"Dimas enggak nyangka kalau Papa sama Shinta bakalan tega beneran tinggalin kita berdua di sini. Terus abis ini nasib rumah tanggaku sama Ara gimana Ma?" tanya Dimas kepada Bu Salamah.Kini dia dan ibunya sudah sampai dikediaman Ara yang ada dikampung, tempat mobilnya masih terparkir di sana. Tadi dia meninggalkan mobilnya di sini dan pergi ke rumah sakit bersama dengan keluarganya. Namun tidak disangka jika dia harus kembali menggunakan angkutan umum untuk mengambil mobilnya ini karena Papanya dan Shinta main meninggalkannya saja berdua bersama dengan ibunya. Bu Salamah memegang kepalanya yang terasa pening. Dia berdecak sebal karena putranya sedari tadi tidak berhenti mengomel dan membuat telinganya berdengung. "Yaudah, mau gimana lagi? Toh Papa dan Shinta kayanya udah pulang. Soal urusan rumah tangga kamu sama Ara, ya itu urusan kamu. Kamu itu kan suami Ara, dan Ara sendiri istri kamu. Masa yang kaya gini aja masih harus jadi urusan Mama dan Papa. Udah ah! Mamah pusing dengerin
"Ren, aku harap kamu enggak tersinggung. Tapi aku mau tanya, apa kamu sudah menghubungi pihak keluarga suami Ara untuk mengabarkan kematian ibumu? Ara dan suaminya masih belum resmi bercerai, jadi bagaimana-pun pria bernama Dimas itu masih menjadi menantu di keluargamu. Apa kamu tidak ingin memberitahunya tentang kabar duka ini? Aku tau ini bukan urusanku. Aku juga enggak berhak ikut campur. Hanya saja...Ren, jangan sampai kamu enggak mengabari mereka, atau kamu dan keluargamu yang nantinya terkena masalah. Mengingat tabiat suami Ara waktu itu, aku takut Dimas malah menyalahkan Ara kembali karena hal sepenting ini, pria itu dan keluarganya tidak diberitahu" ujar Handi kepada Reno yang kini masih duduk terdiam dengan jenazah ibu Widya di semayamkan tidak jauh dari mereka, di tutupi kain jarik berada di tengah ruangan.Dokter Handi bahkan bisa melihat Ara yang bersedih dipelukan ibunya dan para ibu-ibu yang lain, yang sedang ikut berduka cita.Reno tersenyum kecut, menatap jenazah ibu
Bu Salamah melotot saat mendengar ucapan suaminya. Dia menoleh menatap Dimas kesal karena putranya ini sepertinya suka sekali membuat keributan disituasi panas seperti saat ini. Bu Salamah berbicara gugup kepada suaminya dengan wajah memucat."P- pah, maafin Dimas yang udah ngomong keterlaluan. Dimas enggak bermaksud ngomong sembarangan, apalagi tentang Papa dan Shinta. Dimas cuma lagi kesel aja, jadi dia bicara sedikit tidak sopan dengan Papa. Dimas dan Mama baru aja pulang setelah perjalanan jauh. Dimas dan Mama masih lelah, jadi emosi kami masih tidak stabil, terutama Dimas yang nyetir mobil pasti lebih capek. Be-belum lagi Dimas kemarin malam ada dikantor polisi dan dipenjara. Papa juga tadi liat kan, kalau Dimas tadi baru aja dihajar sama Reno? Pah, liat anak kita udah babak belur. Omongan Ara sebelumnya juga enggak enak buat di denger sama Dimas atau kita sendiri. Jadi Mama tolong sama Papa untuk tidak mengambil hati ucapan Dimas dan maklumi sikap anak kita untuk saat i
Dimas menatap Papanya terkejut, begitu pula dengan Shinta yang tidak menyangka jika kakak sulungnya bukanlah kakak kandungnya. Atau jangan-jangan...Shinta menatap Papanya dengan tatapan bertanya dan mata memerah."Pah, kalau Mas Dimas bukan anak Papa, terus Shinta? Apa Shinta juga bukan anak Papa?" tanyanya dengan suara serak.Sungguh dia sedih jika membayangkan bahwa dirinya bukan anak dari Papanya, karena selama ini, dibandingkan Dimas sang kakak, dia yang paling dekat dan disayang oleh sang Papa. Dia tidak ingin kasih sayang itu akhirnya berakhir karena identitasnya yang ternyata bukan anak Papanya juga terungkap.Shinta menatap Papanya dengan raut sedih dan rumit.Pak Doni menatap Shinta yang berada disebelahnya."Mana mungkin kamu bukan anak Papa! Muka dan semua yang ada di badan kamu ini warisan Papa! Orang-orang juga tau walau mata mereka lagi merem, kamu itu anak Papa! Jadi jangan ngomong yang macem-macem. Papa enggak suka kamu mikir juga kalau kamu bukan anak Papa! Anak Papa
Dimas pulang dengan linglung dari rumah kedua orang tuanya. Dia memarkirkan mobilnya asal lalu masuk ke dalam rumahnya sendiri.Tok Tok Tok"Assalamualaikum, Ra! Ara, buka pintunya!" ujar Dimas belum menyadari jika istrinya kini sudah tidak berada lagi dirumah. Kekalutan hatinya sejenak menutupi pikirannya.Tok Tok TokDimas masih mengetuk pintu rumahnya sekali lagi sambil memanggil nama istrinya."Assalamualaikum! Ara, Mas sudah pulang! Buka pintunya!" ujar Dimas sambil bersandar di kusen pintu depan tubuhnya yang layu. Tok Tok Tok"Ara, kamu dimana sih?! Mas lagi kesel sama Papa dan Mama, jadi kamu jangan membuat Mas makin kesel!" ujar Dimas saat ini sudah menggedor pintu rumahnya sendiri dengan keras.Dimas terus mengetuk pintu sambil menggerutu ditempatnya karena istrinya tidak kunjung membuka pintu, hingga tiba-tiba dia tertawa frustasi ketika menyadari istinya tidak akan pernah membuka pintu untuknya lagi sebab Ara tidak ada di rumahnya ini. Dimas tertawa jengkel menggebrak p
"Jadi, Ara mau cerai dari suaminya?" tanya Pak Salim, menanggapi cerita istrinya yang terus berbicara sejak pulang dari rumah duka orang tua Ara. Bu Dewi mengangguk."Iya, Pak. Tadi ibu tidak sengaja mendengar dari Bima. Dia marah ketika ada saudara jauhnya yang menanyakan keberadaan suami Ara dan keluarganya.Sepertinya Bima sangat tidak menyukai iparnya itu, bahkan mengancam saudara jauhnya itu agar tidak membahas suami Ara di depan kakak perempuannya karena kakaknya itu ingin bercerai sebentar lagi" Bu Dewi menoleh ke Handi, putranya yang sedang mengemudi."Benar Han, bahwa Ara ingin bercerai dari suaminya?" tanyanya untuk memastikan.Handi menatap ibunya dari balik kaca spion sambil mengangkat bahu, seolah-olah tidak tahu apa-apa."Bu, kenapa malah tanya aku? Tadi kan Ibu dengar sendiri dari Bima. Kenapa tidak langsung tanya saja ke Bima?" ujarnya mencoba mengelak. Handi terdiam sejenak, sebelum melanjutkan ucapannya kembali."Aku ini hanya teman lama Ara dan keluarganya, tidak leb
Bu Dewi dan Pak Salim terdiam, saling menatap satu sama lain ketika mendengar ucapan putra mereka. Bu Dewi menatap putranya yang kini terdiam setelah mengajukan pertanyaan kepada dia dan suaminya. "Kalau kamu tanya Ibu, Ibu tidak keberatan jika menantu Ibu seorang janda atau bukan. Rumah tangga itu rumit, kadang-kadang jika tidak kuat menghadapi badai, bisa karam. Dalam rumah tangga, ada dua orang yang menjalaninya, yaitu sepasang suami istri. Sama seperti rumah tangga Ibu dan Bapak kamu. Kalau kami bertengkar, kadang-kadang Ibu yang salah, kadang-kadang juga disebabkan oleh Bapak kamu.Ibu yakin bahwa rumah tangga Ara dan suaminya tidak jauh berbeda. Namun, pertengkaran rumah tangga yang disertai penindasan, apalagi campur tangan mertua, jika Ibu menjadi Ara, tentu Ibu tidak akan tahan. Ibu pasti akan meminta cerai daripada harus mati berdiri karena makan hati. Jadi, Handi, janda atau tidak, Ibu lebih melihat kualitas, kecocokan, dan karakter calon istri kamu. Jika dia memenuhi k
"Ara, siapkan air hangat untuk mandi!" "Ara, handukku mana? Tolong ambilkan, aku lupa bawa!" "Ara, buatkan kopi untukku!" "Ara, sarapannya mana? Aku mau berangkat kerja! Sudah siang ini!" "Ara, kaus kakiku di mana? Kamu biasanya menyimpannya di mana? Letakkan dengan benar dong, bikin pusing saja. Kalau begini, aku susah mencarinya!" "Ara, kenapa sepatuku belum disemir? Lihat, kotor kan? Kamu sengaja ingin melihat aku kumel!" "Ara, aku mau makan ayam rica siang ini! Jangan lupa buatkan!" "Ara!" "Ara!" "Ara!" Dimas mengerang kesal ketika dia menyadari bahwa sejak bangun hingga hendak pergi ke kantor, bahkan saat bekerja, dia selalu tanpa sadar memanggil nama istrinya. Dia bahkan menghubungi dan mengirim pesan kepada istrinya, namun semuanya berakhir tanpa tanggapan, karena Ara sudah tidak ada lagi di sisinya. Istrinya bahkan tidak mau repot menanggapi semua panggilan, pesan, dan telepon yang dia kirimkan.Dimas mengerang frustasi saat bekerja tanpa sadar selalu mengingat istr
"Ara memang keterlaluan! Begitu juga dengan keluarganya! Apa maksud mereka tidak memberitahu kita tentang kematian ibu Widya? Apa mereka sengaja ingin mempermalukan kita dan membuat kita seperti orang bodoh di mata orang lain?!Dimas itu masih suami Ara. Mereka benar-benar tidak memberi wajah kepada anak kita! Masa Dimas harus tau tentang kematian ibu mertuanya dari orang lain! Ara memberitahu tentang keadaan ibunya kepada tetangga yang tidak ada hubungan keluarga dengannya. Sedangkan Dimas dan kita sebagai keluarga mertuanya, tidak ada satu-pun yang diberitahu tentang kabar sebesar ini! Lihat aja nanti kalau ibu bertemu dengan Ara! Ibu tidak akan membiarkan dia lolos sebelum memberikan penjelasan atas apa yang dia dan keluarganya lakukan kepada kita!" kesal Bu Salamah terus mengomel sepanjang jalan ketika dia sedang menuju ke rumah menantunya di kampung. Pak Doni yang sedang menyetir mobil, menatap istrinya sekilas dengan pandangan acuh tak acuh."Kalau kamu buat masalah di rumah A
"Mas Dimas sudah pulang? Ibu turut berduka cita atas meninggalnya ibu mertua, Mas. Bagaimana dengan Mbak Ara? Apa beliau masih di kampung halaman? Tolong sampaikan salam ibu jika Mas Dimas berkomunikasi atau bertemu dengan Mbak Ara" ujar Bu Siti, tetangga Dimas yang pernah membantu Ara saat ia meninggalkan rumah tanpa sepengetahuan Dimas. Dimas yang baru saja keluar dari mobilnya setelah memarkir, terdiam sejenak mendengar ucapan Bu Siti yang tiba-tiba muncul dan mengucapkan hal yang tidak terduga.Dia menatap Bu Siti dengan linglung."Tadi Ibu Siti bilang apa?" tanyanya dengan raut bingung. Kini giliran Bu Siti yang tampak bingung."Loh, bukankah ibu mertua Mas yang kemarin sakit itu telah meninggal dunia? Ibu hanya ingin menyampaikan belasungkawa atas kepergian ibu mertua Mas Dimas, sekaligus ibu dari Mbak Ara" ujarnya.Dimas menatap Bi Siti dengan raut wajah yang semakin bingung."Ibu mertua saya meninggal? Kapan?" tanyanya, terdengar kebingungan karena tidak mengetahui apa-apa. Bi
"Ara, siapkan air hangat untuk mandi!" "Ara, handukku mana? Tolong ambilkan, aku lupa bawa!" "Ara, buatkan kopi untukku!" "Ara, sarapannya mana? Aku mau berangkat kerja! Sudah siang ini!" "Ara, kaus kakiku di mana? Kamu biasanya menyimpannya di mana? Letakkan dengan benar dong, bikin pusing saja. Kalau begini, aku susah mencarinya!" "Ara, kenapa sepatuku belum disemir? Lihat, kotor kan? Kamu sengaja ingin melihat aku kumel!" "Ara, aku mau makan ayam rica siang ini! Jangan lupa buatkan!" "Ara!" "Ara!" "Ara!" Dimas mengerang kesal ketika dia menyadari bahwa sejak bangun hingga hendak pergi ke kantor, bahkan saat bekerja, dia selalu tanpa sadar memanggil nama istrinya. Dia bahkan menghubungi dan mengirim pesan kepada istrinya, namun semuanya berakhir tanpa tanggapan, karena Ara sudah tidak ada lagi di sisinya. Istrinya bahkan tidak mau repot menanggapi semua panggilan, pesan, dan telepon yang dia kirimkan.Dimas mengerang frustasi saat bekerja tanpa sadar selalu mengingat istr
Bu Dewi dan Pak Salim terdiam, saling menatap satu sama lain ketika mendengar ucapan putra mereka. Bu Dewi menatap putranya yang kini terdiam setelah mengajukan pertanyaan kepada dia dan suaminya. "Kalau kamu tanya Ibu, Ibu tidak keberatan jika menantu Ibu seorang janda atau bukan. Rumah tangga itu rumit, kadang-kadang jika tidak kuat menghadapi badai, bisa karam. Dalam rumah tangga, ada dua orang yang menjalaninya, yaitu sepasang suami istri. Sama seperti rumah tangga Ibu dan Bapak kamu. Kalau kami bertengkar, kadang-kadang Ibu yang salah, kadang-kadang juga disebabkan oleh Bapak kamu.Ibu yakin bahwa rumah tangga Ara dan suaminya tidak jauh berbeda. Namun, pertengkaran rumah tangga yang disertai penindasan, apalagi campur tangan mertua, jika Ibu menjadi Ara, tentu Ibu tidak akan tahan. Ibu pasti akan meminta cerai daripada harus mati berdiri karena makan hati. Jadi, Handi, janda atau tidak, Ibu lebih melihat kualitas, kecocokan, dan karakter calon istri kamu. Jika dia memenuhi k
"Jadi, Ara mau cerai dari suaminya?" tanya Pak Salim, menanggapi cerita istrinya yang terus berbicara sejak pulang dari rumah duka orang tua Ara. Bu Dewi mengangguk."Iya, Pak. Tadi ibu tidak sengaja mendengar dari Bima. Dia marah ketika ada saudara jauhnya yang menanyakan keberadaan suami Ara dan keluarganya.Sepertinya Bima sangat tidak menyukai iparnya itu, bahkan mengancam saudara jauhnya itu agar tidak membahas suami Ara di depan kakak perempuannya karena kakaknya itu ingin bercerai sebentar lagi" Bu Dewi menoleh ke Handi, putranya yang sedang mengemudi."Benar Han, bahwa Ara ingin bercerai dari suaminya?" tanyanya untuk memastikan.Handi menatap ibunya dari balik kaca spion sambil mengangkat bahu, seolah-olah tidak tahu apa-apa."Bu, kenapa malah tanya aku? Tadi kan Ibu dengar sendiri dari Bima. Kenapa tidak langsung tanya saja ke Bima?" ujarnya mencoba mengelak. Handi terdiam sejenak, sebelum melanjutkan ucapannya kembali."Aku ini hanya teman lama Ara dan keluarganya, tidak leb
Dimas pulang dengan linglung dari rumah kedua orang tuanya. Dia memarkirkan mobilnya asal lalu masuk ke dalam rumahnya sendiri.Tok Tok Tok"Assalamualaikum, Ra! Ara, buka pintunya!" ujar Dimas belum menyadari jika istrinya kini sudah tidak berada lagi dirumah. Kekalutan hatinya sejenak menutupi pikirannya.Tok Tok TokDimas masih mengetuk pintu rumahnya sekali lagi sambil memanggil nama istrinya."Assalamualaikum! Ara, Mas sudah pulang! Buka pintunya!" ujar Dimas sambil bersandar di kusen pintu depan tubuhnya yang layu. Tok Tok Tok"Ara, kamu dimana sih?! Mas lagi kesel sama Papa dan Mama, jadi kamu jangan membuat Mas makin kesel!" ujar Dimas saat ini sudah menggedor pintu rumahnya sendiri dengan keras.Dimas terus mengetuk pintu sambil menggerutu ditempatnya karena istrinya tidak kunjung membuka pintu, hingga tiba-tiba dia tertawa frustasi ketika menyadari istinya tidak akan pernah membuka pintu untuknya lagi sebab Ara tidak ada di rumahnya ini. Dimas tertawa jengkel menggebrak p
Dimas menatap Papanya terkejut, begitu pula dengan Shinta yang tidak menyangka jika kakak sulungnya bukanlah kakak kandungnya. Atau jangan-jangan...Shinta menatap Papanya dengan tatapan bertanya dan mata memerah."Pah, kalau Mas Dimas bukan anak Papa, terus Shinta? Apa Shinta juga bukan anak Papa?" tanyanya dengan suara serak.Sungguh dia sedih jika membayangkan bahwa dirinya bukan anak dari Papanya, karena selama ini, dibandingkan Dimas sang kakak, dia yang paling dekat dan disayang oleh sang Papa. Dia tidak ingin kasih sayang itu akhirnya berakhir karena identitasnya yang ternyata bukan anak Papanya juga terungkap.Shinta menatap Papanya dengan raut sedih dan rumit.Pak Doni menatap Shinta yang berada disebelahnya."Mana mungkin kamu bukan anak Papa! Muka dan semua yang ada di badan kamu ini warisan Papa! Orang-orang juga tau walau mata mereka lagi merem, kamu itu anak Papa! Jadi jangan ngomong yang macem-macem. Papa enggak suka kamu mikir juga kalau kamu bukan anak Papa! Anak Papa
Bu Salamah melotot saat mendengar ucapan suaminya. Dia menoleh menatap Dimas kesal karena putranya ini sepertinya suka sekali membuat keributan disituasi panas seperti saat ini. Bu Salamah berbicara gugup kepada suaminya dengan wajah memucat."P- pah, maafin Dimas yang udah ngomong keterlaluan. Dimas enggak bermaksud ngomong sembarangan, apalagi tentang Papa dan Shinta. Dimas cuma lagi kesel aja, jadi dia bicara sedikit tidak sopan dengan Papa. Dimas dan Mama baru aja pulang setelah perjalanan jauh. Dimas dan Mama masih lelah, jadi emosi kami masih tidak stabil, terutama Dimas yang nyetir mobil pasti lebih capek. Be-belum lagi Dimas kemarin malam ada dikantor polisi dan dipenjara. Papa juga tadi liat kan, kalau Dimas tadi baru aja dihajar sama Reno? Pah, liat anak kita udah babak belur. Omongan Ara sebelumnya juga enggak enak buat di denger sama Dimas atau kita sendiri. Jadi Mama tolong sama Papa untuk tidak mengambil hati ucapan Dimas dan maklumi sikap anak kita untuk saat i
"Ren, aku harap kamu enggak tersinggung. Tapi aku mau tanya, apa kamu sudah menghubungi pihak keluarga suami Ara untuk mengabarkan kematian ibumu? Ara dan suaminya masih belum resmi bercerai, jadi bagaimana-pun pria bernama Dimas itu masih menjadi menantu di keluargamu. Apa kamu tidak ingin memberitahunya tentang kabar duka ini? Aku tau ini bukan urusanku. Aku juga enggak berhak ikut campur. Hanya saja...Ren, jangan sampai kamu enggak mengabari mereka, atau kamu dan keluargamu yang nantinya terkena masalah. Mengingat tabiat suami Ara waktu itu, aku takut Dimas malah menyalahkan Ara kembali karena hal sepenting ini, pria itu dan keluarganya tidak diberitahu" ujar Handi kepada Reno yang kini masih duduk terdiam dengan jenazah ibu Widya di semayamkan tidak jauh dari mereka, di tutupi kain jarik berada di tengah ruangan.Dokter Handi bahkan bisa melihat Ara yang bersedih dipelukan ibunya dan para ibu-ibu yang lain, yang sedang ikut berduka cita.Reno tersenyum kecut, menatap jenazah ibu