Pak Doni dan shinta keluar dari ruangan dokter Handi setelah berpamitan, tanpa perlu menunggu Dimas dan Bu Salamah bereaksi ditempatnya.Dimas menggeram kesal melihat Papanya bahkan tidak terlihat peduli sama sekali kepadanya padahal dia sedang sangat kesakitan. Jangankan bertanya, menoleh saja tidak."Mah, Papa itu, Papa aku bukan sih?! Anaknya kesakitan, bukannya ditolong, malah main pergi begitu aja!" kesal Dimas sambil bangkit dari duduknya. Bu Salamah meneguk ludah kasar, mendelik menatap Dimas tajam"Ngomong apa sih kamu?! Udah ah, cepetan bangun sebelum Papa kamu makin jauh dan beneran ninggalin kita!" ujarnya lalu meninggalkan Dimas dan mengejar suaminya.Dimas melotot tidak percaya. Tadi dia ditinggalkan oleh ipar dan istrinya. Lalu ditinggal oleh Papa dan adiknya. Sekarang Mamanya malah ikut meninggalkannya. Dia menggeram kesal dalam hati. Dengan berjalan tertatih mencoba menyusul Mamanya."Mah, tungguin Dimas!" teriaknya yang langsung menghentikan langkah Bu Salamah. Bu Sa
"Dimas enggak nyangka kalau Papa sama Shinta bakalan tega beneran tinggalin kita berdua di sini. Terus abis ini nasib rumah tanggaku sama Ara gimana Ma?" tanya Dimas kepada Bu Salamah.Kini dia dan ibunya sudah sampai dikediaman Ara yang ada dikampung, tempat mobilnya masih terparkir di sana. Tadi dia meninggalkan mobilnya di sini dan pergi ke rumah sakit bersama dengan keluarganya. Namun tidak disangka jika dia harus kembali menggunakan angkutan umum untuk mengambil mobilnya ini karena Papanya dan Shinta main meninggalkannya saja berdua bersama dengan ibunya. Bu Salamah memegang kepalanya yang terasa pening. Dia berdecak sebal karena putranya sedari tadi tidak berhenti mengomel dan membuat telinganya berdengung. "Yaudah, mau gimana lagi? Toh Papa dan Shinta kayanya udah pulang. Soal urusan rumah tangga kamu sama Ara, ya itu urusan kamu. Kamu itu kan suami Ara, dan Ara sendiri istri kamu. Masa yang kaya gini aja masih harus jadi urusan Mama dan Papa. Udah ah! Mamah pusing dengerin
"Ren, aku harap kamu enggak tersinggung. Tapi aku mau tanya, apa kamu sudah menghubungi pihak keluarga suami Ara untuk mengabarkan kematian ibumu? Ara dan suaminya masih belum resmi bercerai, jadi bagaimana-pun pria bernama Dimas itu masih menjadi menantu di keluargamu. Apa kamu tidak ingin memberitahunya tentang kabar duka ini? Aku tau ini bukan urusanku. Aku juga enggak berhak ikut campur. Hanya saja...Ren, jangan sampai kamu enggak mengabari mereka, atau kamu dan keluargamu yang nantinya terkena masalah. Mengingat tabiat suami Ara waktu itu, aku takut Dimas malah menyalahkan Ara kembali karena hal sepenting ini, pria itu dan keluarganya tidak diberitahu" ujar Handi kepada Reno yang kini masih duduk terdiam dengan jenazah ibu Widya di semayamkan tidak jauh dari mereka, di tutupi kain jarik berada di tengah ruangan.Dokter Handi bahkan bisa melihat Ara yang bersedih dipelukan ibunya dan para ibu-ibu yang lain, yang sedang ikut berduka cita.Reno tersenyum kecut, menatap jenazah ibu
Bu Salamah melotot saat mendengar ucapan suaminya. Dia menoleh menatap Dimas kesal karena putranya ini sepertinya suka sekali membuat keributan disituasi panas seperti saat ini. Bu Salamah berbicara gugup kepada suaminya dengan wajah memucat."P- pah, maafin Dimas yang udah ngomong keterlaluan. Dimas enggak bermaksud ngomong sembarangan, apalagi tentang Papa dan Shinta.Dimas cuma lagi kesel aja, jadi dia bicara sedikit tidak sopan dengan Papa. Dimas dan Mama baru aja pulang setelah perjalanan jauh. Dimas dan Mama masih lelah, jadi emosi kami masih tidak stabil, terutama Dimas yang nyetir mobil pasti lebih capek. Be-belum lagi Dimas kemarin malam ada dikantor polisi dan dipenjara. Papa juga tadi liat kan, kalau Dimas tadi baru aja dihajar sama Reno? Pah, liat anak kita udah babak belur. Omongan Ara sebelumnya juga enggak enak buat di denger sama Dimas atau kita sendiri. Jadi Mama tolong sama Papa untuk tidak mengambil hati ucapan Dimas dan maklumi sikap anak kita untuk saat ini. Kal
Tak!Suara hentakan keras dari gelas kaca yang beradu dengan meja terdengar nyaring di sebuah ruang makan.Dimas, sang pelaku yang baru saja meletakkan gelasnya dengan keras, mendongak menatap istrinya tajam."Apa kamu mulai membangkang, Ra?" ujar Dimas dengan nada geraman tertahan, menatap tajam Ara, istrinya.Rania Arasha, wanita 24 tahun yang biasa di panggil Ara oleh orang terdekatnya, tidak terkecuali sang suami, menundukan kepala, meremas tangannya yang mulai berkeringat dingin di bawah tatapan tajam suaminya."Ma-mas aku cuma mau..." ucapan Ara terhenti saat mendengar suara suaminya yang meninggi, menyuarakan tidak persetujuan. "Gak boleh! Mas bilang gak boleh, ya gak boleh!" sentak Dimas tidak pedulikan wajah istrinya yang mulai pucat dan sendu.Ara memberanikan diri menatap suaminya, meskipun dia berusaha keras untuk tidak menangis. Matanya berkaca-kaca, menatap wajah suaminya dengan memelas."Mas, Ara cuma mau nengok ibu. Sebentar aja. Ibu sakit mas. Ibu mau liat Ara" lirih
"Apa kamu mau nunggu sampai ibu gak ada, baru kamu mau pulang Ra! Ibu terus nanyain kamu dan kondisi ibu bener-bener lagi gak sehat. Tega kamu gak mau dateng buat jenguk ibu!" terdengar suara keras penuh kekesalan dari sebrang telepon, dari seorang pria yang geram ketika mendengar ucapan adiknya yang tidak bisa datang untuk menjenguk ibu mereka, terlebih ibu hanya tinggal satu-satunya orang tua yang mereka miliki.Dia tidak akan semarah ini jika ibunya sedang tidak kritis. Dia takut jika adik perempuannya tidak sempat melihat ibunya untuk terakhir kali, begitu juga sebaliknya. Ibunya sangat ingin bertemu dengan Ara dan terus memanggil anak perempuan satu-satunya, di keluarganya.Betapa kesalnya dia ketika berharap adik perempuannya itu bisa datang ke desa menjenguk sang ibu, namun adiknya mengatakan tidak bisa datang. Dia merasa untuk kali ini, Ara sudah keterlaluan setelah berkali-kali membatalkan janji temu untuk menjenguk ibu mereka.Ara menangis tersedu di tempatnya."Mas, aku buka
Tok Tok Tok"Assalamualaikum!"Tok Tok Tok"Assalamualaikum, Ara!"Tok Tok Tok"Assalamualaikum, Ara! Kamu di mana sih?!"Tok Tok TokTeriakan dan ketukan keras di daun pintu tertutup berasal dari Bu Salamah, mertua Ara, terus bergema di depan teras mencoba mencari dan memanggil keberadaan sang menantu yang tidak kunjung membuka pintu rumah."Ara! Di mana sih kamu?! Ya Allah, punya menantu kok budeg begini! Apa dia gak dengar saya terus teriak sedari tadi!" kesal Bu Salamah.Dia berkacak pinggang dengan bibir merengut kesal, mencoba sekali lagi mengetuk daun pintu tertutup yang ada di depannya.Tok Tok Tok"Assalamualaikum, Ara!" teriak Bu Salamah sekali lagi."Wa'alaikum salam, Ma" jawab Ara menyahut salam ibu mertuanya, namun bukan dari dalam rumah, melainkan dari luar rumah di mana dia baru saja pulang dari warung.Bu Salamah berbalik badan, menatap menantunya yang terlihat sedang menenteng dua kantung plastik yang dia tebak berisi sayur dan ikan."Mama kira kamu ada di dalam rumah
"Ara!""Ara!""Ara! Buka pintunya!"Tok Tok Tok"Ar...."CeklekUcapan Dimas terhenti saat dia melihat wajah istrinya yang baru saja membuka pintu.Dimas langsung merangsek masuk ke dalam rumah, menutup pintu di belakangnya dengan kasar hingga terdengar bantingan yang begitu keras."Kamu udah pulang Mas?" tanya Ara terdengar acuh, namun tetap mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan suaminya seperti yang biasa dia lakukan.Dimas menghempaskan tangan istrinya begitu saja. Enggan di sentuh oleh sang istri yang sudah membuatnya dan ibunya marah.Ara menjerit pelan ketika tangannya di hempas begitu saja dengan kasar oleh suaminya. Dia mendongak menatap suaminya."Kamu kenapa Mas? Kenapa baru dateng udah marah-marah?" tanya Ara berpura-pura tidak mengetahui apa yang terjadi kepada suaminya yang pulang dalam keadaan marah. Padahal lebih dari siapapun, dialah yang paling mengetahui alasan di balik kemarahan suaminya.Siapa lagi jika bukan karena ibu mertuanya. Wanita paruh baya it
Bu Salamah melotot saat mendengar ucapan suaminya. Dia menoleh menatap Dimas kesal karena putranya ini sepertinya suka sekali membuat keributan disituasi panas seperti saat ini. Bu Salamah berbicara gugup kepada suaminya dengan wajah memucat."P- pah, maafin Dimas yang udah ngomong keterlaluan. Dimas enggak bermaksud ngomong sembarangan, apalagi tentang Papa dan Shinta.Dimas cuma lagi kesel aja, jadi dia bicara sedikit tidak sopan dengan Papa. Dimas dan Mama baru aja pulang setelah perjalanan jauh. Dimas dan Mama masih lelah, jadi emosi kami masih tidak stabil, terutama Dimas yang nyetir mobil pasti lebih capek. Be-belum lagi Dimas kemarin malam ada dikantor polisi dan dipenjara. Papa juga tadi liat kan, kalau Dimas tadi baru aja dihajar sama Reno? Pah, liat anak kita udah babak belur. Omongan Ara sebelumnya juga enggak enak buat di denger sama Dimas atau kita sendiri. Jadi Mama tolong sama Papa untuk tidak mengambil hati ucapan Dimas dan maklumi sikap anak kita untuk saat ini. Kal
"Ren, aku harap kamu enggak tersinggung. Tapi aku mau tanya, apa kamu sudah menghubungi pihak keluarga suami Ara untuk mengabarkan kematian ibumu? Ara dan suaminya masih belum resmi bercerai, jadi bagaimana-pun pria bernama Dimas itu masih menjadi menantu di keluargamu. Apa kamu tidak ingin memberitahunya tentang kabar duka ini? Aku tau ini bukan urusanku. Aku juga enggak berhak ikut campur. Hanya saja...Ren, jangan sampai kamu enggak mengabari mereka, atau kamu dan keluargamu yang nantinya terkena masalah. Mengingat tabiat suami Ara waktu itu, aku takut Dimas malah menyalahkan Ara kembali karena hal sepenting ini, pria itu dan keluarganya tidak diberitahu" ujar Handi kepada Reno yang kini masih duduk terdiam dengan jenazah ibu Widya di semayamkan tidak jauh dari mereka, di tutupi kain jarik berada di tengah ruangan.Dokter Handi bahkan bisa melihat Ara yang bersedih dipelukan ibunya dan para ibu-ibu yang lain, yang sedang ikut berduka cita.Reno tersenyum kecut, menatap jenazah ibu
"Dimas enggak nyangka kalau Papa sama Shinta bakalan tega beneran tinggalin kita berdua di sini. Terus abis ini nasib rumah tanggaku sama Ara gimana Ma?" tanya Dimas kepada Bu Salamah.Kini dia dan ibunya sudah sampai dikediaman Ara yang ada dikampung, tempat mobilnya masih terparkir di sana. Tadi dia meninggalkan mobilnya di sini dan pergi ke rumah sakit bersama dengan keluarganya. Namun tidak disangka jika dia harus kembali menggunakan angkutan umum untuk mengambil mobilnya ini karena Papanya dan Shinta main meninggalkannya saja berdua bersama dengan ibunya. Bu Salamah memegang kepalanya yang terasa pening. Dia berdecak sebal karena putranya sedari tadi tidak berhenti mengomel dan membuat telinganya berdengung. "Yaudah, mau gimana lagi? Toh Papa dan Shinta kayanya udah pulang. Soal urusan rumah tangga kamu sama Ara, ya itu urusan kamu. Kamu itu kan suami Ara, dan Ara sendiri istri kamu. Masa yang kaya gini aja masih harus jadi urusan Mama dan Papa. Udah ah! Mamah pusing dengerin
Pak Doni dan shinta keluar dari ruangan dokter Handi setelah berpamitan, tanpa perlu menunggu Dimas dan Bu Salamah bereaksi ditempatnya.Dimas menggeram kesal melihat Papanya bahkan tidak terlihat peduli sama sekali kepadanya padahal dia sedang sangat kesakitan. Jangankan bertanya, menoleh saja tidak."Mah, Papa itu, Papa aku bukan sih?! Anaknya kesakitan, bukannya ditolong, malah main pergi begitu aja!" kesal Dimas sambil bangkit dari duduknya. Bu Salamah meneguk ludah kasar, mendelik menatap Dimas tajam"Ngomong apa sih kamu?! Udah ah, cepetan bangun sebelum Papa kamu makin jauh dan beneran ninggalin kita!" ujarnya lalu meninggalkan Dimas dan mengejar suaminya.Dimas melotot tidak percaya. Tadi dia ditinggalkan oleh ipar dan istrinya. Lalu ditinggal oleh Papa dan adiknya. Sekarang Mamanya malah ikut meninggalkannya. Dia menggeram kesal dalam hati. Dengan berjalan tertatih mencoba menyusul Mamanya."Mah, tungguin Dimas!" teriaknya yang langsung menghentikan langkah Bu Salamah. Bu Sa
Reno merasa dirinya akan habis kesabaran jika terus berhadapan dengan suami dan keluarga mertua adiknya. Dia tidak mengerti bagaimana bisa adiknya bertahun-tahun tinggal bersama dengan suami dan keluarga mertua seperti ini. Dia bahkan tidak sampai habis pikir dengan dirinya sendiri yang tidak mengetahui hal sebesar ini dan tidak peka dengan kesulitan adiknya selama ini. Reno menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan emosinya. Dia menarik Ara untuk pergi meninggalkan Dimas dan keluarganya setelah membentak ibu Salamah. Bu Salamah masih tertegun ditempatnya sambil memegangi dadanya, dimana jantungnya hampir copot akibat bentakan Reno yang terlihat sangat marah hingga membuat tubuhnya bergetar ketakutan. Dimas hendak menghalangi kepergian Ara dan Reno. Namun tubuhnya langsung tersungkur saat Reno menendangnya. "Minggir!" sentak Reno. Bugh Reno yang sudah habis kesabaran menendang perut Dimas hingga tersungkur begitu saja agar pria itu tidak menghalangi jalannya dan Ara
Pak Doni tertegun ditempatnya, hampir kehilangan kata-kata saat mendengar ucapan Ara. Dia ingat, selama ini dia jarang membela membantunya yang ditindas oleh istri dan anaknya. Ada-pun saat dia pernah membela Ara, sepertinya masih bisa di hitung jari. Sudah dia bilang sebelumnya jika dia bukan tidak ingin membela Ara, dia hanya malas bertengkar dengan istrinya yang cerewet jika sedang membela menantunya ini. Istrinya memang takut padanya. Tapi, bukan takut yang sampai tidak bisa melawan. Istrinya ini wanita yang keras kepala. Bahkan sifat Dimas tidak berbeda jauh dengan istrinya, hingga dia tidak terlalu menyukai Dimas, dan lebih menyukai dan menyayangi Shinta sebagai putrinya. Meskipun dia tidak terlalu menyukai Dimas karena hal lain. "Ara, Papa enggak bermaksud mengabaikan kamu selama ini. Papa..." ucapan pak Doni terbata-bata saat menjawab menantunya. Belum selesai dia berbicara dan membela diri, Reno sudah menyela ucapannya. Reno memegang tangan adiknya, menatap keluarga Dimas
Leher Dimas menciut tidak berani berbicara apapun lagi di depan Reno setelah melihat wajah dingin kakak iparnya yang membuatnya menggigil tanpa sadar. Meskipun dia enggan mengakui, namun aura yang dikeluarkan saat ini benar-benar menyeramkan hingga dia tidak bernyali. "A-aku.., aku..." Dimas meneguk ludah kasar berujar dengan terbata-bata. Saat ini, dia seakan kehilangan suaranya, padahal sebelumnya dia berbicara dengan sangat lantang. Wajah Reno semakin merah padam akibat marah, sedangkan wajah pak Doni merah padam karena menanggung malu. Saat ini Dimas layaknya sebuah kerupuk yang tersiram air dihadapan Reno. Ara segera memegang lengan kakaknya ketika melihat situasi semakin menegangkan. Dia memang sebal dan marah dengan suaminya, namun bukan berarti dia ingin Dimas dipukuli oleh kakaknya. Biar kakaknya hanya seorang pemuda dari desa, namun kakaknya ini mendapatkan pendidikan tidak kalah dari orang-orang di kota, hingga Reno memiliki ilmu bela diri yang mumpuni. Kakaknya
PlakTangan Dimas melayang namun bukan menampar wajah Ara, melainkan ke arah lain, karena dokter Handi lebih dulu bergerak cepat untuk menepis tangan Dimas sehingga tidak sempat menyentuh kulit Ara. "Dimas!" semua orang yang ada di dalam ruangan dokter Handi terkejut ketika mereka melihat apa yang baru saja dilakukan oleh Dimas. "Dimas! Berani kamu main tangan sama adik saya!" bentak Reno yang baru saja memasuki ruangan dokter Handi dengan wajah merah padam menatap adik iparnya tajam sekaligus tidak percaya.Dia baru saja dikabari oleh Handi tentang keadaan adiknya yang sedang dihadapkan dengan Dimas dan keluarga besannya ini hingga dia harus berjalan cepat untuk datang ke tempat ini dan meninggalkan ibunya yang kini di jaga oleh Bima seorang diri. Dia pikir Dimas dan keluarganya kemari untuk menemui Ara atau mungkin ingin menjenguk ibunya mengingat mereka sudah mengetahui keberadaan keluarganya di rumah sakit ini. Namun, tidak di sangka, alih-alih Dimas datang untuk melihat keadaa
Dimas tertegun ditempatnya saat mendengar ucapan Ara yang mengatakan membencinya. Shinta mencibir kelakuan kakaknya. Padahal Dimas sudah diwanti-wanti oleh mereka sepanjang perjalanan menuju kemari agar tidak membuat masalah. Hanya karena beberapa ucapan Ara yang masih marah dengan kakaknya ini, Dimas sudah kehilangan kendali."Mas, aku enggak mau ya sampai enggak bisa kuliah cuma gara-gara Mas yang buat ulah dan bikin rencana kita untuk membujuk Mbak Ara gagal. Kalau itu terjadi, lihat aja! Shinta bakal bilang sama Papa untuk marahin Mas kalau perlu usir Mas Dimas! Shinta enggak mau liat orang yang udah buat Shinta enggak bisa kuliah gara-gara keluarga kita bangkrut!" kesal Shinta di telinga Dimas hingga membuat wajah Dimas terlihat semakin jelek dan memerah karena kesal. Pak Doni menatap Dimas kesal, namun memilih untuk tidak mengatakan apa-apa. Dia sudah lelah memarahi Dimas namun anaknya ini tetap masih bebal dan terus mengulangi kesalahan yang sama. Dia menatap istrinya yang