Silvia telah berdiri sedari tadi untuk menyambut mertuanya, kemudian meraih tangan ibunya Abian."Kamu sehat, Sayang?" tanya Bu Anis pada Silvia setelah sedikit berbasa-basi pada Bi Baidah."Alhamdulillah, Bu. Ibu sendiri bagaimana kabarnya?" Meskipun ada rasa sakit hati akibat tuduhan yang tak beralasan dari mertuanya, Silvia tetap bersikap sopan dan ramah."Alhamdulillah ibu baik saat ini." Bu Anis memandang wajah menantunya dengan teduh. Tatapan yang selalu ia berikan untuk Silvia sebelum ada kiriman foto dari Anggraini.Bi Baidah segera pamit ke belakang untuk membuatkan minum tamunya. Sebenarnya tidak hanya sekedar menyiapkan suguhan untuk besannya, tetapi Bi Baidah ingin memberikan ruang untuk mereka berdua.Lama Bu Anis menatap wajah mungil yang mulai terlelap dalam pangkuan Silvia. Entah apa yang dipikirkan wanita yang mengenakan gamis syar'i berwarna tosca tersebut."Ini anaknya Ana?" Bu Anis masih menatap wajah tampan yang ada dalam gendongan menantunya."Iya, Bu. Putranya
Bu Anis membenarkan posisi duduknya, punggung yang tegak dengan kedua kaki yang rapat. Tatapan teduhnya menyorot lelaki yang sedang duduk di seberang. Senyum manis tak lupa ia berikan pada lawan bicaranya. Menambah keanggunan perempuan yang telah berumur tersebut."Yang berhak melepaskan Silvia itu Abian, suaminya. Sebuah kesalahan kalau kamu mau menebus Silvia. Betapa bodohnya saya kalau sampai menerima uangmu," papar Bu Anis. Lembut namun menohok.Tepat seperti dugaan Andi. Bu Anis pasti tidak akan melepaskan Silvia begitu saja. Namun"Bukankah Silvia menjadi penebus hutang-hutang bapak mertua? Lantas mengapa Ibu menolak uang pengganti dari saya?" bantah kakak iparnya Silvia."Silvia terlalu berharga apabila ditukar dengan uang. Perjuangkan Silvia kalau kamu memang mencintainya. Buatlah dia bahagia dengan caramu. Bagi saya Silvia itu bukan lagi menantu, tetapi anak kedua saya. Saya akan mendukung apa pun keputusan yang akan diambil oleh Silvia. Termasuk menikah denganmu. Mungkin."
"Memaafkan bukan berarti harus pulang, Bu," bantah Silvia, lembut tapi cukup tegas.Bu Anis menarik napas kasar. Tetap tersenyum meskipun terpaksa."Baiklah kalau memang itu keputusanmu. Ibu tidak bisa memaksa kamu. Apa pun yang terjadi kedepannya kamu tetap anakku. Ibu tidak peduli kedepannya kamu akan hidup sama siapa, Silvia. Namun, satu yang perlu kamu ketahui, ibu tidak mau kehilangan kamu. Ibu Sayang kamu, Nak. Hanya saja kemarin ibu terlalu bodoh sehingga terpedaya oleh setan." Raut penyesalan jelas terpancar dari sana.***"Nduk. Paman tidak tahu apa sebenarnya penyebab kamu pulang ke sini? Mertuamu orang yang sangat baik, Nduk. Apa kamu ada masalah dengan Abian?" tanya Paman Gozali di malam harinya.Silvia terdiam. Dia tidak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan yang diajukan oleh adik bapaknya tersebut."Alasan Silvia pulang adalah untuk membantu merawat Nafis, Paman." Silvia menjawab dengan tegas, setelah sekian menit terdiam.Selalu begitu jawaban Silvia.Dia tidak in
Kalau saja tadi mas Abian mengajakku bukan di depan paman, bibi dan juga Mas Andi. Tentu aku tak mau ikut dengannya. Aku tidak mau mereka tahu permasalahan rumah tanggaku. Terlebih mas Andi. Mengapa aku tidak bisa tegas? Entahlah. Rumah tanggaku memang tidak harmonis, tetapi aku tak mau memberikan celah pada orang lain untuk masuk ke dalamnya. Termasuk mas Andi. Dia memang baik, tetapi hatiku menolaknya ketika mendengar obrolan dengan ibu waktu itu. Telingaku menangkap jelas bahwa Mas Andi menginginkan aku. "Silvia. Aku minta maaf padamu," kata Mas Abian sambil sesekali menatapku. "Untuk apa?" "Untuk semua yang telah aku lakukan padamu. Menganggap kamu istri yang hanya di status. Merendahkanmu, Pernah hampir menodai kamu dan masih banyak yang lainnya. Aku benar-benar minta maaf. Ingin memperbaiki semuanya dari awal. Mau kan kamu memberikan kesempatan kedua padaku?" Aku terdiam. Mungkin aku sudah memaafkan, tapi tidak mudah untuk melupakan semua itu. "Berikan aku waktu, Mas." A
"Sebenarnya kita mau ke mana?" tanyaku, terpaksa karena penasaran. "Ke rumah Eyang. Beliau memintaku untuk datang ke sana." "Eyang?" gumamku, lirih. Setahuku orang tuanya ibu telah tiada."Iya, orang tua dari Ayah." Mas Abian menjawab tanpa menoleh ke arahku."Kenapa tidak bilang kalau mau bepergian jauh. Setidaknya aku membawa ganti.""Aku sudah membawakan baju ganti untukmu di bagasi."Apa? Dia sudah mempersiapkan ini semua? Dasar lelaki egois. Memaksaku untuk pergi ke rumah eyangnya tanpa persetujuan atau menanyakan kesiapanku. Kebiasaannya yang tidak aku suka dari dia. Suka memaksa orang lain. Suka mengambil kesempatan sepihak.Sebenarnya tujuan dia membawa aku untuk apa? Bukankah aku istri yang hanya ada di status baginya? Tetapi tadi mas Abian kan sudah minta maaf. Apa mungkin dia sudah berubah. Kini ingin memperkenalkan aku sebagai istrinya? Jangan geer Silvia! Siapa tahu eyangnya sedang sakit. Sedangkan aku hanya diminta untuk merawatnya. "Aku ingin memperkenalkan kamu pa
"Kamu meninggalkan Wulan apa karena Silvia? Sehebat apa dia? Sampai kamu tidak sabar menunggu kepulangan Eyang!" tanya eyang dengan suara yang pelan tapi penuh penekanan.Wulan? Siapanya mas Abian? "Dari dulu Bian tidak pernah mau dijodohkan dengan cucu angkat Eyang. Waktu nikahnya Bian, Eyang sedang di rumah istri muda — di Banten. Seandainya eyang diberitahu pun pasti tidak mengizinkan pernikahan ini terjadi. Bian khawatir eyang akan melakukan hal-hal yang bisa merusak acara perkawinan kami," jawab mas Abian dengan tegas.Aku masih menguping di balik tembok. Ingin mendengar obrolan mereka lebih lanjut. Tahu, mencuri dengar pembicaraan orang lain itu tidak boleh. Tetapi jiwa kepoku menginginkannya. "Apa kurangnya Wulan sampai kamu menolaknya? Dia sudah berusaha keras memantaskan diri agar bisa menjadi menantu orang tuamu. Kamu malah memutuskan pertunangan kalian secara sepihak! Kamu telah mencoreng nama baik eyang, Bian!" Eyang menaikkan volume suaranya beberapa oktaf. Padahal ini
"Kamu mau kemana? Kenapa barang ini kamu kembalinya? Ini hadiah dari aku." "Aku tidak butuh hadiah dari kamu. Jangan pernah mencari keberadaanku setelah ini. Kalau kamu tidak mau menjatuhkan talak biar aku yang menggugat kamu di pengadilan agama. Permisi!" Aku melangkahkan meninggalkan rumah besar nan megah itu. Rumah Eyang."Apa yang kamu lakukan? Kamu kenapa? Cerita padaku? Kamu tidak boleh pergi dengan keadaan seperti ini." Abian menarik tanganku. Aku berhasil melepaskan cengkeramannya."Sudahlah, Mas. Jangan terus-terusan membodohi aku. Capek dengan semua ini. Aku lelah dengan kamu, Mas. Lepaskan aku." Dering ponsel dari saku celana Abian menyelamatkan aku. Dia sibuk menerima telepon. Aku segera berlari ke arah jalan besar. Beruntungnya ada bis yang sedang melintas. Aku segera menyetopnya. Abian berusaha mengejar, tapi sia-sia. Aku tahu harus turun di mana. Kini tujuanku bukan lagi ke rumah ibu atau paman. Terlalu mudah Abian menemukan aku bila tetap di sana. Sesekali aku me
Aku harus melakukan tindakan sebelum eyang pulang. Aku tak mau beliau menaruh curiga atas pernikahan kami. Segera ku hubungi nomor eyang. "Assalamualaikum, Eyang." "Waalaikummussallam, ada apa, Bian?" "Yang, Bian mau pamit pulang. Ada hal yang harus diurus di sana." Aku terpaksa berbohong."Sana pulang! Kamu memang tidak pernah betah di rumah eyang." Suara kakekku terdengar kesal."Bukan begitu, Eyang. Bian ada urusan mendadak yang harus diselesaikan sekarang. Nanti kalau sudah ada waktu luang kami ke sini lagi, Yang.""Kamu selalu bilang begitu. Nanti kalau ke sini bawa cicit eyang sekalian." Aku menelan ludah. Cicit? Bagaimana mau ngasih cicit kalau kami saja belum pernah memproduksinya. "Doakan semoga cepat jadi cicit, Eyang. Bian pamit, Yang"Doakan semoga cepat jadi cicit, Eyang. Bian pamit, Yang. Assalamualaikum." Aku segera menutup sambungan telepon setelah eyang menjawab salam. Segera kukemasi barang bawaan. Rencana mau liburan beberapa hari di sini terpaksa batal kare
Istri hanya Status Bab 51"Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun," ucap Abian dengan suara lemah setelah memeriksa denyut nadi kakeknya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Eyang Kakung telah tiada, tidak ada yang tahu kapan beliau menghembuskan napas terakhirnya. Menjelang tidur beliau pun masih terlihat segar bugar. Abian menemukan Eyang dalam keadaan yang sempurna. Matanya telah tertutup rapat. Bibirnya terkatup dengan benar. Bahkan ada senyum yang menghiasi bibirnya. Tangan Eyang pun sudah sedap bagai orang sedang salat, seolah sudah tahu kapan waktu ajalnya dijemput. Entah amalan apa yang Eyang lakukan selama ini sehingga meninggal dunia dalam keadaan baik. "Eyang kenapa, Kak?" Silvia muncul dari balik pintu dengan tergopoh-gopoh. "Eyang sudah nggak ada, Sayang." Tangan Abian menyeka sudut matanya yang basah. Lelaki itu segera merangkul istrinya yang mematung di tempatnya berdiri. "Innalillahi wa Inna Ilaihi Rojiun." Silvia membalas pelukan suaminya. Mereka berdua seol
Istri hanya StatusPOV Author "Sayang. Kakak minta maaf, ya!" Abian mendekati wanita cantik yang sedang tidur di ranjangnya. Lelaki yang kini bergelar ayah itu menciumi punggung istrinya secara diam-diam. Pergerakan tangan Abian yang masif membuat Silvia terbangun. Ia membuka matanya sebentar tak lama kemudian dipejamkan kembali. Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan suaminya.Silvia berbaring dalam posisi miring membelakangi Abian. Sehingga wanita itu bebas pura-pura tidur. "Sayang. Maafkan kakak yang masih egois. Maafkan suamimu yang kadang seperti anak kecil pola pikirnya." Abian terus menciumi punggung istrinya tanpa peduli ibunya Adiba mendengar atau tidak. Silvia merasa heran kenapa tiba-tiba Abian meminta maaf padanya? Apa karena ia diamkan atau sebab lainnya? Tentu, perubahan sikap Abian tidak terjadi begitu saja. Lelaki yang bergelar eyang Kakung yang telah berhasil menyadarkannya. Eyang Kakung sempat memarahi Abian secara habis-habisan. Sebab lelaki di penghujung usia it
Ah, mana mungkin aku hamil, kan diam-diam aku KB suntik tanpa sepengetahuan kak Abian. Iya, tanpa sepengetahuan lelakiku. Sebab ia ingin segera memiliki anak lagi. Sementara, aku ingin memberikan ASI secara full pada Adiba. "Sayang, kita periksa ke dokter, ya!" Kak Abian menuntun aku menuju ranjang. Kemudian menyodorkan segelas air hangat."Tidak perlu, Kak. Aku hanya masuk angin biasa. Nanti juga sembuh setelah dikerok." Kuteguk air hangat tersebut dengan pelan-pelan. Lumayan melegakan. "Kamu yakin, Sayang?" Lekaki yang telah membersamaiku itu menatap wajah ini dengan lekat. "Sangat yakin. Aku hanya butuh dikerok, Kak. Mau kan mengerok tubuhku?" Aku mengerlingkan mata ke arahnya. "Sangat mau. Kerok plus juga mau." Senyuman jahil terukir jelas dari bibirnya. "Ih maunya. Aku hanya mau dikerok biasa tidak pake plus." Aku menepis tangannya yang mulai jahil.*****"Sayang, dites ya?" Lakiku menyodorkan alat pengetes kehamilan. Aku yang baru selesai memberikan ASI pada Adiba terpaku b
Lihatlah, Sayang!" Kakak Abian heboh. Suara terdengar sangat bahagia. Dengan takut-takut aku membuka mata."Ini bener, Kak?" Aku menatap tak percaya pada alat tersebut. Garis dua terpampang jelas di sana. Bukan ucapan yang aku dapatkan, namun, pelukan serta kecupan di kening dan pipi bertubi-tubi."Kita sudah berhasil, Sayang." Pelukannya semakin erat. Air mata ini pun lolos begitu saja tanpa bisa dicegah. "Kita akan segera memberitahu eyang, Sayang. Tidak akan lagi ada drama dari eyang." "Baguslah kalau akhirnya kamu mau memberikan cicit untukku. Memang sudah seharusnya!" Ucapan pedas itu masih terus keluar dari bibir eyang, meski kami telah membawa berita bahagia. Kak Abian merangkul pundakku. Aku tahu maksudnya, membesarkan hatiku. Memintaku untuk bersabar oleh sikap eyangnya tersebut. ****Kandunganku sudah berusia 30 Minggu. "Cantik dan seksi bumilku." Kak Abian memeluk diriku dari belakang."Bohong!" bantahku dengan cepat sambil menggoreng sambal teri. Aku tahu dia itu han
"Assalamualaikum, Eyang, Apa kabar?" Lekas, Kuraih tangan yang sudah berkeriput itu. Kucium punggungnya dengan penuh takzim. "Dari mana kalian?" Pertanyaan pertama yang beliau berikan untukku. Lelaki itu masih saja sama. Tidak bisa ramah denganku. Entahlah. "Dari liburan, Eyang. Masa kerja terus takut kaya," seloroh Kak Abian seraya mencium punggung tangan kakeknya."Liburan terus. Kapan memberikan cicit padaku?" Tatapan tajamnya mengarah ke perutku. Aku merasa tidak nyaman."Sudahlah, Eyang. Kami itu baru saja sampai mau istirahat dulu." Kak Abian membawa koper kami ke dalam rumah.Aku pun mengikuti langkah suami. Entah mengapa aku merasa kehadiran eyang kaki ini akan membawa masalah. ****"Sudah berapa lama kalian menikah? Dan kalian belum juga memberikan keturunan padaku!" ucap Eyang saat kami selesai makan malam."Kami sudah berusaha, Eyang. Doakan saja semoga cepat diberikan momongan lagi." "Mau sampai kapan, Bian? Kamu itu satu-satunya pewaris Lukman. Kamu itu satu-satunya
Assalamualaikum." Seorang perempuan muda dengan bayi dalam gendongannya berada di depan pintu rumahku. "Waalaikummussallam…." Aku menulis penampilannya yang kacau. Sembab di matanya membuatku iba. "Monggo masuk, Mbak." Aku yang tidak tahu asal usul wanita itu merasa tersentuh ketika menatap bayi mungil yang tampak kedinginan itu. Hanya ditutupi dengan selimut bayi yang tipis. Malam ini terasa sangat dingin karena tadi sore langit menumpahkan air dengan sangat derasnya. Bahkan saat ini masih gerimis kecil-kecil. Kenapa ia harus keluar dengan membawa bayi? Dengan langkah pelan dan malu-malu wanita yang usianya dibawahku mengikuti masuk ke dalam rumah. "Mbak ini siapa? Dan kenapa jam segini ke luar rumah?" Aku membuka obrolan setelah memberikan baju ganti untuk anaknya. Bayi yang aku taksir berusia delapan bulan itu sedang diberi ASI oleh ibunya. Aku tidak hanya memberikan baju ganti tapi juga kebutuhan bayi. Seperti minyak telon dan lain sebagainya. Aku menatap lekat wajah sendu
"Itu masalahnya. Dia tidak mau mengambil anaknya, pun tidak mengizinkan Devia diadopsi oleh orang lain. Dia berjanji akan memenuhi semua kebutuhannya tapi belum bisa merawatnya sendiri. Tadi pun membelikan semua kebutuhan Devia."Keterangan Bu Maemunah membuatku mengernyitkan dahi. Apa yang menyebabkan dia tidak mau mengambil anaknya? Apa mungkin istri baru yang menyebabkan bapaknya anak ini memilih menitipkan Devia di panti asuhan? Untung saja Kak Abian dari awal melarang aku ketika ingin mengangkat Devia menjadi anak kami. Pasti kami akan berurusan dengan bapaknya anak ini kalau itu beneran terjadi."Semoga kamu selalu sehat, ya, Nak." Aku mencium pucuk kepalanya lama.****Satu tahun telah berlalu dan aku belum diizinkan Allah untuk mengandung lagi. Lelaki yang menjadi suamiku pun benar-benar menepati janjinya padaku. Tidak pernah mengungkit tentang kehadiran anak padaku.Kesibukan kami pun bertambah. Tidak hanya mengurusi usaha saja. Kini aku fokus di panti. Mengurus anak-anak ya
Aku pun mengguncang pundaknya dengan keras. "Katakan ada apa, Za? Jangan kau buat aku penasaran seperti ini." Air mataku sudah tak terbendung lagi. "Anakmu telah tiada, Via." Mendengar ucapan Aiza, kepalaku kembali nyeri tak lama kemudian kembali gelap. "Alhamdulillah kamu sudah siuman, Sayang?" Kak Abian yang kini ada di dekatku."Azkha mana, Kak?" Pertanyaan pertama yang aku lontarkan pada lelaki di hadapan."Itu di depan. Yuk, kita lihat untuk terakhir kalinya sebelum dikafani dan dishalatkan!"Lagi-lagi hatiku hancur ketika menatap bayi mungil yang matanya terpejam dengan damai itu. Bayi yang aku kandung selama sembilan bulan lebih. Bayi yang aku tunggu kelahirannya di dunia ini. Bayi yang telah membuatku jatuh cinta meski belum pernah bertemu dengannya. Bayi yang aku sukai tendangan-tendangan halusnya. Aku menatap nanar pada tubuh mungil yang terbujur kaku itu.Anak yang belum sempat aku gendong itu begitu tampan. Ini pertemuan kami yang pertama kalinya tanpa sekat. Kemarin wa
POV Silvia"Nduk, makan dulu." Aku menatap sekilas ke arah pintu. Bi Baidah membawa baki berisi piring dengan gundukan nasi dan teman-temannya."Silvia belum lapar, Bi." Aku menatap nanar pada nampan yang dibawa istrinya paman Gozali."Bibi tahu kamu sedih, tapi harus dipaksakan untuk makan walaupun sedikit." Wanita itu ikut duduk di sampingku. Tepi ranjang. Aku tetap menggelengkan kepala. Selera makanku menguap entah kemana semenjak mengetahui bahwa anak kami harus dirawat di rumah sakit. Aku sendiri sudah diperbolehkan pulang.Bagaimana bisa aku makan enak di rumah, sedangkan anakku sedang berjuang untuk hidup di dalam ventilator. Banyak selang yang terpasang di tubuhnya.Terjadi infeksi pada saluran napas dan paru-paru yang disebabkan oleh air ketuban yang sempat tertelan olehnya. Itu yang membuatnya tak menangis kala dilahirkan ke dunia ini. Tubuhnya pun sudah berwarna biru. "Kalau kamu terus-terusan sedih di sini, bagaimana kondisi anakmu di sana? Kamu harus kuat dan tegar. Ka