul dari balik pintu dengan tergopoh-gopoh. "Eyang sudah nggak ada, Sayang." Tangan Abian menyeka sudut matanya yang basah. Lelaki itu segera merangkul istrinya yang mematung di tempatnya berdiri. "Innalillahi wa Inna Ilaihi Rojiun." Silvia membalas pelukan suaminya. Mereka berdua seol
Istri hanya StatusPOV Author "Sayang. Kakak minta maaf, ya!" Abian mendekati wanita cantik yang sedang tidur di ranjangnya. Lelaki yang kini bergelar ayah itu menciumi punggung istrinya secara diam-diam. Pergerakan tangan Abian yang masif membuat Silvia terbangun. Ia membuka matanya sebentar tak lama kemudian dipejamkan kembali. Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan suaminya.Silvia berbaring dalam posisi miring membelakangi Abian. Sehingga wanita itu bebas pura-pura tidur. "Sayang. Maafkan kakak yang masih egois. Maafkan suamimu yang kadang seperti anak kecil pola pikirnya." Abian terus menciumi punggung istrinya tanpa peduli ibunya Adiba mendengar atau tidak. Silvia merasa heran kenapa tiba-tiba Abian meminta maaf padanya? Apa karena ia diamkan atau sebab lainnya? Tentu, perubahan sikap Abian tidak terjadi begitu saja. Lelaki yang bergelar eyang Kakung yang telah berhasil menyadarkannya. Eyang Kakung sempat memarahi Abian secara habis-habisan. Sebab lelaki di penghujung usia it
Ah, mana mungkin aku hamil, kan diam-diam aku KB suntik tanpa sepengetahuan kak Abian. Iya, tanpa sepengetahuan lelakiku. Sebab ia ingin segera memiliki anak lagi. Sementara, aku ingin memberikan ASI secara full pada Adiba. "Sayang, kita periksa ke dokter, ya!" Kak Abian menuntun aku menuju ranjang. Kemudian menyodorkan segelas air hangat."Tidak perlu, Kak. Aku hanya masuk angin biasa. Nanti juga sembuh setelah dikerok." Kuteguk air hangat tersebut dengan pelan-pelan. Lumayan melegakan. "Kamu yakin, Sayang?" Lekaki yang telah membersamaiku itu menatap wajah ini dengan lekat. "Sangat yakin. Aku hanya butuh dikerok, Kak. Mau kan mengerok tubuhku?" Aku mengerlingkan mata ke arahnya. "Sangat mau. Kerok plus juga mau." Senyuman jahil terukir jelas dari bibirnya. "Ih maunya. Aku hanya mau dikerok biasa tidak pake plus." Aku menepis tangannya yang mulai jahil.*****"Sayang, dites ya?" Lakiku menyodorkan alat pengetes kehamilan. Aku yang baru selesai memberikan ASI pada Adiba terpaku b
Lihatlah, Sayang!" Kakak Abian heboh. Suara terdengar sangat bahagia. Dengan takut-takut aku membuka mata."Ini bener, Kak?" Aku menatap tak percaya pada alat tersebut. Garis dua terpampang jelas di sana. Bukan ucapan yang aku dapatkan, namun, pelukan serta kecupan di kening dan pipi bertubi-tubi."Kita sudah berhasil, Sayang." Pelukannya semakin erat. Air mata ini pun lolos begitu saja tanpa bisa dicegah. "Kita akan segera memberitahu eyang, Sayang. Tidak akan lagi ada drama dari eyang." "Baguslah kalau akhirnya kamu mau memberikan cicit untukku. Memang sudah seharusnya!" Ucapan pedas itu masih terus keluar dari bibir eyang, meski kami telah membawa berita bahagia. Kak Abian merangkul pundakku. Aku tahu maksudnya, membesarkan hatiku. Memintaku untuk bersabar oleh sikap eyangnya tersebut. ****Kandunganku sudah berusia 30 Minggu. "Cantik dan seksi bumilku." Kak Abian memeluk diriku dari belakang."Bohong!" bantahku dengan cepat sambil menggoreng sambal teri. Aku tahu dia itu han
"Assalamualaikum, Eyang, Apa kabar?" Lekas, Kuraih tangan yang sudah berkeriput itu. Kucium punggungnya dengan penuh takzim. "Dari mana kalian?" Pertanyaan pertama yang beliau berikan untukku. Lelaki itu masih saja sama. Tidak bisa ramah denganku. Entahlah. "Dari liburan, Eyang. Masa kerja terus takut kaya," seloroh Kak Abian seraya mencium punggung tangan kakeknya."Liburan terus. Kapan memberikan cicit padaku?" Tatapan tajamnya mengarah ke perutku. Aku merasa tidak nyaman."Sudahlah, Eyang. Kami itu baru saja sampai mau istirahat dulu." Kak Abian membawa koper kami ke dalam rumah.Aku pun mengikuti langkah suami. Entah mengapa aku merasa kehadiran eyang kaki ini akan membawa masalah. ****"Sudah berapa lama kalian menikah? Dan kalian belum juga memberikan keturunan padaku!" ucap Eyang saat kami selesai makan malam."Kami sudah berusaha, Eyang. Doakan saja semoga cepat diberikan momongan lagi." "Mau sampai kapan, Bian? Kamu itu satu-satunya pewaris Lukman. Kamu itu satu-satunya
Assalamualaikum." Seorang perempuan muda dengan bayi dalam gendongannya berada di depan pintu rumahku. "Waalaikummussallam…." Aku menulis penampilannya yang kacau. Sembab di matanya membuatku iba. "Monggo masuk, Mbak." Aku yang tidak tahu asal usul wanita itu merasa tersentuh ketika menatap bayi mungil yang tampak kedinginan itu. Hanya ditutupi dengan selimut bayi yang tipis. Malam ini terasa sangat dingin karena tadi sore langit menumpahkan air dengan sangat derasnya. Bahkan saat ini masih gerimis kecil-kecil. Kenapa ia harus keluar dengan membawa bayi? Dengan langkah pelan dan malu-malu wanita yang usianya dibawahku mengikuti masuk ke dalam rumah. "Mbak ini siapa? Dan kenapa jam segini ke luar rumah?" Aku membuka obrolan setelah memberikan baju ganti untuk anaknya. Bayi yang aku taksir berusia delapan bulan itu sedang diberi ASI oleh ibunya. Aku tidak hanya memberikan baju ganti tapi juga kebutuhan bayi. Seperti minyak telon dan lain sebagainya. Aku menatap lekat wajah sendu
"Itu masalahnya. Dia tidak mau mengambil anaknya, pun tidak mengizinkan Devia diadopsi oleh orang lain. Dia berjanji akan memenuhi semua kebutuhannya tapi belum bisa merawatnya sendiri. Tadi pun membelikan semua kebutuhan Devia."Keterangan Bu Maemunah membuatku mengernyitkan dahi. Apa yang menyebabkan dia tidak mau mengambil anaknya? Apa mungkin istri baru yang menyebabkan bapaknya anak ini memilih menitipkan Devia di panti asuhan? Untung saja Kak Abian dari awal melarang aku ketika ingin mengangkat Devia menjadi anak kami. Pasti kami akan berurusan dengan bapaknya anak ini kalau itu beneran terjadi."Semoga kamu selalu sehat, ya, Nak." Aku mencium pucuk kepalanya lama.****Satu tahun telah berlalu dan aku belum diizinkan Allah untuk mengandung lagi. Lelaki yang menjadi suamiku pun benar-benar menepati janjinya padaku. Tidak pernah mengungkit tentang kehadiran anak padaku.Kesibukan kami pun bertambah. Tidak hanya mengurusi usaha saja. Kini aku fokus di panti. Mengurus anak-anak ya
Aku pun mengguncang pundaknya dengan keras. "Katakan ada apa, Za? Jangan kau buat aku penasaran seperti ini." Air mataku sudah tak terbendung lagi. "Anakmu telah tiada, Via." Mendengar ucapan Aiza, kepalaku kembali nyeri tak lama kemudian kembali gelap. "Alhamdulillah kamu sudah siuman, Sayang?" Kak Abian yang kini ada di dekatku."Azkha mana, Kak?" Pertanyaan pertama yang aku lontarkan pada lelaki di hadapan."Itu di depan. Yuk, kita lihat untuk terakhir kalinya sebelum dikafani dan dishalatkan!"Lagi-lagi hatiku hancur ketika menatap bayi mungil yang matanya terpejam dengan damai itu. Bayi yang aku kandung selama sembilan bulan lebih. Bayi yang aku tunggu kelahirannya di dunia ini. Bayi yang telah membuatku jatuh cinta meski belum pernah bertemu dengannya. Bayi yang aku sukai tendangan-tendangan halusnya. Aku menatap nanar pada tubuh mungil yang terbujur kaku itu.Anak yang belum sempat aku gendong itu begitu tampan. Ini pertemuan kami yang pertama kalinya tanpa sekat. Kemarin wa
POV Silvia"Nduk, makan dulu." Aku menatap sekilas ke arah pintu. Bi Baidah membawa baki berisi piring dengan gundukan nasi dan teman-temannya."Silvia belum lapar, Bi." Aku menatap nanar pada nampan yang dibawa istrinya paman Gozali."Bibi tahu kamu sedih, tapi harus dipaksakan untuk makan walaupun sedikit." Wanita itu ikut duduk di sampingku. Tepi ranjang. Aku tetap menggelengkan kepala. Selera makanku menguap entah kemana semenjak mengetahui bahwa anak kami harus dirawat di rumah sakit. Aku sendiri sudah diperbolehkan pulang.Bagaimana bisa aku makan enak di rumah, sedangkan anakku sedang berjuang untuk hidup di dalam ventilator. Banyak selang yang terpasang di tubuhnya.Terjadi infeksi pada saluran napas dan paru-paru yang disebabkan oleh air ketuban yang sempat tertelan olehnya. Itu yang membuatnya tak menangis kala dilahirkan ke dunia ini. Tubuhnya pun sudah berwarna biru. "Kalau kamu terus-terusan sedih di sini, bagaimana kondisi anakmu di sana? Kamu harus kuat dan tegar. Ka