"Kamu yakin mau jemput Ara di Bogor, Dim?" tanya Ibu Salamah kepada putranya. Dimas mengangguk."Yakin Bu. Emangnya Dimas punya pilihan lain selain enggak nyusulin Ara? Kalau tuh anak enggak di jemput, yang ada enggak mau pulang. Kalau Ara enggak mau pulang, runyam semua urusan. Tanah, rumah, restoran, Dimas enggak rela kalau semua jadi milik Ara. Lagian kalau Dimas cerai sama Ara, siapa yang ngurus Dimas nanti? Siapa yang ngurus rumah? Siapa yang ngurus ibu? Biar istri Dimas kampungan kaya gitu, dia adanya gunanya Bu. Jadi, sebenernya nikah sama Ara juga enggak rugi-rugi amat. Meski ya begitulah. Ara bukan istri yang di inginkan sama Dimas. Dia bukan tipe Dimas" jawabnya.Bu Salamah mencibir putranya. Dimas ini awalnya saja menyanjung Ara, tapi pada akhirnya tetap tidak enak untuk di dengar. Namun, apa yang di katakan Dimas ada benarnya. Jika Dimas bercerai dengan menantunya, lalu siapa yang akan mengurus putranya? Dia juga tidak rela jika harta warisan milik mendiang ayah mertuany
"Ara" panggil seorang pria ketika melihat wajah wanita yang sudah lama tidak dia temui sedang duduk termenung di sebuah kursi di depan lobi rumah sakit. Ara yang sedang duduk di kursi ruang tunggu rumah sakit mendongakan wajahnya ketika merasa namanya di panggil oleh seseorang.Dia mengerjapkan mata terkejut ketika melihat wajah pria tampan dengan jas dokter putih berdiri tidak jauh darinya."Mas Handi" ujarnya secara tidak sadar langsung bangkit dari duduknya untuk melihat lebih jelas pria yang berdiri di depannya ini. Pria bernama Handi tersenyum tipis."Enggak nyangka ketemu di sini. Jadi bener perempuan yang aku liat dari jauh sedang melamun sendirian itu kamu. Ara, gimana kabar kamu? Apa yang sedang kamu lakuin di sini?" tanyanya. Ara sedikit menundukkan kepalanya, berdehem pelan dengan wajah tersipu malu karena ketahuan sedang melamun sendirian di kursi rumah sakit dan tidak sengaja terlihat oleh pria yang merupakan kenalan lamanya.Ara menelan ludah gugup, sebelum akhirnya men
Ara merasa dirinya harus berkonsultasi dengan dokter kandungan untuk mengetahui apa memang selama ini dirinya yang tidak subur atau mengalami masalah lain hingga tidak kunjung hamil selama menjalani pernikahan dengan suaminya Dimas. Dia tidak bermaksud hamil untuk saat ini. Pemeriksaan yang akan di lakukan nanti hanya untuk mengetahui status kesehatan dirinya, yang mungkin akan berguna untuknya di masa depan. Bagaimana-pun dia seorang perempuan yang ingin menimang bayinya sendiri suatu saat nanti, meski hamil anak bukan dari suaminya yang sekarang.Dia tidak tau apa di masa depan, dirinya sanggup menikah lagi atau tidak. Permasalahan rumah tangganya dengan suaminya kini cukup membuat trauma. Meskipun saat ini dia dan suaminya belum bercerai, namun untuk kembali membina rumah tangga dengan Dimas sudah tidak ada lagi dalam kamus hidupnya. Dia sudah menyerah dengan hubungan pernikahannya dengan Dimas. "Mbak Ara liatin handphone terus. Mbak Ara kangen Mas Dimas? Mau telepon suami Mbak
Ara kini kembali menjenguk ibunya di dalam ruang perawatan intensif. Dia menggenggam tangan ibunya dengan lembut, memperlakukan Hati-hati tangan tua yang terlihat rapuh itu."Bu, Ara jenguk ibu lagi. Ibu terus bilang sama Mas Reno dan Bima jika ibu ingin bertemu dengan Ara. Bu, Ara udah dateng. Dari kemarin malam Ara udah dateng dan jenguk ibu. Ara harap ibu cepet bangun kalau ibu emang bener mau liat Ara. Ara sayang ibu. Mas Reno dan Bima juga sayang ibu. Kami masih butuh ibu. Jadi tolong ibu bangun dan cepat sembuh supaya bisa nemenin kami semua. Ara udah pulang Bu. Ara udah pulang ke rumah ibu dan enggak akan pergi ninggalin ibu lagi. Ara mohon bangun, Bu. Ara minta maaf belum bisa berbakti dengan ibu selama ini. Jadi tolong beri Ara kesempatan untuk Ara nunjukin bakti Ara kepada ibu" lirih Ara terus menggenggam tangan ibunya dengan lembut. Ara menatap sendu wajah ibunya yang terlihat pucat, tidak memiliki tanda-tanda akan menunjukan kesadaran. Hatinya terasa pahit, merutuki diri
Bi Asih terus memperhatikan tingkah menantu keluarga majikannya sedari tadi. Segala keluhan dan ucapan tidak enak yang keluar dari mulut menantu keluarga majikannya ini, dia telan sejak tadi untuk dirinya sendiri ketika mendengar segala umpatan suami dari anak perempuan di keluarga majikannya ini. Bi Asih mengepalkan tangan di sisi baju daster lusuhnya. Jika saja dia tidak memandang kebaikan keluarga majikannya, sungguh meskipun dia orang desa dan wanita miskin, dia bukan orang yang penakut untuk bertengkar. Ingin sekali dia mencakar wajah Dimas yang sedari tadi terus mengoceh. Jika juga bukan karena ucapan majikannya Mas Reno untuk merahasiakan dimana Bu Widiya dan yang lainnya berada, dia ingin sekali membungkam menantu keluarga Abah Darma yang tidak tahu diri ini. Bagaimana bisa ada seorang menantu yang tidak tau jika ibu mertuanya sedang kritis dan istrinya sedang menemani ibu kandungnya. Bagaimana bisa juga ada seorang pria, suami dan menantu yang memiliki sifat menyebalkan da
Perdebatan di depan rumah kedua orang tua Ara masih di lakukan Dimas dan Bi Asih. Beberapa warga mulai berdatangan untuk terus menonton perdebatan yang semakin sengit dan terlihat seru. Beberapa dari mereka yang tergerak hatinya saat melihat wanita paruh baya seperti Bi Asih yang terus menerus di tindas oleh pria muda seperti Dimas mulai melangkah maju untuk membela Bi Asih. "Siapa kamu yang berani mecat Bi Asih?" tanya seorang pemuda yang terlihat berusia tidak jauh dari Bima. Dimas menoleh, menatap pemuda yang berdiri tidak jauh darinya dengan wajah galak."Kamu orang luar enggak perlu ikut campur! Saya sedang mendisiplinkan pembantu di rumah orang tua istri saya yang kurang ajar! Saya ini menantu di keluarga ini, jadi saya punya hak untuk mecat pembantu yang enggak tahu diri ini!" ujar Dimas membuat beberapa orang yang ada di sana menahan nafas ketika mendengar ucapan Dimas yang semakin menyakitkan Bi Asih dan begitu tidak enak di dengar oleh telinga mereka yang ada di sana. Ha
Bima menggenggam ponselnya erat setelah dia selesai bicara dengan temannya Bayu dan juga pak RT. Mungkin rencananya ini akan menimbulkan masalah baginya jika kakak sulungnya itu tau. Namun, dia sudah siap menghadapi kemarahan Mas Reno dan menerima konsekuensi apapun atas perbuatannya.Selama dia bisa memberi pelajaran kepada kakak iparnya yang menyebalkan yang sudah berani menyakiti kakak perempuannya dan Bi Asih, dia tidak takut apapun.Bima tersenyum miring."Rasakan Mas! Rasakan! Aku harap kamu bisa mendapatkan penderitaan yang sama atas apa yang kamu lakukan kepada kakak perempuanku! Beraninya kamu menyakiti Mbak kesayangan Bima" gumamnya dengan senyuman yang tidak luntur dari bibirnya, apalagi ketika membayangkan Dimas setidaknya bisa di bawa ke kantor polisi."Kamu kenapa Bim? Keliatannya seneng banget?" tanya Ara kepada Bima saat dia baru saja keluar dari ruang perawatan ibunya, namun dia malah tidak sengaja melihat Bima sedang senyum-senyum sendiri.Lamunan Bima yang sedang mem
Dimas terus memberontak saat dirinya digiring oleh pria yang mengaku sebagai pak RT dan pemuda desa lainnya untuk di amankan ke kantor polisi."Lepasin saya! Apa-apaan kalian, hah?! Apa hak kalian untuk nangkep saya?! Apa kesalahan saya?! Beraninya kalian semua nyentuh saya!" teriak Dimas menggeram marah, terus memberontak saat tubuhnya di seret.Para pemuda yang memegangi Dimas tidak bergeming sama sekali meski pria yang mereka tangkap terus berteriak dan mengoceh meminta untuk di lepaskan."Lepaskan saya! Lepaskan saya! Saya bisa menuntut balik kalian!" teriak Dimas sekali lagi.Pak RT dan pemuda lainnya masih tidak bergeming dan terus membawa Dimas untuk di amankan. Sedangkan para warga yang lain menatap Dimas dengan wajah kepuasan dan tidak sedikit ada yang iba, meski hanya beberapa orang."Rasain! Itu akibatnya bersikap sombong di kampung orang! Ngakunya orang kota, tapi mulutnya kampungan ngata-ngatain orang desa kita!" geram seorang wanita paruh baya gemuk menatap Dimas yang se
Pak Doni tertegun ditempatnya, hampir kehilangan kata-kata saat mendengar ucapan Ara. Dia ingat, selama ini dia jarang membela membantunya yang ditindas oleh istri dan anaknya. Ada-pun saat dia pernah membela Ara, sepertinya masih bisa di hitung jari. Sudah dia bilang sebelumnya jika dia bukan tidak ingin membela Ara, dia hanya malas bertengkar dengan istrinya yang cerewet jika sedang membela menantunya ini. Istrinya memang takut padanya. Tapi, bukan takut yang sampai tidak bisa melawan. Istrinya ini wanita yang keras kepala. Bahkan sifat Dimas tidak berbeda jauh dengan istrinya, hingga dia tidak terlalu menyukai Dimas, dan lebih menyukai dan menyayangi Shinta sebagai putrinya. Meskipun dia tidak terlalu menyukai Dimas karena hal lain. "Ara, Papa enggak bermaksud mengabaikan kamu selama ini. Papa..." ucapan pak Doni terbata-bata saat menjawab menantunya. Belum selesai dia berbicara dan membela diri, Reno sudah menyela ucapannya. Reno memegang tangan adiknya, menatap keluarga Dimas
Leher Dimas menciut tidak berani berbicara apapun lagi di depan Reno setelah melihat wajah dingin kakak iparnya yang membuatnya menggigil tanpa sadar. Meskipun dia enggan mengakui, namun aura yang dikeluarkan saat ini benar-benar menyeramkan hingga dia tidak bernyali. "A-aku.., aku..." Dimas meneguk ludah kasar berujar dengan terbata-bata. Saat ini, dia seakan kehilangan suaranya, padahal sebelumnya dia berbicara dengan sangat lantang. Wajah Reno semakin merah padam akibat marah, sedangkan wajah pak Doni merah padam karena menanggung malu. Saat ini Dimas layaknya sebuah kerupuk yang tersiram air dihadapan Reno. Ara segera memegang lengan kakaknya ketika melihat situasi semakin menegangkan. Dia memang sebal dan marah dengan suaminya, namun bukan berarti dia ingin Dimas dipukuli oleh kakaknya. Biar kakaknya hanya seorang pemuda dari desa, namun kakaknya ini mendapatkan pendidikan tidak kalah dari orang-orang di kota, hingga Reno memiliki ilmu bela diri yang mumpuni. Kakaknya
PlakTangan Dimas melayang namun bukan menampar wajah Ara, melainkan ke arah lain, karena dokter Handi lebih dulu bergerak cepat untuk menepis tangan Dimas sehingga tidak sempat menyentuh kulit Ara. "Dimas!" semua orang yang ada di dalam ruangan dokter Handi terkejut ketika mereka melihat apa yang baru saja dilakukan oleh Dimas. "Dimas! Berani kamu main tangan sama adik saya!" bentak Reno yang baru saja memasuki ruangan dokter Handi dengan wajah merah padam menatap adik iparnya tajam sekaligus tidak percaya.Dia baru saja dikabari oleh Handi tentang keadaan adiknya yang sedang dihadapkan dengan Dimas dan keluarga besannya ini hingga dia harus berjalan cepat untuk datang ke tempat ini dan meninggalkan ibunya yang kini di jaga oleh Bima seorang diri. Dia pikir Dimas dan keluarganya kemari untuk menemui Ara atau mungkin ingin menjenguk ibunya mengingat mereka sudah mengetahui keberadaan keluarganya di rumah sakit ini. Namun, tidak di sangka, alih-alih Dimas datang untuk melihat keadaa
Dimas tertegun ditempatnya saat mendengar ucapan Ara yang mengatakan membencinya. Shinta mencibir kelakuan kakaknya. Padahal Dimas sudah diwanti-wanti oleh mereka sepanjang perjalanan menuju kemari agar tidak membuat masalah. Hanya karena beberapa ucapan Ara yang masih marah dengan kakaknya ini, Dimas sudah kehilangan kendali."Mas, aku enggak mau ya sampai enggak bisa kuliah cuma gara-gara Mas yang buat ulah dan bikin rencana kita untuk membujuk Mbak Ara gagal. Kalau itu terjadi, lihat aja! Shinta bakal bilang sama Papa untuk marahin Mas kalau perlu usir Mas Dimas! Shinta enggak mau liat orang yang udah buat Shinta enggak bisa kuliah gara-gara keluarga kita bangkrut!" kesal Shinta di telinga Dimas hingga membuat wajah Dimas terlihat semakin jelek dan memerah karena kesal. Pak Doni menatap Dimas kesal, namun memilih untuk tidak mengatakan apa-apa. Dia sudah lelah memarahi Dimas namun anaknya ini tetap masih bebal dan terus mengulangi kesalahan yang sama. Dia menatap istrinya yang
"Aku enggak hamil!" ujar Ara membantah ucapan Shinta. Dia tidak ingin kehadirannya disalahpahami oleh suami dan keluarga mertuanya. Dia tidak ingin hal seperti ini nantinya dijadikan alasan untuk mencegahnya berpisah dari suaminya. Dia sudah tidak sanggup hidup bersama dengan Dimas. Sekarang keluarganya sudah mendukungnya untuk berpisah, jadi dia merasa tidak ada yang perlu dipertahankan lagi. Dia ingin hidup bahagia dengan keluarganya sendiri, atau suami masa depannya yang benar-benar mencintainya.Mata Shinta menyipit."Kalau enggak hamil, kenapa mbak Ara ada di sini? Ini poli kandungan bukan? Aku tau mbak masih marah sama Mas Dimas, tapi untuk hal sebesar ini, jangan di tutup-tutupi. Kasihan anak mbak dan Mas Dimas nanti kalau punya orang tua yang enggak akur, apalagi sampai pisah nantinya. Mas Dimas dan kita semua udah datang ke sini jauh-jauh untuk jemput Mbak dan jenguk ibu Widya" ujarnya. Bu Salamah yang melihat ada celah Ara bisa kembali kepada putranya segera menimpali ucapan
Ara duduk dengan wajah tegang di ruang praktik dokter Handi, menunggu hasil pemeriksaan kesuburan dirinya. Dokter Handi menghela napas dalam, sebelum membuka berkas hasil pemeriksaan. Dia menatap Ara rumit, sebelum akhirnya tersenyum tipis menyampaikan hasil pemeriksaan yang ada ditangannya kepada Ara, yang hari ini menjadi salah satu pasiennya."Ara, kamu lihat jika hasil pemeriksaan mu sudah keluar dan hasilnya ada ditangan saya. Biarkan Mas memberitahu hasil pemeriksaan mu. Ara, hasil test ini menunjukkan bahwa tidak ada masalah dengan kesuburan dirimu" ujarnya yang membuat Ara bernafas lega seakan beban berat yang selama ini ditanggungnya seakan langsung menghilang dalam sekejap.Ara menggigit bibirnya, menahan emosi. Ada riak kesenangan saat tau dia tidak memiliki masalah apapun dengan kandungannya. Dia bahkan ingin melompat andai saja tidak memiliki rasa malu. Itu berarti di masa depan, dia masih memiliki kesempatan untuk mempunyai seorang bayi miliknya sendiri. Ara menatap d
"Dimas, Dimas! Apa kamu beneran enggak tahu kalau ibu mertua kamu kritis? Mah! Kamu juga enggak tahu kalau besan kamu sakit parah? Kalian berdua ini, selama ini ngapain aja di rumah tinggal sama Ara, hah?! Kalau Papa atau Shinta yang enggak tahu, ya wajar kalau kami enggak tahu. Papa sibuk kerja. Shinta sibuk kuliah. Sedangkan kalian? Dimas, kamu setiap hari tidur sama istri kamu, masa iya Ara enggak ngomong ibunya sakit! Kamu pasti sibuk kelonan sama istri muda kamu itu! Dasar! Mah, kamu tiap hari ketemu Ara. Meskipun Ara enggak tinggal serumah sama kita, tapi Ara hampir setiap hari datang ke rumah untuk beberes rumah dan bantuin kamu masak. Ya, Allah. Malu, Papa malu! Tetangga Ara lebih tau kondisi ibu Widya dibanding kita besannya, terutama kamu Dimas! Pantas aja Ara kabur dari rumah! Kamu sebagai suami gimana sih?! Udahlah pantes waktu kamu dipenjara, istri kamu enggak mau nengok dan peduli. Kamu aja enggak peduli sama Ara! Bikin malu aja! Kalau kaya gini, Papa jadi engg
Pak Doni menatap Dimas dengan tajam. Dia menyuruh anaknya ini untuk menjemput Ara dan meminta maaf serta menyelesaikan permasalahan rumah tangga yang ada. Namun, bukan kabar baik yang didapatkannya setelah Dimas menyusul menantunya, dimana anak dan menantunya sudah berbaikan, melainkan kabar buruk dimana Dimas malah masuk penjara, karena mengganggu ketertiban desa, kampung halaman menantunya. "Ya, Allah, Dimas. Kamu sampai kapan sih buat ulah terus? Masalah yang satu belum kelar, malah nambah masalah lagi. Kamu emang suka ya lihat Papa mati cepet karena serangan jantung gara-gara tingkah kamu ini? Aranya mana? Papa nyuruh kamu untuk pergi nyusul dan bujuk istri kamu di rumah orang tuanya.Bukannya nyuruh kamu ribut sama orang sekampung di desa istri kamu. Astagfirullahal'adzim Dimas! Kamu bener-bener..." ujar Pak Doni tidak bisa berkata-kata kepada Dimas. Dia hanya bisa memelototi putranya dengan menampakkan kekesalan tertahan.Pak Doni mendengus kasar. Jika saja dia tidak melihat w
"Sudah selesai Mas urusannya?" tanya Ara sambil mencium tangan Reno yang baru saja kembali ke rumah sakit setelah malam tiba.Reno tersenyum dan mengangguk."Maaf Mas lama datengnya. Niatnya Mas cuma mau pergi sebentar, eh taunya malah kebablasan. Ternyata banyak kerjaan yang harus Mas urus.Terus gimana kondisi ibu? Apa ibu baik-baik aja? Apa ada perkembangan? Kamu sama Bima udah makan?"Ara mengangguk."Ara sama Bima udah makan. Mas bagaimana? Jangan karena sibuk mengurus kami, ibu dan yang lainnya, Mas malah melupakan menjaga diri sendiri. Alhamdulillah ibu baik-baik aja. Soal perkembangan ibu, belum ada perbaikan Mas. Kondisi ibu masih sama" jawabnya menghela nafas sedih di akhir kalimat.Reno mengelus lembut kepala adiknya."Kita berdoa dan bersabar aja. Semoga ibu baik-baik aja dan segera sembuh. Kamu jangan stress atau sedih. Mas, Bima, kamu, kita jaga ibu sama-sama" ujarnya.Ara mengangguk lemah."Iya Mas. Kita jaga ibu sama-sama" jawabnya. Dia terdiam sesaat, sebelum akhirnya mem