"Leher jenazah Rendi membiru. Mungkin darahnya berhenti karena lehernya patah. Kamu tahu kan kalau menyembelih hewan pasti leher yang di gorok, nah mungkin sama halnya Rendi, urat pernapasan udah patah dan putus jadi benar lah dia enggak tertolong." Heri menjelaskan apa yang ia dengar saat masih di kediaman orang tua Rendi. Para warga banyak yang membicarakan tentang bagaimana kondisi jenazah Rendi saat di mandikan. Dari satu mulut ke mulut lainnya hingga kabar itu begitu cepat menyebar. "Astaghfirullah ngeri ya, Bang." Lia bergidik ngeri membayangkan semua itu. "Iya, makanya kita sebagai umat muslim harus berusaha untuk selalu melakukan hal-hal yang baik sebisa mungkin hindari hal yang di larang agama. Kematian bisa terjadi kapan saja buat siapapun termasuk pada kita. Waktu, hari, jam, menit, detik, semua itu sudah tercatat sebelum kita lahir. Mungkin emang umur Rendi yang pendek, kalau pun dia enggak ikut jalan sehat atau naik ke atas soun di jam itu dia akan meninggal. Entah dia s
Siang itu Heri bersama sang istri, Kayla dan Sofyan duduk di sebuah restoran ternama. Mereka sudah memesan makanan dan makan siang dengan tenang."Ibu, ini enak sekali ya. Dulu saat masih ada Ayah cuma mau beli mie ayam aja harus nahan, tapi sekarang jangankan cuma mie ayam mie apa aja bisa ku makan," celutak Kayla sambil makan mie Wagyu truffle dengan lahap.Makanan itu sejenis Mie yang disajikan dengan daging wagyu yang lembut, saus truffle yang kaya rasa, dan taburan daun bawang serta bawang goreng yang renyah, memberikan perpaduan rasa yang mewah dan gurih."Benarkah? Cuma mau beli mie ayam sampai nahan-nahan gitu, emang Ayah kamu enggak punya uang banget ya, apa enggak pernah kerja?" tanya Heri merasa sangat aneh. Tentu saja ia tahu harga mie ayam di desanya rata-rata sepuluh ribu jikalau ada yang murah lima ribu pun sudah dapat semangkuk mie ayam."Iya, Pa. Ayah tuh punya uang tapi pelitnya minta ampun. Saat aku sama kak Shaka minta uang selalu di marahin makanya kita enggak ber
Heri hanya tersenyum mendengar perkataan Tian, kemudian Tian melanjutkan ucapannya. "Tapi liat istri kamu cantik mulus kayak gitu, pastinya dia enggak pernah bersih-bersih rumah kan? Apalagi kamu punya pembantu dan baby sister. Pasti iyalah, semua kebutuhannya dan kebutuhanmu di layani sama mereka. Kalau dilihat dari sisi ini, mungkin ini kelebihan istriku sih, setidaknya, dua anak gue bisa dirawat baik-baik sama dia.""Siapa bilang? Karena Lia cantik jadi kamu lihatnya kayak enggak suka ngapa-ngapain, seperti melakukan pekerjaan rumah gitu. Sebenarnya dia bisa melakukan itu semua kalau mau, tapi aku yang melarangnya mengerjakan pekerjaan itu karena Lia istriku bukan babuku. Tapi, kalau masalah perutku dan anak-anak selalu istri yang masak. Karena Lia pandai memasak meski itu cuma masakan sederhana," balas Heri. Mendengar jawaban itu, muka Tian mulai berubah. Dia tidak habis pikir, sama-sama wanita, kenapa bedanya begitu besar? Heri kemudian tersenyum dan bertanya."Kamu tau gak istr
"Uangmu simpan aja, Li. Mamak dan Bapak sudah lebih dari cukup karena setiap bulan Heri udah ngasih uang Mamak lima juta dan itu sudah lebih dari cukup untuk kebutuhan kami sehari-hari," ujar Isna menjelaskan."Mak, serius? Enggak bohongi Lia kan?" tanya Lia memastikan. Ia tak mau sang Mamak berbohong demi menolak pemberiannya."Beneran lah, ngapain Mamak bohong," "Apa sudah dari dulu, ya, bang Heri kirim uang buat Mamak?" tanya Lia dengan nada terkejut.Isna tersenyum lembut. "Iya, Nduk. Sejak kamu tinggal di Jakarta, apa Heri enggak pernah bilang sama kamu kalau dia sering ngasih kami uang?" Kini Isna yang bertanya. Ia mengira itu permintaan Lia.Lia terdiam sejenak, meresapi apa yang baru saja ia dengar. "Enggak, Mak, bang Heri enggak pernah cerita?""Berarti ini inisiatifnya dia sendiri. Dia bilang ini tanggung jawabnya sebagai menantu. Mamak jadi nggak pernah kekurangan, alhamdulillah. Kamu simpan saja uangmu buat keperluan lain ya."Lia merasa terharu. "Bang Heri memang luar bi
Lia terperangah ia tak percaya bahwa lelaki di depannya itu lelaki yang menyia-nyiakannya dulu, Tedy. Kedua matanya menyoroti wajah lelaki itu untuk memastikan bahwa pandangannya masih normal."Mas Tedy ngapain ada di sini, dan pakai seragam OB?" batin Lia bertanya-tanya.Sedangkan Tedy sendiri juga terkejut karena tak menyangka bisa menangkap tubuh seorang wanita cantik, perlahan ia merasa gugup."Cantik sekali wanita ini, selain cantik tubuhnya juga sangat wangi. Tapi, aku seperti tidak asing dengan wajah ini, siapa dia?" batin Tedy bertanya-tanya. Tedy sama sekali tak mengenali wanita yang ada di dekapannya, hatinya merasa mengenal namun ingatan di kepala sama sekali tak bisa di ajak bekerja sama. Sosok wanita yang sangat cantik, anggun, dan wangi itu membuat hatinya berdebar.Lia segera sadar bahwa ini semua tak baik baginya, ia segera bangkit dari dekapan Tedy karena tak mau ada yang melihatnya dan menjadi salah paham."Terima kasih," ujar Lia dengan datar. "Kalau kerja yang be
Lia merebahkan tubuhnya di atas ranjang empuk di kamar hotel. Udara dingin dari AC terasa sejuk di kulitnya yang hangat setelah berendam di bathtub. Wajahnya tampak begitu rileks, tak ada tanda-tanda kelelahan meski hari sudah sore. Dari jendela, matahari yang mulai tenggelam memancarkan sinar jingga, memberi nuansa damai di kamar tersebut. Heri duduk di tepi ranjang, mengenakan handuk di pinggang sambil mengusap rambutnya yang masih basah. Tatapannya penuh kehangatan, memperhatikan Lia yang tampak begitu cantik dalam keheningan. Mereka telah menghabiskan waktu seharian di hotel ini, seolah dunia di luar sana tak ada. Tak ada kerjaan, tak ada kesibukan, hanya mereka berdua, menikmati waktu berdua.“Aku senang kita bisa meluangkan waktu seperti ini,” kata Lia sambil tersenyum lembut, menyelipkan rambut basahnya ke belakang telinga.“Aku juga. Rasanya seperti bulan madu kedua, ya?” balas Heri, menggenggam tangan Lia.Namun, keheningan mereka seketika terusik oleh dering ponsel Heri. De
Sepanjang perjalanan pulang naik angkot, pikiran Tedy masih terjebak di kantor. Meski tubuhnya telah berada di angkot yang penuh sesak, pikirannya masih bergelut dengan kejadian tadi siang.Dia menghela napas panjang, memandang keluar jendela yang buram oleh rintik-rintik hujan. Bayangan gedung-gedung tinggi yang menjulang seakan mengingatkannya tentang impiannya yang dulu bisa bekerja dengan nyaman di tempat itu. Tetapi nyatanya selama ini dia belum bisa duduk nyaman di kursi orang-orang kantoran. Sekarang dia bisa masuk ke dalam gedung besar itu namun hanya sebagai seorang OB.Pikirannya juga terus terngiang dengan percakapan di kantor tadi siang. Nama Lia disebut-sebut oleh beberapa rekan kerja, namun konteksnya membuatnya resah. Hatinya tak bisa mengabaikan rasa familiar itu. Lia. Nama itu menghantam hatinya dengan kenangan masa lalu."Mana mungkin Lia yang dimaksud adalah Lia mantan istriku," pikirnya, berusaha menenangkan diri. Tapi kemudian, orang-orang kantor menyebut bahwa Li
Beberapa minggu yang lalu, di kampung halaman, suasana tidak jauh lebih baik. Tedy duduk termenung di dalam gubuk kayu sederhana miliknya di sawah. Desir angin sore membawa aroma sawah basah yang biasanya menenangkannya, namun tidak kali ini. Tekanan dari keluarganya semakin membuat hidupnya berat. Utang yang menumpuk, konflik dengan saudara, serta tanggung jawab sebagai anak bungsu yang terus menghantuinya.Pikirannya berkecamuk ketika sang Mamak, memintanya untuk segera membantu melunasi hutang keluarga. Namun, sumber penghasilan di kampung sangat terbatas, dan dia merasa tidak ada jalan keluar.“Aku tidak sanggup lagi, Mak. Semua ini terlalu berat, mau dapat dari mana uang sebanyak itu," gumam Tedy kala itu, suaranya hampir tak terdengar di tengah keheningan sore.Mak Sarmi hanya diam, menatap Tedy dengan sorot mata penuh harap, namun tanpa kata-kata. Bukan Mak Sarmi yang terlilit hutang namun, Surti menantu yang selama ini ia banggakan karena cantik."Kita jual saja separuh sawah
Matahari sore itu memancarkan sinar keemasan, memantul indah di permukaan danau yang tenang. Lia, Heri, Shaka, Kayla, dan Sofyan sedang menikmati liburan mereka di sebuah vila di pinggir danau yang asri. Suara tawa anak-anak menggema, menyatu dengan suara alam yang damai. Kayla dan Shaka sedang bermain di dekat dermaga kayu, sementara Sofyan yang kini sudah berusia 22 bulan, berlari-lari kecil di taman rumput, tawa cerianya membuat suasana semakin hangat.Lia duduk di bangku taman, memperhatikan Sofyan yang mencoba mengejar kupu-kupu kecil. "Dia semakin besar dan lincah ya, Bang," ucap Lia sambil tersenyum penuh kebahagiaan.Heri, yang berdiri di dekatnya, mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Sofyan tumbuh begitu cepat. Rasanya baru kemarin dia masih digendong, sekarang sudah bisa lari-lari seperti ini," jawabnya sambil mendekat dan mememeluk pinggang Lia. "Kita benar-benar diberkahi dengan keluarga yang bahagia."Lia mengangguk pelan, hatinya diliputi rasa
Dua hari di kampung halaman saatnya Lia dan keluarga kembali ke Jakarta. Mereka tak bisa berlama-lama meninggalkan Sofyan bersama orang lain. Mereka berpamitan dengan suka duka, apalagi Nur yang merengek ingin ikut terus."Shaka, aku pengen ikut! Kamu di kampung aja, keenakan di kota terus lupa sama desa!" gerutu Nur."Ayo dong kalau mau ikut, memangnya Bulik enggak sekolah?" tanya Shaka."Nah itu halangannya."Mereka semua tertawa dengan tingkah Nur yang seperti anak kecil."Dadah, Bulik, kamu enggak boleh ikut. Weeee," teriak Kayla melambaikan tangan dari dalam mobil sambil menjulurkan lidahnya. "Kayla, awas kamu ya. Pokoknya aku mau kuliah di jakarta, nyusulin kamu!" balas Nur sambil berteriak juga."Hati-hati ya, Nduk, Le," ucap Pak Bambang dan Mak Isna."Enggeh, Pak, Mamak," balas Lia dan Heri secara bersamaan.Setelah semua masuk ke dalam mobil, mobil berlalu meninggalkan pekarang rumah Pak Bamba
Perjalanan yang biasanya di tempuh tujuh jam, kini lima jam telah sampai.Mobil Heri yang dikendarai Pak Supri berhenti perlahan di halaman rumah Mak Sarmi, diikuti mobil ambulans yang parkir tepat di belakangnya. Mak Sarmi keluar dari rumah dengan ekspresi bingung saat kedatangan dua kendaraan yang membuatnya merasa ada sesuatu yang tidak beres. Heri keluar dari dalam mobil dan di susul oleh Pak Supri, Lia, Shaka dan Kayla. Mak Sarmi semakin terkejut saat melihat kedatangan mantan menantu dan kedua cucunya secara tiba-tiba."Lia? Shaka, Kayla? Kamu kesini....." ucap Mak Sarmi menggantung seakan-akan ia tak percaya dengan kedatangan orang-orang yang dulu selalu ia remehkan.Mak Sarmi bahkan sempat pangkling menatap Lia, ia baru menyadari saat melihat Shaka dan Kayla. "Sayang, Salim dulu sama Mbah Uti," titah Lia setelah dirinya selesai menyalami mantan ibu mertuanya. Shaka dan Kayla pun patuh.Petugas ambul
Mobil Heri akhirnya berhenti di halaman rumah mereka. Lampu-lampu di luar rumah menyala terang, seolah menjadi satu-satunya tanda kehangatan di tengah ketegangan yang masih menyelimuti pikiran mereka. Lia dan Heri keluar dari mobil dengan tubuh yang masih bergetar, terutama Lia, yang merasa seolah napasnya belum benar-benar kembali normal."Alhamdulillah, kita selamat," gumam Lia pelan sambil menutup pintu mobil dengan tangan gemetar. Dia menatap Heri dengan mata penuh kecemasan. Wajahnya masih pucat setelah kejadian mencekam yang baru saja mereka alami.Heri diam beberapa saat, mencoba mengatur napasnya yang masih memburu. “Ya Allah, tadi itu... aku benar-benar tidak bisa berpikir. Kalau saja kita terlambat sedikit, untung saja Pak Supri sangat sigap...” ucapnya, suaranya serak.Lia mengangguk, lalu menatap rumah mereka. “Aku... aku masih merasa ada yang tidak beres. Tadi itu bukan hanya kecelakaan biasa, Bang.. ada sesuatu yang lebih dari itu.”
Hari mulai beranjak sore ketika Lia dan Heri keluar dari restoran menuju mobil, mereka baru saja mengahadiri sebuah undangan kerja sama. Langit sedikit mendung, dan suasana di dalam mobil terasa tenang. Namun, di sudut lain kota, di sebuah jalan raya dekat lampu merah, Tedy sedang menunggu dengan sabar di bawah pohon pinggir jalan seperti yang diperintahkan oleh Mbah Marni. Pohon bringin yang besar itu sifatnya sangat kuat dan membuat kota terlihat hijau, serta akarnya yang kuat mampu menahan erosi tanah."Jangan khawatir, Ted. Jin yang kuberi tugas akan memastikan Heri celaka. Kamu hanya tinggal menunggu," bisik Mbah Marni melalui sambungan telepon yang sudah disiapkan sejak tadi.Tedy menatap jam di HP-nya. “Saya sudah tidak sabar, Mbah. Lia harus segera jadi milik saya lagi.”Di sisi lain, di dalam mobil Heri, Pak Supri, tiba-tiba merasa tidak nyaman. Keningnya berkerut dan sesekali ia menengok ke kaca spion, seolah sedang mencari sesuatu yang tak terlihat oleh mata.Lia, yang dud
Lia tak menghiraukan Tedy, ia segera membuka vidio itu. Di mulai dari ruang depan. Tak lupa Heri juga ikut menonton, Excel, pak Budi dan beberapa karyawan sebisa mungkin ikut mengintip saat mereka berdua mengamati vidio tersebut mereka justru dibuat kaget. Bagaimana tidak, dalam rekaman itu tidak kelihatan seorang wanita, hanya terlihat Tedy yang sedang mendesah dan bergoyang sendirian di ruang tamu. Vidionya terlihat menjijikkan sebab Tedy tak memakai sehelai benang apapun. Mereka berdua menonton sampai selesai tiga vidio itu, namun hanya terlihat Tedy sendirian yang seperti prang kesurupan atau mabuk. Sangat jelas vidio itu tak ada siapapun kecuali Tedy sendirian. Setelah selesai menonton vidio tersebut Heri langsung merebutnya dari tangan sang istri dan melemparnya ke arah Tedy, "Sudah nuduh-nuduh enggak jelas ternyata vidio orang stres lagi birahi. Lihat saja sendiri vidio itu sampai selesai, apa kamu enggak merasa malu! Dasar laki-laki berkelainan bikin orang jijik aja!"Menden
Tedy dengan tangan gemetar meraih ponselnya, bersiap menelepon Lia untuk datang dan mendukungnya di kantor. Ia masih yakin, selama Lia ada di pihaknya, semua akan baik-baik saja. Tapi sebelum sempat menekan nomor, pintu kantor terbuka, dan di sanalah Heri bersama Lia masuk dengan wajah tersenyum.Kehadiran mereka membuat ruangan yang tadinya penuh ketegangan seketika menjadi hening. Heri dan Lia terlihat santai, seolah tidak ada masalah apa pun yang terjadi di antara mereka. Keduanya tampak harmonis, bercakap-cakap ringan sambil berjalan masuk.Heri menatap ke arah Excel dan Pak Budi, lalu bertanya dengan nada heran,“Lagi ada apa ini? Kok ramai?”Excel dan Pak Budi saling pandang sejenak sebelum Pak Budi angkat bicara. “Pak Heri, maaf mengganggu, Tedy ini karyawan OB baru, tadi bikin ulah di kantor. Dia datang dan berani mengancam kami semua. Dia bilang mau mengambil alih posisi Anda dan mengusir kami.”Mendengar penjelasan itu, Heri memandang Tedy dengan wajah terkejut. “Apa? Te
Pagi itu, Tedy berdiri di depan cermin di kosannya, memandangi penampilannya yang baru. Lia baru saja membelikannya kemeja putih dan celana panjang hitam yang tampak lebih rapi dari biasanya. Sarapan pun sudah disiapkan oleh Lia dengan penuh perhatian. Tedy merasa seperti raja, yakin bahwa hari ini adalah awal dari sesuatu yang besar.Lia tersenyum sambil membereskan sisa sarapan, “Mas Tedy, udah waktunya kamu ambil alih posisi Heri. Kamu lebih pantas dari dia. Aku yakin kamu bisa.”Tedy tersenyum lebar, merasa puas dengan perkataan Lia. Ia mengangguk, mengikat dasinya dengan gaya yang baru saja diajarkan oleh Lia. Dengan penampilan yang lebih rapi dari biasanya, ia merasa siap menaklukkan dunia. Dalam pikirannya, Heri hanyalah langkah kecil menuju kekuasaan yang lebih besar. "Aku udah siap jadi bos, Li," kata Tedy sambil merapikan kemejanya. "Mulai hari ini, semua orang bakal liat siapa yang lebih pantas," imbuhnya lagi.Dengan percaya diri yang tinggi, Tedy melangkah keluar dari
Pagi itu, Tedy terbangun dengan mata yang masih berat. Ia meraba tempat tidur di sebelahnya, mencari sosok Lia yang biasanya selalu ada di sana. Namun, yang ia temukan hanyalah dinginnya kasur tanpa kehadiran Lia. Ia bangkit setengah terhuyung, menatap jam dinding yang menunjukkan pukul satu siang.Tedy bergumam pelan, “Gila, gue ketiduran sampe siang gini.”Tedy menyandarkan punggungnya di kepala ranjang, mencoba mengingat kejadian semalam. Senyum tipis mengembang di wajahnya. Ia teringat betapa berbeda malam tadi. Lia benar-benar berbeda, begitu liar dan menggairahkan. Bahkan, ia merasa heran pada dirinya sendiri—senjatanya, yang biasanya hanya bertahan sepuluh menit, kini kuat dan bertahan sepanjang malam. Ia keluar lebih dari sekali, sesuatu yang belum pernah terjadi dalam hidupnya.Tedy tertawa kecil, “Lia emang ganas semalam… tapi kenapa aku bisa sekuat itu, ya?”Tedy mengangkat bahu, tak terlalu memikirkan jawabannya. Baginya, semalam adalah malam yang sempurna. Lia pasti sudah