Mak Sarmi menangis histeris melihat kedua anak lelakinya berantem, mendengar jeritan itu Pak Karto juga keluar dari rumah. Tak hanya Pak Karto tetangga dekat rumah pun berlarian menghampiri."Ada apa ini, Mak?" tanya Pak Karto."Pak, anak kita. Anak kita bertengkar, Pak." Mak Sarmi terduduk di tanah depan rumah Tedy.Pak Karto berusaha melerai, namun tenaganya yang sudah tua pun tak bisa menengahi. Brug....!Tarji pun terjungkal ke tanah karena tendangan Tedy, ia yang tak terima langsung mengumpat. "Dasar keparat!""Ada apa ini? Kenapa kalian bertengkar?""Sama saudara malah pukul-pukulan, kalau ada masalah itu di selesaikan baik-baik.""Kamu juga, Ted, udah tahu kakangmu itu cacat masih aja kamu pukul," Orang-orang membantu Tarji untuk bangun tanpa mau tahu betapa sakitnya tubuh Tedy yang penuh pukulan Tarji."Kenapa bisa sampai seperti ini, ada masalah apa?" tanya Slamet yang baru datang."Met, tolong bantuin Sutri. Dia mau di perkosa sama bakul bank," pinta Mak Sarmi. Ia juga dib
Pak Karto yang biasanya tenang kini berubah tegas, nadanya keras saat berbicara pada Mak Sarmi dan Tarji."Sawah itu bukan cuma milik kalian. Jangan main-main dengan warisan keluarga!" Pak Karto memandang keduanya tajam.Namun, Mak Sarmi tak mundur begitu saja. Ia menatap suaminya, tetap bersikeras. "Apa kau pikir kita bisa terus hidup begini? Hutang semakin menumpuk. Tarji butuh uang untuk melunasi hutang bank keliling, dan sawah itulah satu-satunya yang bisa kita andalkan sekarang!"Pak Karto menggeleng pelan, jelas terlihat perasaannya campur aduk. "Itu tanah kita. Aku tak akan biarkan kau jual seenaknya."Desakan dari Mak Sarmi membuatnya berada di posisi sulit. Akhirnya, setelah beberapa menit perdebatan, Pak Karto menyerah. "Baiklah... tapi hanya bagian Tarji. Jangan harap sawah lainnya kau sentuh."Tarji dan Mak Sarmi saling berpandangan, merasa sedikit lega. Meski berat, keputusan itu harus diambil. Sawah bagian Tarji akan dijual untuk melunasi hutang-hutang mereka.Setelah se
Waktu terus berjalan, keluarga Tedy tak sehangat dan sekompak dulu. Tedy memilih menjauh dari Tarji, ia tak mau menyapa kakaknya. Suasana di rumah Tarji sore itu sunyi. Angin berhembus pelan, menyapu dedaunan kering di halaman rumahnya. Tedy, yang duduk di teras rumah, tampak termenung, seolah memikirkan sesuatu yang berat. Sejak ia membatasi diri dengan Tarji, keadaan tak pernah lagi sama. Tedy merasa ada jarak yang tak bisa dijembatani. Tiba-tiba istri almarhum Ahmad, Yasmin, yang dari kota datang dengan wajah penuh kesedihan. Dia mendatangi pak Karto yang tengah duduk di ruang tamu. Tedy yang melihat kedatangan kakak iparnya dari jauh memilih untuk tidak mendekat, meski ada rasa penasaran dalam dirinya."Assalamualaikum, Mbah," sapa Yasmin dengan suara pelan, nyaris tak terdengar."Waalaikumsalam, Yas. Kamu kesini sama siapa? Silakan duduk," jawab Pak Karto, seraya mempersilakan Yasmin duduk di kursi rotan tua di sampingnya. Yasmin menyalami bapak mertuanya tanda penghormatan. "
Setelah berhari-hari memikirkannya, Yasmin akhirnya memutuskan untuk bertemu dengan keluarga Ahmad sekali lagi. Dengan langkah yang terasa semakin berat, ia kembali ke rumah Tarji. Di sana, Pak Karto, Tarji, dan Tedy sudah menunggunya. Yasmin tahu ini adalah pertemuan yang menentukan, dan mungkin yang terakhir."Saya sudah memikirkan semuanya, Mbah," Yasmin memulai, suaranya bergetar. "Saya tetap ingin menjual tanah itu. Saya tahu ini bagian dari almarhum Mas Ahmad, tapi saya tidak punya pilihan lain. Anak-anak saya butuh biaya, dan saya harus melanjutkan hidup."Pak Karto menghela napas panjang, menatap Yasmin dengan mata sayu. "Yas, kalau kamu benar-benar sudah yakin, kami tidak bisa melarang. Tapi ingat, tanah itu adalah peninggalan terakhir suamimu. Setelah ini, kamu tidak akan punya alasan lagi untuk kembali ke sini."Bukan tanpa alasan Pak Karto mengatakan hal itu, hatinya sudah terlanjur sakit dan ia seakan-akan hidupnya tertekan. Ingin rasanya ia egois sedikit saja, namun ia t
Mak Sarmi, yang duduk di sebelahnya, hanya bisa terdiam. Ia sudah terlalu lelah dengan semua ini, memilih untuk mengalah daripada melihat keluarganya terus-terusan berkonflik. Tapi melihat Pak Karto yang begitu terpukul, ia tak mampu menahan air mata yang menetes di pipinya.Tarji bangkit dari duduknya, menghampiri Pak Karto. "Maaf, Pak... Aku tahu aku salah. Tapi aku janji, ini yang terakhir. Setelah ini, aku akan bangkit dan enggak akan biarin keluarga kita terjerat hutang lagi."Pak Karto menggeleng pelan. "Bukan soal tanah atau hutang, Tar. Ini soal bagaimana kalian semua bisa lupa, lupa bahwa tanah ini adalah peninggalan keluarga, warisan dari leluhurmu yang seharusnya dijaga. Bukan untuk dijual demi menyelesaikan masalah sesaat."Namun, Pak Karto tahu, keputusan sudah diambil. Tanah pekarangan itu akan dijual, dan semua hutang akan dilunasi. Tapi di hatinya, ada kekosongan yang tak bisa terisi. Sesuatu yang hilang bukan hanya karena tanah itu, melainkan karena nilai-nilai yang d
Perasaan gelisah tiba-tiba menyelimuti hati Mak Sarmi. Sejak tadi ia tak mendengar suara air dari kamar mandi, meski Pak Karto sudah lama masuk ke sana untuk bersiap mandi. Kegelisahan itu semakin kuat, membuat hatinya berdebar-debar tak menentu."Mbah, urung mandi tah...!" teriak Mak Sarmi, suaranya bergetar sambil berjalan cepat ke arah kamar mandi.Namun, tak ada jawaban dari dalam. Rasa takut yang tak terjelaskan langsung menyergapnya. Sesampainya di depan pintu kamar mandi, Mak Sarmi menggedor pintu dengan keras. "Mbah! Mbah...!" teriaknya sekali lagi, namun tetap sunyi.Dengan tangan gemetar, ia mendorong pintu kamar mandi yang ternyata tak terkunci. Saat pintu terbuka, pemandangan yang dilihatnya membuat napasnya terhenti.Pak Karto... tergeletak dalam posisi setengah tenggelam di ember besar, tubuhnya tak bergerak sama sekali. Mak Sarmi menjerit histeris, lututnya lemas seketika."Mbah...! Astaghfirullah... Mbah...!!" Tangisnya pecah, tubuhnya seolah tak kuat menahan kenyataa
Tujuh hari setelah kepergian Pak Karto, suasana duka di rumah Mak Sarmi mulai sedikit mereda. Namun, ketegangan lain mulai muncul saat ketiga anak Mak Sarmi—Tarji, Tedy, dan Tasih—berkumpul untuk membicarakan pembagian tanah warisan yang ditinggalkan oleh Pak Karto.Di ruang tamu yang sederhana, Tasih membuka pembicaraan lebih dulu. "Jadi, kita harus membagi tanah pekarangan dan sawah secepatnya. Kita semua butuh kejelasan. Aku butuh kepastian bagian untuk mengurus keperluan keluargaku," katanya dengan nada tenang tapi tegas.Nobi, yang duduk di sebelah Tasih, mengangguk setuju. "Betul, sudah saatnya kita bagi biar tidak ada yang merasa dirugikan. Pekarangan itu harus dibagi empat. Tasih, Tarji, Tedy, dan untuk Mamak," ujar Nobi sambil menatap semua yang ada di ruangan. Seharusnya ia sebagai menantu tak perlu ikut campur, namun nafsunya untuk segera mendapatkan warisan tak bisa ia tahan lagi.Tedy, yang sedari tadi hanya diam mendengarkan, mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres. Pe
Kepergian yang Tak Terelakkan Setelah pertengkaran sengit yang terjadi di rumah, Tedy merasa hatinya hancur. Konflik warisan yang seharusnya bisa diselesaikan dengan baik justru berujung pada perpecahan. Bukan hanya soal tanah, tapi juga tentang perlakuan sang Mamak yang selalu mengalah kepada Tarji, meski Tarji berkali-kali mengecewakan keluarga. Malam itu, Tedy duduk termenung di beranda rumah, memikirkan semua yang telah terjadi. Kata-kata kasar dan amarah yang terlontar dalam pertengkaran tadi masih terngiang di telinganya. Tapi yang paling menyakitkan adalah keputusan Mamak yang tak ia sangka. Mak Sarmi, yang sejak awal sudah diam, akhirnya memilih menyerahkan bagian tanah sawah palawija kepada Tarji. "Biarlah, Ted... Mamak sudah tua, Mamak tak butuh tanah itu. Tarji butuh untuk kelangsungan hidup keluarganya. Jangan ribut soal harta, Nak," ucap sang Mamak lembut, tapi menyisakan luka mendalam bagi Tedy. Tedy terdiam. Ia menatap Mamaknya, wanita yang selama ini ia cintai dan
Matahari sore itu memancarkan sinar keemasan, memantul indah di permukaan danau yang tenang. Lia, Heri, Shaka, Kayla, dan Sofyan sedang menikmati liburan mereka di sebuah vila di pinggir danau yang asri. Suara tawa anak-anak menggema, menyatu dengan suara alam yang damai. Kayla dan Shaka sedang bermain di dekat dermaga kayu, sementara Sofyan yang kini sudah berusia 22 bulan, berlari-lari kecil di taman rumput, tawa cerianya membuat suasana semakin hangat.Lia duduk di bangku taman, memperhatikan Sofyan yang mencoba mengejar kupu-kupu kecil. "Dia semakin besar dan lincah ya, Bang," ucap Lia sambil tersenyum penuh kebahagiaan.Heri, yang berdiri di dekatnya, mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Sofyan tumbuh begitu cepat. Rasanya baru kemarin dia masih digendong, sekarang sudah bisa lari-lari seperti ini," jawabnya sambil mendekat dan mememeluk pinggang Lia. "Kita benar-benar diberkahi dengan keluarga yang bahagia."Lia mengangguk pelan, hatinya diliputi rasa
Dua hari di kampung halaman saatnya Lia dan keluarga kembali ke Jakarta. Mereka tak bisa berlama-lama meninggalkan Sofyan bersama orang lain. Mereka berpamitan dengan suka duka, apalagi Nur yang merengek ingin ikut terus."Shaka, aku pengen ikut! Kamu di kampung aja, keenakan di kota terus lupa sama desa!" gerutu Nur."Ayo dong kalau mau ikut, memangnya Bulik enggak sekolah?" tanya Shaka."Nah itu halangannya."Mereka semua tertawa dengan tingkah Nur yang seperti anak kecil."Dadah, Bulik, kamu enggak boleh ikut. Weeee," teriak Kayla melambaikan tangan dari dalam mobil sambil menjulurkan lidahnya. "Kayla, awas kamu ya. Pokoknya aku mau kuliah di jakarta, nyusulin kamu!" balas Nur sambil berteriak juga."Hati-hati ya, Nduk, Le," ucap Pak Bambang dan Mak Isna."Enggeh, Pak, Mamak," balas Lia dan Heri secara bersamaan.Setelah semua masuk ke dalam mobil, mobil berlalu meninggalkan pekarang rumah Pak Bamba
Perjalanan yang biasanya di tempuh tujuh jam, kini lima jam telah sampai.Mobil Heri yang dikendarai Pak Supri berhenti perlahan di halaman rumah Mak Sarmi, diikuti mobil ambulans yang parkir tepat di belakangnya. Mak Sarmi keluar dari rumah dengan ekspresi bingung saat kedatangan dua kendaraan yang membuatnya merasa ada sesuatu yang tidak beres. Heri keluar dari dalam mobil dan di susul oleh Pak Supri, Lia, Shaka dan Kayla. Mak Sarmi semakin terkejut saat melihat kedatangan mantan menantu dan kedua cucunya secara tiba-tiba."Lia? Shaka, Kayla? Kamu kesini....." ucap Mak Sarmi menggantung seakan-akan ia tak percaya dengan kedatangan orang-orang yang dulu selalu ia remehkan.Mak Sarmi bahkan sempat pangkling menatap Lia, ia baru menyadari saat melihat Shaka dan Kayla. "Sayang, Salim dulu sama Mbah Uti," titah Lia setelah dirinya selesai menyalami mantan ibu mertuanya. Shaka dan Kayla pun patuh.Petugas ambul
Mobil Heri akhirnya berhenti di halaman rumah mereka. Lampu-lampu di luar rumah menyala terang, seolah menjadi satu-satunya tanda kehangatan di tengah ketegangan yang masih menyelimuti pikiran mereka. Lia dan Heri keluar dari mobil dengan tubuh yang masih bergetar, terutama Lia, yang merasa seolah napasnya belum benar-benar kembali normal."Alhamdulillah, kita selamat," gumam Lia pelan sambil menutup pintu mobil dengan tangan gemetar. Dia menatap Heri dengan mata penuh kecemasan. Wajahnya masih pucat setelah kejadian mencekam yang baru saja mereka alami.Heri diam beberapa saat, mencoba mengatur napasnya yang masih memburu. “Ya Allah, tadi itu... aku benar-benar tidak bisa berpikir. Kalau saja kita terlambat sedikit, untung saja Pak Supri sangat sigap...” ucapnya, suaranya serak.Lia mengangguk, lalu menatap rumah mereka. “Aku... aku masih merasa ada yang tidak beres. Tadi itu bukan hanya kecelakaan biasa, Bang.. ada sesuatu yang lebih dari itu.”
Hari mulai beranjak sore ketika Lia dan Heri keluar dari restoran menuju mobil, mereka baru saja mengahadiri sebuah undangan kerja sama. Langit sedikit mendung, dan suasana di dalam mobil terasa tenang. Namun, di sudut lain kota, di sebuah jalan raya dekat lampu merah, Tedy sedang menunggu dengan sabar di bawah pohon pinggir jalan seperti yang diperintahkan oleh Mbah Marni. Pohon bringin yang besar itu sifatnya sangat kuat dan membuat kota terlihat hijau, serta akarnya yang kuat mampu menahan erosi tanah."Jangan khawatir, Ted. Jin yang kuberi tugas akan memastikan Heri celaka. Kamu hanya tinggal menunggu," bisik Mbah Marni melalui sambungan telepon yang sudah disiapkan sejak tadi.Tedy menatap jam di HP-nya. “Saya sudah tidak sabar, Mbah. Lia harus segera jadi milik saya lagi.”Di sisi lain, di dalam mobil Heri, Pak Supri, tiba-tiba merasa tidak nyaman. Keningnya berkerut dan sesekali ia menengok ke kaca spion, seolah sedang mencari sesuatu yang tak terlihat oleh mata.Lia, yang dud
Lia tak menghiraukan Tedy, ia segera membuka vidio itu. Di mulai dari ruang depan. Tak lupa Heri juga ikut menonton, Excel, pak Budi dan beberapa karyawan sebisa mungkin ikut mengintip saat mereka berdua mengamati vidio tersebut mereka justru dibuat kaget. Bagaimana tidak, dalam rekaman itu tidak kelihatan seorang wanita, hanya terlihat Tedy yang sedang mendesah dan bergoyang sendirian di ruang tamu. Vidionya terlihat menjijikkan sebab Tedy tak memakai sehelai benang apapun. Mereka berdua menonton sampai selesai tiga vidio itu, namun hanya terlihat Tedy sendirian yang seperti prang kesurupan atau mabuk. Sangat jelas vidio itu tak ada siapapun kecuali Tedy sendirian. Setelah selesai menonton vidio tersebut Heri langsung merebutnya dari tangan sang istri dan melemparnya ke arah Tedy, "Sudah nuduh-nuduh enggak jelas ternyata vidio orang stres lagi birahi. Lihat saja sendiri vidio itu sampai selesai, apa kamu enggak merasa malu! Dasar laki-laki berkelainan bikin orang jijik aja!"Menden
Tedy dengan tangan gemetar meraih ponselnya, bersiap menelepon Lia untuk datang dan mendukungnya di kantor. Ia masih yakin, selama Lia ada di pihaknya, semua akan baik-baik saja. Tapi sebelum sempat menekan nomor, pintu kantor terbuka, dan di sanalah Heri bersama Lia masuk dengan wajah tersenyum.Kehadiran mereka membuat ruangan yang tadinya penuh ketegangan seketika menjadi hening. Heri dan Lia terlihat santai, seolah tidak ada masalah apa pun yang terjadi di antara mereka. Keduanya tampak harmonis, bercakap-cakap ringan sambil berjalan masuk.Heri menatap ke arah Excel dan Pak Budi, lalu bertanya dengan nada heran,“Lagi ada apa ini? Kok ramai?”Excel dan Pak Budi saling pandang sejenak sebelum Pak Budi angkat bicara. “Pak Heri, maaf mengganggu, Tedy ini karyawan OB baru, tadi bikin ulah di kantor. Dia datang dan berani mengancam kami semua. Dia bilang mau mengambil alih posisi Anda dan mengusir kami.”Mendengar penjelasan itu, Heri memandang Tedy dengan wajah terkejut. “Apa? Te
Pagi itu, Tedy berdiri di depan cermin di kosannya, memandangi penampilannya yang baru. Lia baru saja membelikannya kemeja putih dan celana panjang hitam yang tampak lebih rapi dari biasanya. Sarapan pun sudah disiapkan oleh Lia dengan penuh perhatian. Tedy merasa seperti raja, yakin bahwa hari ini adalah awal dari sesuatu yang besar.Lia tersenyum sambil membereskan sisa sarapan, “Mas Tedy, udah waktunya kamu ambil alih posisi Heri. Kamu lebih pantas dari dia. Aku yakin kamu bisa.”Tedy tersenyum lebar, merasa puas dengan perkataan Lia. Ia mengangguk, mengikat dasinya dengan gaya yang baru saja diajarkan oleh Lia. Dengan penampilan yang lebih rapi dari biasanya, ia merasa siap menaklukkan dunia. Dalam pikirannya, Heri hanyalah langkah kecil menuju kekuasaan yang lebih besar. "Aku udah siap jadi bos, Li," kata Tedy sambil merapikan kemejanya. "Mulai hari ini, semua orang bakal liat siapa yang lebih pantas," imbuhnya lagi.Dengan percaya diri yang tinggi, Tedy melangkah keluar dari
Pagi itu, Tedy terbangun dengan mata yang masih berat. Ia meraba tempat tidur di sebelahnya, mencari sosok Lia yang biasanya selalu ada di sana. Namun, yang ia temukan hanyalah dinginnya kasur tanpa kehadiran Lia. Ia bangkit setengah terhuyung, menatap jam dinding yang menunjukkan pukul satu siang.Tedy bergumam pelan, “Gila, gue ketiduran sampe siang gini.”Tedy menyandarkan punggungnya di kepala ranjang, mencoba mengingat kejadian semalam. Senyum tipis mengembang di wajahnya. Ia teringat betapa berbeda malam tadi. Lia benar-benar berbeda, begitu liar dan menggairahkan. Bahkan, ia merasa heran pada dirinya sendiri—senjatanya, yang biasanya hanya bertahan sepuluh menit, kini kuat dan bertahan sepanjang malam. Ia keluar lebih dari sekali, sesuatu yang belum pernah terjadi dalam hidupnya.Tedy tertawa kecil, “Lia emang ganas semalam… tapi kenapa aku bisa sekuat itu, ya?”Tedy mengangkat bahu, tak terlalu memikirkan jawabannya. Baginya, semalam adalah malam yang sempurna. Lia pasti sudah