Dua hari telah berlalu, teras rumah Bapak kiji di sulap menjadi warung. Aku juga sudah mengisinya dengan barang-barang sembako. Sebelumnya aku berbelanja lewat aplikasi Oren, menurutku itu jauh lebih murah dari pada beli di pasar apalagi aku mendapat free ongkir. Berbeda saat masih di rumah Mas Tedy modalku sangat minim dan terbatas jadi aku memilih membeli di pasar sesuai dengan uang yang ku punya.Baru sehari buka Alhamdulillah tetangga pada beli apalagi di sekitaran rumah Bapak belum ada warung, aku ke pasar hanya membeli jajanan Chiki dan bumbu dapur seperti cabai, bawang, Miri, serta sejenisnya. "Assalamualaikum."Saat mendengar suara salam dari luar aku segera menjawab dan menghampiri keluar, "Wa'alaikumsalam."Tak ku sangka malam ini Heri datang berkunjung, aku berusaha tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyambutnya meski hatiku terasa jedag jedug."Hai Heri," sapaku."Hallo, Li," balas Heri menerima uluran tanganku. Kami berjabat tangan seperti seorang yang teman yang su
POV TEDY "Ahh....!!"Prang!!!Aku yang merasa kesal serta frustasi karena bau dengan tumpukan piring menendang panci yang ada di dapur. Baru juga dua Minggu Lia keluar dari sini tetapi rumah ini sudah seperti kapal pecah membuat kepalaku terasa cenat cenut."Lapar sekali perutku, mana udah enggak ada makanan. Masa iya aku cuma makan pakai nasi doang mana telur dan mie rebus di warung habis lagi," gumamku merasa prustasi.Warung Lia ku tutup sejak ia keluar dari rumah ini dan isinya ku gunakan hingga habis, bahkan Mbak Sutri dan Mamak ikut menggunakannya. Aku keluar dari dapur dan melihat ruang tengah sampai ruang tamu, sampah jajan serta mainan Kayla berserakan dimana-mana. Bukan Kayla yang membuat ini berantakan tetapi Arslen keponakanku."Ternyata begini rasanya hidup tanpa istri, selain sepi tapi juga sulit. Iih bau apa lagi sih ini," ucapku. Aku mengendus bau gosong entah berasal dari mana.Aku kembali ke dapur melihat kompor, siapa tahu aku sedang menyalakan kompor dan lupa mem
Irfan terlihat begitu terkejut saat melihat wanita tak asing baginya masuk menghampiri nya. Dengan cepat Mira bisa menguasai diri, ia memilih berpura-pura tak mengenali lelaki yang sudah mencampakkannya namun berbeda dengan Irfan yang menatapnya begitu lekat hingga tak berkedip. David dan Mira berjabat tangan dengan Pak Guntoro dan beralih pada Irfan, namun lelaki itu tak merespon apapun dia seolah-olah terpesona dengan perubahan wanita di depannya. Ahhayyy... "Pak Irfan, heii." Pak Guntoro menepuk-nepuk lengan Irfan hingga akhirnya lelaki itu tersadar dari lamunannya dan membalas uluran tangan David dan Mira.Pertemuan mereka membicarakan tentang desain-desain yang Mira buat, David yang menawarkan harga serta mempromosikannya. Amira melihat David terlihat begitu tenang saat memasarkan karyanya membuat Mira tak henti-hentinya memuji di dalam hati tentang keahlihannya. Dua jam akhirnya keputusan telah di tentukan, Pak Guntoro setuju cabang-cabang butiknya mengambil barang dari perus
Hatiku merasa lega setelah surat panggilan dari pengadilan ku terima, tentunya Mas Tedy juga sudah menerima surat yang sama sepertiku.Nanti sore Heri akan kembali ke Jakarta karena ia tak bisa meninggalkan pekerjaannya terlalu lama, Mamak memintaku untuk berkunjung ke rumah Bu Salma karena Heri belum tahu kapan akan kembali main ke kampung lagi selama menunggu masa iddahku selesai."Tapi, Mak, aku malu lah kalau ke sana. Masa iya sih, perempuan berkunjung ke rumah lelaki yang bukan mahramnya." Aku yang gengsi berusaha menolak perintah Mamak."Enggak apa-apa, Li, kan Heri calon suamimu, biar kamu juga bisa mendekati putranya, mengambil hati putra Heri," ujar Mamak. Beliau terlihat sedikit memaksa agar aku pendekatan dengan Heri kecil."Tapi, Mak, kita kan belum tunangan." Aku masih berusaha mendebatnya."Assalamualaikum...." saat aku dan Mamak masih berdebat tiba-tiba terdengar suara salam dari luar."Wa'alaikumsalam," balasku dan Mamak bersamaan. Kami segera keluar dan melihat siapa
"Kalau boleh tahu, apa alasan kamu bercerai dengan mantan suamimu? Tapi kalau kamu enggak mau ngasih tahu juga enggak apa-apa kok," cetus Hery. Pertanyaan itu meluncur dari bibirnya yang nampak sensual, ternyata aku benar-benar merasa ke-PD-an.Aku memalingkan wajah merasa malu karena sudah berharap terlalu tinggi, mana mungkin lelaki setampan Heri akan jatuh cinta dengan wanita burik sepertiku."Jangan bilang kalau udah enggak ada kecocokan ya, kalau kamu jawab seperti itu mending enggak usah ngomong sekalian. Karena orang yang berpisah pasti alasannya selalu sudah enggak cocok," imbuh Heri. Sepertinya ia tahu apa yang akan ku katakan, apa jangan-jangan dia bisa baca pikiranku ya."Iya, memang yang pertama karena kita udah enggak ada kecocokan makanya kita enggak pernah saling menghargai lagi. Buat apa bertahan dengan orang yang tidak pernah menghargai keberadaan kita, buat apa kita terus bersama dengan orang yang selalu menjatuhkan mentalku dan anak-anak. Lebih baik berpisah dan hid
**Flasbac**Siang hari di bawah teriknya matahari aku beristirahat di bawah pohon pisang sembari mengawasi kambing peliharaan ku. Kambing berjumlah sepuluh biji itu sedang memakan rumput-rumput hijau, yang kecil-kecil ada yang sedang meny*** pada induknya.Tiba-tiba ada tiga orang berseragam putih abu mengendarai sepedanya berhenti di hadapanku."Kasihan sekali si miskin enggak sekolah malah gelut sama embek," ucap Vita sembari tertawa dan di sambut kedua temannya yang ikut tertawa.Aku tak membalas ocehan mereka dan memilih menghadap langit yang cerah, ku gelitik telingaku dengan rumput yang membuat rasa geli menjalar di tubuhku."Enggak sekolah cuma angon embek, mana bau embek lagi. Iihh jijik banget aku!" imbuh Vita. Saat ku lirik ia bergidik ngeri seakan-akan aku ini memang benda yang sangat menjijikkan.Tak lama setelah itu ada Heri dan Salwa yang lewat, mereka juga mengendarai sepedanya masing
POV HeriAku tidak mencintainya tetapi, bagaimana mungkin aku akan menikahinya. Bahkan aku sudah mengatakan dengan jujur bahwa hatiku masih sangat mencintai mendiang istriku, dan meminta Lia untuk mundur. Namun wanita itu keras kelapa ia tetap maju dan mengatakan kalau pernikahan kami untuk Sofyan. Aneh sekali memang dia.Setelah memarkirkan mobil aku mengajak Lia turun dan segera masuk ke dalam rumah Ibu."Assalamualaikum," ucapku bersamaan dengan Lia juga.Sepi, kemana Ibu?Aku mengajak Lia untuk langsung menuju kamar Ibu, namun ternyata kamar Ibu juga kosong. Akhirnya ku putuskan untuk ke kamarku saja."Assalamualaikum, Bu, aku pulang." Aku membuka lebar pintu kamar yang tak tertutup rapat."Assalamualaikum, Bu," sapa Lia dengan tersenyum."Wa'alaikumsalam kamu sudah pulang, Her? Ehh ada Lia juga ya. Sini, Nak, masuk," pinta Ibu.Kami berjalan beriringan menghampiri Ibu yang duduk di sudut ranjang sembari memangku Sofyan, putra bungsuku bersama almarhumah Rania, mendiang istri dan
Hari ini aku mendapati diriku tersenyum tanpa alasan saat memandangnya. "Eh ada Pak Heri, kenapa enggak masuk aja malah melamun di situ," ujar Suster Eni membuyarkan lamunanku. Aku tersadar ternyata dari tadi hanya memikirkan Lia, saat Suster Eni menegurku membuat Lia ikut menoleh ke arah dimana diriku berada, expresinya pun biasa saja.Entah kenapa tiba-tiba aku menjadi gugup, namun secepat mungkin berusaha menetralkan kegugupanku agar kedua wanita itu tak ada yang berpikir aneh-aneh tentangku."Di panggil Ibu buat makan siang dulu, Sus, mainnya nanti lagi. Li, kamu juga makan dulu udah di tunggu di ruang makan," ucapku. Aku melihat Lia hanya mengangguk tanpa berucap apapun lagi."Dedek, kamu udah makan belum? Kita makan ciang dulu yuk." Bukannya membalas ajakanku, Lia justru mengajak Sofyan berbicara membuatku geleng-geleng kepala."Ayo, Mbak, kita keluar dulu," ajak Suster Eni. Ia segera beranjak be
Matahari sore itu memancarkan sinar keemasan, memantul indah di permukaan danau yang tenang. Lia, Heri, Shaka, Kayla, dan Sofyan sedang menikmati liburan mereka di sebuah vila di pinggir danau yang asri. Suara tawa anak-anak menggema, menyatu dengan suara alam yang damai. Kayla dan Shaka sedang bermain di dekat dermaga kayu, sementara Sofyan yang kini sudah berusia 22 bulan, berlari-lari kecil di taman rumput, tawa cerianya membuat suasana semakin hangat.Lia duduk di bangku taman, memperhatikan Sofyan yang mencoba mengejar kupu-kupu kecil. "Dia semakin besar dan lincah ya, Bang," ucap Lia sambil tersenyum penuh kebahagiaan.Heri, yang berdiri di dekatnya, mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Sofyan tumbuh begitu cepat. Rasanya baru kemarin dia masih digendong, sekarang sudah bisa lari-lari seperti ini," jawabnya sambil mendekat dan mememeluk pinggang Lia. "Kita benar-benar diberkahi dengan keluarga yang bahagia."Lia mengangguk pelan, hatinya diliputi rasa
Dua hari di kampung halaman saatnya Lia dan keluarga kembali ke Jakarta. Mereka tak bisa berlama-lama meninggalkan Sofyan bersama orang lain. Mereka berpamitan dengan suka duka, apalagi Nur yang merengek ingin ikut terus."Shaka, aku pengen ikut! Kamu di kampung aja, keenakan di kota terus lupa sama desa!" gerutu Nur."Ayo dong kalau mau ikut, memangnya Bulik enggak sekolah?" tanya Shaka."Nah itu halangannya."Mereka semua tertawa dengan tingkah Nur yang seperti anak kecil."Dadah, Bulik, kamu enggak boleh ikut. Weeee," teriak Kayla melambaikan tangan dari dalam mobil sambil menjulurkan lidahnya. "Kayla, awas kamu ya. Pokoknya aku mau kuliah di jakarta, nyusulin kamu!" balas Nur sambil berteriak juga."Hati-hati ya, Nduk, Le," ucap Pak Bambang dan Mak Isna."Enggeh, Pak, Mamak," balas Lia dan Heri secara bersamaan.Setelah semua masuk ke dalam mobil, mobil berlalu meninggalkan pekarang rumah Pak Bamba
Perjalanan yang biasanya di tempuh tujuh jam, kini lima jam telah sampai.Mobil Heri yang dikendarai Pak Supri berhenti perlahan di halaman rumah Mak Sarmi, diikuti mobil ambulans yang parkir tepat di belakangnya. Mak Sarmi keluar dari rumah dengan ekspresi bingung saat kedatangan dua kendaraan yang membuatnya merasa ada sesuatu yang tidak beres. Heri keluar dari dalam mobil dan di susul oleh Pak Supri, Lia, Shaka dan Kayla. Mak Sarmi semakin terkejut saat melihat kedatangan mantan menantu dan kedua cucunya secara tiba-tiba."Lia? Shaka, Kayla? Kamu kesini....." ucap Mak Sarmi menggantung seakan-akan ia tak percaya dengan kedatangan orang-orang yang dulu selalu ia remehkan.Mak Sarmi bahkan sempat pangkling menatap Lia, ia baru menyadari saat melihat Shaka dan Kayla. "Sayang, Salim dulu sama Mbah Uti," titah Lia setelah dirinya selesai menyalami mantan ibu mertuanya. Shaka dan Kayla pun patuh.Petugas ambul
Mobil Heri akhirnya berhenti di halaman rumah mereka. Lampu-lampu di luar rumah menyala terang, seolah menjadi satu-satunya tanda kehangatan di tengah ketegangan yang masih menyelimuti pikiran mereka. Lia dan Heri keluar dari mobil dengan tubuh yang masih bergetar, terutama Lia, yang merasa seolah napasnya belum benar-benar kembali normal."Alhamdulillah, kita selamat," gumam Lia pelan sambil menutup pintu mobil dengan tangan gemetar. Dia menatap Heri dengan mata penuh kecemasan. Wajahnya masih pucat setelah kejadian mencekam yang baru saja mereka alami.Heri diam beberapa saat, mencoba mengatur napasnya yang masih memburu. “Ya Allah, tadi itu... aku benar-benar tidak bisa berpikir. Kalau saja kita terlambat sedikit, untung saja Pak Supri sangat sigap...” ucapnya, suaranya serak.Lia mengangguk, lalu menatap rumah mereka. “Aku... aku masih merasa ada yang tidak beres. Tadi itu bukan hanya kecelakaan biasa, Bang.. ada sesuatu yang lebih dari itu.”
Hari mulai beranjak sore ketika Lia dan Heri keluar dari restoran menuju mobil, mereka baru saja mengahadiri sebuah undangan kerja sama. Langit sedikit mendung, dan suasana di dalam mobil terasa tenang. Namun, di sudut lain kota, di sebuah jalan raya dekat lampu merah, Tedy sedang menunggu dengan sabar di bawah pohon pinggir jalan seperti yang diperintahkan oleh Mbah Marni. Pohon bringin yang besar itu sifatnya sangat kuat dan membuat kota terlihat hijau, serta akarnya yang kuat mampu menahan erosi tanah."Jangan khawatir, Ted. Jin yang kuberi tugas akan memastikan Heri celaka. Kamu hanya tinggal menunggu," bisik Mbah Marni melalui sambungan telepon yang sudah disiapkan sejak tadi.Tedy menatap jam di HP-nya. “Saya sudah tidak sabar, Mbah. Lia harus segera jadi milik saya lagi.”Di sisi lain, di dalam mobil Heri, Pak Supri, tiba-tiba merasa tidak nyaman. Keningnya berkerut dan sesekali ia menengok ke kaca spion, seolah sedang mencari sesuatu yang tak terlihat oleh mata.Lia, yang dud
Lia tak menghiraukan Tedy, ia segera membuka vidio itu. Di mulai dari ruang depan. Tak lupa Heri juga ikut menonton, Excel, pak Budi dan beberapa karyawan sebisa mungkin ikut mengintip saat mereka berdua mengamati vidio tersebut mereka justru dibuat kaget. Bagaimana tidak, dalam rekaman itu tidak kelihatan seorang wanita, hanya terlihat Tedy yang sedang mendesah dan bergoyang sendirian di ruang tamu. Vidionya terlihat menjijikkan sebab Tedy tak memakai sehelai benang apapun. Mereka berdua menonton sampai selesai tiga vidio itu, namun hanya terlihat Tedy sendirian yang seperti prang kesurupan atau mabuk. Sangat jelas vidio itu tak ada siapapun kecuali Tedy sendirian. Setelah selesai menonton vidio tersebut Heri langsung merebutnya dari tangan sang istri dan melemparnya ke arah Tedy, "Sudah nuduh-nuduh enggak jelas ternyata vidio orang stres lagi birahi. Lihat saja sendiri vidio itu sampai selesai, apa kamu enggak merasa malu! Dasar laki-laki berkelainan bikin orang jijik aja!"Menden
Tedy dengan tangan gemetar meraih ponselnya, bersiap menelepon Lia untuk datang dan mendukungnya di kantor. Ia masih yakin, selama Lia ada di pihaknya, semua akan baik-baik saja. Tapi sebelum sempat menekan nomor, pintu kantor terbuka, dan di sanalah Heri bersama Lia masuk dengan wajah tersenyum.Kehadiran mereka membuat ruangan yang tadinya penuh ketegangan seketika menjadi hening. Heri dan Lia terlihat santai, seolah tidak ada masalah apa pun yang terjadi di antara mereka. Keduanya tampak harmonis, bercakap-cakap ringan sambil berjalan masuk.Heri menatap ke arah Excel dan Pak Budi, lalu bertanya dengan nada heran,“Lagi ada apa ini? Kok ramai?”Excel dan Pak Budi saling pandang sejenak sebelum Pak Budi angkat bicara. “Pak Heri, maaf mengganggu, Tedy ini karyawan OB baru, tadi bikin ulah di kantor. Dia datang dan berani mengancam kami semua. Dia bilang mau mengambil alih posisi Anda dan mengusir kami.”Mendengar penjelasan itu, Heri memandang Tedy dengan wajah terkejut. “Apa? Te
Pagi itu, Tedy berdiri di depan cermin di kosannya, memandangi penampilannya yang baru. Lia baru saja membelikannya kemeja putih dan celana panjang hitam yang tampak lebih rapi dari biasanya. Sarapan pun sudah disiapkan oleh Lia dengan penuh perhatian. Tedy merasa seperti raja, yakin bahwa hari ini adalah awal dari sesuatu yang besar.Lia tersenyum sambil membereskan sisa sarapan, “Mas Tedy, udah waktunya kamu ambil alih posisi Heri. Kamu lebih pantas dari dia. Aku yakin kamu bisa.”Tedy tersenyum lebar, merasa puas dengan perkataan Lia. Ia mengangguk, mengikat dasinya dengan gaya yang baru saja diajarkan oleh Lia. Dengan penampilan yang lebih rapi dari biasanya, ia merasa siap menaklukkan dunia. Dalam pikirannya, Heri hanyalah langkah kecil menuju kekuasaan yang lebih besar. "Aku udah siap jadi bos, Li," kata Tedy sambil merapikan kemejanya. "Mulai hari ini, semua orang bakal liat siapa yang lebih pantas," imbuhnya lagi.Dengan percaya diri yang tinggi, Tedy melangkah keluar dari
Pagi itu, Tedy terbangun dengan mata yang masih berat. Ia meraba tempat tidur di sebelahnya, mencari sosok Lia yang biasanya selalu ada di sana. Namun, yang ia temukan hanyalah dinginnya kasur tanpa kehadiran Lia. Ia bangkit setengah terhuyung, menatap jam dinding yang menunjukkan pukul satu siang.Tedy bergumam pelan, “Gila, gue ketiduran sampe siang gini.”Tedy menyandarkan punggungnya di kepala ranjang, mencoba mengingat kejadian semalam. Senyum tipis mengembang di wajahnya. Ia teringat betapa berbeda malam tadi. Lia benar-benar berbeda, begitu liar dan menggairahkan. Bahkan, ia merasa heran pada dirinya sendiri—senjatanya, yang biasanya hanya bertahan sepuluh menit, kini kuat dan bertahan sepanjang malam. Ia keluar lebih dari sekali, sesuatu yang belum pernah terjadi dalam hidupnya.Tedy tertawa kecil, “Lia emang ganas semalam… tapi kenapa aku bisa sekuat itu, ya?”Tedy mengangkat bahu, tak terlalu memikirkan jawabannya. Baginya, semalam adalah malam yang sempurna. Lia pasti sudah