Bram menoleh dan dia terkejut ketika seorang wanita yang memanggil namanya ternyata Naila, gadis yang resmi menjadi istrinya."Kamu lagi apa di sini?" tanya Bram pada Naila."Loh, yang ada Om Bram kenapa ada di apartemen janda?" tanya Naila yang terlampau emosi.Niken cukup tercengang, ternyata dalam beberapa hari lalu yang bermain gila dengan janda ini merupakan suami dari sahabat yang sudah dia anggap adiknya sendiri.Kasihan sekali Naila, batin Niken yang melihat kejadian ini."Heh, jaga mulutmu, ya?!" tukas Amanda tidak terima, walau sebenarnya apa yang dikatakan Naila itu benar. Dia memang seorang janda."Loh, emang benar, kan? Tante itu janda? Aku tau, tidak semua janda seperti Tante. Tetapi kenapa aku dipertemukan dengan janda seperti Tante?" jawab Naila."Bram, aku tidak terima deng
Baru juga beberapa detik Bram menyaksikan tangan Naila digenggam laki-laki lain, dia sudah terbakar cemburu. Dia langsung tancap gas, melesat meninggalkan Naila."Aargghh! Sialan! Ternyata kelakuan dia seperti itu di belakangku!" umpatnya sambil memukul stir mobil, "sial, sial, siaaall!!!"Dengan kecepatan tinggi, Bram melesatkan mobilnya menuju rumah. Hatinya sungguh geram ketika melihat Naila. Baru digenggam saja, Bram sudah marah seperti itu. Bagaimana kalau dirinya menjadi Naila? Bram tidak berpikir kalau dirinya pun bersikap seperti itu, bahkan sangat jauh dari itu. Bram sudah tidur dengan perempuan lain dan bukan hanya satu. Apa dia tidak bisa memposisikan dirinya sebagai Naila?Sesampainya di apartemen, Bram langsung masuk ke kamar lalu membanting pintu dengan kasar. Tubuh jangkungnya kini sudah terhempas di ranjang. "Aarrgghhhh!"Bram berusaha memejamkan mata, tetapi lelaki itu tidak dapat tidur. Bagaimana bisa, yang ada dalam pikira
"Kenapa aku di sini?"Naila yang heran ketika dia terbangun sudah ada di tempat tidur. Matahari pun telah bersinar cerah, tetapi tidak dengan Naila. Gadis itu belum menjelaskan inti permasalahan itu pada suaminya.Tiba-tiba saja pintu kamar terbuka dan terlihat sesosok pria bermata elang. Sorot mata tajam yang terkadang membuat Naila merasa takut. "Om Bram?" gumamnya kala lelaki itu mendekatinya."Apa yang kamu mau katakan padaku? Hingga kamu rela tidur terduduk di sofa seperti itu, hah?" tanya Bram yang kini duduk di tepi ranjang."Em, itu--masalah kemarin, Om salah paham," ujar Naila."Salah paham gimana?""Sebenarnya aku--" Kata itu terputus saat dering ponsel Bram berbunyi."Sebentar," ujar lelaki itu kemudian meraih ponsel yang ada di nakas.
Bram menghabiskan malam di club, kerlap-kerlip lampu dalam ruangan gelap memberikan kesan ceria walau tidak dengan hatinya. Dentum musik yang kuat mengalihkan perasaan Bram yang kini telah kalut. Dia masih mengira kalau Naila berselingkuh, sama seperti mantan kekasihnya.Satu gelas minuman beralkohol larut membasahi kerongkongannya yang haus karena luapan emosi yang mendalam. Gelas demi gelas alkohol kini telah menguasai tubuh dan pikirannya. Bram kini sudah tidak sadarkan diri, bahkan ketika club hendak tutup, Bram masih sulit untuk meninggalkan tempat itu, walaupun beberapa kali pelayan di sana telah menyuruhnya pulang."Rese banget sih, ni orang!" keluh salah satu pelayan club."Sabar, dia memang sering seperti ini. Kita coba tunggu saja dulu sambil menunggu waktu tutup club," ujar pelayan yang sudah mengetahui kebiasaan Bram.Mereka tidak berani kasar terhadap Bram, karena lelaki in
Timbul kecemasan pada Naila karena hingga jam sebelas siang, suaminya belum juga pulang. Dia mulai menghubungi Bram tapi sayang ponselnya tidak aktif. Gadis itu mulai membuka lemari untuk mengambil baju ganti. Tiba-tiba saja Naila mendengar deru mesin mobil yang memasuki halaman rumah yang luas dengan rumput yang hijau. Wanita itu berlari ke arah jendela, dia melihat kalau suaminya sudah sampai di rumah. Dengan perasaan senang, gadis itu meraih cincin yang ada dalam sebuah kotak merah, kemudian berlari untuk menemui Bram. "Om Bram?" sapa Naila dengan senyum manis dan binar mata bahagia. "Kenapa kamu?" tanya Bram ketus. "Mari, kita makan, Om. Pasti Om Bram belum sarapan, kan?" Naila masih bersikap manis walau Bram masih ketus dan sombong. Lelaki itu pun berjalan berdampingan denga
Bel rumah berbunyi.Asisten rumah tangganya pun segera berlari ke pintu depan. Di rumah sepi, hanya ada asisten rumah tangga Bram. Sedangkan Naila dan sopir pribadinya sudah berangkat setengah jam yang lalu untuk menemui Bram.Pintu terbuka.Mata asisten rumah tangga itu membulat, seperti terhipnotis dirinya hanya mematung dan untuk mengucap satu kata pun bibirnya terasa kelu."Bibi kenapa?" ujar Bram sambil melambaikan tangan tepat di depan wajah asisten rumah tangganya."Tu-tuan Bram?" katanya dengan nada terbata."Iya, ini saya, Bram. Bibi kenapa, sih? Seperti melihat setan saja," ujar Bram yang merasa heran ketika melihat asistennya."Bu-bukannya Tu-Tuan Bram Kecela-kaan?" kata yang semakin terbata terucap dari bibir pembantunya."Wh
"Halo Pak, saya ingin membuat laporan. Tolong tangkap orang ini yang sudah melakukan penganiayaan dan percobaan pemerkosaan terhadap istri saya. Posisi kami ada di Jalan Kenanga nomor 30," ujar Bram dalam sambungan ponselnya. Ponsel itu kemudian ditutup dan Bram meletakkan ponselnya di meja, tepatnya ada di samping Naila. Bram mengusap lembut pucuk kepala sang istri, yang ada dalam pikirannya saat ini adalah menyesal. Menyesal karena dia tidak mempercayai ucapan dari istrinya, dia terlalu percaya dengan apa yang dilihat oleh matanya. Naila masih terdiam, Bram menggendong tubuh gadis itu kemudian memasukannya dalam mobil. Cukup lama Bram menunggu pihak polisi datang. Hingga akhirnya satu mobil bersirine lengkap dengan beberapa lelaki berpakaian gagah keluar dari mobil. "Siang, Pak. Apa Bapak yang tadi mengisi laporan dalam sambungan telepon?" ujar salah seorang dari mobil bers
"Makasih, ya, Dit?" ujar Naila pada Radit di depan gerbang rumahnya."Iya, sama-sama," jawabnya dengan seulas senyum. "Masuk, gih. Katanya sudah tidak sabar ingin memberitahu raport pada Ayahmu," titahnya sembari mengacak pelan rambut Naila.Naila tersenyum."Baiklah." Naila membalikan badan."Nai!" Radit memanggil."Apa?" jawabnya tanpa menoleh."Sini, lihat aku dulu," pinta Radit.Naila pun menoleh."Aku sayang kamu, Nai. Bye!"Radit melesat dengan sepeda motornya. Hal itu yang membuat Naila tersenyum karena itu sudah menjadi kebiasaan radit mengutarakan perasaannya pada Naila dan hal itu juga yang membuat Naila tersenyum. Sepele memang, hanya dengan bersikap seperti itu teta
"Halo Pak, saya ingin membuat laporan. Tolong tangkap orang ini yang sudah melakukan penganiayaan dan percobaan pemerkosaan terhadap istri saya. Posisi kami ada di Jalan Kenanga nomor 30," ujar Bram dalam sambungan ponselnya. Ponsel itu kemudian ditutup dan Bram meletakkan ponselnya di meja, tepatnya ada di samping Naila. Bram mengusap lembut pucuk kepala sang istri, yang ada dalam pikirannya saat ini adalah menyesal. Menyesal karena dia tidak mempercayai ucapan dari istrinya, dia terlalu percaya dengan apa yang dilihat oleh matanya. Naila masih terdiam, Bram menggendong tubuh gadis itu kemudian memasukannya dalam mobil. Cukup lama Bram menunggu pihak polisi datang. Hingga akhirnya satu mobil bersirine lengkap dengan beberapa lelaki berpakaian gagah keluar dari mobil. "Siang, Pak. Apa Bapak yang tadi mengisi laporan dalam sambungan telepon?" ujar salah seorang dari mobil bers
Bel rumah berbunyi.Asisten rumah tangganya pun segera berlari ke pintu depan. Di rumah sepi, hanya ada asisten rumah tangga Bram. Sedangkan Naila dan sopir pribadinya sudah berangkat setengah jam yang lalu untuk menemui Bram.Pintu terbuka.Mata asisten rumah tangga itu membulat, seperti terhipnotis dirinya hanya mematung dan untuk mengucap satu kata pun bibirnya terasa kelu."Bibi kenapa?" ujar Bram sambil melambaikan tangan tepat di depan wajah asisten rumah tangganya."Tu-tuan Bram?" katanya dengan nada terbata."Iya, ini saya, Bram. Bibi kenapa, sih? Seperti melihat setan saja," ujar Bram yang merasa heran ketika melihat asistennya."Bu-bukannya Tu-Tuan Bram Kecela-kaan?" kata yang semakin terbata terucap dari bibir pembantunya."Wh
Timbul kecemasan pada Naila karena hingga jam sebelas siang, suaminya belum juga pulang. Dia mulai menghubungi Bram tapi sayang ponselnya tidak aktif. Gadis itu mulai membuka lemari untuk mengambil baju ganti. Tiba-tiba saja Naila mendengar deru mesin mobil yang memasuki halaman rumah yang luas dengan rumput yang hijau. Wanita itu berlari ke arah jendela, dia melihat kalau suaminya sudah sampai di rumah. Dengan perasaan senang, gadis itu meraih cincin yang ada dalam sebuah kotak merah, kemudian berlari untuk menemui Bram. "Om Bram?" sapa Naila dengan senyum manis dan binar mata bahagia. "Kenapa kamu?" tanya Bram ketus. "Mari, kita makan, Om. Pasti Om Bram belum sarapan, kan?" Naila masih bersikap manis walau Bram masih ketus dan sombong. Lelaki itu pun berjalan berdampingan denga
Bram menghabiskan malam di club, kerlap-kerlip lampu dalam ruangan gelap memberikan kesan ceria walau tidak dengan hatinya. Dentum musik yang kuat mengalihkan perasaan Bram yang kini telah kalut. Dia masih mengira kalau Naila berselingkuh, sama seperti mantan kekasihnya.Satu gelas minuman beralkohol larut membasahi kerongkongannya yang haus karena luapan emosi yang mendalam. Gelas demi gelas alkohol kini telah menguasai tubuh dan pikirannya. Bram kini sudah tidak sadarkan diri, bahkan ketika club hendak tutup, Bram masih sulit untuk meninggalkan tempat itu, walaupun beberapa kali pelayan di sana telah menyuruhnya pulang."Rese banget sih, ni orang!" keluh salah satu pelayan club."Sabar, dia memang sering seperti ini. Kita coba tunggu saja dulu sambil menunggu waktu tutup club," ujar pelayan yang sudah mengetahui kebiasaan Bram.Mereka tidak berani kasar terhadap Bram, karena lelaki in
"Kenapa aku di sini?"Naila yang heran ketika dia terbangun sudah ada di tempat tidur. Matahari pun telah bersinar cerah, tetapi tidak dengan Naila. Gadis itu belum menjelaskan inti permasalahan itu pada suaminya.Tiba-tiba saja pintu kamar terbuka dan terlihat sesosok pria bermata elang. Sorot mata tajam yang terkadang membuat Naila merasa takut. "Om Bram?" gumamnya kala lelaki itu mendekatinya."Apa yang kamu mau katakan padaku? Hingga kamu rela tidur terduduk di sofa seperti itu, hah?" tanya Bram yang kini duduk di tepi ranjang."Em, itu--masalah kemarin, Om salah paham," ujar Naila."Salah paham gimana?""Sebenarnya aku--" Kata itu terputus saat dering ponsel Bram berbunyi."Sebentar," ujar lelaki itu kemudian meraih ponsel yang ada di nakas.
Baru juga beberapa detik Bram menyaksikan tangan Naila digenggam laki-laki lain, dia sudah terbakar cemburu. Dia langsung tancap gas, melesat meninggalkan Naila."Aargghh! Sialan! Ternyata kelakuan dia seperti itu di belakangku!" umpatnya sambil memukul stir mobil, "sial, sial, siaaall!!!"Dengan kecepatan tinggi, Bram melesatkan mobilnya menuju rumah. Hatinya sungguh geram ketika melihat Naila. Baru digenggam saja, Bram sudah marah seperti itu. Bagaimana kalau dirinya menjadi Naila? Bram tidak berpikir kalau dirinya pun bersikap seperti itu, bahkan sangat jauh dari itu. Bram sudah tidur dengan perempuan lain dan bukan hanya satu. Apa dia tidak bisa memposisikan dirinya sebagai Naila?Sesampainya di apartemen, Bram langsung masuk ke kamar lalu membanting pintu dengan kasar. Tubuh jangkungnya kini sudah terhempas di ranjang. "Aarrgghhhh!"Bram berusaha memejamkan mata, tetapi lelaki itu tidak dapat tidur. Bagaimana bisa, yang ada dalam pikira
Bram menoleh dan dia terkejut ketika seorang wanita yang memanggil namanya ternyata Naila, gadis yang resmi menjadi istrinya."Kamu lagi apa di sini?" tanya Bram pada Naila."Loh, yang ada Om Bram kenapa ada di apartemen janda?" tanya Naila yang terlampau emosi.Niken cukup tercengang, ternyata dalam beberapa hari lalu yang bermain gila dengan janda ini merupakan suami dari sahabat yang sudah dia anggap adiknya sendiri.Kasihan sekali Naila, batin Niken yang melihat kejadian ini."Heh, jaga mulutmu, ya?!" tukas Amanda tidak terima, walau sebenarnya apa yang dikatakan Naila itu benar. Dia memang seorang janda."Loh, emang benar, kan? Tante itu janda? Aku tau, tidak semua janda seperti Tante. Tetapi kenapa aku dipertemukan dengan janda seperti Tante?" jawab Naila."Bram, aku tidak terima deng
Jasad telah dikebumikan, para pengantar jenazah telah membubarkan diri. Tinggallah Naila, Riyanti dan Bram yang ada di pusara itu."Naila, maafin Tante. Tante harus pulang ke Semarang, ayah Tante sakit," ujar Riyanti ketika masih di depan kuburan suaminya yang masih basah."Iya, Tante. Hati-hati," jawab Naila tanpa menoleh, gadis cantik ini masih menatap pusara ayahnya."Maaf, Nai. Rumah Papamu sudah diambil alih oleh pihak bank karena perusahaannya mengalami kebangkrutan.""Apa?"Naila membulatkan mata, dia tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Riyanti. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya berusaha mengikhlaskan, itu saja yang mampu dia lakukan."Iya, Nai. Papamu pun masih punya utang sama Bram. Tanpa sepengetahuanmu, Rudi telah meminjam uang yang cukup besar pada Bram dan maaf, hal itu T
Bram memacu mobil dengan kecepatan tinggi, dia melesat menuju rumah yang menjadi istananya. Dalam hatinya, Bram merindu sosok cantik yang kini menjadi istrinya, apakah dia benar-benar telah jatuh cinta pada Naila?Laki-laki berusia matang itu langsung menuju kamar. "Naila?" ucapnya yang kemudian menyalakan lampu kamar. Sayangnya Naila tidak ada dalam kamar.Bram menuju ke tempat tidur, lelaki itu memastikan kalau Naila memang tidak ada di sana ataukah matanya yang salah?"Kemana dia?" Bram duduk di tepi ranjang. "NAILAAA!!!" teriak Bram yang membangunkan asisten rumah tangganya."Kenapa, Tuan? Ada apa?" tanya asisten rumah tangganya ketika ada di depan pintu kamar Bram.Lelaki itu memandang tajam yang membuat asisten rumah tangganya bergidik takut, nyalinya ciut untuk menghampiri lelaki dengan wajah yang merah bagaikan terbakar.