Hari ini aku mendapati diriku tersenyum tanpa alasan saat memandangnya. "Eh ada Pak Heri, kenapa enggak masuk aja malah melamun di situ," ujar Suster Eni membuyarkan lamunanku. Aku tersadar ternyata dari tadi hanya memikirkan Lia, saat Suster Eni menegurku membuat Lia ikut menoleh ke arah dimana diriku berada, expresinya pun biasa saja.Entah kenapa tiba-tiba aku menjadi gugup, namun secepat mungkin berusaha menetralkan kegugupanku agar kedua wanita itu tak ada yang berpikir aneh-aneh tentangku."Di panggil Ibu buat makan siang dulu, Sus, mainnya nanti lagi. Li, kamu juga makan dulu udah di tunggu di ruang makan," ucapku. Aku melihat Lia hanya mengangguk tanpa berucap apapun lagi."Dedek, kamu udah makan belum? Kita makan ciang dulu yuk." Bukannya membalas ajakanku, Lia justru mengajak Sofyan berbicara membuatku geleng-geleng kepala."Ayo, Mbak, kita keluar dulu," ajak Suster Eni. Ia segera beranjak be
Pov LiaSiang menjelang sore, aku kembali pulang ke rumah tepatnya rumah kedua orang tuaku.Setelah berbasa-basi dan berpamitan dengan Sofyan, suster Eni, Heri dan pak Supri aku segera turun dari mobil. Namun aku merasa heran saat Heri juga ikut turun, bahkan aku sampai shock mendengar tawaran Heri."Li, Maukah kamu ikut denganku ke Jakarta?"Heri nampak serius saat mengucapkan kalimat itu, entah apa tujuannya mengajakku bersamanya. "Sekarang?" tanyaku penasaran. Aku memicingkan mata guna mencari keseriusan pada lelaki di depanku yang diam membisu menanti jawaban atas pertanyaannya.Semilir angin siang memanjakan telingaku, dedaunan bergesekan dengan hembusan angin terasa menyejukkan hati.Bibir Heri tertutup rapat namun kepalanya mengangguk memberi kode atas kebenaran dari pertanyaanku."Kenapa harus sekarang, kan kita belum sah. Takut kangen sama aku ya," godaku. Aku sengaja menggoda Heri sembari tersenyum, sejak bertemu dengannya lagi lelaki ini banyak berubah, sikapnya dingin, cu
Aku menutup mulut dengan telapak tangan, suara itu masih bisa ku ingat. Heri lah, pemilik suara dingin dan datar. Tak bisa ku percaya bila Heri bisa menelponku padahal kami belum pernah bertukar nomer hp. Apa jangan-jangan dia sudah punya nomer WhatsApp ku sejak lama? Ah, itu tidak penting, ada yang jauh lebih penting dari pada masalah nomer hp dapat dari mana."Kamu mengirim mobil itu untukku, Her?" Aku menebak dan begitu yakin kalau Heri lah pengirim mobil tersebut."Suprise, tidak ada kata penolakan. Aku ingin kamu latihan menyetir dan bisa bawa mobil sendiri." Heri berkata lembut namun sangat tegas, aku bisa merasakan itu."Ta-tapi, Her..." Aku belum selesai mengutarakan atas keberatanku dengan cepat Heri menimpali lagi, "Tidak ada kata tapi-tapian, ini perintah!"Tut...!Tut...!"Aku enggak mau, Her. Hallo, Heri...!" Aku menatap layar hp yang ternyata panggilan sudah di putu
Kami semua duduk lesehan di lantai semen tanpa alas, meski begitu lantai ini bersih karena Nur rajin membersihkannya."Eh bentar, Mbak, jangan di buka dulu." Nur bergegas masuk ke dalam kamarnya, tak lama kemudian ia keluar dengan membawa hp di tangannya.Aku tahu maksud Nur dengan mengambil hp maka dari itu aku reflek meledeknya, "Mulai deh apa-apa di kontenin."Nur tertawa ringan lalu membalas dengan santai, "Maklumlah konten kreator kok."Bukan tanpa alasan Nur berkata seperti itu, ia memang sudah dua tahun ini menjadi konten kreator di aplikasi biru, kami tak mau berkomentar apa-apa sebab dari ngonten lah Nur bisa memenuhi kebutuhannya sendiri dan membayar sekolahnya tanpa meminta uang kepada Bapak atau pun Mamak. Meski dolar yang di dapat tak setinggi para senior atau suhu tetapi itu semua sudah Alhamdulillah bagi kami."Sudah siap, Mbak, yuuh dibuka. Siapa tau isinya boom, atau justru malah uang dan emas batangan auto bakal fyp nih konten aku." Setelah menata tripod dan menaruh
Siang harinya tepat jam satu siang aku membawa kedua anakku untuk mengunjungi wisata yang ada di kecamatan. Wisata Geoprak namanya, di sana ada kolam renang, main bola, dan wahana laiiny. Aku bersama Kayla membawa motor sendiri sedangkan Shaka membonceng Nur, Buliknya.Mereka terlihat begitu semangat, untuk mengunjungi Geoprak. Suara riuh tawa anak-anak terdengar sepanjang perjalanan, membuat hatiku ikut bahagia.Sesampainya di Geoprak, Kayla dan Shaka langsung berlari menuju kolam renang. "Ibu, ayo cepat! Kita mau berenang!" teriak Kayla penuh antusias.Nur dan aku membantu mereka berganti baju renang. Tidak lama kemudian, Kayla dan Shaka sudah bermain air dengan riang, cipratan air dan tawa mereka memenuhi udara.Setelah puas berenang, kami melanjutkan ke area bermain bola. Shaka tampak sangat menikmati tendangan demi tendangan, sementara Kayla berlari-lari mengejar bola dengan semangat."Seru sekali di sini, Bu!" kata Ka
Rumah Bapak sudah penuh dengan persiapan. Dua ekor kambing sudah siap di korbankan. Tetangga dan kerabat mulai berdatangan, membawa baskom. Biasanya itu berisi beras, gula, mie, atau lainnya sesuai keikhlasan mereka. Para kerabat akan membantu masak buat makan bersama dan doa bersama untuk Shaka.Suasana penuh kehangatan dan kebersamaan mulai terasa di halaman rumah.Tepat jam delapan pagi, aku dan Bapak bersiap-siap mengantar Shaka ke dokter khitan. Shaka tampak cemas namun berusaha tetap tenang. Kami semua masuk ke dalam mobil, dengan Lek Agus yang mengemudi. Perjalanan menuju klinik dimulai, dengan suasana hati yang campur aduk."Bagaimana perasaanmu, Shaka?" tanyaku sambil menoleh ke belakang, melihat Shaka yang duduk di kursi belakang bersama Bapak dan Nur. Sedangkan Kayla duduk di pangkuanku.Shaka tersenyum kecut, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. "Sedikit tegang, Bu. Tapi aku sudah siap."Bapak yang duduk di sampingnya mencoba menenangkan Shaka. "Jangan khawatir, Shaka. P
"Astaghfirullah!" Aku membekap mulutku, tak percaya. Di dalam foto itu ada Mas Tedy yang sedang memeluk mesra Mbak Sutri dari belakang. Bahkan Mas Tedy terlihat mencumbu leher Mbak Sutri, aku tak bisa memastikan keberadaan mereka dimana. Mbak Sutri tersenyum menatap kamera, satu tangannya nampak menggenggam rambut Mas Tedy dan sudah ku pastikan kalau tangan satunya memegang hp, meski wajah lelaki itu tak menghadap kamera tetapi aku hafal betul bentuk dan ciri khas mantan suamiku. Pemandangan itu membuatku kecewa, marah, dan menduga Mas Tedy selingkuh dengan si Sutri.Aku membalas status Mbak Sutri, "Kalian mesra sekali, apa kalian selingkuh?"Pesan itu langsung terkirim dan centang dua. Tak menunggu lama, pesanku langsung dibuka Mbak Sutri dengan tanda centang berubah warna biru.Profil Mbak Sutri sedang mengetik. Tak lama kemudian ada balasan yang membuat darahku mendidih. Mbak Sutri blak-blakan mengakui perselingkuhannya dengan Mas Tedy b
"Ya sudah, yang penting kalian sehat dan bahagia," kata Mas Tedy akhirnya.Kami melanjutkan langkah menuju ruang sidang. Aku bisa merasakan tatapan keluarga mantan suamiku yang masih tertuju pada kami, namun aku memilih untuk fokus ke depan. Sesampainya di dalam ruang sidang, kami duduk di tempat yang telah ditentukan. Keluargaku duduk di barisan pendukung, memberikan semangat yang tak ternilai harganya. Hari ini, aku siap untuk menghadapi apapun yang terjadi dan melangkah ke depan dengan harapan baru.Di dalam gedung pengadilan, suasana lebih formal dan serius. Aku segera menuju ruang sidang yang sudah ditentukan. Keluargaku duduk di kursi yang disediakan untuk penonton, sementara aku mengambil tempat di depan, bersiap menghadapi sidang terakhir ini.Saat hakim memasuki ruangan, semua berdiri sejenak sebelum dipersilakan duduk kembali. Sidang dimulai, dan aku merasa seluruh perasaan campur aduk. Namun, dengan dukungan keluargaku dan keyakinan dalam diriku, aku tahu bahwa apapun hasil
Matahari sore itu memancarkan sinar keemasan, memantul indah di permukaan danau yang tenang. Lia, Heri, Shaka, Kayla, dan Sofyan sedang menikmati liburan mereka di sebuah vila di pinggir danau yang asri. Suara tawa anak-anak menggema, menyatu dengan suara alam yang damai. Kayla dan Shaka sedang bermain di dekat dermaga kayu, sementara Sofyan yang kini sudah berusia 22 bulan, berlari-lari kecil di taman rumput, tawa cerianya membuat suasana semakin hangat.Lia duduk di bangku taman, memperhatikan Sofyan yang mencoba mengejar kupu-kupu kecil. "Dia semakin besar dan lincah ya, Bang," ucap Lia sambil tersenyum penuh kebahagiaan.Heri, yang berdiri di dekatnya, mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Sofyan tumbuh begitu cepat. Rasanya baru kemarin dia masih digendong, sekarang sudah bisa lari-lari seperti ini," jawabnya sambil mendekat dan mememeluk pinggang Lia. "Kita benar-benar diberkahi dengan keluarga yang bahagia."Lia mengangguk pelan, hatinya diliputi rasa
Dua hari di kampung halaman saatnya Lia dan keluarga kembali ke Jakarta. Mereka tak bisa berlama-lama meninggalkan Sofyan bersama orang lain. Mereka berpamitan dengan suka duka, apalagi Nur yang merengek ingin ikut terus."Shaka, aku pengen ikut! Kamu di kampung aja, keenakan di kota terus lupa sama desa!" gerutu Nur."Ayo dong kalau mau ikut, memangnya Bulik enggak sekolah?" tanya Shaka."Nah itu halangannya."Mereka semua tertawa dengan tingkah Nur yang seperti anak kecil."Dadah, Bulik, kamu enggak boleh ikut. Weeee," teriak Kayla melambaikan tangan dari dalam mobil sambil menjulurkan lidahnya. "Kayla, awas kamu ya. Pokoknya aku mau kuliah di jakarta, nyusulin kamu!" balas Nur sambil berteriak juga."Hati-hati ya, Nduk, Le," ucap Pak Bambang dan Mak Isna."Enggeh, Pak, Mamak," balas Lia dan Heri secara bersamaan.Setelah semua masuk ke dalam mobil, mobil berlalu meninggalkan pekarang rumah Pak Bamba
Perjalanan yang biasanya di tempuh tujuh jam, kini lima jam telah sampai.Mobil Heri yang dikendarai Pak Supri berhenti perlahan di halaman rumah Mak Sarmi, diikuti mobil ambulans yang parkir tepat di belakangnya. Mak Sarmi keluar dari rumah dengan ekspresi bingung saat kedatangan dua kendaraan yang membuatnya merasa ada sesuatu yang tidak beres. Heri keluar dari dalam mobil dan di susul oleh Pak Supri, Lia, Shaka dan Kayla. Mak Sarmi semakin terkejut saat melihat kedatangan mantan menantu dan kedua cucunya secara tiba-tiba."Lia? Shaka, Kayla? Kamu kesini....." ucap Mak Sarmi menggantung seakan-akan ia tak percaya dengan kedatangan orang-orang yang dulu selalu ia remehkan.Mak Sarmi bahkan sempat pangkling menatap Lia, ia baru menyadari saat melihat Shaka dan Kayla. "Sayang, Salim dulu sama Mbah Uti," titah Lia setelah dirinya selesai menyalami mantan ibu mertuanya. Shaka dan Kayla pun patuh.Petugas ambul
Mobil Heri akhirnya berhenti di halaman rumah mereka. Lampu-lampu di luar rumah menyala terang, seolah menjadi satu-satunya tanda kehangatan di tengah ketegangan yang masih menyelimuti pikiran mereka. Lia dan Heri keluar dari mobil dengan tubuh yang masih bergetar, terutama Lia, yang merasa seolah napasnya belum benar-benar kembali normal."Alhamdulillah, kita selamat," gumam Lia pelan sambil menutup pintu mobil dengan tangan gemetar. Dia menatap Heri dengan mata penuh kecemasan. Wajahnya masih pucat setelah kejadian mencekam yang baru saja mereka alami.Heri diam beberapa saat, mencoba mengatur napasnya yang masih memburu. “Ya Allah, tadi itu... aku benar-benar tidak bisa berpikir. Kalau saja kita terlambat sedikit, untung saja Pak Supri sangat sigap...” ucapnya, suaranya serak.Lia mengangguk, lalu menatap rumah mereka. “Aku... aku masih merasa ada yang tidak beres. Tadi itu bukan hanya kecelakaan biasa, Bang.. ada sesuatu yang lebih dari itu.”
Hari mulai beranjak sore ketika Lia dan Heri keluar dari restoran menuju mobil, mereka baru saja mengahadiri sebuah undangan kerja sama. Langit sedikit mendung, dan suasana di dalam mobil terasa tenang. Namun, di sudut lain kota, di sebuah jalan raya dekat lampu merah, Tedy sedang menunggu dengan sabar di bawah pohon pinggir jalan seperti yang diperintahkan oleh Mbah Marni. Pohon bringin yang besar itu sifatnya sangat kuat dan membuat kota terlihat hijau, serta akarnya yang kuat mampu menahan erosi tanah."Jangan khawatir, Ted. Jin yang kuberi tugas akan memastikan Heri celaka. Kamu hanya tinggal menunggu," bisik Mbah Marni melalui sambungan telepon yang sudah disiapkan sejak tadi.Tedy menatap jam di HP-nya. “Saya sudah tidak sabar, Mbah. Lia harus segera jadi milik saya lagi.”Di sisi lain, di dalam mobil Heri, Pak Supri, tiba-tiba merasa tidak nyaman. Keningnya berkerut dan sesekali ia menengok ke kaca spion, seolah sedang mencari sesuatu yang tak terlihat oleh mata.Lia, yang dud
Lia tak menghiraukan Tedy, ia segera membuka vidio itu. Di mulai dari ruang depan. Tak lupa Heri juga ikut menonton, Excel, pak Budi dan beberapa karyawan sebisa mungkin ikut mengintip saat mereka berdua mengamati vidio tersebut mereka justru dibuat kaget. Bagaimana tidak, dalam rekaman itu tidak kelihatan seorang wanita, hanya terlihat Tedy yang sedang mendesah dan bergoyang sendirian di ruang tamu. Vidionya terlihat menjijikkan sebab Tedy tak memakai sehelai benang apapun. Mereka berdua menonton sampai selesai tiga vidio itu, namun hanya terlihat Tedy sendirian yang seperti prang kesurupan atau mabuk. Sangat jelas vidio itu tak ada siapapun kecuali Tedy sendirian. Setelah selesai menonton vidio tersebut Heri langsung merebutnya dari tangan sang istri dan melemparnya ke arah Tedy, "Sudah nuduh-nuduh enggak jelas ternyata vidio orang stres lagi birahi. Lihat saja sendiri vidio itu sampai selesai, apa kamu enggak merasa malu! Dasar laki-laki berkelainan bikin orang jijik aja!"Menden
Tedy dengan tangan gemetar meraih ponselnya, bersiap menelepon Lia untuk datang dan mendukungnya di kantor. Ia masih yakin, selama Lia ada di pihaknya, semua akan baik-baik saja. Tapi sebelum sempat menekan nomor, pintu kantor terbuka, dan di sanalah Heri bersama Lia masuk dengan wajah tersenyum.Kehadiran mereka membuat ruangan yang tadinya penuh ketegangan seketika menjadi hening. Heri dan Lia terlihat santai, seolah tidak ada masalah apa pun yang terjadi di antara mereka. Keduanya tampak harmonis, bercakap-cakap ringan sambil berjalan masuk.Heri menatap ke arah Excel dan Pak Budi, lalu bertanya dengan nada heran,“Lagi ada apa ini? Kok ramai?”Excel dan Pak Budi saling pandang sejenak sebelum Pak Budi angkat bicara. “Pak Heri, maaf mengganggu, Tedy ini karyawan OB baru, tadi bikin ulah di kantor. Dia datang dan berani mengancam kami semua. Dia bilang mau mengambil alih posisi Anda dan mengusir kami.”Mendengar penjelasan itu, Heri memandang Tedy dengan wajah terkejut. “Apa? Te
Pagi itu, Tedy berdiri di depan cermin di kosannya, memandangi penampilannya yang baru. Lia baru saja membelikannya kemeja putih dan celana panjang hitam yang tampak lebih rapi dari biasanya. Sarapan pun sudah disiapkan oleh Lia dengan penuh perhatian. Tedy merasa seperti raja, yakin bahwa hari ini adalah awal dari sesuatu yang besar.Lia tersenyum sambil membereskan sisa sarapan, “Mas Tedy, udah waktunya kamu ambil alih posisi Heri. Kamu lebih pantas dari dia. Aku yakin kamu bisa.”Tedy tersenyum lebar, merasa puas dengan perkataan Lia. Ia mengangguk, mengikat dasinya dengan gaya yang baru saja diajarkan oleh Lia. Dengan penampilan yang lebih rapi dari biasanya, ia merasa siap menaklukkan dunia. Dalam pikirannya, Heri hanyalah langkah kecil menuju kekuasaan yang lebih besar. "Aku udah siap jadi bos, Li," kata Tedy sambil merapikan kemejanya. "Mulai hari ini, semua orang bakal liat siapa yang lebih pantas," imbuhnya lagi.Dengan percaya diri yang tinggi, Tedy melangkah keluar dari
Pagi itu, Tedy terbangun dengan mata yang masih berat. Ia meraba tempat tidur di sebelahnya, mencari sosok Lia yang biasanya selalu ada di sana. Namun, yang ia temukan hanyalah dinginnya kasur tanpa kehadiran Lia. Ia bangkit setengah terhuyung, menatap jam dinding yang menunjukkan pukul satu siang.Tedy bergumam pelan, “Gila, gue ketiduran sampe siang gini.”Tedy menyandarkan punggungnya di kepala ranjang, mencoba mengingat kejadian semalam. Senyum tipis mengembang di wajahnya. Ia teringat betapa berbeda malam tadi. Lia benar-benar berbeda, begitu liar dan menggairahkan. Bahkan, ia merasa heran pada dirinya sendiri—senjatanya, yang biasanya hanya bertahan sepuluh menit, kini kuat dan bertahan sepanjang malam. Ia keluar lebih dari sekali, sesuatu yang belum pernah terjadi dalam hidupnya.Tedy tertawa kecil, “Lia emang ganas semalam… tapi kenapa aku bisa sekuat itu, ya?”Tedy mengangkat bahu, tak terlalu memikirkan jawabannya. Baginya, semalam adalah malam yang sempurna. Lia pasti sudah