Dua hari telah berlalu, tepatnya hari Jumat Heri memutuskan untuk bekerja setengah hari saja. Sebab, kedua orang tuanya akan pulang kampung bersama Nur. Pagi ini Lia berbelanja banyak membeli oleh-oleh untuk dibawa pulang Nur dan Ibu mertuanya, meski mereka melarang tetapi Lia tetap memaksa.Lia memutuskan mengajak sang adik berbelanja oleh-oleh di mall untuk dibawa pulang kampung. Di antara rak-rak yang penuh dengan barang, mereka mencari berbagai macam produk yang bisa dibawa pulang untuk keluarga dan tetangganya.Lia melihat berbagai pilihan dan berkata, "Nur, aku ingin mencari sesuatu yang spesial untuk Mamak dan Bapak. Mereka pasti suka kalau dikasih oleh-oleh yang unik."Nur mengangguk setuju. "Iya, Mbak. Gimana kalau beli kerajinan tangan yang mereka belum pernah lihat?""Oke," balas Lia.Mereka menuju ke toko oleh-oleh yang menjual barang-barang kerajinan tangan. Lia memilih beberapa buah tangan berupa kain tenun dan aksesoris. Dia juga menambahkan beberapa souvenir kecil sepe
Lia berusaha untuk tetap tenang dan tidak menghiraukan tatapan tajam Sandra. Ia tahu bahwa Sandra memiliki kebencian yang mendalam terhadapnya, namun Lia memutuskan untuk fokus pada Kayla dan tidak membiarkan masalah ini mengganggu suasana hari itu. Dengan senyuman lembut, Lia membimbing Kayla menuju kelas, berusaha menciptakan suasana positif untuk anaknya meskipun ada ketegangan di sekelilingnya.Beruntung, para guru segera datang dan meminta anak-anak untuk segera masuk, Lia menunggu Kayla dengan cara menjauh dari keberadaan Sandra. Memang harus begitu kan lebih baik menjauh daripada terjadi keributan.Beberapa guru mengumpulkan kelas paud, TK kecil dan TK besar menjadi satu. Anak-anak itu melaksanakan kegiatan MPLS bersama, dan kegiatan belajar mengajar akan aktif di adakan satu minggu kemudian.Dari kejauhan Sandra mengajak Lely untuk mencari keberadaan Lia. Namun Lely menolak sebab putranya tak mau di tinggal. "Ih, anak elo tuh payah ya. Lihatlah anak gue aja udah berani sendir
Lia memasangkan dasi pada Heri dengan penuh perhatian. "Bang, apa kamu benar-benar tidak bisa datang ke acara di sekolah Kayla? Di sana ada Mak lampir yang terus mengintaiku loh, dia selalu membuatku merasa enggak nyaman."Heri memandang Lia dengan penuh pengertian. "Maaf, Li. Aku sangat ingin datang, tapi pekerjaan di kantor benar-benar padat hari ini. Tapi aku percaya kamu bisa menghadapi Sandra. Ingatlah, kamu lebih kuat dari yang kamu kira. Jangan biarkan dia merusak hari istimewa Kayla, aku yakin kamu pasti bisa melawannya." Lia mengangguk, berusaha meyakinkan dirinya dengan kata-kata sang suami, meskipun hatinya masih merasa cemas.Setelah selesai sarapan Heri berangkat ke kantor di antar Pak Supri sedangkan Lia memilih membawa mobilnya sendiri. Ia melajukan mobilnya dengan santai, agar tak terjadi marabahaya.Hari ini hari ketiga MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah). Wali murid diminta kehadirannya untuk membahas berbagai hal terkait administrasi dan biaya yang bertujuan
*Bagaimanapun keadaan kita, mau sedih, bahagia, waktu tidak pernah berhenti untuk menunggu. Waktu tetap berjalan.*Pak Subroto melanjutkan dengan nada serius, "Beliau adalah salah satu donatur utama dan anggota dewan pengurus sekolah ini. Kami sangat menghargai kontribusi dan dukungan beliau untuk perkembangan sekolah kita." Sementara itu, tatapan semua orang tertuju pada Heri, menunggu penjelasan lebih lanjut dan meresapi peran penting yang dimilikinya di sekolah tersebut.Pak Subroto melanjutkan, "Beliau juga berperan sebagai penasihat strategis dalam setiap keputusan besar yang kami ambil. Dengan dukungan dan pengalamannya, Bapak Heri Sugiarto membantu memastikan bahwa sekolah ini dapat terus berkembang dan memberikan yang terbaik bagi anak-anak kita."Dengan penjelasan ini, jelas bahwa Heri memiliki posisi yang sangat penting dalam struktur manajerial sekolah, dan semua orang di aula semakin memahami betapa berpengaruhnya dia dalam keputusan yang diambil."Bang," ucap Lia dengan
*Jika kamu mencari satu orang yang akan mengubah hidupmu, lihatlah di cermin.*______"Kalau enggak terbukti ya Alhamdulillah dong, berarti Ratna murni sakit dan kecelakaannya juga murni tanpa di rekayasa. Tapi, kayaknya cuma buang-buang waktu aja ya, Bang," balas Lia. Sejujurnya ia sangat curiga dengan Sandra, sebab Wanita itu seperti monster yang siap menerkam siapa saja yang dia anggap penghalang hidupnya."Li, jika kita menyia-nyiakan waktu maka kita yang akan disia-siakan oleh waktu. Kita tidak dapat mengubah apa yang telah terjadi, jadi jangan buang waktu kita untuk memikirkannya. Lanjutkan, lepaskan dan selesaikan. Jadi aku akan melanjutkan rencanamu dimulai dari menyelidiki tempat pengobatan Ratna yang di rekomendasikan oleh Sandra," ujar Heri tak mau mematahkan semangat sang istri.Lia tersenyum saat Heri punya semangat untuk menyelidiki kecurigaan hatinya. "Semangat ya, Bang, apapun yang kamu lakukan selama itu masih di jalan yang benar aku akan selalu mendukungmu," balas Li
Polisi yang memimpin operasi itu menjawab dengan tegas, "Kami mendapat laporan ada aktivitas ilegal di sini. Kami harus memeriksa dan menangkap semua yang terlibat."Sandra terlihat masih bingung dan panik. Ia menatap ke arah Dewi yang hanya Dian tertunduk, sahabatnya itu pasrah saat tangannya di borgol sedangkan dirinya terus meronta."Pak, saya enggak bersalah apapun. Ini klinik punya dia, ilegal apanya? Bapak semua harus tahu kalau klinik ini sudah resmi dan mendapat izin dari pemerintah, jadi Bapak polisi semua jangan asal menuduh apalagi menangkap saya yang tidak tahu apa-apa ya!" Sandra terus meronta-ronta berusaha melepaskan diri namun tenaganya kalah kuat dari lelaki.Polisi itu tidak memberi kesempatan untuk penjelasan lebih lanjut, Sandra dan Dewi di gelandang keluar untuk dibawa ke kantor polisi. Sedang sebagian anggota polisi lainnya, mereka mulai menggeledah ruangan dan memeriksa semua barang di sekitar mereka. Sandra merasakan ketegangan yang semakin memuncak saat menata
Sesampainya Heri dan Lia di kantor polisi, mereka disambut oleh petugas yang siap membantu. Heri segera bertanya tentang keberadaan Sandra dan Dewi, tetapi petugas tersebut mengatakan bahwa keduanya masih berada di ruangan penyelidikan. Petugas meminta mereka untuk menunggu di ruang tunggu sementara proses penyelidikan berlangsung. Heri dan Lia duduk di ruang tunggu, dengan Heri yang tampak gelisah sementara Lia mencoba untuk tetap tenang dan bersabar. Dua jam telah berlalu namun Sandra dan Dewi tak kunjung keluar dari ruangan penyelidikan membuat Lia merasa jenuh. "Ternyata lama juga ya, Bang?" ujar Lia yang sudah merasa bosan. Sedangkan Heri sejak tadi mondar-mandir tak tenang. "Iya, mungkin mereka susah saat diinterogasi," balas Heri. Entah kenapa dirinya merasa begitu cemas seakan-akan ada gejolak emosi yang merasuki dirinya padahal ia sama sekali tak mau su'udzon dengan Sandra. Hati dan pikirannya benar-benar sedang bertolak belakang. Tak lama kemudian Sandra dan Dewi bese
Heri dan Lia duduk di hadapan penyidik, meja kayu besar di antara mereka. Ruangan itu terasa sunyi, hanya terdengar suara detak jam dinding yang berdetak pelan. Lia memegang tangan Heri erat, memberikan dukungan agar suaminya tetap tenang.Penyidik, seorang pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih, membuka berkas di depannya dan mengangkat wajahnya untuk menatap pasangan itu. "Selamat sore Bapak dan Ibu, silakan duduk. Apa ada yang bisa kami bantu?"Heri dan Lia mengangguk pelan, mereka duduk di kursi di hadapan petugas tersebut. "Sore juga, Pak. Kami ingin tahu lebih banyak tentang korban bernama Wijayanti Ratnasari. Bolehkah saya mengetahui identitasnya lebih lengkap?" tanya Heri, suaranya bergetar sedikit.Penyidik menatap Heri dan Lia penuh tanya, "Apakah Anda keluarga korban?"Heri menatap penyidik dengan mata penuh determinasi. "Perkenalkan, saya Heri Sugiarto. Almarhumah istri saya bernama Wijayanti Ratnasari dan ini Liani, istri saya yang sekarang. Sandra dan Dewi ada
Matahari sore itu memancarkan sinar keemasan, memantul indah di permukaan danau yang tenang. Lia, Heri, Shaka, Kayla, dan Sofyan sedang menikmati liburan mereka di sebuah vila di pinggir danau yang asri. Suara tawa anak-anak menggema, menyatu dengan suara alam yang damai. Kayla dan Shaka sedang bermain di dekat dermaga kayu, sementara Sofyan yang kini sudah berusia 22 bulan, berlari-lari kecil di taman rumput, tawa cerianya membuat suasana semakin hangat.Lia duduk di bangku taman, memperhatikan Sofyan yang mencoba mengejar kupu-kupu kecil. "Dia semakin besar dan lincah ya, Bang," ucap Lia sambil tersenyum penuh kebahagiaan.Heri, yang berdiri di dekatnya, mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Sofyan tumbuh begitu cepat. Rasanya baru kemarin dia masih digendong, sekarang sudah bisa lari-lari seperti ini," jawabnya sambil mendekat dan mememeluk pinggang Lia. "Kita benar-benar diberkahi dengan keluarga yang bahagia."Lia mengangguk pelan, hatinya diliputi rasa
Dua hari di kampung halaman saatnya Lia dan keluarga kembali ke Jakarta. Mereka tak bisa berlama-lama meninggalkan Sofyan bersama orang lain. Mereka berpamitan dengan suka duka, apalagi Nur yang merengek ingin ikut terus."Shaka, aku pengen ikut! Kamu di kampung aja, keenakan di kota terus lupa sama desa!" gerutu Nur."Ayo dong kalau mau ikut, memangnya Bulik enggak sekolah?" tanya Shaka."Nah itu halangannya."Mereka semua tertawa dengan tingkah Nur yang seperti anak kecil."Dadah, Bulik, kamu enggak boleh ikut. Weeee," teriak Kayla melambaikan tangan dari dalam mobil sambil menjulurkan lidahnya. "Kayla, awas kamu ya. Pokoknya aku mau kuliah di jakarta, nyusulin kamu!" balas Nur sambil berteriak juga."Hati-hati ya, Nduk, Le," ucap Pak Bambang dan Mak Isna."Enggeh, Pak, Mamak," balas Lia dan Heri secara bersamaan.Setelah semua masuk ke dalam mobil, mobil berlalu meninggalkan pekarang rumah Pak Bamba
Perjalanan yang biasanya di tempuh tujuh jam, kini lima jam telah sampai.Mobil Heri yang dikendarai Pak Supri berhenti perlahan di halaman rumah Mak Sarmi, diikuti mobil ambulans yang parkir tepat di belakangnya. Mak Sarmi keluar dari rumah dengan ekspresi bingung saat kedatangan dua kendaraan yang membuatnya merasa ada sesuatu yang tidak beres. Heri keluar dari dalam mobil dan di susul oleh Pak Supri, Lia, Shaka dan Kayla. Mak Sarmi semakin terkejut saat melihat kedatangan mantan menantu dan kedua cucunya secara tiba-tiba."Lia? Shaka, Kayla? Kamu kesini....." ucap Mak Sarmi menggantung seakan-akan ia tak percaya dengan kedatangan orang-orang yang dulu selalu ia remehkan.Mak Sarmi bahkan sempat pangkling menatap Lia, ia baru menyadari saat melihat Shaka dan Kayla. "Sayang, Salim dulu sama Mbah Uti," titah Lia setelah dirinya selesai menyalami mantan ibu mertuanya. Shaka dan Kayla pun patuh.Petugas ambul
Mobil Heri akhirnya berhenti di halaman rumah mereka. Lampu-lampu di luar rumah menyala terang, seolah menjadi satu-satunya tanda kehangatan di tengah ketegangan yang masih menyelimuti pikiran mereka. Lia dan Heri keluar dari mobil dengan tubuh yang masih bergetar, terutama Lia, yang merasa seolah napasnya belum benar-benar kembali normal."Alhamdulillah, kita selamat," gumam Lia pelan sambil menutup pintu mobil dengan tangan gemetar. Dia menatap Heri dengan mata penuh kecemasan. Wajahnya masih pucat setelah kejadian mencekam yang baru saja mereka alami.Heri diam beberapa saat, mencoba mengatur napasnya yang masih memburu. “Ya Allah, tadi itu... aku benar-benar tidak bisa berpikir. Kalau saja kita terlambat sedikit, untung saja Pak Supri sangat sigap...” ucapnya, suaranya serak.Lia mengangguk, lalu menatap rumah mereka. “Aku... aku masih merasa ada yang tidak beres. Tadi itu bukan hanya kecelakaan biasa, Bang.. ada sesuatu yang lebih dari itu.”
Hari mulai beranjak sore ketika Lia dan Heri keluar dari restoran menuju mobil, mereka baru saja mengahadiri sebuah undangan kerja sama. Langit sedikit mendung, dan suasana di dalam mobil terasa tenang. Namun, di sudut lain kota, di sebuah jalan raya dekat lampu merah, Tedy sedang menunggu dengan sabar di bawah pohon pinggir jalan seperti yang diperintahkan oleh Mbah Marni. Pohon bringin yang besar itu sifatnya sangat kuat dan membuat kota terlihat hijau, serta akarnya yang kuat mampu menahan erosi tanah."Jangan khawatir, Ted. Jin yang kuberi tugas akan memastikan Heri celaka. Kamu hanya tinggal menunggu," bisik Mbah Marni melalui sambungan telepon yang sudah disiapkan sejak tadi.Tedy menatap jam di HP-nya. “Saya sudah tidak sabar, Mbah. Lia harus segera jadi milik saya lagi.”Di sisi lain, di dalam mobil Heri, Pak Supri, tiba-tiba merasa tidak nyaman. Keningnya berkerut dan sesekali ia menengok ke kaca spion, seolah sedang mencari sesuatu yang tak terlihat oleh mata.Lia, yang dud
Lia tak menghiraukan Tedy, ia segera membuka vidio itu. Di mulai dari ruang depan. Tak lupa Heri juga ikut menonton, Excel, pak Budi dan beberapa karyawan sebisa mungkin ikut mengintip saat mereka berdua mengamati vidio tersebut mereka justru dibuat kaget. Bagaimana tidak, dalam rekaman itu tidak kelihatan seorang wanita, hanya terlihat Tedy yang sedang mendesah dan bergoyang sendirian di ruang tamu. Vidionya terlihat menjijikkan sebab Tedy tak memakai sehelai benang apapun. Mereka berdua menonton sampai selesai tiga vidio itu, namun hanya terlihat Tedy sendirian yang seperti prang kesurupan atau mabuk. Sangat jelas vidio itu tak ada siapapun kecuali Tedy sendirian. Setelah selesai menonton vidio tersebut Heri langsung merebutnya dari tangan sang istri dan melemparnya ke arah Tedy, "Sudah nuduh-nuduh enggak jelas ternyata vidio orang stres lagi birahi. Lihat saja sendiri vidio itu sampai selesai, apa kamu enggak merasa malu! Dasar laki-laki berkelainan bikin orang jijik aja!"Menden
Tedy dengan tangan gemetar meraih ponselnya, bersiap menelepon Lia untuk datang dan mendukungnya di kantor. Ia masih yakin, selama Lia ada di pihaknya, semua akan baik-baik saja. Tapi sebelum sempat menekan nomor, pintu kantor terbuka, dan di sanalah Heri bersama Lia masuk dengan wajah tersenyum.Kehadiran mereka membuat ruangan yang tadinya penuh ketegangan seketika menjadi hening. Heri dan Lia terlihat santai, seolah tidak ada masalah apa pun yang terjadi di antara mereka. Keduanya tampak harmonis, bercakap-cakap ringan sambil berjalan masuk.Heri menatap ke arah Excel dan Pak Budi, lalu bertanya dengan nada heran,“Lagi ada apa ini? Kok ramai?”Excel dan Pak Budi saling pandang sejenak sebelum Pak Budi angkat bicara. “Pak Heri, maaf mengganggu, Tedy ini karyawan OB baru, tadi bikin ulah di kantor. Dia datang dan berani mengancam kami semua. Dia bilang mau mengambil alih posisi Anda dan mengusir kami.”Mendengar penjelasan itu, Heri memandang Tedy dengan wajah terkejut. “Apa? Te
Pagi itu, Tedy berdiri di depan cermin di kosannya, memandangi penampilannya yang baru. Lia baru saja membelikannya kemeja putih dan celana panjang hitam yang tampak lebih rapi dari biasanya. Sarapan pun sudah disiapkan oleh Lia dengan penuh perhatian. Tedy merasa seperti raja, yakin bahwa hari ini adalah awal dari sesuatu yang besar.Lia tersenyum sambil membereskan sisa sarapan, “Mas Tedy, udah waktunya kamu ambil alih posisi Heri. Kamu lebih pantas dari dia. Aku yakin kamu bisa.”Tedy tersenyum lebar, merasa puas dengan perkataan Lia. Ia mengangguk, mengikat dasinya dengan gaya yang baru saja diajarkan oleh Lia. Dengan penampilan yang lebih rapi dari biasanya, ia merasa siap menaklukkan dunia. Dalam pikirannya, Heri hanyalah langkah kecil menuju kekuasaan yang lebih besar. "Aku udah siap jadi bos, Li," kata Tedy sambil merapikan kemejanya. "Mulai hari ini, semua orang bakal liat siapa yang lebih pantas," imbuhnya lagi.Dengan percaya diri yang tinggi, Tedy melangkah keluar dari
Pagi itu, Tedy terbangun dengan mata yang masih berat. Ia meraba tempat tidur di sebelahnya, mencari sosok Lia yang biasanya selalu ada di sana. Namun, yang ia temukan hanyalah dinginnya kasur tanpa kehadiran Lia. Ia bangkit setengah terhuyung, menatap jam dinding yang menunjukkan pukul satu siang.Tedy bergumam pelan, “Gila, gue ketiduran sampe siang gini.”Tedy menyandarkan punggungnya di kepala ranjang, mencoba mengingat kejadian semalam. Senyum tipis mengembang di wajahnya. Ia teringat betapa berbeda malam tadi. Lia benar-benar berbeda, begitu liar dan menggairahkan. Bahkan, ia merasa heran pada dirinya sendiri—senjatanya, yang biasanya hanya bertahan sepuluh menit, kini kuat dan bertahan sepanjang malam. Ia keluar lebih dari sekali, sesuatu yang belum pernah terjadi dalam hidupnya.Tedy tertawa kecil, “Lia emang ganas semalam… tapi kenapa aku bisa sekuat itu, ya?”Tedy mengangkat bahu, tak terlalu memikirkan jawabannya. Baginya, semalam adalah malam yang sempurna. Lia pasti sudah