Ara kini kembali menjenguk ibunya di dalam ruang perawatan intensif. Dia menggenggam tangan ibunya dengan lembut, memperlakukan Hati-hati tangan tua yang terlihat rapuh itu."Bu, Ara jenguk ibu lagi. Ibu terus bilang sama Mas Reno dan Bima jika ibu ingin bertemu dengan Ara. Bu, Ara udah dateng. Dari kemarin malam Ara udah dateng dan jenguk ibu. Ara harap ibu cepet bangun kalau ibu emang bener mau liat Ara. Ara sayang ibu. Mas Reno dan Bima juga sayang ibu. Kami masih butuh ibu. Jadi tolong ibu bangun dan cepat sembuh supaya bisa nemenin kami semua. Ara udah pulang Bu. Ara udah pulang ke rumah ibu dan enggak akan pergi ninggalin ibu lagi. Ara mohon bangun, Bu. Ara minta maaf belum bisa berbakti dengan ibu selama ini. Jadi tolong beri Ara kesempatan untuk Ara nunjukin bakti Ara kepada ibu" lirih Ara terus menggenggam tangan ibunya dengan lembut. Ara menatap sendu wajah ibunya yang terlihat pucat, tidak memiliki tanda-tanda akan menunjukan kesadaran. Hatinya terasa pahit, merutuki diri
Bi Asih terus memperhatikan tingkah menantu keluarga majikannya sedari tadi. Segala keluhan dan ucapan tidak enak yang keluar dari mulut menantu keluarga majikannya ini, dia telan sejak tadi untuk dirinya sendiri ketika mendengar segala umpatan suami dari anak perempuan di keluarga majikannya ini. Bi Asih mengepalkan tangan di sisi baju daster lusuhnya. Jika saja dia tidak memandang kebaikan keluarga majikannya, sungguh meskipun dia orang desa dan wanita miskin, dia bukan orang yang penakut untuk bertengkar. Ingin sekali dia mencakar wajah Dimas yang sedari tadi terus mengoceh. Jika juga bukan karena ucapan majikannya Mas Reno untuk merahasiakan dimana Bu Widiya dan yang lainnya berada, dia ingin sekali membungkam menantu keluarga Abah Darma yang tidak tahu diri ini. Bagaimana bisa ada seorang menantu yang tidak tau jika ibu mertuanya sedang kritis dan istrinya sedang menemani ibu kandungnya. Bagaimana bisa juga ada seorang pria, suami dan menantu yang memiliki sifat menyebalkan da
Perdebatan di depan rumah kedua orang tua Ara masih di lakukan Dimas dan Bi Asih. Beberapa warga mulai berdatangan untuk terus menonton perdebatan yang semakin sengit dan terlihat seru. Beberapa dari mereka yang tergerak hatinya saat melihat wanita paruh baya seperti Bi Asih yang terus menerus di tindas oleh pria muda seperti Dimas mulai melangkah maju untuk membela Bi Asih. "Siapa kamu yang berani mecat Bi Asih?" tanya seorang pemuda yang terlihat berusia tidak jauh dari Bima. Dimas menoleh, menatap pemuda yang berdiri tidak jauh darinya dengan wajah galak."Kamu orang luar enggak perlu ikut campur! Saya sedang mendisiplinkan pembantu di rumah orang tua istri saya yang kurang ajar! Saya ini menantu di keluarga ini, jadi saya punya hak untuk mecat pembantu yang enggak tahu diri ini!" ujar Dimas membuat beberapa orang yang ada di sana menahan nafas ketika mendengar ucapan Dimas yang semakin menyakitkan Bi Asih dan begitu tidak enak di dengar oleh telinga mereka yang ada di sana. Ha
Bima menggenggam ponselnya erat setelah dia selesai bicara dengan temannya Bayu dan juga pak RT. Mungkin rencananya ini akan menimbulkan masalah baginya jika kakak sulungnya itu tau. Namun, dia sudah siap menghadapi kemarahan Mas Reno dan menerima konsekuensi apapun atas perbuatannya.Selama dia bisa memberi pelajaran kepada kakak iparnya yang menyebalkan yang sudah berani menyakiti kakak perempuannya dan Bi Asih, dia tidak takut apapun.Bima tersenyum miring."Rasakan Mas! Rasakan! Aku harap kamu bisa mendapatkan penderitaan yang sama atas apa yang kamu lakukan kepada kakak perempuanku! Beraninya kamu menyakiti Mbak kesayangan Bima" gumamnya dengan senyuman yang tidak luntur dari bibirnya, apalagi ketika membayangkan Dimas setidaknya bisa di bawa ke kantor polisi."Kamu kenapa Bim? Keliatannya seneng banget?" tanya Ara kepada Bima saat dia baru saja keluar dari ruang perawatan ibunya, namun dia malah tidak sengaja melihat Bima sedang senyum-senyum sendiri.Lamunan Bima yang sedang mem
Dimas terus memberontak saat dirinya digiring oleh pria yang mengaku sebagai pak RT dan pemuda desa lainnya untuk di amankan ke kantor polisi."Lepasin saya! Apa-apaan kalian, hah?! Apa hak kalian untuk nangkep saya?! Apa kesalahan saya?! Beraninya kalian semua nyentuh saya!" teriak Dimas menggeram marah, terus memberontak saat tubuhnya di seret.Para pemuda yang memegangi Dimas tidak bergeming sama sekali meski pria yang mereka tangkap terus berteriak dan mengoceh meminta untuk di lepaskan."Lepaskan saya! Lepaskan saya! Saya bisa menuntut balik kalian!" teriak Dimas sekali lagi.Pak RT dan pemuda lainnya masih tidak bergeming dan terus membawa Dimas untuk di amankan. Sedangkan para warga yang lain menatap Dimas dengan wajah kepuasan dan tidak sedikit ada yang iba, meski hanya beberapa orang."Rasain! Itu akibatnya bersikap sombong di kampung orang! Ngakunya orang kota, tapi mulutnya kampungan ngata-ngatain orang desa kita!" geram seorang wanita paruh baya gemuk menatap Dimas yang se
Dimas saat ini benar-benar di bawa ke kantor polisi oleh pak RT dan para pemuda desa. Sedangkan para warga yang sempat berkerumun di depan rumah almarhum keluarga Abah Darma segera membubarkan diri ketika pria yang sempat mengacau tidak ada lagi. Bi Asih kembali ke dalam rumah majikannya setelah ditenangkan oleh beberapa ibu-ibu yang merupakan tetangganya dan tetangga keluarga majikannya.Suara deru mesin mobil berjalan mendekat memasuki halaman rumah kedua orang tua Ara. Mobil yang dikendarai Reno akhirnya tiba di halaman rumahnya.Kondisi yang sepi dan begitu tenang seperti biasanya membuat Reno tidak curiga telah terjadi sesuatu yang besar sebelumnya di depan rumahnya sendiri. Reno turun dari mobilnya, berjalan masuk ke dalam rumah setelah menutup pintu mobil. Dia sempat mengeryitkan dahi, ketika melihat mobil adik iparnya terparkir dihalaman rumahnya, namun Dimas tidak terlihat dimanapun."Apa Dimas ada di dalam rumah?" batin Reno dalam hati. Dia ingat telah meminta Bi Asih
"Kakak harap kamu kasih penjelasan tentang apa yang udah kamu lakuin sampe kakak iparmu di arak sama warga dan sekarang ada di kantor polisi" ujar Reno kepada Bima melalui sambungan telepon. Bima berkeringat dingin ketika mendengar suara kakak sulungnya. Dia yakin apa yang sebelumnya terjadi, sudah sampai ke telinga Mas Reno. "Bima akan tanggung jawab, Mas. Bima akan tanggung kemarahan, Mas Reno. Mas boleh marah sama Bima, karena Bima tau Bima salah. Tapi kalau Mas minta Bima untuk minta maaf sama Mas Dimas, Bima enggak mau. Bima akan tanggung konsekuensinya, dan Bima enggak menyesal karena udah ngasih pelajaran sama Mas Dimas. Mas Dimas udah nyakitin Mbak Ara. Mas Dimas juga udah nyakitin Bi Asih. Selain Ibu, dan Mba Ara, Mas tau kalau Bima menghargai Bi Asih yang udah ikut ngerawat Bima dari kecil. Bima enggak rela kalau perempuan yang Bima sayang di injak-injak harga dirinya sama laki-laki modelan Mas Dimas. Lagian kalau bukan karena menghargai Mbak Ara selama ini, Bima e
"Bagaimana? Pak RT sudah menghubungi kakak ipar saya? Apa katanya? Dia mau dateng ke sini bukan? Udah saya bilang kalau saya ini enggak salah. Jadi tolong lepasin saya secepatnya! Saya enggak betah ada di sini. Setelah ini, saya akan menuntut pak RT dan semua pemuda yang udah ngarak saya, dan juga warga desa yang udah nuduh saya yang enggak-enggak!" ujar Dimas saat melihat kedatangan pak RT yang kembali menemuinya di salah satu ruangan yang disediakan oleh pihak kepolisian setelah dia melakukan pemeriksaan.Pak RT mengabaikan ucapan Dimas, lalu menatap ke arah petugas polisi yang berjaga."Pak polisi, Mas Reno, pihak yang ikut bersangkutan belum bisa datang ke sini. Pihak yang bersangkutan sedang sibuk dan harus menemani ibunya yang sedang kritis di rumah sakit.Jadi sebaiknya bagaimana ya? Mas Dimas sudah meresahkan warga, jadi saya enggak berani dan enggak mungkin menyetujui Mas Dimas untuk dibebaskan begitu saja, apalagi tanpa jaminan dari keluarga terdekat. Selama tidak ada jamin
"Gila! Benar-benar gila! Beraninya Ara ngelawan kamu dan ibu. Mana dia enggak segan menjelekkan kita pas sidang tadi. Masa berbakti sama suami dan mertua dibilang penyiksaan batin!" "Cih, kalau aja bukan karena ancaman Papa. Mama mana sudi punya menantu kaya si Ara lagi!" kesal Bu Salamah misuh-misuh setelah kembali pulang dari pengadilan dimana sidang perceraian Dimas dan Ara sebelumnya berlangsung. Dimas melemparkan tubuhnya ke atas kursi dengan wajah geram dan merah padam. Dia menggertakkan gigi kesal."Ara setelah pulang kerumah orang tuanya dan kedua orang tuanya sudah meninggal jadi berani membangkang aku. Mungkin sekarang Ara merasa lebih bebas karena tidak ada yang mengekang lagi" "Ini semua pasti hasutan Reno dan Bima yang memang dari dulu enggak suka aku. Aku yakin mereka yang kompor sama Ara supaya istriku itu tidak lagi menghargai aku. Sial!" kesal Dimas. Bu Salamah mengangguk ketika mendengar ucapan putranya yang mungkin benar. Setelah Ara pergi dari rumah dan kemb
1 bulan telah berlalu. Selama kurun waktu itu, Ara tetap tinggal di rumah peninggalan kedua orang tuanya bersama dengan kedua saudaranya. Masa berkabung telah usai, meskipun kesedihan atas kehilangan seorang ibu masih melanda ketiga saudara itu. Namun, hidup harus terus berjalan. Mereka tidak punya pilihan selain mengikhlaskan kepergian ibu mereka. Reno terus sibuk dengan pekerjaannya, begitu juga dengan urusan perceraian adiknya. Setelah kejadian pertengkaran antara keluarganya dan Dimas terakhir kali hingga berujung pelaporan ke pihak polisi, Dimas tidak lagi datang atau menghubungi Ara untuk mengganggu kehidupan adiknya. "Bagaimana? Kamu sudah siap?" ujar Reno sambil merapikan kemejanya. Ara mengangguk dan berjalan menghampiri kakak sulungnya."Ara siap Mas" jawabnya dengan suara sedikit gugup. Hari ini adalah sidang perceraian pertamanya dengan Dimas. Kakak sulungnya ternyata sudah benar-benar marah dengan kejadian terakhir kali hingga melakukan segala cara, meskipun harus mem
"Astaghfirullah! Astaghfirullahal'adzim! Handi, apa kamu dengar ucapan suami Ara tadi? Itu beneran suami Ara? Modelan kaya begitu? Ganteng sih, tapi lebih ganteng anak ibu""Ibu heran kenapa almarhum Abah Darma bisa menjodohkan anak perempuannya sama modelan laki-laki begitu. Ara itu dulu kembang desa. Bisa-bisanya nikah sama laki-laki yang tingkahnya modelan pulu-pulu begitu! Hiw!" komentar Bu Dewi dengan nada jijik. Sejak tadi dia melihat pertengkaran Ara, Bima dengan suami dan mertua Ara itu. Namun karena bukan bagian dari keluarga dan niatnya ke rumah Ara hanya untuk membantu saja, maka dia tidak berani bertindak lebih jauh kecuali hanya memperhatikan dan membantu ketika jika memang di minta.Sedangkan Handi memang sedari tadi sedang pergi bersama dengan Reno karena suatu urusan. Hingga pada saat mereka kembali ke rumah kedua orang tua Ara, mereka malah disuguhkan pertengkaran hebat antara Bima dan Dimas yang sulit dipisahkan.Bu Dewi menghela nafas berat."Ujian rumah tangga oran
Reno menatap tajam adik kandung dan adik iparnya yang baru saja bertingkah memalukan di depan rumahnya yang masih berkabung ini. "Bagus! Bagus ya Bima! Kakak baru pergi sebentar tapi kamu di sini malah ribut! Apa kamu enggak kasihan sama kakak perempuan kamu?!" kesal Reno.Bima mendongak untuk menatap kakak sulungnya sambil memegang pipinya yang bengkak setelah habis dihajar oleh kakaknya ini begitu keras. Dia menoleh menatap Dimas tanpa gentar."Justru karena aku kasihan sama mbak Ara, aku kasih pelajaran sama orang itu! Dia kesini sama ibunya pasti cuma mau bikin repot dan sedih mbak Ara! Sebagai adik dan laki-laki, Bima enggak terima siapapun yang datang cuma untuk nyakitin mbak Ara!""Bima enggak nyesel menghajar mas Dimas. Lagian dia dulu yang memukul Bima! Bima cuma melakukan pembelaan diri! Kalau mas enggak percaya, mas bisa tanya sama mbak Ara dan saksi yang lainnya. Mas Dimas yang lebih dulu memukul Bima!" jawabnya sambil menatap sengit Dimas. Reno mengusap wajah kasar lalu
Ara dan Dimas saling terdiam saat mereka bertemu dan berhadapan, begitu pula Bu Salamah yang tidak tahu harus berkata apa kepada sang menantu.Terjadi keheningan cukup lama sampai suara Bima menyentak lamunan mereka dengan suara kerasnya."Untuk apa Mas Dimas ada di sini?!" seru Bima dengan nada keras. Baik nada dan raut wajahnya terang-terangan menunjukan ketidaksukaan atas kedatangan kakak iparnya. Bima menatap tajam Dimas, bahkan bergerak maju ingin menghajar pria yang sudah menyakiti kakak perempuannya itu. Jika Mas Reno masih bisa menahan emosinya dan terlihat kalem, namun Bima yang mempunyai darah muda yang menggebu-gebu tidak bisa menahan emosinya dan ingin segera melampiaskan amarahnya yang sudah dia tahan sejak dulu kepada sang kakak ipar. Ara tersentak dari lamunan. Dia segera memegang lengan Bima agar tidak menimbulkan kekacauan. Masih banyak tamu di rumah. Jika terjadi keributan, dia takut menjadi bahan gunjingan. Lagipula mereka masih berkabung. Rasanya tidak pantas ri
Ara menatap ayah mertuanya dengan rasa canggung, begitu pula dengan Shinta. Dia terkejut saat ayah mertua dan adik iparnya tiba-tiba datang menemuinya, sementara suami dan ibu mertuanya tidak ada di tempat. Kehadiran keluarga mertuanya ini membuatnya bingung, terlebih karena dia yakin tidak ada yang memberitahu mereka tentang kematian ibunya. Dia memang sengaja tidak mengungkapkan apa pun, mengikuti larangan keluarganya, terutama dari kakak sulungnya untuk tidak menghubungi Dimas, mengingat pengalamannya yang buruk sebelumnya. Saat abahnya meninggal, Dimas tidak hanya tidak memberikan bantuan, tapi juga mempersulit keadaan bagi Ara sebagai istri dan anak. Dimas selalu ingin pulang, padahal kuburan almarhum abahnya belum kering dan ibunya masih berduka. Dia dan keluarganya khawatir jika Dimas diberitahu, sejarah buruk itu akan terulang, padahal saat ini hatinya sedang terluka parah. Ara menghela nafas panjang saat mengingat suaminya. Dia bingung bagaimana harus berea
Setelah menempuh perjalanan jauh selama beberapa jam, mobil yang ditumpangi Pak Doni dan Shinta akhirnya sampai dikampung halaman Ara.Pak Doni dan Shinta berdiam diri sejenak di dalam mobil, alih-alih langsung keluar untuk menemui Ara dan keluarganya meski mereka melihat bahwa Bima sedang duduk di teras bersama beberapa pria sebayanya yang mereka tebak sebagai teman bermain sekaligus pemuda di kampung ini. Shinta memanggil Papanya dengan suara pelan."Pah" ujarnya.Pak Doni menatap putrinya. Melihat tatapan Shinta, dia seakan mengerti sesuatu."Kamu mikir yang sama seperti Papa?" tanyanya ketika melihat keraguan dimata Shinta. Shinta mengangguk kaku."Aku.., Pah sebenarnya Shinta cukup malu untuk bertemu mbak Ara dan keluarganya. Kejadian yang terakhir kali dan masalah kabar meninggalnya ibu mbak Ara saja kita tidak diberitahu, dan begitu tahu sudah sangat terlambat. Itu berarti kita sebenarnya udah tidak dianggap bukan? Kalau kita masuk, apa kita bakal di usir Pah? Shinta udah cukup
Dimas menendang angin dan terus menggerutu kesal saat melihat ternyata dia benar-benar diusir. Dia melihat jika mobil yang ditumpangi Papa dan adiknya kini berjalan pergi meninggalkannya dan Mamanya di pinggir jalan hanya berdua. "Dasar! Emang dari dulu Papa enggak pernah anggap aku serius!" kesal Dimas dengan mata memerah marah. "Dimas! Tunggu!" teriak Bu Salamah berjalan cepat menghampiri putranya. Dia menarik lengan Dimas agar menatap ke arahnya. Baru saja Dimas menoleh menatap Mamanya, kepalanya langsung tertoleh kesamping saat merasakan tamparan pedas menyapu wajahnya. Plak!Bu Salamah menatap tangannya yang bergetar karena baru saja menampar putra kesayangannya.Dimas menatap Mamanya dengan wajah merah padam."Apa yang Mama lakuin sama aku?! Kenapa Mama tiba-tiba tampar aku? Aku salah apa, hah?!" teriaknya tidak terima sambil memegangi pipinya.Bu Salamah menatap putranya dengan tatapan bersalah. Dengan bibir bergetar mencoba memberi penjelasan kepada Dimas, namun tidak ada s
Pak Doni membawa mobilnya melaju kencang saat mendengar pertengkaran keluarganya yang menyulut emosinya, terutama saat mendengar ucapan Dimas. Dimas adalah anak laki-laki yang dia besarkan penuh setulus hati meskipun bukan darah dagingnya sendiri. Dia tidak menyangka setelah kenyataan status Dimas terungkap, putranya berbicara seolah dia tidak pernah berarti di mata Dimas begitu pula dengan keluarganya yang tidak dianggap oleh putranya ini. Pak Doni menggeram kesal sekaligus tertawa di dalam hati mencemooh dirinya sendiri. Dia baru menyadari jika seorang anak dari pria lain, mana mungkin bisa menjadi putranya meski dia sudah melakukan hal sebaik apapun untuk menjaga dan membesarkan Dimas selama ini. Pak Doni termenung dengan pikirannya sendiri yang berkecamuk hingga tidak sadar dia hampir menabrak kendaraan yang ada di depannya. Tiiiiiin Pak Doni tersentak dengan suara klakson mobil lain yang terdengar nyaring lalu dengan sigap menginjak rem hingga menimbulkan bunyi deci