Rajendra tidak ingin membuang-buang waktu. Ia ingin segala permasalahan di rumahnya selesai. Maka pagi itu ia menunggu Tasia di ruang kerja rumahnya. Ia menyuruh Bu Mimi memanggil Tasia agar datang ke ruangannya. Rajendra sudah mempersiapkan diri, menahan amarah yang membara di dadanya.Suara ketukan terdengar di pintu."Masuk!" Rajendra menyahut dengan suara dingin namun tegas.Tasia melangkahkan kakinya ke dalam ruangan dengan ekspresi tenang dan profesional, seperti pembawaannya di kantor. Ketika melihat ekspresi wajah Rajendra yang keras, nalurinya memberi peringatan bahwa ada yang tidak beres."Pagi, Pak, ada yang harus saya kerjakan?" Ia bertanya dan mencoba mempertahankan sikap tenangnya.Rajendra tidak menjawab pertanyaan Tasia. Ia mengambil sesuatu dari dalam laci. Sebuah botol kecil yang kemudian ia letakkan di atas meja. "Tahu benda ini?" tanyanya dingin.Tasia tentu terkejut namun wanita itu terlalu pandai menutupinya."Oh astaga, Pak! Itu kan skincare yang saya cari-cari.
Setelah pengusiran terhadap Tasia Rajendra melangkah cepat menuju kamar, tempat Livia masih beristirahat. Gadis sudah keluar dari kamar itu dan sekarang sedang berada di kamarnya sendiri, sedang bersiap-siap untuk pergi sekolah."Kamu dari mana, Ndra?" sorot Livia penuh tanda tanya. Ia melihat wajah Rajendra yang masih dihiasi sisa-sisa amarah.Rajendra berjalan menghampiri, duduk di tepi ranjang lalu menggenggam tangan Livia dengan hangat. "Aku baru mengusir Tasia, Liv. Kita aman sekarang. Dia nggak akan tinggal di sini lagi. Dia juga sudah kupecat sebagai asistenku," jelas Rajendra panjang lebar."Serius, Ndra?" Livia bertanya antusias."Serius, Sayang. Nggak ada alasan lagi buat aku untuk mempertahankan dia. Keberadaannya adalah ancaman untuk kita. Terutama kamu dan calon anak kita.""Tapi kasihan dia, Ndra. Setelah ini dia akan kerja di mana?"Itulah Livia. Ia terlalu baik pada orang lain. Sampai-sampai membahayakan dirinya s
Livia masih berdiri di beranda, memandang punggung Tasia yang semakin menjauh. Walaupun wanita itu sudah pergi, namun ucapannya masih terngiang-ngiang di telinga Livia. Mengambil tempat yang bukan milikmu.Apa maksud ucapannya itu? Tasia bersikap seolah-olah Livia mengambil sesuatu darinya.Saat Livia sedang termenung, Rajendra datang lalu meraih jemarinya dan mengunci dalam genggaman."Dia sudah pergi, Liv. Nggak usah pikirin dia lagi dan apa pun yang dia katakan."Livia menoleh, menatap wajah Rajendra dengan lekat. "Gimana aku nggak pikirin, Ndra? Dia berkata seolah-olah aku merebut sesuatu yang bukan milikku. Seakan dialah pemiliknya. Apa maksudnya coba?""Udahlah, Sayang. Dia cuma iri dan dendam sama kamu, makanya dia bilang begitu.""Tapi dia bicara seolah-olah aku semestinya nggak ada di sini. Seakan tempatku bukan di sisimu, Ndra," lirih Livia dengan kepercayaan diri yang mulai menurun.Rajendra menyentuh dagu Livia dan mengangkat dengan ujung telunjuknya hingga mata keduanya
Sejujurnya permintaan Livia bukan hal yang berat bagi Rajendra andai saja ia tidak kehilangan akses dengan orang tua Sharon. Sudah belasan tahun berlalu. Rajendra tidak tahu harus mencari orang tua Sharon ke mana."Liv, kamu serius dengan permintaan ini?" tanya Rajendra setelah lama hening.Livia menghela napas, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Ndra, aku nggak bermaksud jahat. Tapi aku ngerasa nggak nyaman setiap hari harus merasakan kebencian Lunetta. Walau aku lupa ingatan tapi aku cukup mengerti cara dia memandangku, menatapku, berbicara denganku dan gesturnya yang lain. Dia nggak suka aku, Ndra."Rajendra menatap tepat di wajah Livia. Ia tahu Lunetta tidak bisa menerima Livia jauh semenjak Livia belum kehilangan ingatannya."Aku paham, Liv. Aku ngerti kalau kamu ngerasa nggak nyaman. Dan aku nggak mau kamu ngerasa nggak dihargai di rumah ini. Aku hanya ..." Rajendra menghela napas panjang sebelum melanjutkan perkataannya. "Aku hanya nggak tahu harus mencari orang tua Sharon
Kini Livia dan Gadis saling memandangi Rajendra dengan penuh rasa keingintahuan."Paa? Papa kok ngelamun?" tanya Gadis yang membuat lamunan Rajendra buyar."Eh, iya, Sayang. Dulu waktu Adis di dalam perut Bunda Papa yang selalu nemenin Bunda ke dokter. Bang Randu dan Kak Lunetta nggak ikut karena masih kecil."Gadis tersenyum. Ia membayangkan dirinya berada di dalam perut Livia. Meringkuk dengan nyaman di rahim wanita itu.Suster yang keluar dari ruangan dokter dan memanggil nama Livia menghentikan obrolan hangat mereka. Ketiganya kompak berdiri lalu masuk ke ruangan dokter. Tak lupa Rajendra memanggil Randu dan Lunetta agar ikut masuk. Dengan enggan-engganan Lunetta ikut.Dokter menyambut mereka dengan senyum hangat sebelum meminta Livia berbaring di bed periksa."Bu Livia, hari ini kita akan melihat perkembangan janinnya ya," kata dokter sambil mengoleskan gel yang terasa dingin di perut Livia.Gadis yang antusias ber
"Nggak mau, Pa! Aku nggak mau tinggal sama orang lain. Aku maunya cuma sama Papa!" Lunetta menunjukkan penolakannya setelah peringatan keras yang diberikan Rajendra."Kalau memang nggak mau, dengarkan kata Papa. Patuh dan jangan membantah. Papa nggak main-main, Lunetta. Papa akan mengantar kamu ke rumah nenek dan kakek kalau kamu masih ngelawan dan jahat sama Bunda. Nggak cuma sama Bunda, tapi juga kamu harus bersikap baik sama Gadis. Ngerti?"Lunetta menundukkan kepalanya sambil mengatakan, "Ngerti, Pa."Setelah pembicaraan singkat itu Rajendra melanjutkan langkahnya ke apotik menyusul Livia, Gadis dan Randu."Kamu marahin dia, Ndra?" tanya Livia."Nggak, cuma nasihatin." Rajendra menjawab dengan kekesalan yang tersisa."Tapi kamu nggak terlalu keras sama dia kan?"Rajendra menatap Livia. Istrinya itu begitu baik dan lembut walau sudah dijahati berkali-kali."Kalau nggak dikerasin dia nggak akan ngerti. Sedang aku kerasin dia masih nggak ngerti juga apalagi kalau dibaik-baikin. Kamu
Livia merasa dirinya seakan terjatuh ke dalam kegelapan. Tiba-tiba ia mendengar alunan piano yang begitu familier. Jari-jemarinya terasa bergerak sendiri, menekan tuts piano dengan lancar dan mengalunkan melodi yang sangat indah. Ballade Pour Adeline. Seorang anak perempuan duduk di sebelahnya. Ia mendampingi Livia dan memerhatikannya memainkan piano. Livia mengajarinya. Dan anak itu ... dia bukan Gadis. Anak itu manis. Tetapi Gadis jauh lebih cantik."Bu Livia, coba aku yang main ya," kata anak itu pada Livia."Silakan, Sayang." Livia memberi kesempatan pada anak itu. Dan dia terlihat sangat mahir.Livia sangat menikmati alunan piano. Namun tiba-tiba ketika ia sedang menikmatinya, Livia tersentak, terdengar suara 'brak' yang sangat besar disusul oleh klakson kendaraan serta teriakan entah siapa.Napasnya memburu. Tubuhnya ikut terasa kaku. Perlahan kelopak matanya terbuka. Meskipun pandangannya masih buram tapi ia masih bisa melihat Rajendra yang terlihat tegang di dekatnya.Tahu
Rajendra terkekeh mendengar perkataan Livia yang membuat Livia heran."Kenapa ketawa?" tanyanya."Yang jelas Ryuga nggak lebih baik dari aku. Gantengan aku ke mana-mana.""Ih, narsis banget." Livia tertawa melihat Rajendra membanggakan dirinya.Mendengar suara tawa dari kamar, Gadis langsung menujukan langkahnya ke kamar itu."Papa, Bunda udah sadar ya?""Udah, Sayang. Barusan."Gadis menghampiri Livia lebih dekat lalu menggenggam tangannya. "Bunda jangan pingsan lagi ya. Adis takut." Tadi Gadis hampir menangis waktu Livia pingsan di toko.Livia tersenyum lemah. "Iya, Sayang. Sekarang Adis nggak usah cemas. Bunda baik-baik aja.""Kalau adek bayinya gimana, Nda?""Adek juga nggak apa-apa. Adis doain adek terus ya biar selalu sehat."Gadis mengangguk-angguk."Adis udah coba pianonya, Nak?" tanya Livia lagi."Belum, Nda, tadi waktu Bunda pingsan pianonya nggak jadi dibaw
Rumah besar Livia dan Rajendra kini terasa sunyi. Anak-anak sudah besar dan berkeluarga. Tapi di setiap akhir pekan rumah mereka selalu ramai oleh tawa canda cucu dan cicit mereka. Anak-anak selalu menawarkan Rajendra dan Livia untuk tinggal bersama mereka tapi keduanya menolak. Mereka lebih memilih untuk tinggal berdua saja dan menghabiskan masa tua bersama.Rajendra dan Livia saat ini sedang berada di kamar mereka. Rajendra sudah berumur 90 tahun sedangkan Livia 3 tahun di bawahnya. Keduanya berbaring di tempat tidur."Hujannya lama ya, Ndra, dari tadi nggak berhenti-henti," kata Livia sembari memandang ke luar jendela, pada titik-titik hujan yang terus berjatuhan."Iya, Sayang. Sekarang kan lagi musim hujan.""Dingin ..." Rajendra merengkuh Livia, memberi lengannya untuk istrinya itu berbaring sedangkan satu tangannya lagi memeluk tubuh Livia. Meski rambut mereka sudah sepenuhnya memutih dan wajah mereka sudah keriput tapi cinta mereka begitu kuat.Livia tersenyum. "Berada di peluk
Hari-hari setelah kehamilannya terasa berat bagi Gadis. Setiap hari ia mengalami morning sickness yang menyebabkan susah makan.Randu yang biasanya pagi-pagi berangkat ke kedutaan kini harus mengurus Gadis lebih dulu sebelum pergi ke kantornya."Makan dikit ya, Abang bikinin sup hangat atau maunya roti coklat aja?" kata Randu sambil mengelus pundak Gadis yang terduduk lemas di sofa.Gadis menggelengkan kepalanya. "Adis nggak mau apa-apa, Bang. Adis nggak selera makan apa pun.""Tapi setidaknya Adis harus makan sedikit biar ada isi perutnya. Ingat, Dis, anak kita juga butuh asupan."Gadis tersenyum melihat perhatian Randu dan kepanikannya di waktu yang sama. "Ya udah, Adis mau minum teh hangat aja sama roti coklat," putusnya walau kemudian kembali berakhir dengan muntah.Malam harinya saat video call dan mengetahui keadaan Gadis, Livia langsung mengambil keputusan."Ndra, aku harus berangkat.""Ke mana?" tanya Rajendra."Ke Turki. Aku harus nemenin Gadis. Dia butuh aku saat ini. Ini ke
Gadis dan Randu memulai kehidupan mereka sebagai suami istri begitu tiba di Ankara, ibukota Turki. Kota itu terasa begitu berbeda dengan suasana di Indonesia. Udara dingin menusuk di musim gugur. Arsitektur Eropa bercampur dengan sentuhan Ottoman serta hiruk pikuk kehidupan yang begitu asing bagi Gadis.Randu sebagai diplomat muda langsung disibukkan dengan pekerjaannya di kedutaan besar Indonesia. Seringkali ia harus menghadiri rapat dengan pejabat Turki, menerima delegasi dari Indonesia, atau menghadiri acara-acara diplomatik. Sementara itu gadis masih beradaptasi dengan kehidupan barunya. Awalnya ia merasa canggung tinggal di negeri orang. Namun Randu selalu berusaha membuatnya nyaman. Mereka tinggal di sebuah apartemen yang luas dengan pemandangan kota Ankara yang indah.Setiap pagi Randu berangkat ke kedutaan, sementara gadis mulai membangun rutinitasnya sendiri. Ia mengambil kursus bahasa Turki agar bisa lebih mudah berkomunikasi dengan orang-orang sekitar. Selain itu ia juga se
Hari keberangkatan Gadis dan Randu ke Turki semakin dekat. Di rumah keluarga Rajendra suasana haru kian terasa.Livia sibuk memastikan semua keperluan Gadis sudah siap. Ia berulang kali memeriksa koper putrinya hanya demi memastikan tidak ada barang penting yang tertinggal."Adis, kamu yakin semuanya udah lengkap? Paspor, obat-obatan, udah?" tanya Livia dengan suara bergetar.Gadis tersenyum tipis, ia mencoba menenangkan perasaan ibunya. "Udah, Bunda. Tenang aja, Adis udah cek berkali-kali, sama kayak Bunda."Namun, Livia tetap terlihat cemas. Tangannya gemetar saat merapikan baju-baju Gadis di koper."Nda, udah. Jangan kayak gini. Nanti Adis bakal sering nelepon dan video call sama Bunda kok," kata Gadis menenangkan sang bunda.Livia mengangguk tapi matanya mulai berkaca-kaca. Ia belum siap berpisah dengan Gadis, namun juga tidak mungkin menahan Gadis agar tetap bersamanya karena Gadis sudah menikah.Rajendra juga mencoba untuk tegar. Ia diam saja, memerhatikan semua persiapan denga
Akad nikah Gadis dan Randu sudah selesai dilaksanakan. Acara disambung dengan resepsi pernikahan.Acara tersebut tampak meriah. Para tamu yang datang terlihat puas. Baik oleh penyelenggaraan acaranya maupun dari hidangan yang disajikan. Wedding singer yang berada di atas panggung yang berada tidak jauh dari pelaminan tidak ada hentinya menyanyikan lagu romantis, membuat atmosfer penuh cinta semakin terasa."Liv, aku mau nyanyi boleh nggak?" kata Rajendra tiba-tiba."Hah?" Mata Livia melebar mendengarnya. "Emang kamu bisa nyanyi?""Bisa dong walau suara aku pas-pasan," kekeh Rajendra.Livia ikut tertawa. "Ya udah gih, nyanyi sana biar anak-anak tahu kalau papanya ada bakat terpendam.""Kamu mau ikutan nyanyi sama aku?""Aku ngeliat dari sini aja."Rajendra berjalan ke belakang panggung, berbicara dengan seseorang lalu naik ke atas panggung. Mikrofon yang tadinya ada di tangan wedding singer berpindah ke tangan Rajendra."Bang, itu Papa mau ngapain?" tanya Gadis yang duduk di pelaminan
Begitu mendapatkan restu dari Erwin, persiapan pernikahan Gadis dan Randu segera disiapkan.Livia yang paling sibuk. Ia memastikan bahwa semua berjalan lancar dan sempurna untuk anak perempuannya. Begitu pula dengan Rajendra. Ia lebih disibukkan dengan urusan administratif.Gadis menginginkan pernikahan yang sederhana tapi tetap elegan. Setelah berdiskusi panjang akhirnya mereka memutuskan menyewa gedung yang memiliki nuansa taman di dalamnya dengan lampu-lampu gantung. Sementara untuk dekorasinya sendiri dihiasi nuansa putih dan hijau yang menyimbolkan kesan alami dan damai.Untuk pakaian pengantin Randu mengenakan beskap putih klasik. Sedangkan Gadis memilih gaun putih gading dengan detail bordir yang lembut. Saat pertama kali mencobanya ia termenung di depan cermin, menyadari bahwa sebentar lagi hidupnya akan berubah.Mengenai undangan mereka mencetak undangan simpel dengan desain minimalis. Gadis dan Randu memutuskan hanya mengundang orang-orang terdekat. Meskipun begitu Rajendra
"Yang benar aja kamu, Ndra. Nggak mungkin Gadis nikah sama Randu!" Begitu kata Erwin di saat Rajendra mengatakan tentang rencana menikahkan kedua anaknya."Aku dan Livia juga kaget, Pi. Tapi mau bagaimana lagi? Mereka berdua saling mencintai," ujar Rajendra pada Erwin."Kayak nggak ada orang lain aja." Erwin terlihat tidak setuju atas rencana pernikahan keduanya."Ya mau gimana lagi, Pi. Namanya juga cinta."Erwin terdiam. Ia kehilangan kata untuk menjawab kata-kata Rajendra."Pi, kita restui saja mereka. Jangan dipersulit," pinta Rajendra." Aku nggak ingin melihat anakku menderita apalagi kalau mereka sampai kawin lari."Erwin menghela napasnya lalu bertanya, "Sejak kapan mereka pacaran?""Sudah cukup lama, Pi. Livia yang punya firasat itu tapi aku nggak percaya. Sampai akhirnya keduanya mengaku."Erwin terdiam lagi seolah sedang memikirkan perkataan Rajendra. "Kamu nggak lupa siapa orang tua Randu kan, Ndra? Jangan lupa dia anak Utary dan nggak tahu siapa bapaknya.""Aku udah lupakan
"Liv love, kamu ngeliat Gadis nggak?" tanya Rajendra setelah masuk ke ruangan Livia. Setelah semua yang terjadi Livia juga bekerja di kantor menjadi asisten pribadi Rajendra. Lagi pula anak-anak sudah besar."Paling pergi makan siang bareng Randu," jawab Livia sambil merapikan ikatan rambutnya."Makin hari mereka semakin dekat," komentar Rajendra."Iya. Aku pun ngeliatnya begitu." Livia menimpali. "Kamu ngerasa nggak sih, kalau hubungan mereka kayak udah nggak wajar?""Nggak wajar gimana?" Rajendra mengerutkan dahinya.Livia tampak ragu namun tak urung mengatakan. "Aku ngeliat mereka kayak orang lagi pacaran. Benar nggak?"Rajendra tertawa mendengarnya. "Kamu ada-ada aja, Sayang. Randu dan Gadis kan dari kecil sudah tumbuh bersama. Mereka itu kakak adik. Nggak mungkin mereka seperti yang kamu bilang."Livia terdiam. Yang dikatakan Rajendra ada benarnya. Tapi firasatnya berkata lain. Sebagai seorang ibu ia tahu persis ada yang berbeda dalam hubungan Randu dan Gadis. Cara Randu menatap
Waktu terus berlalu tanpa bisa dihentikan. Setiap detik yang terlewati bagaikan anak panah yang melesat dengan cepat.Anak-anak sekarang sudah dewasa. Randu sudah bekerja sebagai salah satu staff di Kemenlu. Sedangkan Gadis melanjutkan kerajaan bisnis Rajendra bersama dengan Livia. Hubungan Gadis dengan Randu sangat dekat. Bahkan tidak bisa lagi dibilang sebagai kakak adik biasa. Tumbuh bersama sejak kecil dan melewatkan berbagai hal berdua membuat mereka saling terikat satu sama lain. Meski tidak ada pernyataan cinta yang terucap namun keduanya menyadari bahwa mereka berdua saling mencintai. Hanya saja mereka tidak menunjukkannya secara terang-terangan. Rajendra dan Livia menganggap keduanya saling menyayangi sebagai kakak dan adik. Tidak sedikit pun terbersit di pikiran mereka bahwa keduanya akan melewati batas itu."Dis, Abang pengen ngomong. Bisa nggak kita ketemuan makan siang nanti?" Itu pesan yang diterima Gadis dari Randu ketika ia sedang sibuk-sibuknya bekerja di kantor."Ha